teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya Sobur, 2004:56.
Pada dasarnya, konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu : 1 konteks fisik physical context yang meliputi tempat
terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu, dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam
peristiwa komunikasi itu; 2 konteks epistemis epistemic context atau latar belakang pengetahuan yang samasama diketahui oleh pembicara maupun
pendengar; 3 konteks linguistik lingustics context yang terdiri atas kalimat kalimat atau tuturantuturan yang mendahului satu atau tuturan tertentu dalam
peristiwa komunikasi; 4 konteks sosial social context yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara penutur dengan
pendengar Syafi’ie, 1990; Lubis 1993:58; Sobur, 2004:57. Dalam teks berupa lirik lagu, dimana secara struktural terdiri atas
kalimatkalimat dan baitbait, maka konteks yang dapat digunakan dalam meng interpretasi tandatandanya yaitu dengan mengaitkan antara kalimat satu dengan
yang lain, sehingga akan diperoleh maknanya. Selanjutnya untuk mengetahu kandungan makna yang lebih dalam, perlu adanya mengaitkan teksteks tersebut
dengan konteks sosial di loar teks tersebut.
2.1.11. Model Roland Barthes
Salah seorang pengikut Saussure, Roland Barthes, membuat sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari tandatanda. Fokus perhatian
Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap two order of
signification seperti terlihat pada gambar berikut :
Gambar 2.2
Signifikasi Dua Tahap Barthes Sumber : Sumber : Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar
untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, 2004, hlm. 125.
Melalui gambar tersebut, Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan : signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di
dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutkan sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang
digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau
emosi dari pembaca serta nilainilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna subyektif atau paling tidak intersubyektif. Pemilihan katakata kadang
merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan” dengan
sign first order
reality culture
second order
Signifier Signified
conotation
myth denotation
“memberi uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana
menggambarkannya. Pada signifikansi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda
bekerja melalui mitos myth. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos
merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya : mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, dan sebagainya.
Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan Fiske, 1990:88; Sobur, 2004:128.
Pada dasarnya, semiotika yang dikembangkan Barthes memberikan perhatian khusus pada makna konotasi dan makna denotasi yang terkandung
dalam sebuah tanda. Dan dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilainilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu Budiman, 2001; Sobur, 2002:71. Nantinya,
Barthes akan menyebut makna konotasi ini sebagai ideologi Trifonas, 2003:v. Alasan Barthes memampatkan ideologi, dengan mitos karena, baik di
dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi Budiman, 2001:28. Seperti Marx, Barthes
juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup dalam dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas hidupnya yang sesungguhnya
tidak tidaklah demikian. Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya
di dalam SZ Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Kebudayaan mewujudkan dirinya melalui berbgai kode yang merembes masuk ke
dalam teks dalam bentuk penandapenanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lainlain Sobur, 2001:71.
Barthes menunjukkan bahwa mitos menaturalisasikan pelbagai perbedaan budaya, membuatnya universal, dan menjadikannya sebagai norma
norma sosial melalui pesonapesona retorisnya. Mitos mengeneralisasikan pengalaman demi menghasilkan konsensus tentang bagaimana kita menangkap
realitas, menghadapi kondisi kemanusiaan, dan bertindak untuk menunjukkan penghargaan terhadap pelbagai perbedaan dari orangorang lain sebagai satu
komunitas Trifonas, 2003:9.
2.2. Kerangka Pemikiran