Analisis Data METODOLOGI PENELITIAN

9 Karena wanita ingin dimengerti 10 Lewat tutur lembut dan laku agung 11 Karena wanita ingin dimengerti 12 Manjakan dia..dengan kasih saying Ketiga 13 Ingin kuajak engkau menari 14 Bermandi hangat cahaya bulan 15 Sebagai tanda kebahagiaan 16 Bagi semesta cinta kita Keempat 17 Bintang terang itulah dirimu 18 Janganlah redup dan mati 19 Aku dibelakangmu memeluk dan menjagamu Kelima

4.3. Analisis Data

Berdasarkan penyajian data, lirik lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti terbentuk atas seperangkat tanda verbal, yang terdiri atas rangkaian kata. Dengan ini, maka lirik lagu tersebut dapat dikatakan sebagai teks, karena dalam teori bahasa, apa yang dinamakan teks tak lebih dari himpunan huruf yang membentuk kata dan kalimat yang dirangkai dengan sistem tanda yang disepakati oleh masyarakat, sehingga sebuah teks ketika dibaca bisa mengungkapkan makna yang dikandungnya. Untuk membantu peneliti dalam menemukan makna yang terkandung dalam obyek penelitian, terlebih dahulu peneliti akan menempatkan tanda­tanda verbal dalam lirik lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti ke dalam bentuk leksia­ leksia. Leksia adalah sepotong bagian teks, yang apabila diisolasikan akan berdampak atau memiliki fungsi yang khas bila dibandingkan dengan potongan­ potongan teks lain disekitarnya. Sebuah leksia sesungguhnya dapat berupa apa saja: kadang hanya berupa satu­dua patah kata, kadang kelompok kata, kadang beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraf, tergantung ke­“gampangan”­nya saja: cukuplah bila leksia itu sudah dapat menjadi sesuatu yang memungkinkan kita menemukan makna Budiman, 2003:54. Berikut adalah leksia­leksia dalam lirik lagu Karena Wanita InginDimengerti : Leksia Baris Bait Karena Wanita Judul Judul Karena Wanita Ingin Dimengerti Judul Judul Lekuk indah hadirkan pesona Kemulyaan bagi yang memandang 12 1 Setiamu Simbol keanggunan khas perawan Yang…….kau miliki 34 1 Akulah pengagum ragamu 5 2 Tak ingin kumenyakitimu Lindungi dari sengat dunia yang mengancam Nodai…………..sucinya lahirmu 6, 78 2 Karena wanita ingin dimengerti Lewat tutur lembut dan laku agung 91110 3 Karena wanita ingin dimengerti Manjakan dia..dengan kasih sayang 12 3 Ingin kuajak engkau menari Bermandi hangat cahaya bulan Sebagai tanda kebahagiaan Bagi semesta cinta kita 13, 14, 15 16 4 Bintang terang itulah dirimu Janganlah redup dan mati Aku dibelakangmu memeluk dan menjagamu 16,17,18 5 4.3.1. Interpretasi Lirik Lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti dengan Model Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes Pada penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah kajian semiotik dengan menggunakan model signifikansi Dua Tahap yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Jadi dalam proses interpretasi sistem tanda pada lirik lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti yang menjadi obyek penelitian, peneliti akan menempatkan lirik lagu tersebut ke dalam tataran makna denotasi dan kemudian pada tataran makna konotasi. Dengan model tersebut, maka sistem tanda akan dikaitkan melalui dua ruang lingkup, yaitu realita dan budaya yang ada di luar teks berdasarkan konteks fisik, konteks epistemis serta konteks sosialnya. Berikut proses interpretasi lirik lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti dengan menggunakan model Signifikasi Dua Tahap yang dianalisis berdasarkan leksia­leksia yang telah peneliti tentukan pada bagian judul dan isi lirik lagu : A. Judul Lirik Lagu Interpretasi tanda pada lirik lagu ini diawali dengan memperhatikan judul pada lirik lagu. Judul lirik lagu memiliki peranan sebagai titik tolak dalam menjelaskan isi lirik lagu. Judul memberikan batasan tema yang dapat digunakan sebagai konteks dalam menginterpretasi isi lirik lagu, yaitu konteks lingustik. Kalimat Karena Wanita Ingin Dimengerti merupakan judul dari obyek penelitian ini. Kalimat Karena Wanita Ingin Dimengerti dapat dikatakan memiliki dua bentuk, yaitu Karena Wanita dan Karena Wanita Ingin Dimengerti, hal tersebut karena terdapat tanda baca kurung .. pada bagian Ingin Dimengerti. Berdasarkan fungsinya, tanda baca kurung mengapit huruf atau kata yang kehadirannya di dalam teks dapat dihilangkan Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 2005. Sehingga dari dua bentuk kalimat tersebut, dapat pula dijadikan sebagai dua leksia yang memiliki kemungkinan­kemungkinan makna yang berbeda. Selanjutnya untuk mengetahui makna pesan dari judul lirik lagu, maka kedua leksia tersebut akan dimasukkan ke dalam signifikansi dua tahap Roland Barthes, yaitu tataran pertama untuk mengetahui makna denotatif dan tataran kedua untuk mengetahui makna konotasi. Leksia Karena Wanita Signifikasi Pertama : Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan : signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutkan sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Pada tataran bahasa atau sistem semiologis tingkat pertama, penanda­penanda berhubungan dengan petanda­petanda pada tataran kedua. Makna denotatif pada dasarnya meliputi hal­hal yang ditunjuk oleh kata­ kata yang disebut sebagai makna referensial. Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam kamus Sobur, 2004:264. Leksia Karena Wanita, merupakan sebuah kalimat yang terdiri atas kata karena dan wanita. Berdasarkan Kamus besar Bahasa Indonesia, kata karena memiliki persamaan arti dengan susunan kata disebabkan oleh atau lantaran, serta memiliki fungsi sebagai kata penghubung untuk menandai sebab atau alasan. Sedangkan kata wanita, arti yang didapat ada beberapa bentuk. Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia, kata tersebut merujuk pada sosok perempuan dewasa. Namun dalam uraian lain, istilah ‘wanita’, bersumber dari istilah ‘vanity’, yang bermakna ‘yang diinginkan’ oleh kaum laki­laki atau ‘sebagai obyek pemuas’. Atau juga berasal dari istilah ‘vanity’, yang dalam bahasa Inggris berarti ‘kesombongan , keangkuhan atau kesia­siaan’. Periksan A. Prasetyo Murniati Sutjipto. “Kendala Struktural dan Kultural untuk Mewujudkan Kemitraan Perempuan dan Laki­laki”, dalam Hesti R. Wijaya, ed., Mewujudkan Kemitrasejajarn Pria­Wanita dalam Pembangunan Indonesia Malang: Penerbit IKIP Malang, 1995, hlm. 185. Pandangan lain yang semakna, diungkapkan bahwa kata ‘wanita’ dianggap berhubungan metatesis dengan kata ‘betina’, demikian pandangan Umar Junus dalam buku Dari Peristiwa ke Imajinasi Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 26 Kasiyan, 2008:24­25. Sedangkan dalam bahasa Jawa, kata ‘wanita’ itu, berasal dari kerata basa ungkapan bahasa, yakni ‘wani’ berani dan ‘tata’ aturan, yang artinya adalah ‘wani ditata’ berani diatur Kasiyan, 2008:109. Dari sekian uraian tentang arti kata wanita, dapat digeneralisasikan bahwa wanita merupakan sebuah penanda dari perempuan dewasa yang memiliki gambaran sebagai sosok yang diinginkan dan dapat diatur. Jadi secara denotasi, karena wanita merupakan sebuah ujaran atau ungkapan untuk menunjukkan alasan dari sebuah sebab mengapa seseorang dapat disebut sebagai perempuan dewasa, yakni seseorang yang memiliki penggambaran sebagai sosok yang diinginkan dan dapat diatur. Dengan adanya leksia ini sebagai judul lagu, maka dapat dipastikan isi dari lirik lagu pastilah merujuk pada sosok wanita saja atau bukan laki­laki, yaitu perempuan dewasa yang tidak peduli apapun peranan dan statusnya, apakah seorang ibu, mahasiswa, wanita karir, janda, istri, atau lainnya. Jadi segala pernyataan atau kalimat dalam isi lirik lagu jika dikaitkan dengan leksia ini, maka sudah pasti menyangkut diri wanita berdasarkan realita yang diwakili oleh arti kata tersebut, yaitu wanita yang diinginkan dan dapat diatur. Signifikasi Kedua : Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai­nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna subyektif atau paling tidak intersubyektif. Dalam mendapatkan makna konotasi pada setiap leksia, peneliti menggunakan bantuan lima kode pokok Roland Barthes, yaitu : kode hermeneutik, kode semik, kode proairetik, kode simbolik dan kode kultural atau kebudayaan. Selanjutnya, tanda­tanda pada tataran pertama pada gilirannya hanya akan menjadi penanda­pananda yang berhubungan pula dengan petanda­ptanda pada tataran kedua. Dan pada tataran kedua inilah mitos bercokol Barthes, 1983:114­ 115; Budiman, 2004 : 62. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan bantuan kode kultural untuk mengetahui kandungan mitos dalam setiap leksia. Dalam menentukan makna konotasi leksia ini, peneliti menggunakan bantuan kode semik dan kode kultural. Kode semik code of semes atau konotasi adalah kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk, atau “kilasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda­penanda tertentu. Pada tataran tertentu kode konotatif ini agak mirip dengan apa yang disebut oleh para kritikus sastra Anglo­Amerika sebagai “tema” atau “struktur tematik”, sebuah thematic grouping Barthes, 1990: 19. Kode semik terlihat pada kata wanita, berdasarkan makna denotasinya, maka secara konotasi, kata ini mengisyaratkan sebuah gambaran tentang sosok manusia yang disebut sebagai wanita atau perempuan yang dalam kebudayaan sebagian besar bangsa­bangsa di dunia kerap ditempatkan sebagai pemuas hasrat laki­laki semata dan dikenai berbagai aturan­aturan yang mengikatnya, baik itu perilaku, pemikiran, peranan dan sebagainya. Kode kultural cultural code atau kode referensial reference code terlihat dalam pemaknaan kalimat karena wanita. Kode kultural dapat dijumpai sebagai semacam suara kolektif atau anonim dan otoritatif; bersumber dari pengalaman manusia, yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang “diterima umum”. Kode ini bisa berupa kode­kode pengetahuan atau kearifan wisdom yang terus­ menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana Barthes, 1990: 18. Secara kultural dalam aktivitas sehari­hari, leksia ini biasa digunakan sebagai penanda identitas bagi sosok manusia yang dinilsi memenuhi karakteritik wanita atau perempuan berdasarkan konveksi yang berlaku dalam masyarakat. Pada umumnya kalimat ‘karena wanita’ muncul pada berbagai penuturan yang berkaitan dengan perihal tentang wanita, baik itu yang berkaitan dengan fisik, sifat, perilaku dan peranannya. Hal tersebut mengacu pada mitos sosok wanita pada masa­masa terdahulu yang secara budaya dinilai lebih layak disebut sebagai wanita, karena sifatnya yang patuh pada aturan­ aturan yang berlaku dalam masyarakat. Figur yang kerap menjadi acuan untuj menjadi seorang wanita adalah figur seorang putri­putri kerajaan yang pada umumny6a dalam pandangan masyarakat digambarkan sebagai wanita yang cantik, lemah lembut, anggun, menguasai segala hal pekerjaan domestik. Perempuan seharusnya adalah yang tidak rasional, yang pengasih dan penyayang, yang penurut dan tunduk pada aturan dan tradisi. Pemahaman semacam ini secara terus­menerus dituturkan dari generasi kegenerasi sehingga menjadi sebuah nilai­ nilai budaya yang harus dipatuhi oleh kaum wanita atau anak perempuan yang kelak menjadi seorang wanita. Dengan kalimat ‘karena wanita’, kaum wanita seolah­olah tidak memiliki otoritas memilih apa yang pantas untuk dirinya sendiri, identitas dirinya ditentukan atas dasar pandangan masyarakat yang beorientasi atas nilai­nilai tersebut. Berdasarkan hal ini, maka leksia karena wanita, dapat dikatakan mengisyaratkan sebuah bentuk penegasan atas penggambaran identitas sosok wanita atau perempuan yang dalam lirik lagu ini ditentukan oleh laki­laki sebagai penuturnya. Leksia Karena Wanita Ingin Dimengerti Signifikasi pertama : Leksia ini merupakan penggabungan dari leksia karena wanita dan kalimat ingin dimengerti. Kalimat ingin dimengerti tersusun atas kata ingin dan dimengerti. Berdasarkan Kamus besar Bahasa Indonesia, kata ingin memiliki persamaan arti dengan kata hendak, mau dan berhasrat. Sedangkan kata dimengerti yang memiliki kata dasar mengerti, mengacu pada sebuah pengertian kata kerja yaitu telah dapat menangkap memahami, tahu apa yang dimaksud oleh sesuatu, serta memiliki persamaan arti dengan kata paham. Dan oleh karena kata mengerti mendapatkan awalan di­, maka kata tersebut membentuk kata kerja pasif yang menjadikan obyek rujukan dalam kalimat, yaitu wanita dikenai tindakan. Makna denotatif yang tersusun dari leksia karena wanita ingin dimengerti, yaitu suatu ujaran yang menunjukkan alasan dari sebab seorang perempuan memiliki pengharapan agar orang lain memahami sosok dirinya. Signifikasi Kedua : Makna konotasi dari leksia ini dapat ditentukan berdasarkan kode hermeneutik, kode narasi, kode semik, kode simbolik dan kultural. Kode hermeneutik pada leksia Karena Wanita Ingin Dimengerti terlihat dari kemampuannya memunculkan rasa penasaran dari pembaca atau pendengar untuk lebih mengetahui tentang apa yang ingin disampaikan oleh penutur dalam lirik lagu sehubungan dengan kalimat tersebut. Leksia ini memunculkan pertanyaan­ pertanyaan sebagai berikut: apa yang ingin dimengerti pada wanita? dalam bentuk apa wanita ingin dimengerti? apakah memang itu yang ingin dimengerti pada diri wanita? Siapa yang mengerti wanita? bagaimana bisa mengerti wanita? berdasarkan apakah hal tersebut? Jawaban dari pertanyaan­pertanyaan tersebut tentunya dapat ditemukan pada isi lirik lagu. Berdasarkan pertanyaan­pertanyaan tersebut pula, maka dapat dikatakan bahwa dalam lirik lagu ini penutur yang dalam konteks adalah laki­laki, mencoba menguraikan alasan atau sebab mengapa perempuan merasa ingin dimengerti. Dengan ini maka dapat digambarkan pula bahwa penutur adalah sosok yang telah mengerti perempuan. Hal ini memunculkan sebuah konotasi bahwa laki­laki adalah sosok yang cenderung selalu berpikir lebih rasional dibandingkan wanita, sehingga dia selalu merasa mampu mengetahui dengan pasti apa saja keinginan wanita. Kode narasi terlihat dari adanya upaya penceritaan yang dilakukan oleh penutur tentang sosok wanita yang berdasarkan pengetahuannya dikenal selalu mengharapkan pengertian darinya. Hal ini menunjukkan bahwa di mata penutur atau laki­laki tersebut, wanita adalah seseorang yang penuh dengan hal­hal di luar kebiasaannya atau aneh, sehingga membuat laki­laki tidak mengerti, namun wanita selalu mengharapkan pengertian dari laki­laki mengapa dirinya seperti itu. Makna penceritaan ini adalah adanya gambaran sebuah penegasan bahwa antara laki­laki dan wanita memiliki perbedaan yang signifikan, baik fisik maupun mental. Hal ini merupakan bentuk pemahaman yang telah didapatkan baik laki­ laki maupun perempuan sejak kecil, seperti uraian berikut: Perbedaan fisik antara laki­laki dan perempuan, akhirnya membangun perbedaan­perbedaan psikologis. Perbedaan itu disosialisasikan dan dikuatkan melalui pembelajaran lingkungan Arif Budiman, 1982; Widyatama, 2006: 3. Pembelajaran tersebut dibentuk, diperkuat, disosialisasikan bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara Mansour Fakih, 2001; Widyatama, 2006:3. Oleh karena itu dalam pemahaman antara laki­laki dan perempuan terdapat sebuah jurang keterasingan yang membutuhkan pengertian satu sama lain, namun dalam beberapa kenyataan seringkali didapatkan sebuah situasi, dimana kaum perempuan selalu yang distereotipe­kan sebagai sosok yang selalu mengharapkan pengertian dari laki­laki atas kondisinya tersebut. Kode semik terlihat pada kalimat ingin dimengerti. Kalimat ini mengisyaratkan sebuah bentuk kepasifan, yang dalam konteks ini dilekatkan pada wanita atau perempuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa leksia ini menggambarkan wanita sebagai sosok yang pasif, yaitu sosok yang mengharapkan pemberian rasa pengertian dari seseorang yang berdasarkan konteksnya adalah laki­laki. Kode simbolik terlihat pada aspek kemenduaan yang dimunculkan oleh penempatan penutur, yaitu laki­laki dan obyek rujukan, yaitu wanita sebagai sosok yang aktif, karena bertindak sebagai pemberi perhatian atas keinginan wanita untuk mendapatkan pengertian, yang cenderung dapat dinilai sebagai tindakan pasif. Kode kultural terlihat pada aspek mitos bahwa wanita adalah makhluk yang sensitif dan perasa, sehingga ia selalu mengandalkan tuntutan untuk mendapatkan pengertian dari laki­laki. Hal itulah yang hendak ditunjukkan leksia ini. Dengan kata lain, leksia ini merupakan bentuk kompromi yang diberikan laki­ laki kepada perempuan. Di dalam masyarakat, kalimat karena wanita ingin dimengerti sangat akrab ditelinga kita, terutama bagi kaum laki­laki ketika kaum wanita ingin menuntut perhatian darinya. Namun hal tersebut juga kerap digunakan oleh kaum wanita sendiri sebagai upaya pembenaran atas sikap dan perilaku yang dilakukannya, padahal hal tersebut dapat merugikan kaum wanita itu sendiri, karena hal tersebut akan semakin memperkuat berbagai betuk stereotipe yang dilekatkan pada dirinya. Melalui leksia ini seolah­olah kaum wanita distereotipe­kan sebagai sosok yang cenderung lebih emosional dibandingkan laki­laki. Karena wanita terlihat hanya mampu memupuk pengharapan­pengharapan dan menerima kompromi dari laki­laki. Sedangkan laki­laki cenderung terlihat sebagai sosok yang bertanggung jawb dan rasional karena selalu dapat mengerti sosok wanita.

B. Isi Lirik Lagu Leksia lekuk indah hadirkan pesona, kemulyaan bagi yang memandang

Signifikasi pertama : Leksia ini terdiri atas dua kalimat, berdasarkan Kamus besar Bahasa Indonesia, maka leksia tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : Lekuk indah hadirkan pesona merupakan kalimat pertama yang memberikan gambaran tentang sesuatu benda berongga lengkung yang memiliki nilai keindahan karena keadannya yang membuat enak dipandang dan keadaan tersebut mampu memunculkan semacam mantra yang dapat membuat siapapun terpangaruh untuk memperhatikan dan memunculkan rasa kagum. Berdasarkan konteksnya, lekuk indah dapat diasosiasikan sebagai tubuh wanita yang pada umumnya dikatakan indah. Pada aktivitas sehari­hari, tubuh wanita kerap digambarkan dalam bentuk garis lengkung yang berkelok­kelok sehingga merepresentasikan bagian­bagian tubuh wanita yang menjadi titik fokus keindahan, seperti: pinggul, payudara, pantat dan lainnya. Sedangkan kalimat kemulyaan bagi yang memandang adalah kalimat kedua, yang merupakan kelanjutan dari kalimat pertama. Kalimat ini memberikan gambaran tentang besarnya nilai keindahan yang dimiliki oleh tubuh perempuan tersebut, dan dengan keindahan tersebut maka seolah akan menjadikan siapa saja memiliki derajat yang tinggi dan memiliki kedudukan yang terhormat jika melihatnya. Jadi secara denotasi, leksia ini memberikan sebuah gambaran tentang bagaimana bentuk nilai keindahan tubuh perempuan. Ungkapan­ungkapan seperti tubuh wanita sebagai sesuatu yang indah dan enak dipandang, tentunya sudah seringkali terdengar. Signifikasi kedua Dalam leksia ini terlihat adanya kode semik, kode simbolik, kode proairetik dan kode kultural. Kode semik terlihat pada kata lekuk indah. Kata yang secara denotasi mengacu pada tubuh perempuan, secara konotasi memberikan isyarat bahwa leksia ini menggambarkan tentang bentuk kecantikan. Pada diri perempuan, tubuh merupakan salah satu elemen dalam dunia kecantikan yang mendapat perhatian. Leksia ini menunjukkan karakteristik keindahan pada diri perempuan yang dinilai mampu menarik perhatian kaum laki­laki, yang secara kultural dapat diasosiasikan pada bentuk tubuh perempuan yang langsing dan seksi. Perempuan yang langsing dan seksi adalah perempuan yang mengagumkan dan layak mendapatkan perhatian. Kode simbolik terlihat pada aspek kemenduaan dari penempatan penutur laki­laki sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek. Hal ini berdasarkan atas kalimat­kalimat dalam leksia yang menunjukkan bahwa laki­laki memiliki otoritas dalam menentukan karakteristik perempuan, yaitu sosok yang memiliki tubuh indah dan kelayakan untuk dipandang sebagai wanita. Sedangkan wanita digambarkan sebagai sosok yang dinilai dan menjadi obyek tatapan, dengan dalih bahwa dirinya adalah sesuatu yang indah. Masalah tubuh dan kecantikan dalam kehidupan kita hampir tidak pernah lepas dalam setiap perbincangan, terutama bagi kaum wanita. Dengan adanya ungkapan­ungkapan di atas maka memunculkan sebuah pandangan di benak setiap perempuan bahwa memiliki tubuh yang indah, atau lebih dikenal dengan sebutan ideal, seakan menjadi suatu keharusan. Dengan ini maka tidak heran apabila sebagian perempuan ada yang secara khusus mengabdikan kehidupannya hanya untuk mengurusi tubuhnya, dan tidak heran pula bila dalam kehidupan kita, hampir setiap hari banyak bermunculan sejumlah produk kosmetik atau perawatan tubuh dengan segala cara, dimana media massa adalah sebagai agen sosialisasi utamanya. Meskipun perbincangan masalah tubuh ini bisa saja berlaku pada laki­ laki, tetapi sampai sejauh ini seringkali wacana tubuh selalu ditujukan kepada perempuan. Kode proairetik proairetic code merupakan kode “tindakan” action. Kode ini didasarkan atas konsep proairesis, yakni “kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional Barthes, 1990: 18”, yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia: tindakan­tindakan membuahkan dampak­dampak, dan masing­masing dampak memiliki nama generik tersendiri, semacam “judul” bagi sekuens yang bersangkutan Budiman, 2004:56. Kode ini juga disebut sebagai kode narasi, yaitu kode yang mengandung cerita Piliang, 2008:19. Dari aspek tindakan, leksia lekuk indah hadirkan pesona, tidak hanya memberikan pernyataan bahwa lekuk indah yang diasosiasikan dengan tubuh perempuan adalah sesuatu yang dapat memunculkan pesona, namun hal tersebut mampu memberikan implikasi tindakan bagi kaum perempuan untuk selalu menjaga bentuk tubuhnya sesuai dengan harapan kaum laki­laki yang memberikan standarisasi atas tubuh perempuan yang mampu mempesonanya. Dengan kata lain, wanita yang langsing dan seksi sama dengan wanita yang mempesona, karena berdasarkan konstruksi sosial yang berkembang dalam masyarakat, lekuk tubuh indah bagi wanita selalu diidentikan dengan tubuh langsing atau seksi suatu kondisi dimana wanita memiliki berat tubuh yang ideal dengan tinggi badannya serta ukuran­ukuran yang sesuai pada organ­organ tubuh yang dianggap menjadi pusat perhatian laki­laki. Leksia ini juga memberi arti bahwa ketika perempuan cenderung distereotipkan secara sosial, nilai lebihnya itu hanya terdapat pada daya tarik seksualnya, dengan indikasi terletak pada kecantikan, kemulusan, kesegaran, serta kemontokan tubuhnya, maka tanpa disadari, akhirnya perempuan didorong dan bahkan ‘dipaksa’ untuk memenuhi tuntutan tersebut, jika ingin mendapatkan penghargaan dari masyarakat, yang didominasi oleh sistem budaya patriarkis Kasiyan, 2008:275. Kode kultural dalam leksia ini terlihat dengan hadirnya mitos kecantikan yang selalu dilekatkan pada kaum perempuan. Sejak dulu penggambaran perempuan selalu dikaitkan dengan sosok seorang putri atau bidadari yang memiliki paras ayu, bertubuh langsing, gerakannya lemah lembut dan sebagainya, dan bagi siapa yang pernah melihatnya akan merasa mendapatkan sebuah keberuntungan yang membanggakan, terutama bagi seorang laki­laki. Dengan leksia ini, maka terlihat jelas adanya kekuatan mitos tersebut dalam membentuk citra perempuan di mata laki­laki. Sehingga dalam memandang perempuan, laki­ laki seakan memiliki kesepakatan yang sama dalam memberikan standart penilaiannya. Jika seorang perempuan telah memenuhi standar keindahan tubuh yang diharapkan kaum laki­laki pada umumnya, maka dia baru dapat pengakuan sebagai perempuan sesungguhnya, sedangkan jika tidak maka sebaliknya. Sepanjang sejarah, segala hal yang berkaitan dengan perempuan tidak pernah lepas dari penilaian serta penggambaran atas tubuh dan seksualitasnya. Hal tersebut dapat ditemukan dalam berbagai bentuk karya­karya seni budaya yang telah ada. Sebagai contoh, dalam karya seni budaya Jawa terdapat salah satu penggalan Serat Panistisan, gubahan Pakubuwana V, sebagai berikut. “Lamun mukiyaning wanudya. Tan lyan gemuhing kan payudara kalih. Ingema neng papreman”. Keutamaan bagi perempuan. tiada lain sintalnya kedua payudara. Untuk ditimang di ranjang tidur Kasiyan, 2008:111 Fenomena senada juga ditemukan pada artefak relief cerita “Ramayana” yang terpahat di candi Prambanan. Pada relief tersebut–sebagaimana diilustrasikan oleh Claire Holt dalam buku yang berjudul Art in Indonesian: Continuities and Change, yang kemudian diterjemahkan oleh R.M. Soedarsono menjadi Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia–yakni bahwa idealnya kecantikan perempuan itu, bisa digambarkan dengan bagus pada adegan saat Sita diculik, yang dirawat oleh penjaganya yang setia Trijata, yang mendengarkan Hanuman, yang telah mendapatkan jalannya ke wilayah Istana Rawana di Langka. Dengan duduk di atas bantal yang terletak di atas platform yang ditaburi bunga, lengan kananya di atas kasur yang tergulung. Sita merebahkan tubuhnya yang berpayudara kecil yang menggiurkan pada satu sisi. Hiasan kepalanya yang tinggi yang dikelilingi lingkaran bersinar, menambah sikapnya yang anggun dari kepalanya yang sedikit diangkat, yang berbeda sekali dengan Trijata yang berambut keriting dari suku raksasa manusia raksasa dari Rawana yang sedang berlutut dibelakangnya. Lengkung lengan kiri sang putri, yang sambil merebahkannya di atas tungkainya yang tertekuk, bahwa seribu tahun yang lalu, persis seperti sekarang, siku yang tertekuk sekali yang menyebabkan lengkung ke dalam dari lengan, dianggap sebagai penanda keindahan dan keanggunan Kasiyan, 2008:112. Maka tidak heran, jika hingga sekarang tubuh wanita juga masih memiliki stndart khusus untuk memenuhi nilai keindahannya. Sebagai contoh dalam setiap pemilihan putri kecantikan seperti yang masih kerap diadakan di beberapa negara bahkan di Indonesia sendiri. Dalam pegelaran pemilihan putri kecantikan tersebut, tubuh wanita memiliki pendisiplinan tersendiri. Hingga pada akhirnya para peserta yang terpilih memiliki keseragaman bentuk dan ukuran pada tubuhnya. Gambar 4.1 Tubuh Ideal Perempuan : Ilustrasi salah satu artikel tentang tubuh ideal perempuan yang menampilkan foto para finalis Miss Universe Sumber : Cita Cinta Edisi No. 21X14 – 18 Oktober 2009 Selain memberikan gambaran tentang standart tubuh perempuan yang bernilai indah, leksia ini juga memiliki konotasi bahwa perempuan adalah sosok yang layak sebagai obyek tatapan. Dengan menggunakan mitos wanita adalah makhluk yang indah sebagai dalih, tubuh perempuan kerap dimanfaatkan sebagai obyek tatapan untuk mendukung produknya, seperti yang digambarkan Alex Sobur sebagai berikut: Wanita diproyeksikan dalam media: iklan, halaman muka berbagai tabloid dan majalah hiburan, masih banyak yang memakai wajah dan bentuk badan wanita sebagai daya tariknya Sobur, 2004: 37. Hal tersebut juga dapat ditemkan dalam berbagai bentuk karya seni seperti: lukis, musik, fotografi dan lain sebagainya, yang menghadirkan penggambaran tubuh wanita yang dianggapnya indah dan mempesona sehingga layak untuk dipertontokan. Leksia setiamu simbol keanggunan khas perawan yang........kaumiliki, Signifikasi pertama: Leksia ini menggambarkan tentang kekaguman laki­laki penutur atas sifat setia yang dimiliki perempuan. Berdasarkan Kamus besar Bahasa Indonesia, setia memiliki arti yaitu berpegang teguh pada janji, pendirian dan sebagainya. Sifat setia yang dimiliki perempuan, menurut panutur merupakan suatu bentuk tanda yang menggambarkan adanya keadaan anggun dari kondisi perawan yang hanya dimiliki kaum perempuan Secara realitas, setia adalah sifat yang paling diidamkan bagi setiap individu dalam menjalin sebuah hubungan. Dengan sifat setia, maka masing­masing pasangan tidak akan merasakan kekhawatiran untuk kehilangan pasangannya, dan merasa memiliki satu sama lain. Sifat setia merupakan salah satu contoh sifat baik, sehingga seseorang yang bersifat setia adalah orang yang baik. Dalam leksia tersebut, sifat setia dikorelasikan dengan kondisi perawan yang dianggap istimewa pada diri seorang perempuan. Jadi secara denotasi dapat dikatakan bahwa perempuan yang setia atau yang baik adalah perempuan yang dapat menjaga dirinya agar tetap perawan hingga ia menikah nanti. Perawan merupakan sebuah kata yang digunakan untuk menyebutkan suatu kondisi perempuan yang masih murni karena belum pernah bersetubuh dengan laki­laki Kamus besar Bahasa Indonesia. Sedangkan dalam wikipedia juga disebutkan, secara umum, perawan juga direlasikan dengan kesucian. Dari segi fisik, perawan ditandai dengan utuhnya selaput dara yang berada pada daerah vagina. Dan hilangnya keperawanan biasanya disertai dengan keluarnya darah dari daerah vagina tergantung bentuk dan ketebalan selaput dara saat mengadakan hubungan seksual pertama kali. Pada beberapa bangsa di dunia, kondisi perawan pada diri perempuan yang belum menikah begitu sangat dipertahankan dan dijaga keberadaannya, karena hal tersebut sangat menentukan penilaian masyarakat akan diri perempuan yang bersangkutan. Berbeda dengan negara­negara yang menganut budaya pergaulan bebas, yang lebih cenderung tidak menganggap hal buruk pada perilaku persetubuhan laki­laki dan perempuan di luar ikatan pernikahan, selama hal tersebut dilakukan atas dasar sama suka suka dan kerelaan untuk melakukan dari masing­masing individu. Signifikasi kedua: Kode semik pada leksia terletak pada kata perawan. Perawan secara konotasi dapat dikatakan sebagai bentuk identitas normatif bagi kaum perempuan. Karena di dalam masyarakat, istilah perawan yang diidentikkan dengan perempuan, kerap dijadikan indikator nilai moralitas bagi seorang perempuan. Dalam berbagai agama, telah berkembang keyakinan bahwa hilangnya keperawanan sebelum pernikahan adalah hal yang sangat memalukan. Bahkan dalam ajaran Kristen, keyakinan akan Virgin Mary adalah fondasi kuat dalam menempatkan keperawanan sebagai hal penting dalam kehidupan. Secara tradisional di budaya Barat, cadar serta gaun putih juga dijadikan sebagai simbol keperawanan seorang pengantin. Pada sebagian besar masyarakat dunia, keperawanan seakan menjadi sebuah mitos tersendiri, terutama bagi para laki­laki dalam memilih seorang wanita yang ingin dijadikan pasangan hidupnya, jika si wanita sudah tidak perawan biasanya timbul opini negatif bahwa si perempuan bukan perempuan baik­baik atau juga karena memang sang laki­laki menginginkan pasangannya masih perawan dengan alasan tuntutan keluarga. Istilah keperawanan memang telah digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tak pernah berhubungan seksual. Keberadaan selaput dara yang utuh seringkali dijadikan bukti fisik dari keperawanan. Lebih jauh lagi, masyarakat di negara berkembang yang persepsi serta pengetahuan seksual pada umumnya rendah, keyakinan akan keperawanan ditandai dengan keluarnya darah merah pada saat malam pertama. Padahal kondisi tersebut belum sepenuhnya terbukti kebenarannya. Sehingga tidak jarang ditemui beberapa kasus, seperti para suami yang berani menceraikan istrinya jika ia tidak melihat darah perawan pada saat malam pertama. Kepercayaan masyarakat terhadap mitos keperawanan memberikan begitu banyak kerugian bagi kaum perempuan, seperti diskriminasi dan pelecehan hak pribadi sebagai seorang individu. Ironisnya, pengaruh mitos keparawanan dalam masyarakat begitu kuat terasa hingga masa sekarang, dimana suara­suara emansipasi antara laki­laki dan perempuan gencar dikumandangkan, tidak perduli dalam kondisi masyarakat yang seperti apa. Berikut contoh nyata kepercayaan masyarakat terhadap mitos keperawanan: Konon kabarnya di suatu daerah di Afrika telah menerbitkan sertifikat masih perawan. Untuk memperoleh sertifikat tersebut diperlukan tes atau pemeriksaan atas sang perempuan apakah benar masih perawan. Gambar 4.2 Tes Keperawanan : Salah seorang gadis Afrika yang telah lulus tes keperawanan akan diberi tanda pada keningnya dan mendapatkan sertifikat keperawanan Sumber : http:www.gaselnews.co.cc?p=13, 9 November 2009, 12:30 Hal serupa juga pernah hampir terjadi di Indonesia, yaitu di daerah Indramayu. Pada tahun 2007, bupati setempat bermaksud mengadakan sebuah tes keperawanan terhadap siswi­siswi SMU Indramayu Lampiran 2. Keinginan rencana tersebut terkait dengan beredarnya video mesum yang diperankan oleh siswa dan siswi salah satu SMU di Indramayu. Sang Bupati memberikan alasan bahwa dengan adanya tes ini, maka akan dapat diketahui kondisi keperawanan dari siswi­siswi SMU di Indramayu, dan jika ada yang terbukti tidak perawan lagi, maka akan dikenakan sangsi. Ironisnya, rencana ini juga mendapatkan persetujuan dari kepala Depdiknas dan Dinas Kesehatan Indramayu dengan memberikan kesediannya untuk turut terlibat dalam pelaksanaan tes tersebut. Meskipun pada akhirnya rencana itu tidak jadi terlaksana akibat tuntutan dari Direktur LBH Apik Jakarta, Estu Rakhmi Fanani yang menyatakan bahwa rencana kebijakan Bupati Indramayu tersebut merupakan bentuk diskriminasi perempuan dan bertentangan dengan konstitusi negara, serta melanggar pasal 17 UU 122005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak­hak Sipil dan Politik http:www.detiknews.comindex.phpdetik.readtahun2007bulan08 tgl16 time 12324 i, 23 Juni 2010. Pada tahun 2010 pun ternyata kondisi serupa terulang kembali, seperti diberitakan sejumlah media lokal di Jambi, bahwa ada sebuah wacana untuk melakukan tes keperawanan pada calon siswa yang dilontarkan pertama kali oleh anggota Komisi IV DPRD Provinsi Jambi, Bambang Bayu Suseno beberapa waktu lalu. Andai disetujui oleh anggota dewan yang lain, wacana itu rencananya bakal dirumuskan dalam raperda http:health.detik.comread20100926155349 1448810763perlukah­tes­keperawanan­untuk­masuk­sekolah?l99101755, 17 November 2010, 8:30 Wacana tersebut tentunya mendapat tanggapan yang kurang baik dan pertentangan, seperti yang dilakukan oleh Prof Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS, seksolog dari Universitas Udayana yang juga seorang pakar andrologi, menurutnya menjadikan tes keperawanan sebagai syarat untuk masuk sekolah sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia HAM. Gagasan tersebut dinilainya sangat diskriminatif, sebab tes semacam itu tidak bisa dilakukan pada murid laki­laki. Peristiwa­peristiwa tersebut dengan jelas menggambarkan bagaimana sudut pandang masyarakat tentang mitos keperawanan, yang dengan tegas memberikan pelabelan negatif terhadap perempuan, karena penilaian baik buruk perempuan hanya dilihat dari statusnya yang masih perawan atau sudah tidak perawan, terlebih lagi hal tersebut dilakukan berdasarkan indikasi secara fisik. Kode kultural dalam leksia tersebut ditunjukkan dengan penggambaran adanya mitos keperawanan yang masih dilekatkan pada perempuan. Bahkan dalam hal ini keperawanan dihubungkan dengan kesetiaan seorang perempuan. Dalam pandangan masyarakat secara umum, kondisi perawan pada diri perempuan dianggap sangat istimewa. Secara konotasi, istilah istimewa atau khas di sini merupakan suatu hal yang tidak bisa diterapkan kepada yang lainnya, dalam konteks ini adalah kaum laki­laki. Dengan adanya pandangan tersebut yang tercermin dalam leksia ini, maka semakin menegaskan pendapat umum apabila keperawanan pada diri perempuan masih selalu dianggap dapat dibuktikan secara fisik, berbeda dengan keperjakaan pada laki­laki. Oleh karena itu, keperjakaan yang dimiliki laki­laki tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang khas karena tidak pernah dipermasalahkan. Jadi dalam leksia ini, sifat setia pada diri perempuan yang dikagumi kaum laki­laki sebagai pihak penutur, merupakan bentuk kesewenangan kaum laki­laki terhadap perempuan. Laki­laki mengharapkan bahwa kaum perempuan memiliki sifat setia untuk menjaga agar tetap perawan hingga nantinya mereka menikahimu. Dengan leksia ini laki­laki mencoba menekankan sebuah pandangan bahwa perempuan yang masih perawan hingga menikah adalah perempuan ‘baik­ baik’ yang pantas dijadikan seorang istri. Secara kultural, mitos keperawanan ini sangat melekat pada masyarakat patriarki, terutama pada masyarakat yang melarang keras hubungan ‘bersetubuh’ diluar ikatan pernikahan, sesuai dengan norma agama yang berlaku. Perempuan yang dianggap tidak perawan lagi sebelum menikah, sudah dapat dipastikan akan mendapatkan predikat sebagai perempuan ‘nakal’ atau bodoh serta berbagai hinaan serupa lainnya, dan meskipun itu merupakan salah satu perbuatan amoral, tetapi hinaan atas kesalahan tersebut kerap hanya dibebankan pada kaum perempuan saja. Jadi secara keseluruhan leksia ini memberikan bentuk gambaran tentang adanya nilai­nilai budaya yang terus berkembang dan diyakini dalam masyarakat selama ini, bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang masih memiliki keperawanannya hingga waktu dia menkah nanti, hal itu sangat utama karena dapat menentukan kualitas kesetiaan yang dimilikinya. Leksia Akulah pengagum ragamu Signifikasi pertama : Berdasarkan gramatikanya, akhiran –lah pada kata akulah merupakan bentuk terikat yang digunakan untuk menekankan makna kata yang didepannya. Dengan begitu, leksia ini dapat diartikan : Sang Laki­laki akupenutur kalimat tersebut memberikan penekanan bahwa dirinya adalah seseorang yang sangat mengagumi tubuh perempuan mu. Sedangkan yang dimaksud mengagumi adalah sebuah bentuk perilaku berdasarkan sifat kagum, yaitu perasaan takjub dan heran yang diikuti rasa memuji Kamus besar Bahasa Indonesia Rasa kagum, muncul ketika indera penglihatan kita melakukan kontak dengan suatu objek yang dirasa memiliki nilai lebih bagi seseorang. Jadi jika seorang laki­laki mengatakan bahwa dia adalah pengagum tubuh perempuan, maka ketika dia melihat sosok perempuan, hal utama yang menjadi pusat perhatiannya adalah tubuhnya semata. Sehingga secara denotasi, leksia ini menggambarkan pula sebuah penegasan bahwa sebagai seorang laki­laki, tubuh perempuan merupakan hal yang paling menonjol diantara keseluruhan dari diri perempuan atau di mata mereka perempuan hanyalah sosok manusia yang memiliki mengagumkan. Signifikasi kedua : Leksia tersebut dapat memberikan konotasi bahwa dengan menunjukkan diri sebagai pengagum tubuh perempuan, penutur laki­laki tersebut juga telah menunjukkan kuasanya atas tubuh perempuan. Hal ini dapat dilihat dengan menggunakan kode hermeneutik, kode proairetik dan kode kultural. Kode hermeneutik dalam leksia tersebut terlihat dengan memunculkan pertanyaan­ pertanyaan, seperti : Siapa yang tidak senang memiliki pengagum? Bagaimana caranya supaya bisa mengagumkan? Apakah tubuh ini sudah mampu mengagumkan para laki­laki? Apakah setiap tubuh perempuan dapat mengagumkan laki­laki? Dengan adanya pertanyaan­pertanyaan tersebut dapat mengungkapkan gambaran bahwa pada kenyataanya, tidak semua tubuh perempuan dapat mengagumkan dan menarik perhatian kaum laki laki, bahkan dalam masyarakat secara umum terdapat semacam kriteria ideal bagi tubuh perempuan yang dianggap mengagumkan. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai bentuk penggambaran hubungan timbal balik antara perempuan dan laki­laki dalam media massa. Bila kita menyaksikan sejumlah media, baik di majalah maupun televisi, tubuh yang langsing, putih dan rambut hitam lurus, hampir menjadi standar yang umum untuk menyatakan idealitas tubuh perempuan yang mampu menarik perhatian laki­laki. Hal ini seolah­olah menjadi suatu asumsi, “Kalau anda ingin mendapatkan perhatian laki­laki, maka miliki tubuh yang ideal dan cantik, jadikanlah tubuh anda itu langsing, kulit anda menjadi putih, dan jadikan rambut anda itu lurus panjang dan lembut.”. Dari sini, maka kode proairetik leksia tersebut juga terlihat, terutama dalam aspek tindakan. Dengan ini, selanjutnya kaum perempuan lebih cenderung disibukkan oleh hal­hal yang berhubungan dengan masalah penampilan fisiknya. Mereka terus berupaya memenuhi standar idealitas dari tubuhnya agar memenuhi keinginan kaum laki­laki, supaya menjadi pengagumnya. Dengan kata lain, secara tidak sadar, kaum perempuan telah terperangkap ke dalam mitos pemujaan yang dikatakan oleh kaum laki­laki, yang mendorong kaum perempuan untuk selalu memperhatikan tubuhnya jika ingin selalu memperoleh kekaguman dari kaum laki­laki. Maka tidak heran pula jika dalam beberapa kesempatan, tubuh perempuan kerap digunakan sebagai pemenuhan kepuasan kaum laki­laki sebagai obyek tatapan. Kode simbolik terlihat pada aspek kemenduaan dari penempatan penutur laki­laki sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek. Dalam leksia ini, penutur bertindak sebagai sosok yang menguasai karena melakukan tindakan­ tindakan aktif seperti, melihat, menilai, memuja dan menikmati tubuh perempuan. Sedangkan perempuan digambarkan sebagai sosok yang memiliki tindakan pasif sebagai obyek yang dipuja, dinilai, dilihat dan dinikmati. Kode kultural dari leksia ini terlihat dengan adanya mitos kecantikan yang dilekatkan pada perempuan. Berdasarkan mitos kecantikan, perempuan selalu dipersepsikan sebagai makhluk yang indah atau cantik dan hal itu sangat disukai oleh kaum laki­laki, maka tidak heran jika kaum laki­laki kerap menyatakan diri sebagai pengagum tubuh perempuan hingga kerap menyetarakannya dengan obyek seni yang layak untuk dinikmati dan dikagumi. Namun hal tersebut memberikan konotasi bahwa perempuan telah berada dalam kuasa laki­laki. Dengan adanya pujian semacam ini, maka dalam benak kaum perempuan akan tertanam sebuah pemahaman untuk selalu merawat tubuhnya agar dapat terjaga keindahannya dan memberikan kekaguman bagi kaum laki­laki. Leksia tak ingin kumenyakitimu, lindungi dari sengat dunia yang mengancam nodai.........sucinya lahirmu Signifikasi pertama : Pada kalimat pertama, leksia ini memberikan gambaran bahwa sebagai seorang laki­laki, dia tidak mempunyai maksud untuk menyakiti perempuan. Sedangkan pada kalimat kedua, akhiran –i pada kata lindungi berfungsi membentuk kata verba dan menyatakan makna menyebabkan jadi, sehingga kalimat tersebut memberikan gambaran bahwa laki­laki penutur akan menjadikan perempuan tersebut berada di bawah di balik, di belakang ­nya supaya tidak tersentuh oleh hal­hal di dunia yang dapat memiliki maksud niat, rencana untuk melakukan sesuatu yang merugikan, yaitu dengan mencemari kemurnian tubuh perempuan Kamus besar Bahasa Indonesia. Jadi secara denotasi, leksia ini memberikan sebuah gambaran bahwa bagi perempuan dunia ini begitu membahayakan terutama dalam hal seksualitasnya, yakni keprawanannya. Namun hal itu tidak perlu dirisaukan, karena sebagai seorang laki­laki adalah menjadi sebuah kewajiban bahwa ia harus menjadi pelindung bagi kaum perempuan. Sedangkan bagi perempuan sudah selayaknya mendapatkan perlindungan dari setiap laki­laki yang ada disekitarnya, karena perempuan adalah makhluk yang lemah dan rentan terkena bahaya. Signifikasi kedua : Kode semik pada leksia ini terlihat pada fokus perhatian penutur laki­ laki terhadap kesucian lahiriah perempuan atau keperawanan, yang dalam hal ini dapat memberikan gambaran bahwa keperawanan perempuan merupakan hal yang paling dikultuskan atau keutamaan dalam pandangan kaum laki­laki. Kode simbolik tampak pada kemunduaan dari penggambaran penutur yang bertindak aktif dengan karakteristik maskulinitas, yakni melindungipelindung dan perempuan yang pasif dengan karakteristik feminitas, yakni yang dilindungi. Hal tersebut membawa kita pada makna konotasi bahwa kaum laki­laki kerap menunjukkan diri sebagai sosok yang cenderung lebih superior dibandingkan perempuan. Laki­laki selalu merasa memiliki kuasa menentukan sikap dan tindakannya terhadap perempuan. Sedangkan berdasarkan kode kebudayaan, leksia ini dapat dikatakan berangkat dari mitos­mitos masyarakat tentang penokohan laki­laki dan perempuan dalam beberapa kisah­kisah, baik yang berhubungan dengan sejarah, dongeng atau legenda rakyat. Dalam beberapa kisah tersebut, laki­laki selalu cenderung digambarkan sebagai sosok yang kuat serta gagah berani, dan siap menolong orang­orang lemah, seperti perempuan yang kerap digambarkan sebagai putri yang cantik dan lemah lembut, suci. Salah satu contoh yang sesuai dengan mitos tersebut adalah kisah Cinderella yang selalu ditindas dan menerima ketidakadilan perilaku dari ibu serta saudara­saudara tirinya. Namun berkat kehadiran seorang pangeran yang tertarik dengan kecantikan, sifat lembut dan kebaikkannya, pada akhirnya Cinderella pun dapat terbebas dari penderitaannya dan dapat hidup bahagia sebagai seorang putri di istana. di negar kita, cerita cinderella hadir dalam versi penokohan yang berbeda yakni Bawang Merah dan Bawang Putih. Akan tetapi dari segi cerita, keduanya memiliki kesamaan. Sebenarnya, masih banyak cerita­cerita lain yang memiliki keserupaan penggambaran laki­laki sebagai pelindung perempuan yang telah kerap diperdengarkan kepada kita sejak anak­anak, seperti : kisah putri salju Snow White, Putri tidur Sleeping Beauty, Putri dalam Menara Rapunzell dan lain sebagainya. Mitos kepahlawanan dan sifat kesatria selalu diidentikan pada kaum laki­ laki. Hal ini telah mendarah daging pada pandangan kaum laki­laki, bahwa sebagai seorang laki­laki dia tidak boleh lemah, dia harus menjadi sosok pelindung bukan dilindungi. Sedangkan perempuan adalah makhluk yang lemah dan patut untuk selalu dilindungi. Selain itu dalam leksia ini, kode kebudayaan juga terlihat dengan adanya penggambaran perempuan sebagai sosok yang lemah dan rentan dengan bahaya pelecehan seksual. Keperawanan yang secara kultural menjadi Di Vagina Monologue disebutkan bahwa hampir semua perempuan pernah mengalami pelecehan seksual, dan hampir semua perempuan pernah. Kata “perempuan” di sana mengacu kepada semua perempuan, berapapun umurnya, apa pun rasnya, apa pun kelasnya, latar belakang pendidikannya. Seorang perempuan adalah korban potensial pelecehan sesual Prabasmoro, 2006:78. Leksia Karena wanita ingin dimengerti, lewat tutur lembut dan laku agung Signifikasi pertama : Leksia ini merupakan ujaran untuk menunjukkan bahwa dalam memahami kaum wanita, maka dapat dilakukan dengan perbuatan seperti : bertutur lembut, tidak keras dan tidak kasar kepadanya, serta memperlakukan dia dengan cara yang mulia atau seperti yang telah ada dalam masyarakat sebelumnya bagaimana selayaknya memperlakukan wanita. Dalam aktivitas sehari­hari, tentunya kita pernah mendengar beberapa ujaran seperti : ladies first; jangan kasar kalau bicara dengan perempuan; bagi para perempuan, sebaiknya mengerjakan yang ringan saja; dan lain sebagainya. Beberapa contoh ujaran tersebut, oleh sebagian besar masyarakat biasanya dipahami sebagai cara­cara memperlakukan perempuan dengan baik, meskipun tidak ada aturan terulis. Pandangan bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah lembut dan sensitif mudah tersinggung merupakan salah satu alasan mengapa perempuan selayaknya diperlakukan dengan lembut pula, terutama dalam bertutur kata kepada mereka. Signifikasi kedua : Leksia ini secara konotasi dapat diartikan berangkat dari stereotip kultural yang selalu memandang perempuan sebagai sosok yang lemah lembut dan cenderung menerima segala sesuatu hanya berdasarkan perasaan semata. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya kode hermeneutik yang terdapat pada leksia, yakni : mengapa kita harus bertutur lembut kepada perempuan? dan jawabannya ada pada bagian leksia yaitu kalimat ‘karena wanita ingin dimengerti’, selanjutnya : dimengerti karena apa? Karena wanita adalah makhluk yang lembut hatinya, perempuan mudah terbawa emosi dan sentimentil. Rangkaian jawaban dan pertanyaan di atas dapat pula menjadi kode proairetik sekaligus kode kebudyaaan dalam leksia tersebut yang menggambarkan hadirnya sebuah mitos feminitas yang telah lama ada dalam pandangan masyarakat bahwa perempuan adalah sosok yang lemah lembut hati dan perilakunya. Dengan adanya mitos tersebut maka muncullah pemikiran bagaiman memperlakukan kaum perempuan. Leksia karena wanita ingin dimengerti, manjakan dia...........dengan kasih sayang Signifikasi pertama : Diawali dengan menganalisis kata manjakan, akhiran –kan pada kata manjakan berfungsi membentuk kata kerja, sedangkan kata manja dalam kamus besar Bahasa Indonesia, memiliki arti pada kelakuan yang kurang baik, karena manja merupakan sifat seseorang yang selalu memiliki keinginan untuk selalu dituruti kehendaknya. Jadi, kalimat manjakan dia.........dengan kasih sayang pada bagian leksia ini merupakan suatu ujaran untuk melakukan suatu perbuatan yaitu memperlakukan seseorang secara manja, yang dalam konteks ini dia adalah perempuan, dengan melakukannya melalui cara selalu memenuhi kehendaknya tersebut melalui perasaan penuh cinta. Secara umum, kata manja kerap dilekatkan pada golongan perempuan dan anak­anak bukan laki­laki. perlakuan manja dan sifat manja, jika dilekatkan pada laki­lai akan berubah menjadi ejekan. Oleh karena itu, ujaran manjakan dia memiliki korelasi erat dengan kalimat lain dalam bagian leksia tersebut yakni : karena wanita ingin dimengerti. Signifikasi kedua : Seperti halnya pada leksia sebelumnya, pada leksia ini juga terlihat adanya penggunaan kode proairetik dan kultural yang menggambarkan perempuan dalam stereotip kultural yang melekat padanya. Melalui ujaran manjakan dia, perempuan kembali diidentikan sebagai sosok yang harus dimanja, dan cenderung memiliki sifat manja. Berbeda dengan kaum laki­laki, jika laki­laki secara kultural tidak pantas mendapatkan bahkan memiliki sifat yang manja. Laki­laki bukanlah sosok yang manja. Sedangkan perempuan, dengan sifatnya yang manja cenderung mendapatkan pandangan yang negatif, dan dianggap memiliki karakter yang lemah. Namun di sisi lain, sifat manja pada diri perempuan tersebut dinilai sebagai sesuatu yang wajar meskipun oleh seagain orang digolongkan sebagai sifat yang buruk dan menganggu serta tidak pantas. Maka tidak heran jika muncul ungkapan­ungkapan dalam masyarakat, seperti: Karena dia wanita maka tidak heran jika sikapnya manja sekali. Leksia ingin kuajak engkau menari, bermandi hangat cahaya bulan, sebagai tanda kebahagiaan, Bagi semesta cinta kita Signifikasi pertama : Leksia ini terdiri atas tiga kalimat yang saling berkesinambungan. Kalimat pertama menggambarkan bahwa seorang laki­laki memiliki maksud untuk menturutsertakan seorang perempuan atau wanita menari bersamanya. Dalam kamus besar Bahasa Indoenesia online, menari memiliki arti menggerakkan anggota tubuhnya seiring irama bunyi­bunyian atau musik. Aktivitas menari secara umum diidentikkan suasana yang senang dan gembira, karena kegiatan ini kerap dijumpai pada acara­acara suka cita, seperti pada pesta­pesta perayaan. Selanjutnya, aktivitas menari tersebut berada pada kondisi yang digambarkan pada kalimat kedua. Kalimat kedua memiliki bentuk kalimat yang mengandung majas metafora, yaitu merupakan pemakaian kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Majas metafora terletak pada kalimat bermandi hangat cahaya bulan. Secara denotasi, kalimat ini dapat diartikan sebagai suatu kondisi atau situasi yang dipenuhi dengan sinar terang dari cahaya bulan yang terasa hangat ketika menyentuh tubuh Kamus besar Bahasa Indonesia. Pada leksia ini, kalimat kedua ini merupakan lukisan dari apa yang terdapat pada kalimat tiga dan empat. Kalimat tiga dan empat, yakni sebagai tanda kebahagiaan, bagi semesta cinta kita, jika dikorelasikan dengan kalimat pertama dan kedua maka menjadi, bahwa penutur mengajak objek rujukan yaitu perempuan untuk dapat mengungkapkan perasaan bahagianya atas kehidupan rasa cinta yang mereka miliki dengan tarian­tarian yang indah seperti berada di bawah sinar terang cahaya bulan yang terasa hangat di tubuh. Signifikasi kedua : Dalam menentukan makna konotasi leksia ini, peneliti menggunakan bantuan kode semik, kode simbolik dan kode kultural. Kode semik terlihat pada kandungan konotasi pada kata menari. Berdasarkan makna denotasinya, maka konotasi kata menari memberikan pengertian sebuah situasi perasaan yang menyenangkan, kegembiraan, keceriaan bahkan kebebasan, karena dalam menari, pada dasarnya tidak ada aturan secara baku untuk melakukan gerakan­gerakannya, semua tergantung dari apa yang ingin diekspresikan dalam tarian tersebut. Jika dalam leksia ini penutur memiliki maksud untuk mengajak perempuan menari, maka dalam hal ini penutur digambarkan telah memiliki perasaan yang menyenangkan tersebut terlebih dahulu. Dalam masyarakat patriarki, kaum laki­laki memang telah memiliki kebebasan dalam bertindak dan menentukan pilihannya. Hal tersebut adalah sesuatu yang paling menyenangkan bagi manusia. Berbeda dengan perempuan, sepanjang sejarah mereka selalu terikat dengan berbagai norma­norma yang membatasi ruang geraknya bahkan haknya sebagai manusia dalam menentukan sikap dan pilhannya. Kode simbolik terlihat pada pertentangan dua unsur yang digambarkan pada penempatan laki­laki penutur yang bersikap aktif dengan memiliki maksud mengajak perempuan untuk menari. Sedangkan perempuan lebih ditempatkan sebagai sosok yang pasif. Pada kode kultural, leksia ini lebih memiliki makna yang bersifat menggeser mitos tanda maskulinitas yang melekat pada kaum laki­laki dalam masyarakat. Hal tersebut terlihat pada kegiatan menari yang ditawarkan pada kaum perempuan. Secara kultural, kegiatan menari kerap diidentikan kepada perempuan, namun dalam leksia ini laki­laki berperan sebagai pencetus aktivitas tersebut, maksudnya kegiatan menari bukanlah milik kaum perempuan semata dan bukan hal yang memalukan jika aktivitas menari tersebut juga dilakukan oleh kaum laki­laki. Setiap manusia bebas berekspresi sesuai dengan caranya masing­ masing. Kaum laki­laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam mengekspresikan kegembiraannya secara bebas. Berdasarkan kode kultural tersebut pula, maka leksia ini memiliki konotasi sebagai pesan kesetaraan gender. Leksia ini memberikan sebuah gambaran pandangan bahwa di dunia ini, laki­laki dan perempuan pada dasarnya memiliki kesempatan yang sama dalam segala hal, karena pada dasarnya mereka memiliki perasaan cinta yang sama akan suatu hal, dan oleh karena itu baik laki­laki atau perempuan berhak dalam menentukan pilihan atau tindakan sebagai upaya mereka untuk meraih kebahagiaan yang mereka harapkan. Leksia bintang terang itulah dirimu, janganlah redup dan mati Signifikasi pertama : Leksia ini memiliki bentuk kalimat majas metafora. Hal tersebut terletak pada kelompok kata bintang terang, sehingga dalam leksia tersebut kata dirimu yang merujuk pada sosok perempuan, dilukiskan atau disamakan dengan bintang yang bersinar terang, yaitu benda langit yang terdiri atas gas menyala seperti matahari dan lebih tampak pada malam hari Kamus besar Bahasa Indonesia. Sedangkan dalam Wikipedia Indonesia, bintang memiliki uraian sebagai berikut : Bintang­bintang telah menjadi bagian dari setiap kebudayaan. Bintang­ bintang digunakan dalam praktek­praktek keagamaan, navigasi dan bercocok tanam. Bintang yang memiliki jarak terdekat dengan bumi adalah matahari http:id.wikipedia.orgwikibintang, 27 Agustus 2010, 20:52. Selanjutnya, berbeda dengan kalimat pertama yang menggambarkan penutur perempuan sebagai bintang terang, pada kalimat kedua, melalui akhiran – lah pada kata janganlah, penutur memberikan penekanan kepada kaum perempuan agar tidak kehilangan sinarnya. Secara realitas, bintang­bintang yang tampak dilangit adakalanya memang terlihat berkelip. Walaupun bintang tampak berkelip, sebenarnya hal itu hanya suatu tipuan mata. Aliran angkasa bumi merupakan penyebab. Dalam kenyataan, kebanyakan bintang bersinar tetap. Beberapa, memang berubah­ubah. Sebuah bintang mandiri yang cahayanya berubah, disebut bintang variable. Mira di rasi Ceta, merupakan salah satu contoh. Cahayanya berubah antara 2 sampai 10 magnitudo Wicks, 1979:17. Jadi leksia ini secara denotasi menggambarkan tentang sosok wanita sebagai bintang, namun bukan bintang seperti matahari yang selalu bersinar terang melainkan bintang lain yang tidak memiliki kekuatan untuk selalu bersinar terang Signifikasi kedua : Kode semik terlihat pada kata bintang terang yang secara konotasi dapat dimaknai sebagai sesuatu yang mengesankan. Dalam leksia ini, bintang terang dilekatkan dengan sosok perempuan. Jadi secara konotasi leksia ini juga memberikan sebuah gambaran tentang perempuan yang dianggap sebagai sosok yang hebat dan mengesankan. Gambaran tersebut tentunya berdasarkan atas sebuah fakta bahwa berbeda dengan dulu, saat ini telah banyak didapati beberapa kaum perempuan yang juga memiliki peran, kemampuan serta kehidupan yang mengesankan, tidak kalah dengan kaum laki­laki. Mulai dari kiprahnya di ranah publik serta kemampuan yang membuat dia memiliki profesi yang dulunya didominasi oleh kaum laki­laki, seperti : supir bus, tukang becak, kuli batu dan lain sebagainya. Kode simbolik terlihat pada aspek kemenduan, pertentangan dua unsur pada kalimat pertama dan kedua. Hal ini menunjukkan bahwa penutur masih beranggapan bahwa perempuan memiliki kepribadian yang tidak konsisten dan lemah, meskipun disetarakan dengan bintang, namun berbeda dengan laki­laki yang kerap disetarakan dengan matahari yang termasuk dalam golongan bintang, ternyata di sini sosok perempuan tetap dipandang sebagai sesuatu yang berbeda dengan mereka atau dengan kata lain, bintang yang dimaksud untuk kaum perempuan adalah bintang lain yang lemah, dan tidak dapat selalu bersinar dengan terang. Kode kultural terlihat pada aspek mitos. Mitos tentang perempuan sebagai sosok yang lemah dan mudah kalah merupakan suatu hal yang telah dipahami oleh masyarakat kita sejak lama. Maka tidak heran jika hal tersebut sulit sekali dihapuskan. Hal inilah yang terus menerus membangun pandangan yang bersifat melemahkan dan meremehkan kaum perempuan dan berujung pada pelecehan. Meskipun ada kenyataannya kaum perempuan telah berhasil menunjukkan peranan yang mengesankan itu dalam masyarakat, namun hal itu tidak membuat lunturnya keraguan atas diri perempuan dalam berperan. Oleh karena itu, meskipun dalam leksia ini sang penutur tampak mengagumi sosok perempuan dengan upaya menyetarakannya dengan bintang terang, namun penutur masih terpaku pada karakteristik perempuan yang mudah menyerah. Sehinga kemudian dia memebrikan penegasan kepada kaum perempuan untuk tidak menjadi redup dan mati sebagai konotasi dari kondisi menyerah. Leksia aku dibelakangmu memeluk dan menjagamu Signifikasi pertama : Leksia ini merupakan sebuah pernyataan dari penutur bahwa sebagai seorang laki­laki aku akan selalu berada di belakang perempuan mu yang dimaksud untuk memberikan kesiap­sediaannya dalam memberikan dekapan erat sebagai bentuk perlindungan padanya. Secara denotasi hal ini memberikan gambaran bahwa laki­laki adalah sosok pelindung bagi perempuan yang siap menjaga dari berbagai gangguan. Signifikasi kedua : Kode simbolik tampak pada kemunduaan dari penggambaran penutur yang bertindak aktif dengan karakteristik maskulinitas, yakni melindungipelindung dan perempuan yang pasif dengan karakteristik feminitas, yakni yang dilindungi. Hal tersebut membawa kita pada makna konotasi bahwa kaum laki­laki kerap menunjukkan diri sebagai sosok yang cenderung lebih superior dibandingkan perempuan. Laki­laki selalu merasa memiliki kuasa menentukan sikap dan tindakannya terhadap perempuan. Kode kultural dalam leksia ini terlihat dari aspek mitos. Mitos kepahlawanan yang dalam masyarakat hadir dalam bentuk penokohan sosok laki­ laki sebagai kesatria yang kerap digambarkan kuat, gagah, berani, selalu siap sedia menjadi pelindung wanita. Mitos seperti ini merupakan salah satu yang mengilhami pandangan masyarakat bahwa sebagai laki­laki harus memiliki jiwa kepahlawanan tersebut, karena hal itu sangat membanggakan. Oleh karena itu, para orang tua kita selanjutnya mencoba untuk selalu menanamkan pemikiran ini kepada anak laki­laki mereka. Dengan adanya pemahaman terhadap mitos tersebut, maka tidak heran jika jiwa sebagai seorang pelindung kerap dibebankan terhadap kaum laki­laki. Sedangkan kaum peermpuan sebagai sosok yang lemah dan harus selalu medapatkan perindungan. 4.4. Representasi Nilai­nilai Budaya Patriarki dalam Lirik Lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti Berdasarkan tujuan penelitian, maka pada bagian ini, peneliti akan mendeskripsikan representasi nilai­nilai budaya patriarki yang tertuang dalam lirik lagu Karena Wanita Ingin dimengerti, sebagai berikut : Sistem nilai, norma, stereotype, serta ideologi gender telah lama dilihat sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi posisi serta hubungan perempuan dengan laki­laki, ataupun dengan lingkungannya dalam konstruksi sosial masyarakat. Nilai atau norma tentang perempuan dan laki­laki dalam masyarakat tumbuh dari konsensus di dalam masyarakat itu sendiri yang dibawa secara turun temurun, meskipun seiring dengan perkembangan jaman tata nilai tersebut akan terus berkembang proses sosialnya. Cara pandang tentang hubungan laki­laki dan perempuan ataupun ideologi gender tidak dapat dilepaskan dengan nilai­nilai budaya yang melingkupi hubungan sosial masyarakatnya. Hal ini disebabkan adanya prakonsepsi yang telah diterima sebagai konsensus bersama, legitimasi moral dari kelompok yang dominan, serta internalisasi ideologi yang dijadikan dasar interaksi maupun pandangan dalam menata hubungan sosial, baik itu untuk menjaga stabilitas maupun penghindaran konflik. Oleh karena itu dalam beberapa produk media massa, kendatipun pesan yang diproduksi terlihat begitu mengesankan ataupun menyanjung kaum perempuan, namun apabila hal tersebut tidak ditelaah lebih dalam ternyata memiliki kecenderungan mengacu pada pemahaman yang berorientasi pada nilai­ nilai budaya patriarki. Kondisi demikian tentunya akan lebih memperkuat status quo suatu ideologi dominan tersebut, yang membawa kepada semakin tersudutnya kaum perempuan. Adanya ideologi yang sama, menyebabkan tidak ada beda pandangan antara penulis dengan pembaca baca: pendengar. Akibatnya, nilai­nilai pandangan yang dibawa oleh pembuat teks baca: lirik lagu bukan hanya disetujui oleh pembaca teks. Pada titik ini tidak ada protes atau perlawanan dari pembaca. Pembaca akan menafsirkan dan memaknai teks dalam apa yang ditawarkan oleh penulis Eriyanto, 2000:96 Salah satu produk media yang kerap terlihat pula turut dalam merepresentasikan nilai­nilai budaya patriarki adalah lirik lagu, terutama yang bertemakan hubungan laki­laki dan perempuan, seperti obyek dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil interpretasi sebelumnya, maka representasi nilai­nilai budaya patriarki dalam lirik lagu tersebut hadir dalam: 1. Penggambaran identitas perempuan dalam ke­feminitas­an Permasalahan utama isu identitas adalah relasi kuasa yang selalu memposisikan sesuatu berdasarkan sudut pandang penguasa. System masyarakat patriarkal memegang kuasa yang dapat memposisikan dan menentukan identitas perempuan. Meskipun dari masa ke masa seolah menampakkan adanya perubahan dalam memperlakukan perempuan dan laki­laki sebagai manusia yang memiliki kesetaraan, namun secara tidak sadar masyarakat tetap mempertahankan kuasa sistem patriarkal tersebut melalui nilai­nilai budaya yang dianut. Mereka seakan mengingkari apa yang telah digembar­gemborkan dalam istilah emansipasi dengan tetap menggunakan anggapan kewajaran dan kebenaran, bahkan mengkategorikannnya sebagai bentuk pujian dan penghormatan atas beberapa teks yang memiliki kanduangan ideologi patriarki. Lirik lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti lebih cenderung menggambarkan pandangan laki­laki tentang konsep identitas perempuan dalam konstruksi feminitas, seperti yang kerap ditemui dalam masyarakat. Dengan bertitik tolak pada judul lagu Karena Wanita, maka Lekuk indah hadirkan pesona merupakan salah satu bagian dari lirik lagu yang menggambarkan perempuan sebagai seseorang yang memiliki tubuh indah, yakni langsing dan seksi. Bagi kaum laki­laki, perempuan yang bertubuh indah sangatlah mempesonanya. Dalam aktivitas sehari­hari, menjadi langsing dan seksi dapat dianggap sebagai tuntutan. Bahkan pandangan tersebut hadir dalam pelbagai bentuk yang persuasif dan apresiatif, seperti “langsing itu sehat” dan “kamu jadi cantik deh kalo langsing begini”. Seorang perempuan akan memiliki nilai tinggi apabila dirinya memiliki tubuh yang indah, dan nilai tinggi itu diukur berdasarkan atas penilaian kaum laki­laki. Itulah nilai­nilai budaya yang kerap dikenakan kepada kaum perempuan terutama yang berorientasi pada ideologi patriarki. Dengan adanya nilai­nilai semacam itu, maka dapat dipastikan hadirnya sebuah implikasi pemahaman bagi perempuam itu sendiri bahwa sebagai perempuan selayaknya selalu dapat menjaga dan memperhatikan penampilannya, terutama tubuhnya agar dapat memenuhi pengharapan tentang sebuah mitos kecantikan yang telah lama dipahami, yakni wanita adalah makhluk indah. Wacana kecantikan dan feminitas perempuan tidak dapat dilepaskan dari konstruksi budaya patriarki yang memberikan kuasa kepada laki­laki untuk memberikan pengakuan atas feminitas perempuan di satu sisi, dan perempuan untuk selalu mencari pengakuan atas feminitasnya dari laki­laki di sisi lain Prabasmoro, 2006:320. Alhasil, ujaran­ujaran seperti “karena wanita maka menjaga bentuk tubuhnya, agar selalu dapat tampil mempesona terutama di mata kaum laki­laki”, kerap digunakan sebagai cara dalam mengidentifikasi kewanitaan seorang perempuan, serta mengontrol sudut pandang perempuan dalam memahami sosok dirinya sendiri. Kondisi demikian sesuai dengan uraian Naomi Wolf yang mengembangkan analisis sosialnya berkaitan dengan pengkultusan kecantikan, dengan menyebut realitas serta fenomena itu sebagai ‘mitos kecantikan’ The Myth of Beauty, yang secara sosiologis ternyata merupakan satu hal yang cukup efektif, digunakan oleh laki­laki untuk mengendalikan, mensubordinasi, serta menguasai perempuan di sepanjang bentangan sejarah peradaban. Dalam buku The Beauty Myth: How Images of Beauty Re Used Againts Women, Wolf mengedepankan argumen, bahwa tekanan untuk senantiasa menjadi cantik, telah menjadi sebentuk kontrol efektif bagi budaya kontemporer untuk mengendalikan perempuan. Menurutnya, tekanan agar perempuan tampil cantik, adalah senjata terakhir untuk merintangi kejayaan ekonomis mereka para laki­laki. Dengan berada di bawah tekanan itu, tutur Wolf, banyak waktu, energi, dan usaha emosional perempuan yang terbuang di depan kaca, sehingga energi bersaing untuk di bidang ekonomi pun tak tersisa Wolf, 1997; Kasiyan, 2008:279. Selain itu, lirik lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti juga menggambarkan bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang setia dan suci, yakni yang tetap memiliki keperawanannya hingga datang waktu menikah. Penggambaran identitas perempuan secara normatif sebagai sosok yang suci dan baik dalam lirik lagu adalah pada bagian setiamu simbol keanggunan khas perawan…yang kaumiliki. Pada bagian lirik lagu ini penggambaran identitas perempuan dilakukan dari segi seksualitasnya, yang menjadikan keperawanan sebagai sesuatu yang paling istimewa dalam diri manusia yang berjenis kelamin perempuan. Meskipun pada dasarnya perempuan, seperti juga laki­laki, merupakan kelompok manusia yang memiliki kondisi yang sama dalam identitas kesucian. Namun dalam budaya patriarki, hal itu seringkali hanya dititikberatkan pada kaum perempuan semata. Dalam masyarakat patriarki, keperawanan selalu dijadikan tolak ukur atas kualitas nilai moral yang dimiliki kaum perempuan. Maka tidak heran dalam beberapa kasus, perempuan yang dinilai secara fisik sudah tidak perawan, sudah dapat dipastikan akan memiliki masa depan yang suram, tanpa peduli apa yang menjdi sebab kondisi demikian itu. Pada bagian lindungi dari sengat dunia yang mengancam nodai………sucinya lahirmu, keperawanan yang dimiliki perempuan menjadi sebuah penggambaran identitas perempuan sebagai makhluk yang lemah. Karena dengan adanya pengkultusan atas keperawanan, perempuan seolah menjadi benda keramat yang harus selalu dijaga kebersihannya. Jika sedikit saja terdapat noda maka akan menjadi tidak berharga lagi. Oleh karena itu, kemanapun perempuan melangkah seharusnya mendapat perlindungan, dan hal itu hanya dapat dilakukan oleh kaum laki­laki. Jadi dalam lirik lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti, penggambaran identitas perempuan ditunjukkan berdasarkan seksualitas, feminitas serta kecantikannya, yang secara umum mencerminkan realitas sosial atas nilai­nilai budaya patriarki yang telah banyak dianut oleh masyarakat kita, yang sebagian besar diarahkan agar perempuan dapat diterima laki­laki dan untuk memenuhi keinginan laki­laki yakni sebagai sosok yang selalu yang lembut, penuh keindahan, lemah dan suci. Penggambaran perempuan yang demikian tentunya menjadikan mereka berada pada ruang lingkup yang terbatas karena berada pada kuasa kaum laki­laki. Namun dalam masyarakat patriarkis, penggambaran identitas perempuan dalam beberapa ungkapan yang demikian itu, cenderung memiliki penilaian sebagai bentuk pujian, penghargaan dan penghormatan kaum laki­laki terhadap perempuan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari penerimaan masyarakat terhadap lirik lagu ini dengan baik sekali tanpa ada kritik apapun. Bahkan jika bagi kaum perempuan yang tidak memenuhi kriteria tersebut akan cenderung mendapatkan label sebagai “perempuan tidak baik­baik” atau “bukan perempuan”. Dengan adanya lirik lagu semacam ini akan semakin memberikan kekuatan bagi nilai­nilai budaya yang berorientasi kepada ideologi patriarki, karena hal ini akan menjadikan perempuan selalu dalam keadaan membutuhkan laki­laki sebagai pilar utama identitas dan subyektivitasnya. Karena Wanita Ingin Dimengerti Lekuk indah hadirkan pesona Kemulyaan bagi yang memandang Setiamu symbol keanggunan khas perawan yang………kaumiliki Akulah pengagum ragamu Tak ingin kumenyakitimu Lindungi dari sengat dunia yang mengancam Nodai…………sucinya lahirmu Reff: …… …… Bait pertama, dan kedua, Lirik lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti Sumber : Sampul Kaset Album Musik Romantic Rhapsody, ADA Band, PT. EMI Indonesia, Jakarta, 2006

2. Penempatan Perempuan sebagai Obyek Tatapan

Dalam lirik lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti secara konotasi memiliki indikasi yang menggambarkan bahwa dalam pandangan penutur laki­ laki, perempuan lebih ditempatkan sebagai sosok yang patut menjadi obyek tatapan. Hal tersebut tentunya hadir berdasarkan sebuah pemahaman yang telah ada, yakni perempuan adalah makhluk yang indah, dan keindahan pada diri perempuan tidak dapat lepas dari penggambaran atas tubuhnya. Maka dari itu sebagai sesuatu yang indah, sudah sepantasnya menjadi sesuatu untuk dipandang. Sekali kita berasumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang cantik dan membudidayakan atribut­atribut kecantikan sejak masa kanak­kanak, penampilan akan semakin diterima sebagai suatu kebenaran utama. Inilah kesalahpahaman bahwa hakikat kecantikan sama dengan hakikat perempuan. Mitos perempuan sebagai sebagai makhluk yang indah mengabadikan mistik feminim, dimana kecantikan mempertahankan misteri erotis perempuan dengam mengabaikan fakta­fakta bahwa ia adalah manusia. Dengan ini, maka dapat dikatakan bahwa perempuan akan selalu ditempatkan sebagai obyek tatapan bagi kaum laki­ laki Wol, 2002; Melliana, 2006:4. Dalam pandangan masyarakat, pemahaman demikian dinilai sangat wajar karena secara kultural, kaum perempuan memang seakan telah terikat untuk selalu menjadi obyek tatapan. Sehingga tidak heran dalam beberapa aturan­aturan tradisonal, kaum perempuan memiliki serangkaian tata cara untuk menjadikan dirinya dapat memenuhi nilai keindahan yang telah ada, agar layak menjadi sesuatu yang enak dipandang. Hal ini sesuai dengan uraian berikut : Secara kultural dalam masyarakat kita, penghargaan terhadap keberadaan perempuan maknanya lebih banyak hadir berkaitan dengan sisi stereotip kecantikan tubuh dan seksualitasnya. Oleh karena itu, dalam tradisi budaya Jawa, tubuh dan kecantikan perempuan yang ideal itu, digambarkan dengan pecandraan candra yang sangat lengkap dan komplek, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, yang muatannya terkait dengan atribut appeal of sexuality­nya, untuk kepentingan pemuas laki­ laki Kasiyan, 2008:109­110. Menurut Mary Wollstonecraft dalam Vindication of The Rights of Woman 1972, perempuan seringkali sebagai budak ‘kecantikan’, untuk dilihat, dipuja, dan ditinggikan laki­laki, namun tidak menjadi sederajat dalam hak dan kekuasaan. Perempuan dinasehati sejak bayi, dan diajar melalui contoh ibu mereka, bahwa mereka harus cantik, dan yang lainnya tidak diperlukan, sekurang­kurangnya untuk dua puluh tahun hidup mereka. Kecantikan adalah segalanya, penglihatan adalah segalanya Wolf, 1997; Kasiyan, 2008:280. Dengan ini maka artinya, ketika perempuan cenderung distereotipkan secara sosial, bahwa nilai lebihnya itu hanya terdapat pada daya tarik seksualnya, dengan indikasinya adalah terletak pada kecantikan, kemulusan, kesegaran, serta kemontokan tubuhnya, maka tanpa disadari, akhirnya perempuan didorong dan bahkan ‘dipaksa’ untuk memenuhi tuntutan tersebut, jika ingin mendapatkan penghargaan dari masyarakat. Oleh karena itu, di bawah kuasa ideologi patriarki yang terefleksi dalam lirik lagu tersebut, tubuh perempuan diatur sedemikian rupa untuk memenuhi nilai­nilai budaya yang telah disepakati bersama dalam masyarakat. Dalam budaya patriarkal, tubuh perempuan “dikonsumsi” sebagai objek pandangan, objek sentuhan, objek seksual, sebagai objek hasrat laki­laki, objek ideologi. Secara umum, perempuan dikonsumsi dan dipersepsi sebagai objek, dan objek dalam arti harfiahnya adalah penerima tindakanlakuan Prabasmoro, 2006:80. Terkait dengan persoalan tubuh perempuan, dalam pemandangan paling umum, tampaknya laki­laki adalah sebagai sosok yang mengamati, dan sebaliknya perempuan adalah yang diamati. Di film, televisi, pers, cerita­cerita paling populer, laki­laki ditunjukkan mengontrol tatapan, sedangkan perempuan dikontrol olehnya. Laki­laki bertindak, perempuan dikenai tindakan. Ini adalah patriarki Synnott, 2003:397; Kasiyan, 2008:277. Dengan adanya ungkapan pada bagian bait lirik lagu tersebut, seperti : Lekuk indah hadirkan pesona, kemulyaan bagi yang memandang, hal ini semakin mendukung menguatnya hegemoni tatapan laki­laki. Di sinilah keindahan dan kecantikan tubuh sebagai sesuatu yang personal dan visual, menjadi salah satu nilai utama dalam budaya kita. Tuntutan tentang kecantikan tubuh perempuan agar dapat menjadi sesuatu yang enank dipandang telah menjadi fenomena yang sudah sangat tua keberadaannya, seiring dengan berkembangnya budaya patriarki di masyarakat. Karena Wanita Ingin Dimengerti Lekuk indah hadirkan pesona Kemulyaan bagi yang memandang Setiamu symbol keanggunan khas perawan yang………kaumiliki Akulah pengagum ragamu Tak ingin kumenyakitimu Lindungi dari sengat dunia yang mengancam Nodai…………sucinya lahirmu … Bait pertama dan kedua, Lirik lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti Sumber : Sampul Kaset Album Musik Romantic Rhapsody, ADA Band, PT. EMI Indonesia, Jakarta, 2006 Berangkat dari kenyataan tersebut pula, maka pada akhirnya banyak kaum feminis menyerang tirani kecantikan, mendebatnya bukan hanya karena hal ini menginstitusionalisasikan hegemoni tatapan laki­laki, namun juga bahwa tirani itu juga menimbulkan harga fisik, emosional, dan ekonomi yang mahal bagi perempuan. ‘kecantikanisme’, pada akhirnya diinstitusionalkan di dalam masyarakat kita, dan termasuk menjadi sangkar ketidakadilan yang utama. Pengejaran kecantikan oleh perempuan, akhirnya diterima luas sebagai investasi yang sempurna, dengan keuntungan­keuntungan substansi fisik, sosial, dan ekonomi, dan karena alasan ini, fenomena mistik kecantikan demikian meningkat secara menyolok di Eropa, Amerika, bahkan di seluruh dunia Synnott, 2003:182­ 183; Kasiyan, 2008:277­278.

3. Legitimasi Dominasi Laki­laki

Budaya patriarki selama ini merupakan sebuah budaya yang secara sistemik dan berlangsung terus menerus menjadi bagian dari sebagian masyarakat serta pranata sosialnya. Di mana secara sadar atau tidak sadar terkadang diwujudkan dalam perilaku kesehariannya. Dalam masyarakat patriarki, keberadaan nilai­nilai budayanya akan lebih cenderung menempatkan kaum laki­ laki sebagai “subyek” dan memiliki keutamaan otoritas dalam berbagai hal, sedangkan perempuan selalu ditempatkan sebagai second person dan diperlakukan hanya sebagai “obyek”. Beberapa konsepsi penting berkaitan dengan marginalisasi dan subordinasi perempuan yang ada, diantaranya adalah pernyataan Simone de Beauvoir dalam buku The Second Sex: Fakta dan Mitos, yakni bahwa karena laki­laki memandang perempuan sangat berbeda secara mendasar dibandingkan dia milihat dirinya sendiri. Dalam hal ini, laki­laki adalah ‘sang Subjek’, ‘sang Absolut’, sedangkan perempuan adalah ‘Sosok yang Lain’ The Other Kasiyan, 2008:60. Sedangkan Teori Kate Millet mengenai subordinasi, dalam buku Sexual Politics 1970, mengungkapkan bahwa perempuan adalah jenis kelamin yang tergantung di bawah dominasi patriarki Kasiyan, 2008:61. Maka merupakan suatu kewajaran bagi masyarakat dengan adanya perilaku dominasi yang dilakukan kaum laki­laki dalam kehidupan sehari­harinya, bahkan hal itu seolah menjadi suatu kewajiban yang harus dimiliki sebagai seorang laki­laki. Kondisi realitas yang demikian, selanjutnya terrepresentasi pula dalam lirik lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti yang cenderung menggambarkan laki­laki dalam pandangan­pandangan dan perilaku­perilaku sebagai sosok yang dominan jika berhadapan dengan perempuan. Dominasi laki­laki tersebut terlihat dari bagaimana dia memberikan penekanan terhadap segala yang menyangkut tindakan yang dinilai pantas dalam memberikan perlakuan kepada perempuan, meskipun tindakan tersebut semata hanya didasarkan atas stereotip yang kerap dilekatkan pada kaum perempuan, sebagai contoh : karena wanita ingin dimengerti atas kelembutannya maka sebagai laki­laki harus bertutur lembut kepada mereka, dan karena wanita ingin dimengerti atas kemanjaannya maka sebagai laki­laki harus memanjakan mereka. Karena Wanita Ingin Dimengerti ......... Akulah pengagum ragamu Tak ingin kumenyakitimu Lindungi dari sengat dunia yang mengancam Nodai…………sucinya lahirmu Reff: Karena wanita ingin dimengerti Lewat tutur lembut dan laku agung Karena wanita ingin dimengerti Manjakan dia..dengan kasih sayang Ingin kuajak engkau menari Bermandi hangat cahaya bulan Sebagai tanda kebahagiaan Bagi semesta cinta kita Bintang terang itulah dirimu Janganlah redup dan mati Aku dibelakangmu memeluk dan menjagamu Bait dua sampai dengan lima, lirik lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti Sumber : Sampul Kaset Album Musik Romantic Rhapsody, ADA Band, PT. EMI Indonesia, Jakarta, 2006 Penggambaran ini sangat memposisikan perempuan sebagai inferior yang selalu digambarkan sebagai sosok yang lemah dan selalu membutuhkan perlindungan dari laki­laki. Sedangkan kaum laki­laki selalu digambarkan sebagai sosok yang superior, kuat, bertanggung jawab, aktif dan selalu mampu diandalkan menjadi pelindung kaum perempuan, hingga dia dapat mengetahui apa yang dapat dipahami pada diri perempuan. Kondisi semacam ini memang kerap dinilai sebagai suatu yang remeh serta dianggap sebagai suatu kewajaran dalam masyarakat bahwa sebagai laki­laki memang sepatutnya berada di atas perempuan, karena sudah menjadi tugas mereka untuk menjaga dan melindungi kaum perempuan. Namun jika terjadi situasi yang sebaliknya, maka berbagai celaan akan datang menghampiri, baik kepada pihak perempuan maupun laki­laki, seperti : “laki­laki kalah sama perempuan”, masa “jadi laki­laki kok tidak bisa menjaga perempuan”. Hal ini tentunya menjadi sebuah hinaan bagi kaum laki­laki, bahkan perempuan yang sesungguhnya mampu menjaga dirinya sendiri sekalipun, harus sebisa mungkin mengalah untuk memberi kesempatan kepada laki­laki yang ada di sekitarnya supaya menolong mereka, dengan maksud agar tidak mempermalukan atau menyinggung perasaan kaum laki­laki tersebut. Pengaruh yang disebabkan oleh situasi seperti ini mungkin tidak seketika dapat dirasakan akibatnya. Namun ternyata hal tersebut berdampak sangat dalam dan kuat sepanjang masa, karena telah merasuk ke dalam pikiran sebagian besar individu­individu yang menjadi anggota masyarakat. Dengan adanya penggambaran­penggambaran semacam ini dalam media massa, maka akan semakin memberikan penekanan dan penguatan atas nilai­nilai budaya patriarki, yang mana memberikan legitimasi kepada kaum laki­laki untuk selalu mendominasi. 118

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dalam tataran denotasi, lirik lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti memang terbukti menggambarkan penghormatan laki­laki terhadap kaum perempuan dengan menempatkan perempuan sebagai sesuatu yang berharga dalam bentuk kekaguman atas diri perempuan. Namun pada tataran konotasi, peneliti menemukan bahwa pada lirik lagu tersebut merepresentasika nilai­nilai budaya patriarki yang masih kerap melingkupi cara pandang masyarakat dalam memposisikan perempuan dan laki­laki. Dalam lirik lagu, peneliti menangkap adanya pandangan laki­laki terhadap perempuan yang diterima sebagai kelaziman oleh khalayak karena memenuhi nilai­nilai budaya yang ada selama ini, dimana dari sudut pandang feminis lebih berorentasi pada ideologi patriarki. Kelaziman tersebut terlihat melalui bentuk penggambaran identitas perempuan, penempatan perempuan sebagai obyek tatapan serta adanya legitimasi atas dominasi laki­laki terhadap perempuan. Kemunculan representasi nilai­nilai dalam lirik lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti, banyak dipengaruhi oleh mitos­mitos yang telah lama tertanam dalam pemahaman sebagian besar masyarakat, seperti mitos kecantikan, mitos keperawanan, mitos feminitas yang kerap dilekatkan pada sosok perempuan, sedangkan mitos kepahlawanan, kesatria, mitos maskulinitas pada sosok laki­laki.

Dokumen yang terkait

Pemaknaan Lirik Lagu Judas (Studi Analisis Semiotika Lagu Lady Gaga yang berjudul Judas)

22 172 89

REPRESENTASI WANITA DALAM LIRIK LAGU POP INDONESIA (Analisis Semiotika Tentang Lirik Lagu Bertemakan Wanita)

9 117 53

REPRESENTASI KASIH SAYANG DALAM LIRIK LAGU (Studi Semiotika tentang Representasi Kasih Sayang dalam Lirik Lagu “Ibu” yang dipopulerkan oleh Sulis).

1 6 124

REPRESENTASI KEHIDUPAN KELUARGA DALAM LIRIK LAGU “GENERASI FRUSTASI” (Studi Semiotik Tentang Representasi Kehidupan Keluarga Dalam Lirik Lagu “Generasi Frustasi” yang dibawakan oleh Iwan Fals).

4 29 82

REPRESENTASI POSFEMINISME DALAM LIRIK LAGU “TOKEK RACUN” (Studi Semiotik Representasi Posfeminisme Dalam Lirik Lagu “Tokek Racun”).

3 16 88

REPRESENTASI CINTA DAMAI DALAM LIRIK LAGU ” PERDAMAIAN ’’ (Studi Semiologi Representasi Dalam Lirik Lagu ’’ Perdamaian ’’ Oleh Band GIGI).

0 5 64

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM LIRIK LAGU

0 0 15

REPRESENTASI NILAINILAI BUDAYA PATRIARKI DALAM LIRIK LAGU KARENA WANITA (INGIN DIMENGERTI) (Studi Analisis Semiotik tentang Representasi Nilai Nilai Budaya Patriarki pada Lirik Lagu “Karena Wanita (Ingin Dimengerti)”)

0 3 22

REPRESENTASI CINTA DAMAI DALAM LIRIK LAGU ” PERDAMAIAN ’’ (Studi Semiologi Representasi Dalam Lirik Lagu ’’ Perdamaian ’’ Oleh Band GIGI)

0 0 15

REPRESENTASI POSFEMINISME DALAM LIRIK LAGU “TOKEK RACUN” ( Studi Semiotik Representasi Posfeminisme Dalam Lirik Lagu “Tokek Racun” ) SKRIPSI

0 0 20