dari perjuangan memperebutkan ‘hegemoni tanda’ di dalam media itu sendiri, khususnya ‘hegemoni gender’Sobur, 2004:39.
Representasi perempuan dan lakilaki secara kultural yang bias dalam berbagai mampu menciptakan berbagai bentuk stereotype pada diri perempuan
maupun lakilaki dalam pandangan masyarakat. Stereotype adalah pelabelan terhadap kelompok, suku, bangsa tertentu yang selalu berkonotasi negatif
sehingga sering merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Pelabelan atau penandaan yang dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin tertentu perempuan
akan menimbulkan kesan negatif yang merupakan keharusan yang disandang oleh perempuan. Stereotype merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender.
Dalam beberapa hal, masyarakat menghubungkannya dengan mitosmitos dan penafsiran agama yang salah, misalnya perempuan tempatnya fitnah,
mayoritas penghuni neraka, tidak sederajat dengan lakilaki, dan sebagainya, semakin memperpanjang daftar stereotype perempuan yang kemudian
disosialisasikan dari generasi ke generasi Mufidah, 2003:78.
2.1.6. Pandangan Feminis
Kata feminisme berasal dari kata Latin, femina perempuan yang mempunyai makna “memiliki kualitas perempuan” Arivia, 2006:412. Istilah
“feminis” pertama kali digunakan di dalam literatur Barat pada tahun 1880, yang secara tegas menuntut kesetaraan hukum dan politik dengan lakilaki Arivia,
2006:10. Gelombang kedua teori feminisme memberikan penjelasan umum tentang konsep fundamental penindasan terhadap perempuan dan respons
terhadap kritikkritik Marxisme. Pada tahap teori ini, pembahasan difokuskan kepada “perbedaan” yang diciptakan antara perempuan dan lakilaki yang terjadi
secara mengakar dengan dibahasakan “kodrati” Arivia, 2006:19. Sepanjang sejarah di belahan dunia patriarki seperti di Indonesia,
representasi isuisu perempuan di segala bidang politik, ekonomi, budaya, agama, dan sebagainya telah dikesampingkan dan ditolak di dalam wacana publik.
Sebagai perempuan, kita berbeda, namun juga sama dengan lakilaki. Ada kondisi umum yang membuat perempuan sama dengan lakilaki. Ada kondisi umum yang
membuat perempuan sama dengan lakilaki, namun ada pula kondisi khusus yang dimiliki perempuan yang membuatnya berbeda, tetapi bukan berarti untuk
dibedakan. Perbedaan dengan cara menilai positif adalah perbedaan yang melihat perempuan dengan nilai dan cara beradanya yang berbeda dengan lakilaki. Nilai
dan cara berada perempuan dikonstruksi dan dikondisikan oleh pengalaman pengalaman perempuan yang melahirkan, menyusui, merawat, dan mempunyai
tingkat kesensitifat serta kepedulian yang besar. Nilainilai perempuan didasarkan pada etika kepedulian yang kental melekat di dalam sistem cara pandang dunia
perempuan. Sedangkan perbedaan dengan cara menilai negatif adalah melihat nilainilai perempuan sebagai “yang lain” other. Sehingga dengan mudah terjadi
pengobyekan dan penindasan Arivia, 2006:46. Untuk menciptakan suatu dunia feminis, pertamatama yang harus
dilakukan adalah menyadari bahwa adanya kepalsuan dunia patriarkal yang mengintimidasi posisi perempuan sehingga mengakibatkan adanya ketidakadilan
terhadap perempuan. Ide dan struktur patriarki ini perlu dilawan dengan suara suara perempuan dan wacanawacana perempuan Arivia, 2006:112.
Hal yang pertama dilakukan untuk menciptakan kembali dunia yang mengusung feminitas adalah mengevaluasi kembali kualitaskualitas feminin. Hal
ini berarti terfokus pada duniadunia simbolis, mitos, imaji, dan bahasa. Usaha usaha dilakukan lewat penggalian budayabudaya feminin. Penempatan bahwa
bahasa itu penting dalam studi feminis sangat masuk akal. Dale Spender dalam tulisannya Language and Reality: Who Made the World?, sangat tegas
menunjukkan bahwa kelompok yang telah merekonstruksi realitas patriarkal adalah lakilaki. Kelompok dominan lakilaki ini telah merekonstruksi sejarah,
struktur, maknamakna simbolis yang menguntungkan lakilaki Arivia, 2006:113.
Pandangan feminis perlu menjadi sebuah pegangan dalam melihat segala bentuk tanda yang ada di sekitar kita, dan menerpa kita dalam berbagai macam
bentuk, terutama yang disebarkan melalui media massa. Berbagai bentuk ideologi patriarki yang menjelma dalam berbagai representasi akan menjadikan ideologi
tersebut semakin langeng. Namun melalui perspektif feminis, maka akan membantu kita untuk lebih peka mengidentifikasinya.
Dalam penelitian ini, peneliti menjadikan feminisme sebagai tolak ukur dalam mengidentifikasi nilainilai budaya patraiarki yang terrepresentasikan
dalam tandatanda yang terdapat di dalam obyek penelitian, yaitu sebuah lirik lagu, sehingga dapat melihat bagaimana nilainilai budaya yang dianut suatu
masyarakat, suatu kebudayaan, yang menempatkan perempuan pada kedudukan
tertentu serta melihat bagaimana nilainilai tersebut mempengaruhi hubungan
antara perempuan dan lakilaki dalam tingkatan psikologis dan budaya.
2.1.7. Pendekatan Semiotik dalam Ilmu Komunikasi