Asymmetric Information Theory Pecking Order Theory

18

3. Asymmetric Information Theory

Ketidaksamaan informasi menurut Brigham dan Houston 1999:35 dalam Saidi 2004 adalah situasi dimana manajer memiliki informasi yang berbeda yang lebih baik mengenai prospek perusahaan daripada yang memiliki investor. Asimetri informasi ini terjadi karena pihak manajemen mempunyai informasi yang lebih banyak daripada para pemodal. Sehingga pihak manajemen berpikir bahwa harga saham saat ini sedang overvalue terlalu mahal. Kalau hal ini yang diperkirakan terjadi, maka manajemen tentu akan berpikir untuk lebih baik menawarkan saham baru sehingga dapat dijual dengan harga yang lebih mahal dari yang seharusnya. Tetapi pemodal akan menafsirkan kalau perusahaan menawarkan saham baru, salah satu kemungkinannya adalah harga saham saat ini sedang terlalu mahal sesuai dengan persepsi pihak manajemen. Sebagai akibatnya para pemodal akan menawar harga saham baru tersebut dengan harga yang lebih rendah. Karena itu emisi saham baru akan menurunkan harga saham.

4. Pecking Order Theory

Teori ini dikenalkan pertama kali oleh Donaldson pada tahun 1961, sedangkan penamaan pecking order theory dilakukan oleh Myers 1984 dalam Saidi 2004 berdasarkan asumsi tentang perilaku keuangan perusahaan secara singkat teori ini menyatakan bahwa : a. Perusahaan lebih menyukai pendanaan dari sumber internal. 19 b. Perusahaan menyesuaikan target pembayaran deviden dengan peluang investasi. c. Kebijakan deviden bersifat sticky, fluktuasi profitabilitas dan peluang investasi berdampak pada aliran kas internal bisa lebih besar atau lebih kecil dari pengeluaran investasi. d. Bila dana eksternal dibutuhkan, perusahaan memilih sumber dana dari hutang karena dipandang lebih aman dari ekuitas. Ekuitas merupakan pilihan terakhir sebagai sumber dana untuk memenuhi kebutuhan investasi. Menurut Ross, et. al 2002 dalam Setiawan 2006, ada 3 implikasi dari pecking order theory yaitu : 1 Tidak ada tingkat leverage yang ditarget oleh perusahan. Berbeda dengan trade-off theory, dalam pecking order theory tidak terdapat tingkat leverage yang ditarget perusahaan. Masing-masing perusahaan menentukan tingkat leverage-nya berdasarkan kebutuhan finansialnya, bukan berdasarkan target yang ingin dicapai. Jika perusahaan menggunakan hutang dalam jumlah sedikit bukan berarti target leverage-nya rendah melainkan karena kebutuhan dana eksternalnya rendah dikarenakan dana sumber internal yang dimilikinya besar. 2 Perusahaan dengan profitabilitas tinggi akan menggunakan hutang yang rendah. Perusahaan yang mampu menghasilkan laba yang tinggi akan kurang membutuhkan pembiayaan dari luar. Akibatnya, perusahaan tersebut akan mempunyai tingkat hutang yang rendah. Hal ini berbeda dengan implikasi trade-off theory, yang menyatakan bahwa semakin tinggi 20 profitabilitas perusahaan, semakin besar kapasitasnya untuk menggunakan hutang sehingga akan cenderung memperbesar hutangnya untuk memperoleh manfaat penghematan pajak. 3 Perusahaan menyukai financial slack. Pecking order theory didasarkan pada asumsi sulitnya kinerja mendapatkan pembiayaan dengan harga yang masuk akal. Investor yang skeptis curiga berpikir bahwa harga saham overvalued jika manajer menerbitkan saham baru dalam jumlah besar, sehingga hal ini akan menyebabkan harga saham turun. Karena itu, perusahaan terlebih dahulu akan menggunakan hutang. Namun demikian, perusahaan hanya dapat menggunakan pembiayaan dari uang sebelum ia menghadapi kesulitan financial. Oleh karena itu, perusahaan menyukai financial slack, yaitu kondisi dimana perusahaan mempunyai jumlah kas internal yang besar, sehingga tidak tergantung pada pembiayaan eksternal. Mengacu pecking order theory, perusahaan lebih memilih menggunakan dana internalnya sebagai alternative awal untuk memenuhi kebutuhan investasi, hal ini untuk mereduksi masalah dan biaya yang menyertai pendanaan eksternal, yaitu adanya berbagai perjanjian dengan kreditor yang dapat membatasi keputusan pendanaan perusahaan di masa mendatang, serta adanya kecenderungan harga saham lama turun ketika perusahaan melakukan emisi saham baru. Suad Husnan 1996:325 sebagaimana dikutip oleh Anggraini 2008 hal ini disebabkan karena penerbitan saham baru akan menurunkan harga saham lama. Kedua, manajer khawatir kalau penerbitan saham baru akan ditafsirkan 21 sebagai kabar buruk oleh para pemodal, dan membuat harga saham akan turun. Hal ini disebabkan antara lain oleh kemungkinan adanya informasi asimetrik antara pihak manajemen dengan pihak pemodal.

2.2.4 Pengertian Struktur Modal dan Struktur Keuangan

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Struktur Modal Pada Perusahaan Food And Beverage Yang Go Public Di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 2006-2010

0 10 70

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRUKTUR MODAL PERUSAHAAN PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR GO PUBLIC DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2005-2007.

0 1 10

ANALISIS FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRUKTUR MODAL PADA PERUSAHAAN FOOD AND BEVERAGE YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI).

0 1 6

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRUKTUR MODAL PADA PERUSAHAAN FOOD AND BEVERAGES YANG GO PUBLIC DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2008 – 2011.

0 0 85

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRUKTUR MODAL PADA PERUSAHAAN FARMASI YANG GO PUBLIC DI BURSA EFEK INDONESIA.

1 2 76

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRUKTUR MODAL DALAM PERSPEKTIF PECKING ORDER THEORY PADA PERUSAHAAN FOOD AND BEVERAGE YANG GO PUBLIK DI BURSA EFEK INDONESIA.

0 3 88

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRUKTUR MODAL PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG GO PUBLIC DI BURSA EFEK INDONESIA

0 0 17

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRUKTUR MODAL PADA PERUSAHAAN FOOD AND BEVERAGE YANG GO PUBLIC DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2005 – 2008 SKRIPSI

0 0 20

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRUKTUR MODAL DALAM PERSPEKTIF PECKING ORDER THEORY PADA PERUSAHAAN FOOD AND BEVERAGE YANG GO PUBLIK DI BURSA EFEK INDONESIA SKRIPSI

0 0 14

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRUKTUR MODAL PADA PERUSAHAAN FOOD AND BEVERAGES YANG GO PUBLIC DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2008-2012

0 0 24