Analisis Pragmatik Analisis Semiotik Warak Ngendog

167 c. Kerendahan hati dan rasa saling menghormati yang ditunjukkan dengan silaturahmi penguasa pada ulama, proses musyawarah untuk mufakat, dan kepatuhan masyarakat pada pimpinan spiritual ulama dan pimpinan struktural umara menunjukkan ciri masyarakat madani, yaitu masyarakat yang tertib dalam menjalankan perannya masing-masing, penuh toleransi dan silaturahmi, patuh pada peraturan, hormat pada pimpinan, dan menerapkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Warak Ngendog disajikan dengan cara dipanggul oleh empat orang di ujung keempat kakinya serta dinaiki orang pada punggungnya. Warak adalah ”binatang” yang dapat dipanggul dan dinaiki. ”Binatang” warak sebagai simbol hawa nafsu. Hawa nafsu sama artinya dengan keinginan manusia yang berlebihan dan bisa mengancam kehidupan manusia antara lain menjajah, menyakiti, merusak, tamak, dan sebagainya. Warak yang dapat dipanggul dan dinaiki manusia artinya hawa nafsu. dapat diletakkan di mana saja, diangkat, diajak berjalan, menari, melompat, berbelok, dan dikendarai. Dia bukan sesuatu yang dapat bebas bergerak menguasai sekitarnya. Hawa nafsu tidak boleh dibebaskan menguasai manusia, tetapi harus dapat dikendalikan, diarahkan, dan diatasi oleh hakekat manusia sebagai hamba Allah yang mempunyai iman dan taqwa.

5.1.7. Analisis Pragmatik

Analisis pragmatis tidak dilakukan pada tiap-tiap unsur tanda seperti pada analisis sintaksis dan analisis semantik, namun dilakukan sekaligus atau keseluruhan. Analisis pragmatik semiosis merupakan perluasan dari analisis 168 semantik, yakni mempelajari hubungan antara tanda, pengirim tanda, dan penerimanya Iswidayati, 2006:280. Seniman pembuat dan pelaku seni adalah pengirim tanda lewat karya seni yang diciptakan dan disajikannya. Masyarakat termasuk peneliti adalah penikmat seni yang berfungsi sebagai penerima tanda. Kedua pihak tersebut termasuk dalam pragmatik semiosis. Dari segi pragmatik karya seni ritual Warak Ngendog diapresiasi masyarakat penerima tanda berdasarkan ungkapan denotatif dan makna konotatif yang terkandung di dalamnya pada konteks kebudayaan yang dianut masyarakat Semarang. Kata-kata asal penamaan, bentuk, dan penyajian Warak Ngendog dalam analisis sintaksis merupakan sebuah teks yang memuat tanda-tanda yang dikomunikasikan pada masyarakat yang menyaksikannya. Ditemukan kata-kata yang akhirnya disintesa menjadi nama Warak Ngendog, yaitu: 1 warak sebagai binatang khayal yang menakutkan dalam konteks bahasa Jawa; 2 kata bouraq sebagai ”binatang” kendaraan Nabi Muhammad ketika Isra’ Mi’raj dalam konteks budaya Islam; 3 kata wara-wara, biawara, biawarake, warak sebagai proses pengumuman penting; 4 kata wara sebagai ajakan untuk taat, patuh, dan menjaga ajaran agama idalam konteks budaya Arab atau Islam; serta 5 kata endhog, ngendog sebagai proses bertelur bagi binatang reptilia dan unggas dalam konteks budaya Jawa. Bentuk terdiri dari: 1 kepala yang menakutkan; 2 bulu yang berwarna menyolok dan tersusun terbalik; 3 tubuh binatang yang dapat ditunggangi manusia; dan 4 telur atau endhog diantara dua kaki belakangnya. Sementara 169 penyajiannya: 1 dalam wujud yang khayal, terstruktur tertentu, dan tidak permanen; 2 menjadi bagian dari ritual Dugderan dengan waktu, tempat, dan urutan yang telah disepakati; dan 3 disajikan dengan cara dipanggul oleh empat orang di ujung keempat kakinya serta dinaiki orang pada punggungnya. Teks-teks tanda yang ditemukan dalam analisis sintaksis tersebut selanjutnya dimaknai lewat analisis semantik. Tanda-tanda yang ingin dikomunikasikan oleh para pendahulu, pencipta, dan pelaku seni Warak Ngendog kepada masyarakatnya dianalisis secara semantik semiosis. Budaya Jawa dan Islam yang pluralis menjadi dasar bagi masyarakat, khususnya peneliti untuk dapat menerima dan memaknai tanda-tanda tersebut. Inilah yang dapat disebut sebagai analisis pragmatik semiosis. Secara keseluruhan, dapat ditangkap makna pesan dengan munculnya Warak Ngendog dalam tradisi ritual Dugderan, yaitu nama, bentuk, dan penyajian karya Warak Ngendog memberi ajaran pada manusia, khususnya umat muslim untuk selalu beriman dan bertaqwa, taat pada perintah-perintah agama dan menjaga diri dari perilaku-perilaku maksiat lewat mengendalikan atau mengalahkan hawa nafsu serta mengganti perilaku buruk dengan perilaku- perilaku terpuji. Bila semua itu dilaksanakan maka kehidupan sebagai pribadi, berhubungan dengan sesama dan alam semesta, serta hubungannya dengan Penciptanya akan mencapai keharmonisan dan keseimbanganan. Selain itu, balasan kenikmatan, pahala, dan surga niscaya akan dilimpahkan Allah Swt. 170 5.2. Matrik Analisis Semiotik 5.2.1. Matrik Analisis Sintaksis