Masyarakat Semarang dalam Kehidupan Beragama

57 Sebagai keturunan murid para wali, para bupati Semarang mewarisi tradisi dakwah agama yang mengakui keberadaan pluralitas budaya lokal. Di bawah pimpinan bupati yang muslim moderat, Islam dapat berkembang pesat dan banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat.

2.1.5. Masyarakat Semarang dalam Kehidupan Beragama

Masyarakat Semarang termasuk masyarakat yang religius, di mana setiap individunya memeluk dan menjalankan ritual agama yang dianutnya. Hal ini berkait dengan sejarah berdirinya kota Semarang yang tak lepas dari penyebaran agama, utamanya Islam. Kota Semarang didirikan oleh seorang ulama bernama Sunan Pandanaran I. Sunan Pandanaran I mendapatkan amanah tugas menyebarkan agama Islam ke wilayah barat dari Kesultanan Demak dan wilayah Semarang menjadi tempat pilihan untuk dakwah agama Islam. Maka tak heran, sebagian besar penduduk kota Semarang adalah pemeluk agama Islam atau muslim yang taat. Penduduk muslim tersebar merata di setiap kecamatan yang ada di Kota Semarang. Hal ini ditandai dengan penyebaran tempat ibadah berupa masjid dan surau atau musholla. Menurut data dari Departemen Agama Kota Semarang tahun 2004 ada 890 masjid dan ratusan mushola di Kota Semarang. Masjid-masjid ternama yang ada di Kota Semarang misalnya Masjid Besar Semarang atau Masjid Agung Kauman sejak tahun 1571, Masjid Al Falah di Kampung Melayu sejak tahun 1780, Masjid Diponegoro di Menyanan sejak tahun 1820, Masjid 58 Baiturrahman di Simpang Lima sejak tahun 1974, dan Masjid Agung Jawa Tengah di Tlogosari sejak tahun 2002. Pondok-pondok pesantren sebagai pusat pendidikan agama Islam maupun pusat pewarisan tradisi budaya Islami juga banyak berdiri di Semarang. Ulama atau kyai besar menjadi pemimpin atau pendidik utama pada pondok-pondok pesantren. Karisma kyai dan karakteristik pembelajaran di pondok pesantren menjadi daya tarik utama bagi para santri untuk menuntut ilmu. Hal inilah yang menjadi penyebab terjaganya tradisi maupun keberadaan sebuah pondok pesantren. Wilayah yang banyak berdiri pondok pesantren adalah Kauman, Terboyo, Tugu, Pedurungan, Mijen, dan Gunung Pati. Agama lain yang dianut penduduk kota Semarang adalah agama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, dan Kong Hu Cu. Rincian jumlah pemeluk agama di Kota Semarang dapat dilihat pada tabel 2.3.1. Tabel 2.3.1 Jumlah Pemeluk Agama dan Jumlah Tempat Ibadah di Kota Semarang AGAMA JML PEMELUK JML TEMPAT IBADAH KETERANGAN Islam 1.035.525 82,75 890 masjid ditambah ratusan musholla belum terdata Katholik 99.056 7,68 215 gereja belum didata jenis gereja Khatolik atau Kristen Kristen 92.149 7,17 Budha 18.249 1,38 33 vihara termasuk 17 kelenteng Tri Dharma Hindu 7.782 0,61 5 pura Lain-lain 3.761 0,30 - Data Depag Kota Semarang, 2005 59 Meski Kota Semarang memiliki penduduk dengan agama yang beraneka ragam, namun dapat hidup berdampingan dengan baik. Toleransi dan kerjasama antarpenduduk yang berbeda agama dapat terjalin dengan harmonis. Keharmonisan ini dapat dilihat dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan berbagai aktivitas kehidupan lainnya. Hal ini yang membuat Kota Semarang disebut sebagai kawasan yang kondusif. Dalam kehidupan beragama, masyarakat Semarang juga memiliki ritual-ritual khas keagamaan yang dilaksanakan sebagai tradisi masyarakat, selain ritual ibadah yang telah diwajibkan agama masing-masing. Ritual-ritual yang mentradisi itu dilakukan secara kolektif oleh masyarakat secara turun-temurun dengan tata cara tertentu. Terjadi proses akulturasi antara nilai-nilai agama yang dianut dengan budaya etnik tertentu, bahkan ada yang merupakan akulturasi multikultural. Tradisi keagamaan yang masih diselenggarakan penduduk muslim Semarang misalnya - Tradisi selamatan atau syukuran, yaitu tradisi mengundang para tetangga dan kerabat untuk berdoa bersama memohon keselamatan kepada Allah SWT atau mengucap syukur setelah mendapat anugerah tertentu dipimpin ulama. Biasanya disajikan makanan minuman tertentu dan dibagikan bungkusan makanan untuk dibawa pulang oleh para tamu. - Yasinan, yaitu tradisi mengundang para tetangga dan kerabat untuk bersama membaca Surat Yasin, Tahlil, dan doa untuk arwah leluhur yang telah meninggal dunia. - Manakib atau Barzanzi, yaitu membaca bersama syair tentang kisah-kisah Nabi Muhammad dan shalawat. 60 - Khataman, yaitu prosesi penandaan tuntasnya pembacaan Al-Qur’an oleh seseorang atau secara kolektif. Prosesi ditandai dengan pembacaan bagian terakhir atau surat-surat pada Juz 30 dalam Al Qur’an dihadapan para ustadz sebagai penguji kebenaran bacaannya. Setelah itu diteruskan dengan pembacaan doa khotmil Qur’an dan kadang kala dimeriahkan dengan permainan musik rebana dan arak-arakan. Bagi anak akhil baligh biasanya bersamaan dengan acara khitanan sebagai penanda anak tersebut memasuki masa remaja. - Takbiran, yaitu pembacaan puji-pujian pada Allah SWT pada saat menjelang hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Takbiran dilaksanakan umat muslim di masjid dan surau-surau menggunakan pengeras suara. Ada juga yang dilaksanakan secara berkeliling dengan arak-arakan tertentu, sehingga lazim disebut takbir keliling. Keesokan harinya, setelah melaksanakan salat jamaah hari raya di masjid atau lapangan dilanjutkan dengan tradisi saling berkunjung dan bersalaman saling meminta maaf. - Dugderan, yaitu ritual terbesar masyarakat Semarang. Dugderan diselenggarakan pada hari terakhir Bulan Sya’ban sebagai tanda dimulainya ibadah puasa keesokan harinya di Bulan Ramadan. Ada prosesi tertentu yang dilakukan oleh penguasa atau umara dan ulama untuk mengumumkan awal puasa, arak-arakan Warak Ngendog, dan aktivitas pendukung lainnya yang melibatkan warga multiagama dan etnik. Selain tradisi ritual keagamaan warga muslim, Semarang juga memiliki banyak tradisi ritual yang berkembang pada warga etnik Tionghoa. Semenjak 61 berakhirnya era pemerintahan Orde Baru, tradisi-tradisi budaya maupun ritual keagamaan warga Tionghoa kembali semarak. Pusat dari penyelenggaraan ritual- ritual itu adalah di kawasan Pecinan, khususnya di kelenteng-kelenteng Tri Dharma yang ada di kawasan Pecinan. Kelenteng Tri Dharma artinya kelenteng yang digunakan untuk peribadatan tiga umat sekaligus, yaitu Budha, Kong Hu Cu, dan Taoisme. Ada 16 buah kelenteng yang tersebar di Pecinan. Yang terbesar adalah kelenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok. Selain itu ada juga sebuah kelenteng besar di luar Pecinan, yaitu kelenteng Sam Po Kong di wilayah Gedung Batu. Contoh ritual Kong Hu Cu yaitu arak-arakan Dewa Bumi, perayaan Imlek, arak- arakan Sam Po Kong, dan larung sesaji untuk Dewi Samudra.

2.1.6. Sistem Kesenian Masyarakat Semarang