terdapat 1 orang responden yang pencapaian kategori kemampuan sosialisasinya tidak sama yakni kemampuan sosialisasinya masih dalam kategori cukup.
Perbedaan kemampuan sosialisasi yang diperoleh tiap responden diakibatkan karena kemampuan kognitif masing-masing responden yang berbeda-
beda sehingga menghasilkan perilaku yang berbeda pula. Menurut teori kognitif yang dikemukan oleh Albert Bandura pada tahun 1960 dikutip dari Morissan,
2010, teori kognitif menjelaskan bahwa pemikiran dan tindakan manusia sebagai proses dari apa yang dinamakan dengan ‘tiga penyebab timbal balik’ triadic
reciprocal causation yang berarti bahwa pemikiran dan perilaku ditentukan oleh tiga faktor berbeda yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama
lainnya dengan berbagai variasi kekuatannya, baik pada waktu bersamaan maupun waktu yang berbeda. Ketiga penyebab timbal balik itu adalah perilaku,
karakteristik personal seperti kualitas kognitif dan biologis misal tingkat kecerdasan atau IQ, jenis kelamin, tinggi badan, umur atau ras, dan faktor
lingkungan atau peristiwa. Teori kognitif yang dikemukakan oleh Albert Bandura sejalan dengan
teori perilaku yang dikemukakan oleh Notoadmodjo 2003 yang menyatakan perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari
luar, namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karateristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Dengan perkataan lain bahwa
perilaku yang dihasilkan oleh seseorang dapat berbeda dengan orang lain yang dipengaruhi oleh fungsi kognitif yang diterima oleh orang tersebut.
2.4 Pengaruh TAKS terhadap Kemampuan Sosialisasi Responden
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh TAKS terhadap kemampuan sosialisasi responden yang dinilai dengan menggunakan uji statistik
paired t-test, ditunjukkan bahwa TAKS memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan sosialisasi responden. Hal ini terlihat dari nilai p = 0,000 p
0,05, yang artinya Ha diterima, yakni ada pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial di RSJD Provsu
Medan. Pengaruh yang dihasilkan dari kegiatan TAKS terhadap peningkatan
kemampuan sosialisasi responden menurut Keliat 2005 dikarenakan TAKS merupakan upaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan
masalah hubungan sosial. Menurut pendapat Supratiknya 1995, dalam Purba, 2009 yang menyatakan bahwa sebagian besar penderita skizofrenia mengalami
kekacauan dalam fungsi sehari-hari, baik dalam pekerjaan, hubungan sosial maupun kebiasaan merawat diri self care. Namun dengan dilakukannya
penanganan secara intensif, berupa pemberian berbagai latihan atau terapi, seperti terapi kerja, latihan keterampilan sosial dan sebagainya terhadap penderita
skizofrenia, terbukti dapat meningkatkan kemampuan keterampilan sosial dan menekan keadaan ketidakmampuan sosialnya.
Pendapat-pendapat tersebut sejalan dengan pendapat oleh Freedman, dkk. 1972, bahwa dalam hal mengatasi rasa takut dan tidak percaya diri para
penderita skizofrenia, diperlukan suatu kondisi terapeutik yang mendukung orientasi pada kenyataan atau realita dan yang mendorong ketertarikannya untuk
berhubungan dengan orang lain. Intervensi secara kelompok mendukung
Universitas Sumatera Utara
hubungan secara sosial para anggota satu sama lain yang didukung oleh terapis yang dapat memberikan pengalaman sosialisasi mereka.
Dari beberapa pendapat tersebut dijelaskan bahwa dengan latihan atau terapi kegiatan seperti terapi aktivitas kelompok yang merupakan salah satu terapi
atau latihan yang mengajarkan cara bersosialisasi yang baik kepada orang lain sehingga dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi seseorang.
Menurut Notoadmodjo 1993 perubahan perilaku atau kemampuan merupakan hasil belajar yang didasari adanya perubahan atau penambahan
pengetahuan sikap atau keterampilan. Belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang dihasilkan dari praktek-praktek dalam lingkungan
kehidupan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku dibentuk melalui suatu proses belajar dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan
lingkungannya. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang overt behaviour
Pada TAKS yang diberikan yang terdiri dari sesi 1 - 7, terdapat cara-cara bagaimana seseorang berinteraksi yang baik dengan orang lain dengan cara
memperkenalkan dirinya, berkenalan dengan anggota kelompok, bercakap-cakap dengan anggota kelompok, menyampaikan dan membicarakan topik percakapan,
menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada orang lain, bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok dan menyampaikan pendapat tentang
manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan Keliat, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Pelaksanaan TAKS pada penelitian ini didahului dengan pemberian Strategi Pertemuan SP Isolasi Sosial. SP Isolasi Sosial terdiri dari 3 SP yakni
SP 1 mengidentifikasi penyebab isolasi sosial, berdiskusi tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain, berdiskusi tentang kerugian tidak berinteraksi
dengan orang lain, mengajarkan cara berkenalan dengan satu orang, SP 2 memberikan kesempatan untuk mempraktekkan cara berkenalan dengan satu
orang dan SP 3 memberi kesempatan untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih Purba, 2008. Pemberian SP terlebih dahulu sebelum pelaksanaan TAKS
dapat melatih kemampuan sosialisasi responden dalam lingkup yang lebih kecil sebelum memasuki pada lingkup yang lebih besar seperti pada terapi aktivitas
kelompok. SP juga dilakukan agar dapat membantu responden dalam meningkatkan kepercayaannya kepada peneliti.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap karakteristik demografi yang dilakukan oleh peneliti di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah RSJD
Provsu Medan selama 10 hari terhadap 7 orang responden yang mengikuti kegiatan TAKS, diperoleh data yakni rata-rata umur responden berusia 34 tahun,
berpendidikan sampai pada jenjang SMU, tidak menikah, tidak bekerja dan lama hari rawat responden kurang dari 6 bulan .
Hasil penelitian mengenai kemampuan sosialisasi responden dengan menggunakan kuesioner pada saat sebelum pelaksanaan TAKS memperlihatkan
bahwa kemampuan sosialisasi responden mayoritas berada dalam kategori kurang, yakni sebanyak 5 orang responden 71,4. Sedangkan hasil penelitian
kemampuan sosialisasi responden setelah pelaksanaan TAKS yang diukur dengan menggunakan kuesioner yang sama, mayoritas terhadap seluruh responden
terdapat peningkatan kemampuan sosialisasi responden, yakni sebanyak 6 orang 85,7 berada dalam kategori baik.
Penelitian mengenai pengaruh TAKS terhadap kemampuan sosialisasi dapat terlihat dari nilai uji statistik yang telah diperoleh, bahwa nilai p = 0,000 p
0,05. Hasil uji statistik p lebih kecil dari nilai α 0,05, maka Ha diterima, yaitu ada pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan
sosialisasi responden.
Universitas Sumatera Utara