61
berakhirnya era pemerintahan Orde Baru, tradisi-tradisi budaya maupun ritual keagamaan warga Tionghoa kembali semarak. Pusat dari penyelenggaraan ritual-
ritual itu adalah di kawasan Pecinan, khususnya di kelenteng-kelenteng Tri Dharma yang ada di kawasan Pecinan. Kelenteng Tri Dharma artinya kelenteng yang
digunakan untuk peribadatan tiga umat sekaligus, yaitu Budha, Kong Hu Cu, dan Taoisme.
Ada 16 buah kelenteng yang tersebar di Pecinan. Yang terbesar adalah kelenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok. Selain itu ada juga sebuah kelenteng
besar di luar Pecinan, yaitu kelenteng Sam Po Kong di wilayah Gedung Batu. Contoh ritual Kong Hu Cu yaitu arak-arakan Dewa Bumi, perayaan Imlek, arak-
arakan Sam Po Kong, dan larung sesaji untuk Dewi Samudra.
2.1.6. Sistem Kesenian Masyarakat Semarang
Kota Semarang digolongkan sebagai kota niaga dan jasa, sebagaimana halnya kota-kota besar lain di Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, aktivitas perdagangan
dan jasa sangat menonjol. Bahkan menurut Jatman 2004: 2 masyarakat Semarang secara psikologis dan kultural telah banyak yang berubah menjadi individu komersial
dan materialis. Sebagian besar masyarakat Semarang dikatakan banyak yang mengedepankan kepentingan mencari keuntungan di setiap aktivitas kehidupannya,
sebagaimana halnya dalam kebiasaan dunia dagang. Hal tersebut menjadi salah satu faktor utama mengapa kehidupan seni
Semarang cenderung bersifat komersial. Jenis-jenis kesenian yang ada, terutama kesenian tradisional banyak yang tak bisa mempertahankan keberadaannya
62
dengan baik di Semarang. Kalaupun bisa bertahan, harus ada usaha untuk mengemasnya menyesuaikan dengan selera pasar atau masyarakat.
Menurut Muhammad 1995, Semarang di masa lalu banyak memiliki kesenian-kesenian khas, yaitu kesenian yang mampu menampilkan ciri yang
berbeda dengan kesenian wilayah lainnya. Kesenian khas kota Semarang yang pernah ada dan sangat terkenal yaitu kesenian Gambang Semarang, wayang orang
Sri Wanita, dan wayang orang Wahyu Budaya. Sekarang kesenian-kesenian tersebut telah hilang. Meskipun begitu, saat ini masih tersisa beberapa jenis
kesenian tradisional dan munculnya jenis-jenis kesenian baru yang sesuai dengan perkembangan jaman.
Berdasarkan data dari BPS Kota Semarang tahun 2003, jenis seni pertunjukan yang ada di Kota Semarang saat ini yaitu, wayang orang, wayang
kulit, ketoprak, musik bantenan, musik qasidah, musik rebana, musik campursari, musik keroncong, musik Melayu atau dangdut, kuda lumping, tari,
dagelan atau lawak, barongsai, dan liong sam si. Kesenian-kesenian tersebut hidup dalam kelompok, sanggar atau komunitas-komunitas masyarakat.
Pembauran antar etnik terjadi dalam komunitas-komunitas seni tersebut, terutama jenis kesenian yang berasal dari Tiong Hoa.
Masing-masing dikelola dengan manajemen yang berbeda-beda kualitasnya. Ada yang dikelola secara sederhana atau apa adanya, namun ada juga
yang dikelola secara professional sesuai dengan karakter masyarakat Semarang, sehingga dapat menjadi sebuah organisasi yang menguntungkan secara komersial.
Permodalan organisasi juga berbeda-beda. Ada yang bermodal kuat sebagaimana
63
bentuk usaha profesional, ada yang bermodal swadaya seadanya, dan ada pula yang mengandalkan bantuan pemerintah terkait. Contoh model yang terakhir
adalah kelompok wayang orang Ngesti Pandawa sebagai satu-satunya organisasi seni wayang orang yang tersisa. Bantuan pemerintah tersebut bertujuan untuk
mempertahankan keberadaan seni wayang orang tersebut agar tidak punah. Keberadaan setiap jenis kesenian tersebut dapat dilihat pada tabel 2.4.1.
Tabel 2.4.1 Perkumpulan dan Anggota Kesenian di Kota Semarang
Pada Tahun 2001 dan 2003
JENIS KESENIAN TAHUN 2001
TAHUN 2003 KELOMPOK
ANGGOTA KELOMPOK
ANGGOTA
Wayang orang
1 56 1 52 Wayang
kulit 7 77 2 46
Gambang Semarang 1 13 0 0
Ketoprak 27 540 24 625
Teater 8 211 8 349
Bantenan 6 136 7 139
Qasidah rebana
28 493 21 396 Karawitan
43 1031 29 720 Campur sari
6 46
11 89
Keroncong 83 1.252 74 946
Dangdut Melayu 34
615 60
870 Kuda
lumping 7 50 2 31
Tari 20 582 27 667
Dagelan lawak
7 50 6 40 Barongsai
13 89 24 133 Liong
Sam Si
17 192 26 287 Band
31 185 48 279 BPS Kota Semarang, 2003:227-235
Seni rupa juga berusaha menunjukkan keberadaannya. Beberapa seniman dan sanggar bermunculan. Seniman rupa yang terkenal dari Semarang misalnya
64
Kok Poo, Mozes Misdy, dan Auly Kastari. Bahkan Semarang pernah melahirkan seniman rupa terbesar yang dimiliki Indonesia yaitu Raden Saleh Syarif
Bustaman. Dalam rangka menciptakan sarana komunikasi dan koordinasi antar
komunitas kesenian dibentuklah organisasi yang mewadahinya. Salah satu organisasi tersebut adalah Dewan Kesenian Kota yang beranggotakan tokoh-tokoh
birokrasi, akademisi, seniman, pemerhati seni, dan para anggota komunitas kesenian. Selain itu peran akademisi seni di peguruan tinggi dan pemerintah lewat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Dinas Pariwisata juga berusaha melakukan usaha-usaha pengembangan kesenian. Lewat peran Dewan Kesenian
Kota, pemerintah terkait, dan kalangan perguruan tinggi diharapkan dapat diciptakan program-program kegiatan yang mendorong kuantitas dan kualitas
kehidupan kesenian di Kota Semarang.
2.2. Ritual Dugderan dan Warak Ngendog 2.2.1. Dugderan dalam Perspektif Sejarah