159
5.1.3. Analisis Sintaksis; Penyajian Warak Ngendog
Warak Ngendog disajikan dalam tradisi ritual Dugderan masyarakat Semarang. Mempertimbangkan konteks kompromi antarpersepsi umat Islam
dalam memandang keberadaan sebuah ”patung”, maka Warak Ngendog diciptakan dalam wujud yang tidak permanen. Wujud yang tidak permanen itu
hanya dapat disajikan secara sempurna dalam momentum ritual Dugderan setahun sekali. Setelah ritual biasanya akan digeletakkan begitu saja dan dibiarkan rusak
begitu saja atau ada yang disimpan seperlunya untuk efisiensi pembuatan di tahun berikutnya.
Ritual Dugderan dilaksanakan pada sore hari setelah Shalat Asar di hari terakhir Bulan Ruwah atau Sya’ban, tepat satu hari menjelang datangnya Bulan
Ramadhan. Tempat ritual terdiri dari ”istana” Sang Bupati Semarang sekarang Walikota, Masjid Besar Kauman, dan alun-alun serta jalan-jalan umum. Masjid
Besar Kauman menjadi titik pusat semua tempat tersebut. Inti ritual Dugderan adalah kerelaan Sang Bupati, penguasa atau umara
untuk silaturahmi menemui para ulama di Masjid Besar Kauman. Berdasarkan proses halaqah, yaitu pengamatan, penghitungan, dan musyawarah antara tokoh-
tokoh yang hadir diputuskanlah kapan masuk Bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan adalah bulan mulia yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh masyarakat, karena
dalam bulan itu umat Islam diwajibkan puasa, bahkan ibadah-ibadah sunah maupun perbuatan baik lainnya akan diberi pahala yang berlipat-lipat ganda.
Setelah diumumkan keputusan halaqah oleh Sang Bupati, selanjutnya ditegaskan dengan pemukulan bedug dan penyulutan meriam, serta pengarakan
160
Warak Ngendog di sepanjang jalan disaksikan masyarakat luas. Selain pengumuman lisan Sang Bupati yang kemungkinan didengarkan sebagian kecil
masyarakat, masyarakat luas seantero Semarang tetap mengetahui isi pengumuman dan pesan-pesan yang ada lewat tanda bunyi bedug dan meriam,
serta disaksikannya Warak Ngendog yang diarak berkeliling kota. Warak Ngendog dibuat dalam struktur dan ukuran tubuh disesuaikan
dengan ketentuan dan kebutuhan, bahwa Warak Ngendog harus bisa diarak dalam pentas atau arak-arakan Dugderan dengan cara dipanggul oleh paling sedikit
empat orang dan bisa dinaiki oleh seorang anak manusia atau bahkan oleh seorang dewasa. Namun seiring perkembangan zaman, cara mengarak Warak Ngendog
tidak dipanggul tetapi dinaikkan pada mobil bak terbuka, dengan catatan ukuran dan struktur kerangkanya tetap mengacu pada Warak Ngendog yang baku.
Dari paparan di atas, penyajian Warak Ngendog secara sintaksis semiosis meliputi: 1 wujud yang khayal, terstruktur tertentu, dan tidak permanen; 2
menjadi bagian dari ritual Dugderan dengan waktu, tempat, dan urutan yang telah disepakati; dan 3 disajikan dengan cara dipanggul oleh empat orang di ujung
keempat kakinya serta dinaiki orang pada punggungnya.
5.1.4. Analisis Semantik; Kata Warak Ngendog