menggunakan APD secara sempurna, sedang 1 orang 50 petugas lainnya tidak menggunakan APD. Seharusnya petugas medis menggunakan APD berupa topihelm,
masker, pelindung mata, pakaian panjang, sepatu boot, sarung tangan khusus, sedang petugas non medis menggunakan APD berupa sarung tangan dan sepatu boot.
Dari wawancara didapati bahwa kurang tertibnya petugas dalam melindungi diri karena kurangnya perhatian dari koordinator tentang keselamatan petugas
pengelola limbah padat rumah sakit dan tidak adanya penyediaan Alat pelindung diri APD. APD ada yang hanya diberi sekali saat pertama kali masuk kerja, seperti
sepatu boot, sedang sarung tangan dan masker hanya diberi jika petugas meminta dan persediaannya ada pada saat itu. Oleh karena itu perlu adanya penertiban penggunaan
APD dengan cara peningkatan pemantauan oleh koordinator pengelola limbah padat dan perlu penyediaan APD yang cukup.
5.2.3 Penyimpanan Sementara
Penyimpanan sementara untuk limbah padat medis terdapat beberapa ember berwarna merah dan biru sebanyak 4 buah. Akan tetapi dalam prakteknya, tidak dapat
digunakan karena tidak mencukupi dalam menampung sementara sebelum di masukkan kedalam incinerator yang juga letaknya berada di dalam ruang incinerator
yang sering terkunci, sehingga waktu pengantaran limbah medis tidak dapat digunakan. Karena itu perlu dibuat wadah penampungan sementara yang dapat
memuat limbah medis yang diantar ke incinerator sebelum diolah dan ukurannyanya dapat disesuaikan dengan rata-rata limbah yang ada sesuai laporan tahun 2009.
Universitas Sumatera Utara
Penyimpanan limbah non medis juga tidak ada karena limbah non medis sebagian besar dibakar atau langsung dianngkut oleh DKK sehingga mencegah
tumpukan sampah dan bau. Sedangkan untuk limbah cair, sudah melalui proses IPAL, sehingga pelaksanaannya telah saniter.
5.2.4 Pembuangan dan Pemusnahan
Pada proses pembuangan akhir, limbah padat medis dibakar dengan insinerator dan limbah padat non medis diambil oleh Dinas kebersihan Kota untuk
dibawa ke TPA. Pada proses pelaksanaannya, sebagian limbah padat medis dibakar di bak penampung abu sehingga menimbulkan polusi udara di lingkungan rumah sakit.
Selain itu, suhu pembakaran yang kurang dari 1000 ÂșC tidak dapat menghancurkan semua bahan sitotoksik, pembakaran pada suhu rendah juga dapat menghasilkan uap
sitotoksik yang berbahaya ke udara. Hal ini terjadi karena tidak ada prediksi untuk kerusakan insinerator, dimana tidak masuk dalam perencanaan pengelolaan limbah
padat rumah sakit sehingga pada saat rusak tidak ada dana untuk menginsinerasikan limbah padat medis ke rumah sakit lain yang mempunyai insinerator. Sehingga perlu
adanya perbaikan perencanaan pengelolaan limbah padat yang lebih detil supaya dapat mencakup semua kebutuhan pengelolaan limbah padat.
Tempat pembuangan sementara TPS untuk limbah padat non medis seharusnya dilengkapi dengan saluran cairan lindi, harus kedap air, bertutup, dan
mudah dibersihkan. Pada proses pelaksanaannya, TPS yang ada di RSUD dr. Djasamen Saragih tidak ada dan hanya dibuang ke jurang di bagian belakang rumah
Universitas Sumatera Utara
sakit atau langsung diangkut oleh DKK. Pembuangan ke jurang dapat mencemari tanah dan air peermukaan tanah. Sebaiknya perlu adanya peningkatan monitoring
oleh koordinator untuk lebih menertibkan pengelolaan limbah padat rumah sakit dan penyediaan sarana yang memenuhi syarat.
5.3 Pengelolaan Limbah Cair
Pengolahan limbah cair di RSUD dr. Djasamen saragih mengunakan sistem HWWTP yang prinsip kerjanya berdasarkan proses lumpur aktif. Banyak jenis
polutan yang dijumpai dalam air limbah rumah sakit. Sebagian besar adalah bahan organick Untuk mengilangkan senyawa organik dalam air limbah perlu biaya
opersional sistem pengolahan biologis paling murah diantara banyak sistem pengolahan lainnya. Proses aerobik disebut lumpur aktif. Yang juga termasuk
didalamnya adalah Fluidized Bed Biofilm, Contact Aerasi,SBR sequence biological reactor, aerasi oksigen murni, Aerated lagoon dan deep shift aeration.
Dalam pengoperasiannya, IPAL memerlukan daya yang cukup besar untuk menggerakkan mesin dan pompa dalam proses pengolahan limbah. Daya yang
digunakan hanyalah dari PLN, sementara genset tidak dapat menjangkau kebutuhan IPAL. Sehingga pada saat PLN padam, bak FBBR yang memerlukan proses yang
terus-menerus tidak dapat berjalan dengan optimal.
5.3. 1 Saluran
Dari hasil Penelitian yang dilakukan pada unit pengolahan limbah cair di IPAL RSUD dr. Djasamen saragih, secara proses tidak ditemukan masalah berarti
Universitas Sumatera Utara
kecuali dalam hal perawatan unit pengelola limbahnya. Dilihat dari saluran yang telah terbuat dari bahan yang kedap air, tertutup dan dialirkan lancer ke bak pengumpul.
Juga pengolahan awal yang telah memenuhi syarat seperti pada pengolahan laundry dan dapur yang telah dilengkapi bak penangkap lemak dan penyaring limbag padat
kasar sehingga tidak menyumbat saluran air. Saluran air dari toilet dan kamar mandi langsung ke IPAL. Akan tetapi untuk limbah radiologi tidak dialirkan ke IPAL tetapi
dengan septic tank. Begitu juga untuk limbah laboratorium dan KBU dialirkan ke septic tank. Tetapi limbah dari ruangan-ruangan diallirkan ke IPAL dengan beberapa
bak control tiap-tiap sub unit di ruangan.
5.3.2 Pengumpulan Air Limbah
Pengumpulan limbah dari beberapa bak kontrol tersebut dialirkan ke bak pengumpul atau Lift station yang kemudian dialirkan dengan pompa ke bar screen
untuk memisahkan sampah atau limbah padat yang kemudian di bakar di incinerator. Permasalahan dalam tahap ini adalah sumbatan bahan padat atau sampah dan
limpahan air hujan yang turut masuk kedalam lift station karena terbuka sehingga jika tidak di kontol akan meluap keluar. Sumbatan pada pompa membuat air limbah sulit
untuk naik dan di alirakan ke bar screen. Untuk mengatasi masalah ini perlu dipantau terus air limbah dalam bak-bak
control sehingga tidak menggangu aliran air limbah selanjutnya. Mengatur debit alir air yang masuk ke lift station sehungga limbah tidak meluap.
5.3.3 Pengolahan Limbah
Universitas Sumatera Utara
Pada tahap awal pengolahan limbah yaitu pengadukan air limbah pada buffer basin sehingga limbah menjadi homogen dan kemudian di alirkan menuju FBBR
yang mengalami proses Aerobik dengan aerasi dengan pembiakan bakteri. Dalam proses ini bakteri perlu bahan makanan bakteri dan suhu yang harus dikontrol untuk
menjaga kualitas bakteri. Sehingga saat pengolahan secara biofilm ini keadaan atau kondisi bakteri sangat menentukan kualitas limbah. Jika bakteri tidak mendapat
kondisi yang baik bagi pertumbuhannya, dapat dipastikan proses penguraian dalam pengolahan limbah cair tidak berjalan optimal.
Petugas dalam hal pemantauan kondisi lingkungan bakteri di FBBR sangat penting dan perlu keterampilan khusus dalam menjaga agar tetap menjaga kondisi
pH, suhu dan makanannutrient yang diperlukan oleh bakteri. Kapan perlu kontak aerasi dan kapan perlu penambahan nutrient bagi bakteri biakan dan pemeriksaan
kualitas bakteri dengan mikroskop. Pengolahan dengan desinfeksi dilakukan pada tahap akhir pengolahan limbah
untuk membunuh bakteri pathogen sebelum di alirkan ke sungai Bah Bolon. Jika proses pengolahan tidak sempurna maka kemungkinan besar dapat memberi dampak
buruk pada masyarakat yang masih menggunakan air sungai dalam aktifitasnya.
5.3.4 Pembuangan Air limbah