2.1.5. Representasi
Seorang ahli sosiologi dan antropologi Perancis, bernama E. Durkheim, beranggapan bahwa aktivitasaktivitas dan prosesproses rohaniah seperti:
penangkapan pengalaman, rasa, sensasi, kemauan, keinginan dan lainlain itu, terjadi dalam organisma fisik dari manusia dan khususnya berpangkal di otak dan
sistem syarafnya. Akal manusia mempunyai kemampuan untuk menghubung hubungkan prosesproses rohaniah yang primer tadi melalui prosesproses
sekunder, menjadi suatu hal yang khas, menjadi gagasan. Suatu gagasan serupa itu oleh Durkheim disebut representation Koentjaraningrat, 1990:211.
Pada tingkat dasar, representasi sekedar sesuatu yang direpresentasikan dengan bantuan sesuatu yang lain –umpamanya, warna hitam merepresentasikan
kematian, sedangkan warna hijau merepresentasikan kehidupan. Sehingga representasi dapat pula diartikan sebagai suatu wahana yang denganya dua hal
yang tak berkaitan dipersatukan untuk mengacu pada sebuah konsep Trifonas, 2003:63.
Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana suatu realitas atau objek ditampilkan? Apakah dengan penggambaran apa adanya atau diburukkan?
Hal tersebut tergantung pada ideologi apa yang melingkupi obyek yang direpresentasikan.
Representasi perempuan secara kultural dalam media massa dapat dipandang sebagai sosok yang mendukung kelanggengan konsep feminitas dan
maskulinitas, sehingga perempuan kerap ditampilkan dalam lingkup pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin semata. Bahwa sebagai seorang perempuan
selayaknya ahli dalam mengurus urusan rumah tangga, seperti: pandai memasak, pandai berdandan, mengurus anak dan suami, dan sebagainya.
Dalam karya sastra Indonesia, sosok wanita kerap muncul sebagai kehalusan, sesuatu yang bergerak lamban, bahkan kadang berhenti. Wanita,
sebagaimana digambarkan Herliany dalam Ibrahim dan Suranto, ed., 1998:56, begitu dekat dengan idiomidiom seperti keterkungkungan, ketertindasan, dan
bahkan pada ‘konsep’ yang terlanjur diterima dalam kultur masyarakat kita bahwa mereka adalah ‘objek’ dan bukan ‘subjek’Sobur, 2004:36.
Tubuh wanita dimuati dengan ‘modal simbolik’ ketimbang sekadar modal biologis. Tubuh wanita yang ‘ditelanjangi’ melalui ribuan varian sikap, gaya,
penampilan appearance dan ‘kepribadian’ mengkonstruksikan dan manaturalisasikan tubuhnya secara sosial dan kultural sebagai ‘objek fetish’
fetish object, yaitu objek yang ‘dipuja’ sekaligus dilecehkan? karena dianggap mempunyai kekuatan ‘pesona’ rangsangan, hasrat, citra tertentu. Singkat kata
“wajah” wanita di media massa masih memperlihatkan stereotip yang merugikan: perempuan pasif, bergantung pada pria, didominasi, menerima keputusan yang
dibuat oleh pria, dan terutama melihat dirinya sebagai simbol seks Sobur, 2004: 3839.
Sehingga dapat digambarkan bahwa dalam konteks gender, media menjadi sebuah arena bagi perjuangan ‘tanda’, untuk menempatkan tandatanda tertentu
maskulin pada posisi dominan, dan tandatanda lain feminin pada posisi marjinal. Artinya, perjuangan memperebutkan ‘hegemoni kekuasaan’ tercermin
dari perjuangan memperebutkan ‘hegemoni tanda’ di dalam media itu sendiri, khususnya ‘hegemoni gender’Sobur, 2004:39.
Representasi perempuan dan lakilaki secara kultural yang bias dalam berbagai mampu menciptakan berbagai bentuk stereotype pada diri perempuan
maupun lakilaki dalam pandangan masyarakat. Stereotype adalah pelabelan terhadap kelompok, suku, bangsa tertentu yang selalu berkonotasi negatif
sehingga sering merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Pelabelan atau penandaan yang dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin tertentu perempuan
akan menimbulkan kesan negatif yang merupakan keharusan yang disandang oleh perempuan. Stereotype merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender.
Dalam beberapa hal, masyarakat menghubungkannya dengan mitosmitos dan penafsiran agama yang salah, misalnya perempuan tempatnya fitnah,
mayoritas penghuni neraka, tidak sederajat dengan lakilaki, dan sebagainya, semakin memperpanjang daftar stereotype perempuan yang kemudian
disosialisasikan dari generasi ke generasi Mufidah, 2003:78.
2.1.6. Pandangan Feminis