REPRESENTASI NILAINILAI BUDAYA PATRIARKI DALAM LIRIK LAGU KARENA WANITA (INGIN DIMENGERTI) (Studi Analisis Semiotik tentang Representasi Nilai Nilai Budaya Patriarki pada Lirik Lagu “Karena Wanita (Ingin Dimengerti)”).
(Studi Analisis Semiotik tentang Representasi NilaiNilai Budaya Patriarki pada Lirik Lagu “Karena Wanita (Ingin Dimengerti)”)
SKRIPSI
Disusun oleh : VARIDA DWI YULIANI
NPM. 0443310596
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
SURABAYA 2010
(2)
iv
karena hanya dengan rahmat dan ridhoNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul REPRESENTASI NILAINILAI BUDAYA PATRIARKI DALAM LIRIK LAGU KARENA WANITA (INGIN DIMENGERTI), yaitu sebuah studi semiotik tentang Representasi Nilainilai Budaya Patriarki dalam Lirik Lagu Karena Wanita (Ingin Dimengerti) yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Kelompok Musik ADA Band.
Bagi penulis, skripsi ini bukanlah sekedar sebuah karya ilmiah yang hanya menjadi tanda keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi pada tingkat S1. Dengan ini, penulis menjadi tahu akan pentingnya sikap saling menghargai antar sesama manusia, meskipun kita diciptakan dalam wujud yang berbeda, baik lakilaki maupun perempuan, namun pada hakikatnya kita adalah manusia yang samasama memiliki hak untuk menjadi manusia seutuhnya dalam menentukan sikap dan pilihan hidup kita sendiri. Selain itu baik kekurangan dan kelebihan pada diri kita adalah suatu anugerah yang memang diberikan Allah SWT untuk kita syukuri, karena hal tersebut akan menjadikan kita dapat saling melengkapi satu sama lain dalam kehidupan ini. Sehingga sepatutnyalah kita tidak menjadikan orang lain lebih rendah atau lebih tinggi dari kita, yang berujung pada sikap saling merugikan.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan Ibu Dra. Sumardjijati, M.Si., sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan kesabaran bagi penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi
(3)
v
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Juwito, S.Sos., Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Seluruh dosen pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi yang telah mendidik dan membimbing penulis selama studi dan seluruh staff di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah banyak memberikan begitu banyak bantuan dalam proses kelulusan ini.
4. Kedua orang tua dan keluarga, yang senantiasa memberikan dukungan baik moril maupun materiil, maaf jika selama ini telah banyak memberikan kekhawatiran. 5. Suamiku tercinta yang telah dengan sabar dan penuh perhatian memberikan
dorongan dan bantunannya.
6. Temanteman yang telah banyak membantu, menemani dan memberikan semangat, terutama untuk Roas yang begitu sangat banyak memberikan bantuannya hingga akhir, “Kamu memang yang terbaik, sukses ya Bu’…..”
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, peneliti mengharapkan saran dan kritik yang dapat membantu peneliti mencapai hasil yang lebih baik. Semoga hasil penelitian nantinya dapat bermanfaat khususnya bagi perkembangan ilmu komunikasi.
Surabaya, 1 November 2010 Penulis
(4)
vi
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI.. ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
ABSTRAKSI... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 12
1.3. Tujuan Penelitian ... 12
1.4. Kegunaan Penelitian ... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori ... 14
2.1.1. Produksi Pesan dalam Proses Komunikasi ... 14
2.1.2. Lirik Lagu sebagai Pesan Komunikasi ... 16
2.1.3. Hubungan Pandangan, Bahasa dan Budaya ... 18
2.1.4. Ideologi Patriarki dalam NilaiNilai Budaya ... 19
2.1.5. Representasi ... 26
2.1.6. Pandangan Feminis ... 28
2.1.7. Pendekatan Semiotik dalam Ilmu Komunikasi ... 31
2.1.8. Penampakan Ideologi dalam Studi Semiotik ... 34
2.1.9. Lirik Lagu dalam Kajian Semiotik ... 36
2.1.10. Interpretasi Sistem Tanda dalam Lirik Lagu ... 39
(5)
vii
3.1. Metode Penelitian ... 46
3.2. Definisi Operasional Konsep ... 47
3.2.1. Representasi ... 47
3.2.2. Nilainilai Budaya Patriarki ... 47
3.2.3. Lirik Lagu ... 48
3.3. Unit Analisis ... 48
3.4. Korpus ... 48
3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 49
3.6. Teknik Analisis Data ... 50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 53
4.1.1. Lirik Lagu Karena Wanita (Ingin Dimengerti) sebagai Lirik Lagu tentang Perempuan ... 53
4.1.1.1. Sekilas tenang Donnie Sibarani ... 56
4.1.1.2. Sekilas tentang ADA Band ... 58
4.2. Penyajian Data ... 60
4.3. Analisis Data ... 63
4.3.1. Interpretasi Lirik Lagu Karena Wanita (Ingin Dimengerti) dengan Model Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes ... 64
4.4. Representasi NilaiNilai Budaya Patriarki dalam Lirik Lagu Karena Wanita (Ingin Dimengerti) ...104
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ...118
(6)
(7)
ix
Gambar 1.1 Komponenkomponen Ideologi... 11
Gambar 2.1 Elemenelemen Makna Saussure... 32
Gambar 2.2 Signifikasi Dua Tahap Barthes... 42
Gambar 4.1 Tubuh Ideal Perempuan ... 80
(8)
x
Lampiran 1 : Obyek Penelitian Lirik Lagu “Karena Wanita
(Ingin Dimengerti)” ...126 Lampiran 2 : Alamak! Keperawanan Siswi SMU Indramayu akan Dicek,
Bupati Indramayu Batal Tes Keperawanan Siswi SMU ...127 Lampiran 3 : Perlukah Tes Keperawanan untuk Masuk Sekolah?...129
(9)
xi
DIMENGERTI) (Studi Analisis Semiotik tentang Representasi NilaiNilai Budaya Patriarki pada Lirik Lagu “Karena Wanita (Ingin Dimengerti)”)
Penelitian ini menaruh perhatian terhadap sebuah lirik lagu yang berjudul Karena Wanita (Ingin Dimengerti), yaitu sebuah lirik lagu yang ditulis oleh seorang lakilaki dengan memberikan kesan bahwa lirik lagu tersebut mengungkapkan rasa kekaguman dan penghormatan kepada kaum perempuan.
Kekaguman merupakan salah satu bentuk penilaian terhadap suatu hal, dan kekaguman tersebut tentunya dapat diwujudkan dengan penggambaran penggambaran. Dan oleh karena lirik lagu ini bercerita tentang sosok wanita, maka sudah dapat dipastikan isi dari lirik lagu tersebut penuh tentang penilaian lakilaki terhadap sosok wanita.
Dalam penggambaran tersebut, tentunya penulis menyertakan pemahamanpemahamannya tentang perempuan berdasarkan pangalaman serta pengetahuan penulis lirik lagu yang telah dipengaruhi oleh lingkungan eksternal yang ada disekitarnya. Sehingga secara disengaja atau tidak, keberadaan pengaruh nilainilai budaya patriarki yang berkaitan dengan pandangan terhadap sosok perempuan ini telah turut terrepresentasikan dalam sistem tanda pada lirik lagu, dan diterima sebagai pesan oleh khalayaknya dengan baik.
Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika, khususnya model “Signifikasi Dua Tahap” Roland Barthes. Dengan menggunakan model tersebut, maka peneliti memberikan perhatian khusus pada makna konotasi dan makna denotasi yang terkandung dalam sebuah tanda, dimana berdasarkan kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan serta memberikan pembenaran bagi nilainilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kualitatif interpretatif, dan yang menjadi korpusnya adalah lirik lagu Karena Wanita (Ingin Dimengerti). Sedangkan unit analisisnya adalah unit sintaksis dengan melihat katakata yang membentuk kalimat dalam lirik lagu dan unit referensi dengan melihat satuan kalimat yang ada dalam lirik lagu Karena Wanita (Ingin Dimengerti).
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari analisa data, maka dapat disimpulkan bahwa dalam lirik lagu terdapat nilainilai budaya patriarki. Hal tersebut hadir melalui pandangan lakilaki terhadap perempuan yang diterima sebagai kelaziman oleh khalayak dalam bentuk penggambaran identitas perempuan dalam kefeminitasan, penempatan perempuan sebagai obyek tatapan serta adanya legitimasi atas dominasi lakilaki terhadap perempuan. Tiga hal tersebut terlihat dari berbagai mitosmitos, seperti : kecantikan, keperawanan dan kepahlawanan yang kerap dijadikan acuan.
(10)
1 1.1. Latar Belakang Masalah
Bila ditanyakan kepada lakilaki apa yang mereka benarbenar dambakan dari seorang perempuan, kebanyakan menjawab kecantikan lahiriah. Studi di Amerika Serikat menunjukkan selama lebih dari 50 tahun jawaban pria sama saja. Mereka ingin perempuan cantik dan menggairahkan. Itu sebabnya, semakin banyak dokter operasi plastik yang semakin kaya. Kebanyakan lakilaki memilih perempuan yang mempunyai tubuh yang berbentuk, likuliku yang indah. Hal ini sudah lama menggangu kaum feminis bahwa kecantikan perempuan dibentuk atas dasar tirani. Mengapa perempuan harus mengikuti definisi kecantikan yang dibuat oleh lakilaki? Mengapa ia selalu menyetujui dijadikan obyek seks lakilaki? Kenapa perempuan harus menerima perlakuan ini? (Arivia, 2006:6667).
Berbicara mengenai perempuan, tentunya tidak terlepas dari sistem sosial dimana mereka berada. Adanya usaha untuk memahami perempuan juga merupakan usaha untuk memahami masyarakat. Dari banyak penelitian yang menjadikan perempuan sebagai objek pengamatannya, kebanyakan mendapati bahwa perempuan selama ini berada dalam posisi yang kurang menguntungkan di masyarakat. Selain itu juga berkesimpualan bahwa lakilaki banyak mendapat keuntungan dari hakhak istimewanya yang terus terpelihara.
Fenomena ini disebabkan oleh hadirnya sebuah konstruk sosial yang secara nyata menganut pada nilainilai budaya patriarki yang sejak lama telah
(11)
dimapankan menjadi sistem yang mendunia dan bisa jadi merupakan ideologi yang paling banyak pengikutnya. Budaya patriarki merupakan salah satu ideologi yang hadir dalam masyarakat di seluruh penjuru dunia dan menjadi salah satu sumber terjadinya ketimpangan gender yang berujung pada bentukbentuk perilaku yang merugikan kaum perempuan, tidak terkecuali di Indonesia.
Ideologi patriarki mensyaratkan adanya pengendalian kekuasaan atau dominasi oleh lakilaki serta stereotipe peran perempuan. Masyarakat yang menganut ideologi ini akan menempatkan nilainilai budaya patriarkis sebagai fondasi konstruk sosialnya. Kaum lakilaki akan selalu mewarisi sebuah tatanan sosial yang menjadikan mereka mendominasi ruang kekuasaan dan kewenangan. Sehingga aktivitasaktivitas sosial selalu dikaitkan dengan tindakan mereka dan secara perlahan menjadi sebuah aturanaturan yang dianggap baku. Hal inilah yng menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan atau bahkan penindasan terhadap kaum perempuan dalam masyarakat.
Timpangnya relasi gender dan diskriminasi terhadap perempuan, diyakini oleh para aktivis feminis terjadi di dalam lingkungan masyarakat yang terkecil yaitu keluarga. Keluarga pun tidak luput dari intervensi negara dalam penerapan kebijakan pembangunan. Salah satu aspek yang harus dikritik adalah bias gender dalam merepresentasikan perempuan dalam media massa. Dimana banyak dari isi program acara maupun pesan yang disampaikan oleh media massa tersebut tetap saja memelihara nilainilai budaya patriarki. Dengan kata lain pesan yang disampaikan media massa lebih banyak didominasi oleh simbolsimbol kekuasaan lelaki yang lebih cenderung mempertahankan status quonya.
(12)
Dalam berbagai produk media, perempuan dihadirkan sebagai obyek penarik perhatian. Apapun ragam produk atau tayangan yang ditawarkan melalui sebuah media, perempuan kerap dijadikan ‘tumbal’ untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Seperti yang diungkapkan Irwan Abdullah, bahwa media massa membuat perempuan menjadi alat yang persuasif dalam menjual berbagai komoditas, hal itu menjadi usaha untuk memberikan daya tarik erotis pada suatu produk. Kelincahan, kesegaran, kenyamanan, dan keindahan adalah sifat yang (dianggap) melekat pada perempuan dan menjadi daya tarik erotis produkproduk tersebut. Kecantikan model perempuan dalam iklan (baca: media) – meskipun tidak ada kaitannya dengan produk, adalah daya tarik utama sekaligus identifikasi produk (Vidyarini, 2007:4). Beberapa contoh nyata yang sesuai dengan pendapat ini adalah pada beberapa iklan televisi seperti: sebuah produk kopi bermerk Ya, yang selalu menjadikan perempuan sebagai modelnya, seperti: Kembar Srikandi atau Julia Perez. Jika dikaitkan dengan produk, maka penempatan Kembar Srikandi atau Julia Perez beserta gaya tarian yang ditampilkan dalam iklan, sudah jelas tidak memiliki korelasi apapun, selain sekedar untuk menarik perhatian khalayaknya dengan kesan mensejajarkan kenikmatan minum kopi dengan kenikmatan menatap Kembar Srikandi atau Julia Perez dalam gerak tariannya. Lainnya, terlihat pada banyaknya tayangan sinetron yang menempatkan tokoh wanita sebagai peran utamanya yang selalu digambarkan teraniaya dan menyedihkan, karena selalu ditampakkan dalam wajah yang penuh dengan linangan air mata; sedangakan pada media cetak, beberapa tabloid atau majalah baik untuk segmen perempuan atau lakilaki selalu menempatkan wanita sebagai
(13)
penghias sampul depannya dengan berbagai variasi tampilan, mulai dari yang ditampakkan anggun hingga vulgar, dengan tujuan untuk menarik minat konsumen. Dalam perspektif feminis maka hal demikian dapat menimbulkan anggapan bahwa sajian media hanya diperuntukkan bagi kaum lakilaki saja, seperti pendapat Aquarini sebagai berikut:
Dengan memperhatikan iklan, baik yang terbit di media cetak maupun yang muncul sebagai tayangan televisi, saya melihat adanya konstruksi feminitas dan seksualitas perempuan yang menunjukkan adanya konstruksi yang mengarahkan femininitas dan seksualitas perempuan sebagai cara penundukkan perempuan dalam kuasa lakilaki (Prabasmoro, 2006:322).
Media massa terusmenerus memproyeksikan peranperan berdasarkan gender secara stereotip. Perempuan kerap ditampilkan sesuai dengan konstruksi sosial yang telah diyakini oleh masyarakat, dimana perempuan adalah individu yang identik dengan halhal yang feminin, seperti: lemah, lembut, anggun, bertubuh langsing, sopan, berparas ayu, dilindungi, diberi, ditolong dan sebagainya. Sedangkan lakilaki adalah individu yang identik dengan halhal yang maskulin, seperti: kuat, kekar, gagah, tegas, pelindung, penolong dan sebagainya.
Dengan semakin kuatnya pandangan stereotip gender melalui biasbias gender yang ditampilkan oleh media massa, tentunya hal tersebut dapat semakin memperkokoh pandangan nilainilai budaya patriarki dalam masyarakat.
“Sebagai institusi kontrol sosial yang dominan, media bisa dinilai memperkuat nilainilai dan pandangan lama suatu masyarakat dan bisa membuatnya stagnan. Media memang bisa memperkuat polapola pikir dan perilaku lama sehingga menyulitkan masyarakat yang bersangkutan menapaki kemajuan (Rivers, 2003:31).”
(14)
Media memang merupakan suatu instansi yang sangat berpengaruh, karena mampu membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya dari berbagai aspek. Hal ini mengisyaratkan pula bahwa media juga dapat menjadi suatu acuan masyarakat dalam menentukan nilai baik atau buruk dari suatu obyek atau situasi yang ada di sekelilingnya.
Padahal dalam menghadirkan suatu sajian, media massa memindahkan realitas sosial ke dalam pesan media, dengan atau setelah diubah citranya (Bungin, 2001:2) untuk memenuhi tujuannya, atau juga berdasarkan sudut pandang media dalam menilai realitas tersebut, hal ini karena media pun terfokus pada selera massal untuk menjangkau konsumsi massal (Rivers, 2003:283), sehingga kerap menghadirkan suatu hal yang bersifat bias, seperti yang diungkapkan Sobur dalam bukunya yang berjudul Analisis Teks Media, sebagai berikut:
“Media pada dasarnya adalah cermin dan refleksi dari masyarakat secara umum. Karena itu, media bukanlah saluran yang bebas; dia subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias, dan pemihakannya” (Sobur, 2004: 39).
Sebenarnya, kondisi itu dipengaruhi oleh kepentingan finansial media yang tergantung kepada para sponsor dan pengiklan. Pengiklan selalu ingin menyenangkan khalayaknya sehingga menghindari berbagai hal tabu, sensitif atau kontroversial, termasuk didalamnya soalsoal politik (Rivers, 2003:285). Maka, opini yang dinilai bersifat lebih obyektif akan menjadi acuan media sebagai materi penyajian, meskipun seringkali opini tersebut merugikan pihak tertentu. Ironisnya,
(15)
segala hal yang disajikan media dianggap khalayaknya sebagai sebuah fakta yang memang begitu adanya.
Dengan demikian, media justru bisa menjadi subyek yang mengkonstruksi realitas penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak. Media berperan dalam mendefinisikan realitas. Di sini, ada dua peran yang dimainkan media. Pertama, media adalah sumber dari kekuasaan hegemonik, dimana kesadaran khalayak dikuasai. Kedua, media juga dapat menjadi sumber legitimasi, di mana lewat media, mereka yang berkuasa dapat memupuk kekuasaannya agar tampak absah, benar, dan memang seharusnyalah seperti itu (Eriyanto, 2001:58).
Selain film, drama, iklan, tabloid, majalah, koran dan sinetron, musik atau lagu juga termasuk produk media yang tidak lepas dari nilainilai budaya patriarki, terutama dalam merepresentasikan perempuan, seperti yang kerap ditemukan pada lagulagu yang menjadikan perempuan sebagai obyek acuannya. Dalam menggambarkan sosok perempuan, seorang penulis lirik lagu seringkali dipengaruhi oleh nilainilai yang ada di dalam masyarakatnya. Secara sadar atau tidak, penulis lirik lagu akan menghadirkan perempuan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan dari lingkungannya. Jika masyarakat yang melingkupinya dipengaruhi oleh ideologi patriarki dalam memandang sosok perempuan, maka dapat dipastikan hal itu pula yang akan hadir dalam lirik lagu yang dituliskannya. Dan apabila hal ini dibiarkan, maka lirik lagu dapat pula menjadi kontribusi hegemoni yang terus melanggengkan nilainilai budaya patriarki.
(16)
Kehadiran nilainilai budaya patriarki dalam sebuah lirik lagu kurang mendapat perhatian masyarakat. Alasan yang mungkin bisa dikaitkan dengan kondisi ini, antara lain: kehadiran lirik lagu yang diiringi oleh alunan musik lebih ditempatkan sebagai sarana hiburan saja oleh sebagian besar masyarakat, sehingga makna yang terkandung dalam lirik lagu kurang diperhatikan secara seksama.
Merujuk pada kondisi tersebut, maka perlu adanya suatu perhatian khusus pada keberadaan liriklirik lagu, terutama yang menghadirkan perempuan sebagai obyek acuannya. Oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk menjadikan lirik lagu sebagai obyek penelitian, dan yang menyita perhatian penulis adalah sebuah lirik lagu yang berjudul Karena Wanita (Ingin dimengerti) yang dibawakan oleh kelompok musik ADA Band. Alasannya, lirik lagu “Karena Wanita (Ingin Dimengerti)” Kelompok Musik ADA Band ini, yang selanjutnya disingkat KWID, dianggap peneliti sebagai sebuah lagu yang memberikan tema cinta dalam bentuk yang berbeda. Karena seperti yang kita ketahui, meskipun beberapa tahun belakangan ini dunia musik Indonesia telah banyak diramaikan oleh kemunculan wajah (musisi) pendatang baru yang hadir dengan membawakan berbagai variasi warna musik yang beragam, namun dari segi tema, lagu cinta masih menjadi pilihan dominan bagi para penciptanya.
Di tengahtengah maraknya tema percintaan atas dua insan manusia sebagai sepasang kekasih, lirik lagu KWID menyuguhkan tema cinta yang lebih luas. Lirik lagu KWID dikesankan mengungkapkan perasaan cinta dengan cara memberikan rasa kekaguman dan hormat kepada kaum perempuan ( http://www.djwirya.com/news/index.php?q=real&id=22&artis=Ada%20Band), 30
(17)
September 2007), tapi yang dimaksud bukan perempuan sebagai pasangan hidup yang diidamkan, ataupun seorang ibu yang kerap dijadikan sebuah tema lagu, seperti: “Bunda” Melly Goslow, “Ibu” – Opick Feat. Amanda, “Surga di Telapak Kakimu” – Gita Gutawa.
Perlu diketahui bahwa kekaguman merupakan salah satu bentuk penilaian terhadap suatu hal, dan kekaguman tersebut tentunya dapat diwujudkan dengan penggambaranpenggambaran berdasatkan pengalamannya terhadap suatu hal yang diamatinya. Dan oleh karena lirik lagu ini bercerita tentang sosok wanita, maka sudah dapat dipastikan isi dari lirik lagu tersebut penuh tentang penilaian lakilaki terhadap sosok wanita.
Dalam lirik lagu KWID, pengungkapan rasa kagum kepada kaum perempuan dihadirkan dengan memberikan gambaran tentang sosok perempuan sebagai seorang individu di ‘mata’ kaum lakilaki. Dalam penggambaran tersebut, tentunya penulis menyertakan pemahamanpemahamannya tentang perempuan berdasarkan pangalaman serta pengetahuan penulis lirik lagu yang telah dipengaruhi oleh lingkungan eksternal yang ada disekitarnya, seperti yang diungkapkan penulis lirik lagu KWID, yaitu Donnie Sibarani dalam sebuah media online : "Lagu ini (Karena Wanita Ingin Dimengerti) dibuat dari curhat orang orang sekitar saya" (http://www.detikhot.com/index.php/tainment.read/tahun /2006/bulan/05/tgl/01 /time /121653 /idnews/585721/idkanal/217, 30 September 2007). Sehingga secara disengaja atau tidak, keberadaan pengaruh nilainilai budaya patriarki yang berkaitan dengan pandangan terhadap sosok perempuan ini
(18)
telah turut terrepresentasikan dalam sistem tanda pada lirik lagu KWID, dan diterima sebagai pesan oleh khalayaknya.
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti bermaksud untuk meneliti bagaimana representasi nilainilai budaya patriarki dalam lirik lagu ‘Karena Wanita (Ingin Dimengerti)’, yang telah hadir secara nyata namun tidak dapat disadari secara langsung, karena adanya pemahaman yang dianggap sebagai kewajaran.
Dalam penelitian ini, penulis akan mengutamakan halhal (segi) eskternal yang melatari lirik lagu sebagai sesuatu yang signifikan dalam proses produksi pesan. Karena sebagai teks, lirik lagu tidak berdiri sendiri, tetapi dilatarbelakangi oleh konteks sosial kultural (Wahyudianata, 2007:88). Halhal eksternal seperti: opini masyarakat, fenomena atau peristiwa yang merupakan realitas sosial tersebut, dijelaskan dalam pembentukan tandatanda berupa rangkaian katakata yang membentuk lirik lagu. Jadi, fokus dari penelitian ini adalah untuk memahami pula bagaimana konstruksi hegemoni budaya dari masyarakat patrialkal yang berlangsung berabadabad telah berpengaruh dalam pandangan kaum lakilaki dan perempuan itu sendiri hingga ke generasi saat ini. Oleh karena itu dalam penelitian ini, perlu adanya pembanding antara sistem tanda yang digunakan oleh si pencipta lirik lagu dalam karyanya dengan peristiwa atau fenomena yang melatari lirik lagu tersebut
(19)
Pendekatan yang akan digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah analisis semiotik. Hal tersebut berdasarkan apa yang dituliskan Alex Sobur sebagai berikut:
Analisis semiotik memang merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang “aneh” –sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut– ketika kita membaca atau mendengar naskah atau narasi (baca : lirik lagu) (Sudjiman & van Zoest, 1996:105; Sudibyo, Hamad, Qodari, 2001:20 21 dalam Sobur, 2004:117).
Selain itu, lirik lagu dapat dikategorikan sebagai pesan verbal. Karena dalam pesan verbal proses komunikasi dilakukan melalui katakata, yang merupakan unsur dasar bahasa, dan katakata sudah jelas merupakan simbol verbal (Sobur,2004:42). Kata, merupakan bagian integral dari simbol yang dipakai kelompok masyarakatnya. Itu sebabnya, kata bersifat simbolis. Simbol itu, menurut Robbert Sibarani (Wibowo, 2003:34;Sobur, 2004:42), mengutip pendapat van Zoest, adalah sesuatu yang menyimbolkan dan mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara arbitrer, konvensional, dan representatifinterpretatif (Sobur, 2000:42)
Jadi jika dikaitkan dengan penulisan lirik lagu KWID, maka katakata yang dituliskan pengarang dalam lirik tersebut sebagai pesan yang mengungkapkan pandangannya tentang sosok perempuan, tentunya memiliki hubungan dengan kelompok masyarakatnya dalam menyimbolkan suatu ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara arbitrer, konvensional, dan representatifinterpretatif. Dengan mengamati tandatanda (signs) yang terdapat dalam sebuah teks (pesan), maka dapat diketahui ekspresi emosi dan kognisi si pembuat teks atau pembuat pesan itu, baik secara denotatif, konotatif, bahkan
(20)
mitologis (Manning dan Cullum Swan, 1994; Sudibyo, Hamid, dan Qodari, 2001 dalam Sobur, 2004:122). Semiotik melihat bahwa pesan merupakan konstruksi tandatanda, yang pada saat bersinggungan dengan penerima akan memproduksi makna (Fiske, 1990:2 dalam Sobur, 2004:122).
Dan oleh karena dalam penelitian ini berkaitan dengan sebuah nilainilai dalam masyarakat, maka hal tersebut menyangkut keberadaan sebuah ideologi, karena nilainilai merupakan bagian dari ideologi.
Bahwa ideologi berkaitan dengan pendapat umum, Apter melukiskan ideologi itu berada pada perpotongan antara prinsip atau tujuan filosofis, pilihan dan keyakinan individual, serta nilainilai umum dan khusus. Perpotongan ini diiktisarkan dalam gambar berikut ini (Sobur, 2004 : 219220):
Gambar 1.1
Komponenkomponen Ideologi
Sumber : David E. Apter. 1996. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: LP3ES, hlm. 236
Menurut Susilo (2000:24), suatu teknik yang menarik dan memberikan hasil baik untuk masuk ke dalam titik tolak berpikir ideologis yang terdapat pada suatu kebudayaan tertentu adalah mempelajari mitos. Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuankesatuan budaya (Sobur, 2004:128). Kita dapat menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi
Pilihan Nilai
(21)
konotasi yang terdapat di dalamnya (van Zoest, 1991:70). Salah satu cara adalah mencari mitologi dalam teksteks semacam itu (Sobur, 2004:129).
Dari sini, maka peneliti merasa tepat jika dalam penelitian ini peneliti menggunakan model semiotik Roland Barthes sebagai alat analisis, karena semiotika yang dikembangkan Barthes memberikan perhatian khusus pada makna konotasi dan makna denotasi yang terkandung dalam sebuah tanda. Dan dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilainilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman, 2001; Sobur, 2002:71).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah peneliti sajikan, maka dapat ditarik sebuah rumusan permasalahan sebagai berikut :
“Bagaimanakah representasi nilainilai budaya patriarki dalam lirik lagu ‘Karena Wanita (Ingin Dimengerti)’?”
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan representasi nilainilai budaya patriarki yang tertuang dalam sebuah lirik lagu Karena Wanita (Ingin dimengerti).
(22)
1.4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diharapkan dapat muncul dari adanya penelitian ini, antara lain :
1. Kegunaan teoritis
Hasil penelitian ini dapat menambah ragam kajian penelitian ilmu komunikasi khususnya mengenai studi semiotik.
2. Kegunaan praktis
a. Bagi yang ingin mengkaji karya musik atau lagu, khususnya dari segi lirik lagu, dengan menggunakan pendekatan semiotik, maka penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan, tambahan pengetahuan atau bahan pertimbangan dalam kajian semiotik lirik lagu selanjutnya.
b. Penelitian ini dapat menambah wawasan, referensi atau bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam menilai karya seni, khususnya karya lagu atau musik dari segi liriknya.
c. Memberikan kesadaran kepada masyarakat agar lebih kritis dalam menerima terpaan media massa, apapun itu bentuknya. Sehingga tidak dengan mudah menganggap segala tampilan media adalah sebagai sebuah kewajaran budaya.
(23)
14 2.1. Landasan Teori
2.1.1. Produksi Pesan dalam Proses Komunikasi
Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan/atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud sumber (pengirim pesan) (Mulyana, 2001:63). Berdasarkan paradigma Lasswell, pesan merupakan salah satu dari lima unsur komunikasi yang bergantung satu sama lain, seperti : komunikator (source, comunicator, sender), media (channel, media), komunikan (communicant, receiver, recipient) dan efek (effect, impact, influence) (Effendy, 2007:10).
Dalam proses penyampaian pesan, pihak komunikator atau sumber akan melakukan proses penyandian (encoding) terlebih dahulu. Untuk menyampaikan apa yang ada dalam hatinya (perasaan) atau dalam kepalanya (pikiran), sumber harus mengubah perasaan atau pikiran tersebut ke dalam seperangkat simbol verbal dan/atau nonverbal yang idealnya dipahami oleh penerima pesan (Mulyana, 2001:63). Seperangkat simbol yang mewakili perasaan atau pikiran penyampai pesan, dalam wacana linguistik disebut sebagai bahasa atau kata.
Kata atau bahasa, di dalam wacana linguistik, diberi pengertian sebagai sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbitrer (berubahubah) dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
(24)
Komunikasi dapat berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan (Effendi, 2007:13). Oleh karena itu Wilbur Schramm, seorang ahli komunikasi kenamaan, dalam karyanya, “Communication Research in the United State”, menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experiences and meanings) yang pernah diperoleh komunikan. Menurut Schramm, bidang pengalaman (field of experience) merupakan faktor yang penting dalam komunikasi (Effendy, 2007:1314). Maka pengalaman masa lalu, rujukan nilai, pengetahuan, persepsi, pola pikir, dan perasaan sumber mempengaruhi dalam merumuskan pesan tersebut (Mulyana, 2001:63). Oleh karena itu, komunikasi akan lebih efektif apabila para pelakunya memiliki latar belakang budaya yang sama.
Human are limited in their abilities to understand the content and/or meaning of what they percieve. These limitation are primarily the result of the listener’s degree of interest in the material, intelect, and physical condition. The same material (music recording) will yield different information to different listeners (or the same listener on different hearing), depending on knowledge, experience, analytic reasoning, socialcultural conditioning, expectations of context, attentiveness, and the condition of hearing mechanism (Moylan, 2007:74).
Dengan mengetahui proses produksi pesan dalam proses komunikasi, akan memberi pemahaman tentang bagaimana suatu ideologi atau nilai yang dimiliki oleh satu individu dapat tertularkan kepada individu yang lainnya dalam suatu masyarakat, sehingga ideologi tersebut dapat terus dan mampu bertahan dari masa ke masa.
(25)
2.1.2. Lirik Lagu sebagai bentuk Pesan Komunikasi
Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini dan lainlain yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keraguraguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati (Effendy, 2007:11). Dalam istilah komunikasi pikiran atau perasaan tersebut disebut sebagai pesan.
Secara praktisi, manusia mempunyai banyak cara dalam menyampaikan pikiran atau perasaannya, dan salah satu media yang dapat digunakan adalah melalui karya seni seperti musik. Musik merupakan salah satu bentuk dari fungsi fungsi komunikasi yaitu komunikasi ekspresif. Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaanperasaan (emosi) kita. Dan harus diakui, musik juga dapat mengekspresikan perasaan, kesadaran, dan bahkan pandangan hidup (ideologi) manusia (Mulyana, 2000:21&22).
Lirik lagu merupakan salah satu elemen dari musik yang menjadi pusat kegiatan komunikasi antara pencipta dan khalayaknya, seperti yang diungkapkan William Moylan dalam bukunya The Art of Recording : Understanding and Crafting The Mix, sebagai berikut :
Music that includes a text, such a song, will communicate other concepts. These works may tell a story, deliver the author’s impression of an exprience, present a social commentary, etc. Music is used a vihicle to deliver the tangiable ideas of the author/composer.
(26)
The interplay between the music and the drama of the text is often an important contributor to the total experience of these work’s (Moylan, 2007:62).
Seperti halnya sebuah puisi, lirik lagu juga terdiri atas kalimatkalimat yang dengan sengaja oleh pengarangnya disusun secara sistematis dalam baitbait agar memiliki keharmonisan untuk didengar. Oleh karena itu dalam beberapa kesempatan, sebuah lagu kerap dipilih sebagai ilustrasi musik atas sebuah peristiwa tertentu, baik dalam tayangan televisi, siaran radio, film dan sebagainya. Melalui liriknya, sebuah lagu atau musik dapat diidentifikasi sebagai lagu yang memiliki maksud tertentu, seperti: pujian, hinaan/cacian, kritikan, pengharapan, berdasarkan obyek rujukannya, seperti : kekasih, sahabat, pemerintah, golongan, Tuhan, ibu, ayah dan sebagainya. Dengan adanya sebuah lirik pula, maka sebuah alunan lagu atau musik dapat menunjukkan muatan emosi yang ingin disampaikan oleh pengarang/pencipta lagu secara jelas, apakah kesedihan, kegembiraan, kemarahan atau rasa cinta.
The lyrics of song might present a story line, or it might be a description of an event or the author’s feelings about some aspect of the world around them. The text might be a presentation of the soscialpolitical philosophies of the author, or it might be a love song. The potential subjects for song are perhaps limitless (Moylan, 2007:70).
Pada beberapa situasi, memang ada kalanya hanya dengan alunan musik saja para pendengar sudah mampu menangkap makna dari musik tersebut, namun dengan adanya lirik lagu, maka para pendengar akan lebih mengetahui gambaran spesifik dari maksud pengarang lagu tersebut.
(27)
2.1.3. Hubungan Pandangan, Bahasa dan Budaya
Manusia adalah makhluk berpikir. Manusia mengucapkan pikirannya lewat bahasa. Meskipun menurut Lorens Bagus (1990), bahasa tidak sama dengan pikiran. Pikiran memakai bahasa sebagai alat ekspresi. Bahasa mempunyai kekuatan yang begitu dahsyat dan lebih tajam dari sebuah pisau. Di dalamnya terdapat sesuatu kekuatan yang tidak tampak yang diberi nama komunikasi. Dalam filsafat bahasa dikatakan bahwa orang mencipta realita dan menatanya lewat bahasa. Bahasa mengangkat ke permukaan hal yang tersembunyi sehingga menjadi kenyataan. Tetapi, bahasa yang sama dapat dipakai menghancurkan realitas orang lain (Sobur, 2004:16).
Bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis, sehingga bisa digunakan sebagai alat komunikasi. Kata itu sendiri, merupakan bagian integral dari simbol yang dipakai oleh kelompok masyarakatnya. Itu sebabnya, kata bersifat simbolis. Simbol itu, menurut Robert Sibarani (Wibowo, 2001:34), mengutip pendapat van Zoest, adalah sesuatu yang dapat menyimbolkan dan mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara arbitrer, konvensional dan representatifinterpretatif (Sobur, 2004:42).
Penggunaan katakata dalam penyampaian pesan verbal sangat menentukan keberhasilan dari proses komunikasi.
Bagi media, bahasa bukan sekedar alat komunikasi untuk menyampaikan fakta, informasi, atau opini. Bahasa juga bukan sekedar alat komunikasi untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada publik. (Sobur, 2004:89)
Bahasa yang dimiliki seseorang (dalam sebuah masyarakat) merupakan hasil pengenalan (cognition) terhadap lingkungan sekitarnya. Oleh karena apa yang dilihat, dirasakan, didengar, dikecap, dan dicium berada dalam lingkungan
(28)
yang satu dan sama, maka bahasa yang dihasilkannya pun relatif menunjukkan adanya kesamaan. Menurut Goodenough (via Carson,1981:17;via Kalangi, 1994:1) sistem kognitif itulah yang merupakan kebudayaan. Sistem kognitif itu terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggotaanggota individual masyarakat. Sementara itu, bahasa yang merupakan salah satu unsur pokok kebudayaan itu merupakan sistem simbol (Geertz via Kalangi, 1994:2; via AhimsaPutra, 1997:14). Dalam bahasalah tersimpan khasanah kebudayaan suatu masyarakat (Istiyani, 2004:23).
2.1.4. Ideologi Patriarki dalam Nilainilai budaya
Nilainilai budaya merupakan konsepkonsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, sebagai suatu pedoman yang memberi arah orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat. Walaupun nilainilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum. Mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas dan tidak konkret itu, maka nilainilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan. Para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilainilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya, sehingga konsepkonsep itu sejak lama telah berakar dalam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilainilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat
(29)
diganti dengan nilainilai budaya lain dalam waktu yang singkat, dengan cara mendiskusikannya secara rasional (Koentjaraningrat, 1990:190).
Perlu diketahui, pengertian dari nilainilai itu sendiri sebenarnya adalah perasaanperasaan tentang apa yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan, atau tentang apa yang boleh atau tidak boleh. Adapun tingkatantingkatan nilai, menurut Arnold Green, ada tiga tingkatan, yaitu: perasaan (sentimen) yang abstrak, normanorma moral, dan keakuan (kedirian). Ketiga tingkatan tersebut ditemukan di dalam kepribadian seseorang. Perasaan dipakai sebagai standar untuk tingkah laku. Demikian pula normanorma moral merupakan standar tingkah laku yang berfungsi sebagai kerangka patokan (frame of reference) dalam berinteraksi. Adapun keakuan (kedirian) berperan dalam membentuk kepribadian melalui proses pengalaman sosial.
Nilainilai juga memiliki jenisjenis menurut intensitasnya, yaitu nilai nilai yang tercernakan dan nilainilai yang dominan. Nilainilai yang tercernakan (internalized values) merupakan suatu landasan bagi reaksi yang diberikan secara otomatis terhadap situasisituasi tingkah laku eksistensi, sedangkan nilainilai tercernakan tidak dapat dipisahkan dari si individu, serta membentuk landasan bagi hati nuraninya. Nilai yang tercernakan bagi individuindividu artinya individu itu menghayati atau menjiwai suatu nilai sehingga ia akan memandang keliru pola perilaku yang tidak sesuai dengan nilai tersebut. Sedangkan nilainilai yang dominan artinya nilainilai yang lebih diutamakan daripada nilainilai lain. Fungsi nilai dominan ialah sebagai suatu latar belakang atau kerangka patokan bagi tingkah laku seharihari (Sulaeman, 1998:2021):.
(30)
Kriteria suatu nilai dominan ditentukan oleh halhal sebagai berikut (Sulaeman, 1998:21):
1. Luas tidaknya ruang lingkup pengaruh nilainilai tersebut dalam aktivitas total dari sistem sosial
2. Lamatidaknya pengaruh nilai itu dirasakan oleh kelompok masyarakat 3. Gigihtidaknya (intensitas) nilai tersebut diperjuangkan atau dipertahankan 4. Prestise orangorang yang menganut nilai, yaitu orang atau organisasi
organisasi yang dipancang sebagai pembawa nilai.
Berbicara tentang nilainilai budaya, dalam konteks gender, maka dapat dipastikan bahwa patriarki merupakan nilainilai dominan yang ada di dalam masyarakat kita. Hal tersebut terlihat dari bagaimana berbagai bentuk aturan dan norma serta adatistiadat yang berlaku di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan kaum perempuan dan lakilaki.
Patriarki atau dalam bahasa Inggris adalah Patriarchy, menurut kamus online Oxford berarti “ a system of society in which men hold most or all of the power” (http://www.askoxford.com/concise_oed/patriarchy?view=uk,15 November 2009, 12:30). Jadi, patriarki adalah sebutan pada sistem yang melalui tatanan sosialnya memberikan prioritas dan kekuasaan lebih besar terhadap kaum lakilaki dan dengan demikian mereka memiliki dominasi atas kaum lawan jenisnya yaitu perempuan.
Sumber pemahaman atas fakta tersebut bisa dikatakan pengaruh dari buah pikir para pemikir terdahulu berkaitan dengan asal kejadian manusia, seperti yang dituliskan Mufidah dalam bukunya yang berjudul Paradigma Gender tentang asal
(31)
kejadian perempuan dalam Islam. Dalam uraiannya, Mufidah menuliskan bahwa ulama yang memahami (kata) nafs dengan Adam, dan Zausaha dengan Hawa (dalam QS An Nisa : 1), (berkesimpulan) maka Hawa diciptakan dari Adam. Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam. Bahkan, Al Tabarsi, salah seorang ulama tafsir bermazhab Syiah (abad ke6 H) mengemukakan kata tersebut dengan Adam (Quarish Shihab, 1996 dalam Mufidah, 2003:21). Dari pengertian tersebut timbul pandangan negatif terhadap perempuan, seolah perempuan merupakan bagian lakilaki, tanpa lakilaki perempuan tidak pernah ada (Mufidah, 2003:21).
Meskipun telah mendapat berbagai sanggahan terhadap penafsiran penafsiran itu, anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang dilemahkan tidak kunjung memudar. Faktor penyebabnya adalah kecenderungan pemikiran para filosof besar Islam yang merujuk pada para pendahulunya, seperti Aristoteles.
Mereka (filososffilosof besar Islam) memandang Aristoteles sebagai guru besar utama di bidang filsafat. Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran filosof filosof besar Islam turut mempengaruhi pula proses pembentukan keilmuan dalam Islam seperti : ilmu Tafsir, Hadis, Fikih, ilmu Kalam, Sejarah Kebudayaan Islam, dan cabangcabangnya (Mufidah, 2003:35)
Sebaliknya dalam memandang perempuan, Aristoteles mengkonsepsikan bahwa secara alamiah, nalar perempuan tidak dipersiapkan untuk berpikir luas karena tugastugasnya hanya untuk peran domestik. Menurutnya, relasi lakilaki dan perempuan diibaratkan seperti hubungan raja dan hamba atau bangsa Barbar dengan bangsa Yunani. Dengan tegas, ia mengatakan, “Sesungguhnya kita
(32)
mengawini istriistri hanya untuk melahirkan anakanak kita” (Mufidah, 2003:34), dan pada halaman lain, “Perempuan adalah perempuan dengan sifat khusus yang kurang berkualitas, kita harus memandang sifat perempuan yang dimilikinya sebagai suatu ketidaksempurnaan alam” (Mufidah, 2003:9)
Jika merujuk pada konsep Aristoteles tersebut, maka perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah, harus tunduk kepada lakilaki, kurang berakal, dan peranannya dalam kehidupan hanya sebagai sarana reproduksi. Inilah yang menjadi salah satu latar belakang kemunculan kulturkultur yang lebih memiliki keterpihakan kepada kaum lakilaki seperti patriarki.
Patriarki ini menjelma menjadi ideologi ketika dipahami sebagai serangkaian gagasan yang menjustifikasi dominasi lakilaki dan perbedaan inheren yang alamiah antara lakilaki dan perempuan, karena kehadirannya di dalam masyarakat telah dianggap sebagai sebuah normanorma dan nilai budaya yang kerap dijadikan pandangan hidup dalam kehidupan seharihari.
Ideologi merupakan komponen dasar dari sistemsistem sosiobudaya. Pengertian ini menyangkut sistemsistem dasar kepercayaan dan petunjuk hidup seharihari. Suatu Ideologi bagi masyarakat tersusun dari tiga unsur, yaitu: (1) pandangan hidup, (2) nilainilai, dan (3) normanorma (Lenski, 1974); (Sulaeman, 2001:74).
Dalam konsepsi Marx, ideologi adalah sebentuk kesadaran palsu. Kesadaran seseorang, siapa mereka, dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan masyarakat dibentuk dan diproduksi oleh masyarakat, tidak oleh biologi alamiah. Kesadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh masyarakat,
(33)
tidak oleh psikologi individu (Fiske dalam Eriyanto, 2001:93). Sebagai contoh, dalam beberapa iklan kosmetik atau produk perempuan lainnya, ideologi tersebut terlihat dengan jelas. Di sini, anggota kelompok subordinat, kaum perempuan, dibuat kesadarannya oleh ide kelompok dominan sebagai kesadaran palsu tidak hanya dalam dirinya tetapi juga relasi sosialnya. Kelompok dominan menampilkan gambaran bahwa perempuan yang cantik adalah mereka yang memiliki kulit putih, bersih dari noda atau jerawat serta langsing, dan kategori kategori seperti inilah yang juga dianggap cantik oleh kaum lakilaki. Jadi, hanya bagi perempuan yang memenuhi kriteria seperti itulah yang mampu menarik perhatian lakilaki. Dengan menyertakan ungkapanungkapan persuasif, hal tersebut seolaholah menjadikan sebagai sesuatu hak istimewa yang patut dimiliki kaum perempuan. Kesadaran atas diri perempuan semacam ini adalah palsu, dan teks iklan ini menempatkan khalayaknya pada posisi ideologi patriarki yang menerima penilaian lakilaki atas diri perempuan, dan hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Perwujudan ideologi patriarki dalam bentuk dominasi lakilaki atas diri perempuan sangat sulit dihapuskan, karena secara tidak sadar telah menjadi nilai nilai budaya dalam masyarakat. Komunikasi merupakan salah satu bentuk kegiatan sosial yang sangat berkompeten memelihara kondisi tersebut, karena komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan normanorma budaya masyarakat, baik secara horisontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal, dari suatu generasi kepada generasi berikutnya (Mulyana, 2000:6). Dalam masyarakat patriarkal, budaya yang berlaku
(34)
menetapkan normanorma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu, misalnya “Lakilaki tidak gampang menangis, tidak bermain boneka”, “Anak perempuan tidak bermain pistolpistolan, pedangpedangan, atau mobil mobilan. Penetapan normanorma yang demikian, selanjutnya akan dipahami sebagai sebuah konstruksi sosial bahwa seorang lakilaki selayaknya harus menjadi sosok yang kuat dan pemberani bukannya lemah seperti kaum perempuan.
Masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan lakilaki sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku maskulin dan feminin yang diberlakukan untuk memberdayakan laki laki di satu sisi dan melemahkan perempuan di sisi lain. Masyarakat patriarkal menyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi budaya adalah “alamiah” dan karena itu “normalitas” seseorang tergantung pada kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan perilaku gender. Perilaku ini secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang. Masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan perempuan tetap pasif (penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik, ramah) dan lakilaki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, kompetitif) (Tong, 1998 :7273).
(35)
2.1.5. Representasi
Seorang ahli sosiologi dan antropologi Perancis, bernama E. Durkheim, beranggapan bahwa aktivitasaktivitas dan prosesproses rohaniah seperti: penangkapan pengalaman, rasa, sensasi, kemauan, keinginan dan lainlain itu, terjadi dalam organisma fisik dari manusia dan khususnya berpangkal di otak dan sistem syarafnya. Akal manusia mempunyai kemampuan untuk menghubung hubungkan prosesproses rohaniah yang primer tadi melalui prosesproses sekunder, menjadi suatu hal yang khas, menjadi gagasan. Suatu gagasan serupa itu oleh Durkheim disebut representation (Koentjaraningrat, 1990:211).
Pada tingkat dasar, representasi sekedar sesuatu yang direpresentasikan dengan bantuan sesuatu yang lain –umpamanya, warna hitam merepresentasikan kematian, sedangkan warna hijau merepresentasikan kehidupan. Sehingga representasi dapat pula diartikan sebagai suatu wahana yang denganya dua hal yang tak berkaitan dipersatukan untuk mengacu pada sebuah konsep (Trifonas, 2003:63).
Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana suatu realitas atau objek ditampilkan? Apakah dengan penggambaran apa adanya atau diburukkan? Hal tersebut tergantung pada ideologi apa yang melingkupi obyek yang direpresentasikan.
Representasi perempuan secara kultural dalam media massa dapat dipandang sebagai sosok yang mendukung kelanggengan konsep feminitas dan maskulinitas, sehingga perempuan kerap ditampilkan dalam lingkup pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin semata. Bahwa sebagai seorang perempuan
(36)
selayaknya ahli dalam mengurus urusan rumah tangga, seperti: pandai memasak, pandai berdandan, mengurus anak dan suami, dan sebagainya.
Dalam karya sastra Indonesia, sosok wanita kerap muncul sebagai kehalusan, sesuatu yang bergerak lamban, bahkan kadang berhenti. Wanita, sebagaimana digambarkan Herliany (dalam Ibrahim dan Suranto, ed., 1998:56), begitu dekat dengan idiomidiom seperti keterkungkungan, ketertindasan, dan bahkan pada ‘konsep’ yang terlanjur diterima dalam kultur masyarakat kita bahwa mereka adalah ‘objek’ dan bukan ‘subjek’(Sobur, 2004:36).
Tubuh wanita dimuati dengan ‘modal simbolik’ ketimbang sekadar modal biologis. Tubuh wanita yang ‘ditelanjangi’ melalui ribuan varian sikap, gaya, penampilan (appearance) dan ‘kepribadian’ mengkonstruksikan dan manaturalisasikan tubuhnya secara sosial dan kultural sebagai ‘objek fetish’ (fetish object), yaitu objek yang ‘dipuja’ (sekaligus dilecehkan?) karena dianggap mempunyai kekuatan ‘pesona’ (rangsangan, hasrat, citra) tertentu. Singkat kata “wajah” wanita di media massa masih memperlihatkan stereotip yang merugikan: perempuan pasif, bergantung pada pria, didominasi, menerima keputusan yang dibuat oleh pria, dan terutama melihat dirinya sebagai simbol seks (Sobur, 2004: 3839).
Sehingga dapat digambarkan bahwa dalam konteks gender, media menjadi sebuah arena bagi perjuangan ‘tanda’, untuk menempatkan tandatanda tertentu (maskulin) pada posisi dominan, dan tandatanda lain (feminin) pada posisi marjinal. Artinya, perjuangan memperebutkan ‘hegemoni kekuasaan’ tercermin
(37)
dari perjuangan memperebutkan ‘hegemoni tanda’ di dalam media itu sendiri, khususnya ‘hegemoni gender’(Sobur, 2004:39).
Representasi perempuan dan lakilaki secara kultural yang bias dalam berbagai mampu menciptakan berbagai bentuk stereotype pada diri perempuan maupun lakilaki dalam pandangan masyarakat. Stereotype adalah pelabelan terhadap kelompok, suku, bangsa tertentu yang selalu berkonotasi negatif sehingga sering merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Pelabelan atau penandaan yang dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin tertentu (perempuan) akan menimbulkan kesan negatif yang merupakan keharusan yang disandang oleh perempuan. Stereotype merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender.
Dalam beberapa hal, masyarakat menghubungkannya dengan mitosmitos dan penafsiran agama yang salah, misalnya perempuan tempatnya fitnah, mayoritas penghuni neraka, tidak sederajat dengan lakilaki, dan sebagainya, semakin memperpanjang daftar stereotype perempuan yang kemudian disosialisasikan dari generasi ke generasi (Mufidah, 2003:78).
2.1.6. Pandangan Feminis
Kata feminisme berasal dari kata Latin, femina (perempuan) yang mempunyai makna “memiliki kualitas perempuan” (Arivia, 2006:412). Istilah “feminis” pertama kali digunakan di dalam literatur Barat pada tahun 1880, yang secara tegas menuntut kesetaraan hukum dan politik dengan lakilaki (Arivia, 2006:10). Gelombang kedua teori feminisme memberikan penjelasan umum tentang konsep fundamental penindasan terhadap perempuan dan respons
(38)
terhadap kritikkritik Marxisme. Pada tahap teori ini, pembahasan difokuskan kepada “perbedaan” yang diciptakan antara perempuan dan lakilaki yang terjadi secara mengakar dengan dibahasakan “kodrati” (Arivia, 2006:19).
Sepanjang sejarah di belahan dunia patriarki seperti di Indonesia, representasi isuisu perempuan di segala bidang (politik, ekonomi, budaya, agama, dan sebagainya) telah dikesampingkan dan ditolak di dalam wacana publik. Sebagai perempuan, kita berbeda, namun juga sama dengan lakilaki. Ada kondisi umum yang membuat perempuan sama dengan lakilaki. Ada kondisi umum yang membuat perempuan sama dengan lakilaki, namun ada pula kondisi khusus yang dimiliki perempuan yang membuatnya berbeda, tetapi bukan berarti untuk dibedakan. Perbedaan dengan cara menilai positif adalah perbedaan yang melihat perempuan dengan nilai dan cara beradanya yang berbeda dengan lakilaki. Nilai dan cara berada perempuan dikonstruksi dan dikondisikan oleh pengalaman pengalaman perempuan yang melahirkan, menyusui, merawat, dan mempunyai tingkat kesensitifat serta kepedulian yang besar. Nilainilai perempuan didasarkan pada etika kepedulian yang kental melekat di dalam sistem cara pandang dunia perempuan. Sedangkan perbedaan dengan cara menilai negatif adalah melihat nilainilai perempuan sebagai “yang lain” (other). Sehingga dengan mudah terjadi pengobyekan dan penindasan (Arivia, 2006:46).
Untuk menciptakan suatu dunia feminis, pertamatama yang harus dilakukan adalah menyadari bahwa adanya kepalsuan dunia patriarkal yang mengintimidasi posisi perempuan sehingga mengakibatkan adanya ketidakadilan
(39)
terhadap perempuan. Ide dan struktur patriarki ini perlu dilawan dengan suara suara perempuan dan wacanawacana perempuan (Arivia, 2006:112).
Hal yang pertama dilakukan untuk menciptakan kembali dunia yang mengusung feminitas adalah mengevaluasi kembali kualitaskualitas feminin. Hal ini berarti terfokus pada duniadunia simbolis, mitos, imaji, dan bahasa. Usaha usaha dilakukan lewat penggalian budayabudaya feminin. Penempatan bahwa bahasa itu penting dalam studi feminis sangat masuk akal. Dale Spender dalam tulisannya Language and Reality: Who Made the World?, sangat tegas menunjukkan bahwa kelompok yang telah merekonstruksi realitas patriarkal adalah lakilaki. Kelompok dominan lakilaki ini telah merekonstruksi sejarah, struktur, maknamakna simbolis yang menguntungkan lakilaki (Arivia, 2006:113).
Pandangan feminis perlu menjadi sebuah pegangan dalam melihat segala bentuk tanda yang ada di sekitar kita, dan menerpa kita dalam berbagai macam bentuk, terutama yang disebarkan melalui media massa. Berbagai bentuk ideologi patriarki yang menjelma dalam berbagai representasi akan menjadikan ideologi tersebut semakin langeng. Namun melalui perspektif feminis, maka akan membantu kita untuk lebih peka mengidentifikasinya.
Dalam penelitian ini, peneliti menjadikan feminisme sebagai tolak ukur dalam mengidentifikasi nilainilai budaya patraiarki yang terrepresentasikan dalam tandatanda yang terdapat di dalam obyek penelitian, yaitu sebuah lirik lagu, sehingga dapat melihat bagaimana nilainilai budaya yang dianut suatu masyarakat, suatu kebudayaan, yang menempatkan perempuan pada kedudukan
(40)
tertentu serta melihat bagaimana nilainilai tersebut mempengaruhi hubungan antara perempuan dan lakilaki dalam tingkatan psikologis dan budaya.
2.1.7. Pendekatan Semiotik dalam Ilmu Komunikasi
Tandatanda (signs) adalah basis dari seluruh komuniasi (Littlejohn, 1996:64;Sobur, 2001:15). Tanda terdapat di manamana. Kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda. Ahli filsafat dari Amerika, Charles Sanders Peirce, menegaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan sarana tanda. Sudah pasti bahwa tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi (Sudjiman & Zoest, 1992:vii).
Tandatanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta (Sudjiman & Zoest, 1992:1) dan untuk memahami tandatanda tersebut, kita membutuhkan suatu model dari ilmu pengetahuan sosial yang disebut semiotika, berkaitan dengan hal tersebut, Daniel Chandler dalam bukunya yang berjudul Semiotic for Beginners, menuliskan, sebagai berikut :
Semiotics is important because it can help us not to take 'reality' for granted as something having a purely objective existence which is independent of human interpretation. It teaches us that reality is a system of signs. Studying semiotics can assist us to become more aware of reality as a construction and of the roles played by ourselves and others in constructing it http://www.aber.ac.uk/media/Documents/S4B/sem01.ht ml (24 Oktober 2009).
(41)
Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979:16). Berdasarkan pemikiran Saussure, yang paling penting dalam konteks semiotik adalah pendangannya mengenai tanda. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilihan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Signfier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signfied adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Kedua unsur ini seperti seperti dua sisi dari sekeping mata uang atau selembar kertas. Tanda bahasa dengan demikian menyatukan, bukan hal dengan nama, melainkan konsep dan gambaran akustis.
Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut:
Gambar 2.1
Elemenelemen Makna Saussure
Sumber : Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, 2004, hlm. 125.
Sign
Signifier (physical existence of
the sign)
Signified (mental concept)
signification
external reality of meaning compose of
(42)
Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut adalah produk kultural. Hubungan di antara keduanya bersifat arbitrer (manasuka) dan hanya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut (Sobur, 2004:125).
Pada dasarnya pusat perhatian pendekatan semiotik adalah pada tanda (sign). Dan menurut John Fiske ada tiga area penting dalam studi semiotik, yakni (Fiske, 1990:40; Sobur, 2004:94):
1. The sign itself. This consists of the study of diffrent varieties of signs, of the diffrent ways thay have of confeying meaning, and of the way they relate to the people who use them. For signs are human constructs and can only be understood is terms of the uses people put them to. (Tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakannya. tanda adalah buatan manusia dan hanya dapat dimengerti oleh manusia orang orang yang menggunakannya).
2. The codes or systems into which signs are organized. This study covers the ways that a variety of codes have developed in order to meet the needs of a society or cultur. (kode atau sistem dimana lambanglambang disusun. Study ini meliputi bagaimana beragam tanda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan).
3. The culture within which these codes and signs operate. (Kebudayaan dimana kode dan lambang itu beroperasi).
(43)
Pada perkembangannya dewasa ini, semiotik kerap digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis teks media. Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. Teks media yang tersusun atas seperangkat tanda tersebut tidak pernah membawa makna tunggal. Kenyataannya, teks media selalu memiliki ideologi dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa teks media membawa kepentingankepentingan tertentu– juga kesalahankesalahan tertentu– yang lebih luas dan kompleks (Sobur, 2004:95).
Semiotik membuat kita sadar dan berhatihati bahwa nilainilai budaya yang kita pakai untuk memahami dunia, adalah sebuah konvensikonvensi atau kesepakatan yang telah diturunkan dari generasi ke generasi oleh anggota dari budaya, dimana kita menjadi bagiannya. Semiotik mengingatkan kita bahwa tidak ada hal yang alami mengenai nilainilai budaya kita. Nilainilai budaya adalah konstruksi sosial yang tidak hanya sangat beragam seiring perjalanan waktu tetapi juga sangat berbeda dari satu budaya ke budaya lain.
2.1.8. Penampakan Ideologi dalam Studi Semiotik
Volosinov menyatakan, “whenever a sign present, ideology is present too” (Hall, 1977;Susilo, 2000; Sobur, 2004:93). Ideologi adalah harta yang terpendam dalam proses semiotik. Bukan ideologi dalam arti bentuk teoritis yang besar, semacam susunan filsafat yang diterima secara umum, tetapi ideologi dalam arti semiotik: titik tolak perorangan untuk interpretasi. Peranan ideologi
(44)
dalam semiosis kurang nyata, bahkan sering secara praktis tidak kelihatan dan menyelinap (Sudjiman & Zoest, 1992:103 & 104).
Living in a world of increasingly visual signs, we need to learn that even the most 'realistic' signs are not what they appear to be. By making more explicit the codes by which signs are interpreted we may perform the valuable semiotic function of 'denaturalizing' signs. In defining realities signs serve ideological functions. Deconstructing and contesting the realities of signs can reveal whose realities are privileged and whose are suppressed. The study of signs is the study of the construction and maintenance of reality. To decline such a study is to leave to others the control of the world of meanings which we inhabit (Chandler,
http://www.aber.ac.uk/media/Documents/S4B/sem01.html,
24 Oktober 2009).
(Hidup di dalam sebuah dunia tandatanda visual yang semakin bertambah banyak, kita perlu mempelajari bahwa tandatanda yang paling realistis sekalipun tidak seperti yang tampak di penglihatan kita. Dengan membuat kodekode untuk menginterpretasikan tanda tanda itu semakin eksplisit kita mungkin bisa menampilkan atau menyuguhkan fungsifungsi semiotic yang bernilai untuk proses denaturalisasi tandatanda. Dalam mendefinisikan realitarealita, tandatanda atau signs memiliki atau menampilkan fungsifungsi ideologis. Dengan mengdekonstruksi dan membandingkan realitarealita dari tanda dapat memunculkan realitarealita milik siapa yang diutamakan dan milik siapa yang ditekan. Studi mengenai tanda tanda adalah studi mengenai konstruksi dan pemeliharaan realitas. Dengan mengabaikan studi semacam itu, kita membiarkan pihak lain untuk mengendalikan dunia dari artiarti yang kita diami).
Studi semiotik mengajarkan untuk lebih kritis dalam menerima setiap terpaan pesan. Karena setiap pesan mengandung maksudmaksud terentu,
(45)
meskipun oleh pengirim pesan tidak dimaksudkan demikian. Namun jika kesalahpahaman makna dari pesan itu tidak dihiraukan, maka akan menyebabkan sebuah pelanggengan terhadap suatu kesalahpaham, dan tentunya memiliki dampak terhadap pihakpihak tertentu bahkan cenderung merugikan salah satu pihak.. Kondisi seperti inilah yang pada umumnya terjadi pada bertahannya suatu ideologi dalam masyarakat.
Menurut Susilo (2000:24), suatu teknik yang menarik dan memberikan hasil baik untuk masuk ke dalam titik tolak berpikir ideologis yang terdapat pada suatu kebudayaan tertentu adalah mempelajari mitos. Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuankesatuan budaya (Sobur, 2004:128).
Kita dapat menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasikonotasi yang terdapat di dalamnya (van Zoest, 1991:70). Salah satu cara adalah mencari mitologi dalam teksteks semacam itu (Sobur, 2004:129).
Media massa menciptakan mitologimitologi atau ideologiideologi sebagai sistem konotatif sekunder dengan mencoba memberikan pesanpesan. Pada level denotatif, pesanpesan itu mengekspresikan maknamakna yang primer atau “natural”. Sementara pada level konotatif, pesan itu menyembunyikan malna makna sekunder atau “ideologis” (Sumartono, 2003; Trifonas, 2003:vi).
2.1.9. Lirik Lagu dalam Kajian Semiotik
Berdasarkan karakteristik lirik lagu, maka lirik lagu yang merupakan elemen dari musik, dapat dikategorikan ke dalam bentuk teks. Karena dalam teori
(46)
bahasa, apa yang dinamakan teks tak lebih dari himpunan huruf yang membentuk kata dan kalimat yang dirangkai dengan sistem tanda yang disepakati oleh masyarakat, sehingga sebuah teks ketika dibaca bisa mengungkapkan makna yang dikandungnya. Oleh karenanya, Dari sudut pandang mazhab transendentalisme hermeneutik, kebenaran yang lebih konsisten justru ketika tertuang dalam teks, bukannya dalam diri pengarangnya yang kadangkala labil dan situasional. Pengertian yang lebih ketat, teks dikatakan teks hanya ketika sebuah gagasan secara sadar dan sengaja dituliskan oleh pengarangnya (Sobur, 2004:54).
Teks juga bisa kita artikan sebagai “seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang pengirim kepada seorang penerima melalui medium tertentu dan dengan kodekode tertentu” (Budiman, 1999b:115116; Sobur, 2004:53). Bagi Roland Barthes (1990:1718, 19; Hawkes, 1978:116118) di dalam teks setidak tidaknya beroperasi lima kode pokok (five major codes) yang di dalamnya semua penanda tekstual (baca:leksia) dapat dikelompokkan. Setiap atau masingmasing leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima buah kode ini. Adapun kodekode pokok tersebut yang dengannya seluruh aspek tekstual yang signifikan dapat dipahami–meliputi aspek sintagmatik dan semantik sekaligus, yaitu menyangkut bagaimana bagianbagiannya berkaitan satu sama lain dan terhubungkan dengan dunia di luar teks. Kelima kode tersebut meliputi :
1. Kode hermeneutik (hermeneutic code) adalah satuansatuan yang dengan berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasikan suatu persoalan, penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat memformulasi persoalan tersebut, atau yang justru menundanunda penyelesaiannya, atau bahkan yang
(47)
menyusun semacam tekateki (enigma) dan sekedar memberi isyarat bagi penyelesaiannya (Barthes, 1990:17). Pada dasarnya kode ini adalah kode “penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam pemersalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban.
2. Kode semik (code of semes) atau konotasi adaah kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk, atau “kilasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda penanda tertentu. Pada tataran tertentu kode konotatif ini agak mirip dengan apa yang disebut oleh para kritikus sastra AngloAmerika sebagai “tema” atau “struktur tematik”, sebuahthematic grouping (Barthes, 1990: 19).
3. Kode Simbolik (symbolic code) merupakan kode “pengelompokan” atau konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang ulang secara teratur melalui berbagai cara dan sarana tekstual, misalnya berupa serangkaian antitesis: hidup dan mati, di luar dan di dalam, dingin dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi suatu struktur simbolik (Barthes, 1990: 17).
4. Kode proairetik (proairetic code) merupakan kode “tindakan” (action). Kode ini didasarkan atas konsep proairesis, yakni “kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secararasional (Barthes, 1990: 18)”, yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia: tindakantindakan membuahkan dampakdampak, dan masingmasing dampak memiliki nama generik tersendiri, semacam “judul” bagi sekuens yang bersangkutan.
(48)
5. Kode kultural (cultural code) atau kode referensial (reference code) yang berwujud sebagai semacam suara kolektif atau anonim dan otoritatif; bersumber dari pengalaman manusia, yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang “diterima umum”. Kode ini bisa berupa kodekode pengetahuan atau kearifan (wisdom) yang terusmenerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana (Barthes, 1990: 18).
Melalui kode, lirik lagu dapat dipandang sebagai sesuatu yang bermakna, karena pada umumnya pengertian kode dalam strukturalis dan semiotik menyangkut sistemsistem yang memungkinkan manusia untuk memandang entitasentitas tertentu sebagai tanda, sebagai sesuatu yang bermakna (Scholes, 1982:ix; Budiman, 2004:54).
2.1.10. Interpretasi Sistem Tanda dalam Lirik Lagu
Interpretasi merupakan sebuah upaya untuk mengemukakan konsep atau gagasan lebih jelas dengan mencari latar belakang dan konteksnya namun tetap berpegang pada materi yang ada (Sobur, 2004:256). Sebagai sebuah karya seni, lirik lagu terbuka bagi beragam interpretasi, terutama karena susunan kata dari kalimat dalam baitbaitnya secara umum bersifat puitis, sehingga memunculkan perbedaan persepsi, termasuk dalam menyimpulkan obyek rujukan dari lagu yang didengarkan. Dalam menikmati sebuah karya musik, seseorang pada umumnya lebih cepat terpengaruh dengan muatan emosi yang dihantarkan oleh alunan nada
(1)
120
Konstruksi budaya yang ada dalam sistem masyarakat patriarkis, di mana salah satunya yang paling menonjol adalah adanya penghargaan atas perempuan yang lebih banyak terfokus pada sisi daya tarik organ tubuh dan daya tarik seksualitasnya belaka. Dalam fenomena masyarakat yang patriarkis seperti ini, maka akhirnya perempuan melalui proses kultural yang amat panjang, dipaksa untuk melakukan segala praktik pengeksploitasian, perekayasaan, atau ‘pendisiplinan tubuh’nya.
Hadirnya lingkungan sistem masyarakat patriarkis, dapat dipastikan bahwa yang dinamakan dengan posisi penguasa tentunya didominasi oleh lakilaki, yang dalam mengkonsktruksi serta menyebarluaskan ideologi atau pengetahuannya, baik secara sadar maupun tak sadar, tentunya pula cenderung berpihak kepada subyektivitasnya sendiri (lakilaki).
Perempuan masih ditilik sebagai objek lakilaki, yang hanya dinilai dari segi kecantikan fisiknya saja. Sementara itu, lakilaki di lirik lagu tersebut digambarkan sebagai figur yang dominan, dan aktif, yang memberikan proteksi terhadap perempuan. dalam pandangan umum masyarakat kondisi demikian dipandang wajar karena sesuai dengan nilainilai budaya yang ada.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan adanya representasi nilai nilai budaya patriarki dalam lirik lagu Karena Wanita (Ingin Dimengerti), peneliti memiliki beberapa saran berkaitan dengan hal tersebut untuk menjadi bahan
(2)
pertimbangan bagi para penulis lagu, pembaca dan penikmat produk media massa pada umumnya.
Bagi penulis lirik lagu (terutama kaum lakilaki), peneliti mengharapkan adanya pertimbangan lebih luas dalam pemilihan kata ketika menyusun sebuah lirik lagu, terutama jika lirik tersebut berkaitan dengan kaum perempuan. Dengan adanya bentukbentuk kekaguman dan penghargaan yang hanya selalu terpusat pada stereotipe yang telah ada, hanya akan menambah semakin kuatnya hal tersebut dalam pemahaman maysrakat. Sehingga dapat dimaknai sebagai bentuk penaklukan terhadap perempuan ke dalam ideologi patriarki, dengan ini upaya penyetaraan hubungan lakilaki dan perempuan akan sulit terwujud.
Keberadaan nilainilai budaya dalam masyarakat memang berperan sebagai suatu pedoman yang memberi arah orientasi kepada kehidupan para anggota masyarakat dalam berperilaku, berinteraksi dan membentuk kepribadian. Akan tetapi, selayaknya setiap nilainilai yang hadir dapat memberikan keadilan bagi setiap anggotanya pula tanpa memberikan dampak yang merugikan salah satu pihak dan memberikan keistimewaan yang berlebihan kepada pihak lain. Oleh karena itu sebagai salah satu anggota masyarakat, peneliti mengharapkan kita lebih selektif dalam menentukan denga lebih bijak mana nilainilai budaya yang sebaiknya layak dipertahankan dan mana yang tidak.
Selanjutnya, dengan adanya penelitian ini diharapkan pula bagi khalayak pada umumnya agar menjadi lebih kritis dalam menerima terpaan media massa dengan apa adanya, meskipun produk media massa tersebut bersifat sebagai
(3)
122
hiburan, seperti lirik lagu. Sehingga kita tidak dengan mudah menganggap segala yang ditampilkan media sebagai sebuah kewajaran budaya.
(4)
123
Arivia, Gadis., Feminisme sebuah Kata Hati, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006.
Bungin, Burhan., Imaji Media Massa: Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik, Jendela, Yogyakarta, 2001. Budiman, Kris., Semiotika Visual, Buku Baik & Yayasan Seni Cemeti,
Yogyakarta, 2004.
Effendy, Onong Uchjana Prof. Drs., M.A, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007.
Eriyanto., Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, KJiS, Yogyakarta, 2001
Istiyani, Chatarina Pancer, Tubuh dan Bahasa: Aspekaspek Linguistis Pengungkapan Pandangan Masyarakat Lewolema terhadap Kesehatan, Galang Press (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 2004.
Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi perempuan dalam iklan, Ombak, Yogyakarta, 2008.
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, 2005.
Koentjaraningrat, Prof. Dr., Pengantar Ilmu Antropologi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
Melliana S., Annastasia, Menjelajah Tubuh : Perempuan dan Mitos Kecantikan, LKiS, Yogyakarta, 2006.
Mulyana, Deddy, M.A., Ph.D., Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001.
Mufidah, Ch., Paradigma Gender, Bayumedia Publishing, Malang, 2003
Moleong, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002.
Moylan, William, Understanding and Crafting The Mix : The Art of Recording, Focal Press, Burlington, USA, 2007
Prabasmoro, Aquarini Priyatna, Kajian Budaya Feminis : Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop, Jalasutra, Yogyakarta, 2006.
Rivers, William L., et., al., Media Massa dan Masyarakat Modern, Edisi Kedua, Prenada Media, Jakarta, 2003.
Sudjiman, Panuti., Zoest, Aart Van., SerbaSerbi Semiotika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
(5)
124
Sulaeman, M. Munandar, M.S., Ilmu Budaya Dasar, Refika Aditama, Bandung, 2001.
Sobur, Drs. Alex, M.Si., Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framming, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004.
Trifonas, Peter Pericles., Barthes dan Imperium Tanda, Jendela, Yogyakarta, 2003.
Wicks, Keith, Pustaka Pengetahuan Modern: Bintang dan Planet, PT Widyadara, Jakarta, 1979.
JURNAL
Wahyudianata, Megawati., Televisi dan Pergeseran Konsep Seks Normatif: Pengaruh Tayangan Pornomedia Televisi dan Agama Terhadap Sikap Seks Mahasiswa S1 Kota Surabaya, Jurnal Ilmiah SCRIPTURA, PETRA, Surabaya, 2007.
SKRIPSI
Vidyarini, Titi Nur., Representasi Kecantikan dalam Iklan Televisi (Studi Semiotik Iklan kosmetik The Face Shop), Fisip Unair, 2007.
INTERNET
Wanita dalam Berita
http://www.trans7.co.id, 18 Januari 2008
Romantic Rhapsody: Musik Manis Nan Romantis http://www.detikhot.com, 30 September 2007 Album Ada Band ROMANTIC RHAPSODY http://www.djwirya.com, 30 September 2007 Donny Ada Band
http://www.kapanlagi.com, 30 September 2007 Ada Band Tetap Romantis
http://www.suarapembaruan.com, 30 September 2007 Alamak! Keperawanan Siswi SMU Indramayu akan Dicek, Bupati Indramayu Batal Tes Keperawanan Siswi SMU http://www.detiknews.com, 23 Juni 2010
(6)
Perlukah Tes Keperawanan untuk Masuk Sekolah? http://health.detik.com, 17 November 2010, 8:30 Daniel Chandler, Semiotic for Beginners
http://www.aber.ac.uk, 24 Oktober 2009. Definisi Patriarki
http://www.askoxford.com, 15 November 2009, 12:30 Virginity Certificate in African Tribe
http://www.gaselnews.co.cc/?p=13, 9 November 2009, 12:30 Bintang
http://id.wikipedia.org/wiki/bintang, 27 Agustus 2010, 20:52 TALK SHOW
Music Talk Show dengan tema: Composing Song & Music, 03 September 2007, ITATS, Surabaya
MAJALAH
Cita Cinta Edisi No. 21/X/14 – 18 Oktober 2009 SAMPUL KASET