Agama dan Kebudayaan Kerangka Teoritik 1. Kebudayaan dan Masyarakat

11 sistem religi, dan kesenian. Keseluruhan unsur itu terpadu dalam satu sistem yang fungsional bagi kehidupan manusia. Menurut Kluckhohn dalam Soekanto, 1990:192 dan Koentjaraningrat 1990:203, ketujuh unsur kebudayaan itu dijabarkan sebagai berikut: a. Bahasa sebagai alat komunikasi simbolis secara lisan dan tulisan; b. Sistem teknologi meliputi cara atau sistem hidup, peralatan produksi, berburu, senjata dan perlengkapan hidup rumah, pakaian, perhiasan; c. Sistem ekonomi dan mata pencaharian produksi, konsumsi, distribusi; d. Organisasi sosial dan sistem kemasyarakatan kekerabatan, struktur sosial, politik, hukum, perkawinan, dan sebagainya; e. Sistem pengetahuan penemuan, pemahaman, pencatatan, pengembangan, transfer ilmu; f. Sistem religi atau sistem kepercayaan pemahaman dan pemaknaan eksistensi diri, pemaknaan fenomena alam semesta, penemuan, pemahaman, dan penghormatan kekuasaan di luar kemampuan manusia g. Kesenian gagasan, proses penciptaan, penyajian karya-karya bernilai estetis simbolis seperti seni rupa, seni tari, seni musik, dan cabang seni lainnya.

1.5.2. Agama dan Kebudayaan

Memaknai agama sebagai unsur kebudayaan tidak serta merta dapat memasukkan agama sebagai hasil usaha manusia. Akan terjadi benturan pemaknaan bila tidak ada dasar atau konteks yang holistik untuk memahaminya. Secara bahasa, ada batas pengertian yang jelas antara pengertian agama yang dianut manusia dan sistem religi dalam unsur kebudayaan. 12 Secara sederhana dapat diartikan, bahwa agama diciptakan oleh Tuhan yang Ghaib, Dzat yang tak terindera tetapi dapat jelas dirasakan kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Sifat agama adalah permanen dan universal. Di kalangan rohaniawan, ada pemahaman bahwa sejak manusia pertama telah ditetapkan salah satu kodratnya yaitu mempercayai adanya Tuhan dan berjanji melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai konskwensi dari kepercayaan itu. Bagi sebagian besar kalangan, hal tersebut sebagai hal yang tak terbantahkan karena adanya keyakinan yang sangat kuat tentang eksistensi agama sebagai perintah-perintah Tuhan. Agama bukan sebagai hasil budi atau hasil usaha manusia. Dengan kata lain antara agama dan kebudayaan adalah suatu pengertian yang berbeda, namun dalam praktiknya akan saling mempengaruhi. lihat Abdullah, 2003. Tidak semua manusia dalam sebuah masyarakat menganut agama sebagaimana pemahaman di atas, ada sebagian manusia yang menemukan kesadaran secara mandiri atau kelompok bahwa ada kekuatan lain yang abstrak di luar dirinya. Dari proses inilah muncul kepercayaan yang bersumber dari akal, rasa, dan usaha manusia. Kepercayaan yang muncul itu bisa disebut sebagai unsur kebudayaan. Sifat kepercayaan dalam kebudayaan adalah temporal dan spatial. Agama ataupun kepercayaan memiliki peranan mendasar dalam mengatur kehidupan manusia. Tanpa mendebatkan lagi asal munculnya agama atau kepercayaan, pengaruh keduanya dalam kehidupan masyarakat sangat besar. Fakta menunjukkan bahwa kenyataan sosial dan kultural masyarakat Indonesia adalah kenyataan yang bersifat religius. Setiap aspek sosial maupun kultural dipengaruhi oleh agama atau kepercayaan. Sebaliknya, agama atau kepercayaan juga terpengaruh oleh aspek 13 sosial dan kultural dalam pelaksanaannya. Dari sinilah akhirnya tersusun suatu sistem religi sebagai hasil persinggungan antara agama ketuhanan atau kepercayaan dengan lingkungan sosial dan kultural. Selain melaksanakan ritual- ritual ibadah yang diwajibkan agamanya, masyarakat juga melaksanakan ritual- ritual tertentu yang mengkombinasikan nilai dan perilaku agama dengan nilai dan perilaku budaya. lihat Thohir, 1999 Abdullah 2003 mengatakan bahwa agama yang sakral menjadi substansi dari kebudayaan baru. Manifestasi agama dalam berbagai bentuk budaya lokal dapat ditemui pada keragaman budaya nasional Indonesia. Agama datang dan dianut oleh masyarakat yang terlebih dahulu memiliki kebudayaan yang beragam. Mau tidak mau terjadi dialektika mutual antara keduanya. Dari dialektika itu muncul kebiasaan- kebiasaan masyarakat yang mengintegrasikan dua hal tersebut. Hasilnya tradisi- tradisi lokal yang bermuatan agama semakin penuh makna komprehensif. Secara wujud tampak ada penyempurnaan-penyempurnaan dan dari segi isi tradisi lokal yang ”baru” semakin sarat dengan nilai-nilai estetis simbolis. Dalam konteks kebudayaan Jawa, masyarakat Jawa merupakan kesatuan masyarakat yang disatukan oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, dan agama. Ciri riligiusitas dan toleransi keagamaan yang besar dikenal dengan sinkretisme masyarakat Jawa, yakni gerakan filsafati dan teologi yang menghasilkan sikap kompromis terhadap berbagai perbedaan, khususnya perbedaan agama. lihat Amin, 2001 Bentuk agama orang Jawa dikenal dengan Kejawen, yaitu kompleks keyakinan orang Jawa sendiri serta Hindu Budha yang menyatu dan cenderung 14 mistis, namun dapat bercampur dan diterima penganut Islam. Kelompok besar masyarakat Jawa menganut faham ini, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Walaupun begitu tetap ada umat Islam di Jawa yang menjunjung tinggi dogma- dogma Islam, tetapi tetap tidak terbebas sama sekali dari animisme, dinamisme, dan Hindu Budha, meskipun sedikit sekali. Hal itu disebabkan oleh naturalisme persentuhan agama dengan budaya lokal. lihat Koentjaraningrat, 1984:290 dan Abdullah, 2003. Kejawen atau agama Jawa, sebenarnya bukan agama tetapi kepercayaan, lebih tepatnya disebut pandangan hidup atau filsafat hidup orang Jawa. Soesilo, 2005:6 Kejawen terdapat keyakinan, konsep, pandangan, dan nilai Islami, misalnya percaya adanya Tuhan yang satu yaitu Gusti Allah dan Muhammad sebagai pesuruhNya serta nabi-nabi lain, adanya tokoh-tokoh Islam yang sangat dihormati atau bahkan dikeramatkan, juga percaya adanya dewa-dewi yang bersemayam dan menguasai bagian-bagian tertentu dari alam, serta mengakui adanya makhluk halus penjelmaan nenek moyang, roh penjaga, dan kekuatan gaib lain di alam semesta. Menurut pandangan masyarakat Jawa Mentaram, 2000, manusia hidup tidak sendiri, manusia tak terpisahkan dari kekuatan adikodrati yang mengisyaratkan bahwa siapapun yang ingin hidup beruntung beja, bahagia bagya, selaras laras, dan selamat slamet tidak boleh lupa pada kekuasaan adikodrati yaitu Gusti Allah, rasul, dan leluhur pada tataran Abstrak, serta penguasa dan pemuka masyarakat pada tataran realitas sosial. Selain itu harus rukun, gotong royong, toleransi, dan sebagainya dengan sesama. Tujuan hidup 15 orang Jawa adalah memayu hayuning bawana membuat indah dan ketentraman dunia, serta tercapainya kesatuan hamba dengan Gustinya dalam laku-laku spiritual atau ritual mistik lihat de Jong S, 1976. Pencapaian kesatuan hamba dengan Tuhan dalam sufisme Islam dikenal dengan manunggaling kawula lan gusti. Manusia harus selalu dalam hubungan dengan Tuhan dan alam semesta, serta menyadari dan melaksanakan konsekwensi dari kesatuan tersebut.

1.5.3. Kesenian, Karya Seni, dan Estetika Jawa-Islam