commit to user 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di  zaman  globalisasi  sekarang  ini,  semua  kebudayaan  asing  dapat  masuk ke  dalam  negara  kita,  yang  secara  otomatis  akan  membawa  pengaruh  signifikan
dalam  berbagai  bidang  kehidupan.  Lingkungan  menjadi  semakin  selektif,  hal  ini diikuti  dengan  adanya  perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  yang
menuntut  adanya  usaha  untuk  menjadikan  kualitas  hidup  selalu  lebih  baik  dari sebelumnya.  Hidup  ini  memberi  tantangan  berupa  permasalahan  dan  kesulitan.
Kesulitan  hidup  ini  bisa  dialami  oleh  siapa  saja,  termasuk  remaja  sebagai  salah satu tahap dalam perkembangan manusia. Remaja yang dihadapkan pada kesulitan
akan mudah menjadi putus asa apabila dia tidak memiliki tujuan hidup, harapan, dan  hal-hal  berharga  yang  ingin  dicapai.  Bagi  remaja  yang  mampu  beradaptasi
dan menunjukkan kemampuannya dengan baik akan tetap eksis di lingkungannya, sedangkan  remaja  yang  tidak  mampu  untuk  beradaptasi  dan  menunjukkan
kemampuannya  maka  remaja  tersebut  bisa  jadi  akan  merasa  rendah  diri  atau merasa tidak berarti.
Permasalahan  pada  remaja  bisa  muncul  sejalan  dengan  pergantian  status dari  anak  menjadi  remaja.  Ali    Asrori  2004  mengatakan  bahwa  remaja
sebenarnya tidak mempunyai kedudukan yang jelas. Remaja sudah tidak termasuk dalam golongan anak, tetapi juga belum dapat diterima secara penuh untuk masuk
ke  dalam  golongan  orang  dewasa.  Remaja  berada  di  antara  anak  dan  orang 1
commit to user 2
dewasa.  Remaja  memiliki  beberapa  tugas  perkembangan  yang  harus  dilalui  agar dapat  menjalani  kehidupannya  dengan  lebih  baik  menuju  kedewasaan.  Menurut
Havigrust  dalam  Panuju    Umami,  1999  tugas  perkembangan  masa  remaja difokuskan  pada  upaya  untuk  mencapai  kemampuan  bersikap  dan  berperilaku
sebagai  orang  dewasa  yang  bertanggung  jawab  dalam  lingkungannya  karena  hal ini merupakan pondasi supaya remaja dapat hidup bermasyarakat. Oleh karena itu,
jika  remaja  berhasil  melalui  tugas  perkembangan  ini  akan  menimbulkan  fase bahagia dan membawa keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya,
tetapi  jika  gagal  melalui  tugas  perkembangan  ini  maka  akan  menimbulkan  rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya.
Selanjutnya,  menurut  Panuju    Umami  1999  terdapat  hubungan  yang cukup  erat  antara  lingkungan  kehidupan  sosial  dan  tugas  perkembangan  yang
harus  dilalui  oleh  remaja  dalam  kehidupannya.  Keluarga  sebagai  lingkungan sosial  yang  terkecil  tentu  sangat  berperan  bagi  remaja  dalam  menghadapi  tugas
perkembangannya.  Remaja  memerlukan  dukungan  dan  pengarahan  dari  keluarga untuk  membantu  menyelesaikan  tugas-tugas  perkembangannya  karena  keluarga
mempunyai peranan yang penting dalam penanaman nilai dan norma bagi seorang anak yang menuju masa remaja. Rasa aman yang didapat dari keluarga pada awal
pertumbuhan  dan  perkembangan  remaja  akan  mendorong  remaja  untuk melakukan  eksplorasi  terhadap  lingkungannya  sehingga  remaja  dapat
mengembangkan  bakat  dan  kemampuan  yang  dimilikinya.  Hal  ini  menunjukkan bahwa  keutuhan  sebuah  keluarga  dan  terpenuhinya  kualitas  interkasi  antar
anggotanya  merupakan  hal  yang  diperlukan  oleh  seorang  remaja  agar  dapat
commit to user 3
tumbuh menjadi  seseorang dengan keyakinan bahwa  remaja  dapat  meraih tujuan hidupnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa tidak setiap remaja dilindungi dalam satu keutuhan  keluarga  yang  bisa  memenuhi  kebutuhan  emosional  dan  fisik  secara
optimal.  Ada  kondisi  tertentu  yang  menyebabkan  seorang  remaja  berada  di lembaga  yang  bernama  panti  asuhan.  Panti  asuhan  diartikan  sebagai  rumah,
tempat  atau  kediaman  yang  digunakan  untuk  memelihara  atau  mengasuh  anak yatim, piatu dan yatim piatu Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005. Panti asuhan
sebagai  lembaga  yang  menangani  anak-anak  terlantar  berusaha  memenuhi kebutuhan  anak  asuhnya  baik  dari  segi  fisik  maupun  psikis.  Panti  asuhan  tidak
hanya  sebagai  tempat  penitipan,  tetapi  juga  menjadi  sarana  pematangan  mental agar  kelak  setelah  keluar  dari  panti  asuhan,  anak-anak  yang  dulunya  tinggal  di
panti  asuhan  mampu  berdiri  sendiri.  Panti  asuhan  berperan  sebagai  pengganti keluarga  dalam  memenuhi  kebutuhan  remaja  dalam  menjalani  proses
perkembangannya. Sebuah  laporan  yang  diluncurkan  oleh  Departemen  Sosial  Republik
Indonesia  Depsos  pada  Juni  2008  menyebutkan  bahwa  jumlah  panti  asuhan  di seluruh Indonesia diperkirakan antara 5.000-8.000 yang mengasuh sampai dengan
setengah  juta  anak  ini  kemungkinan  merupakan  jumlah  panti  asuhan  terbesar  di seluruh  dunia.  Pemerintah  Indonesia  hanya  memiliki  dan  menyelenggarakan
sedikit  dari  panti  asuhan  tersebut,  lebih  dari  99  panti  asuhan  diselenggarakan oleh masyarakat, seperti yayasan sosial dan organisasi keagamaan. Depsos sendiri
hanya  memiliki  tiga  panti  asuhan  di  seluruh  Indonesia  dan  Pemerintah  Daerah
commit to user 4
Pemda  hanya  menaungi  35  panti  asuhan  di  seluruh  Indonesia.  Jumlah  panti asuhan  yang  berada  di  Provinsi  Jawa  Tengah  mencapai  440  panti  asuhan,
diantaranya 28 panti asuhan milik Pemerintah dan 412 panti asuhan dikelola oleh pihak  swasta,  sedangkan  jumlah  panti  asuhan  yang  berada  di  Kabupaten
Sukoharjo mencapai delapan panti asuhan, satu panti asuhan milik pemerintah dan tujuh panti asuhan yang dikelola oleh pihak swasta.
Pihak  swasta  yang  ikut  mengelola  panti  asuhan  di  Kabupaten  Sukoharjo antara  lain  Panti  Asuhan  Yatim  Muhammadiyah  Grogol,  Panti  Asuhan  Yatim
Muhammadiyah Bekonang, Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Polokarto, Panti Asuhan  Mardhatilah  Putra  dan  Putri,  Yayasan  Adh-Dhuha  yaitu  Panti  Asuhan
Adh-Dhuha,  dan  Yayasan  Danar  Hadi  yaitu  Panti  Asuhan  Al  Muttaqin.  Penulis memilih  untuk  mengadakan  penelitian  di  Panti  Asuhan  Mardhatilah  Kartasura
karena  sesuai  dengan  tujuan  pendirian  panti  asuhan  ini  yaitu  memberikan pelayanan  kesejahteraan  sosial  kepada  anak-anak  terlantar  agar  dapat  memenuhi
kebutuhan  baik  fisik,  mental  maupun  sosial  dalam  buku  profil  pendirian  Panti Asuhan Mardhatilah Kartasura, Sukoharjo.
Beberapa  penelitian  telah  dilakukan  untuk  memberikan  potret  mendalam tentang situasi anak-anak dan pengasuhan yang didapatkan di panti asuhan. Salah
satunya  adalah  hasil  penelitian  yang  menyebutkan  bahwa  faktor  perbedaan  rasio anak dengan pengasuh, stabilitas dan kontinuitas interaksi pengasuh dengan anak
serta  tingkat  demokratisasi  pola  asuh  ternyata  hanya  memberikan  sumbangan 0,23  untuk  perkembangan  tingkat  kompetensi  interpersonal  anak-anak  panti
asuhan di daerah Yogyakarta Mulyati, 1997. Penelitian ini menyebutkan bahwa
commit to user 5
banyak faktor lain yang dimungkinkan lebih berpengaruh terhadap perkembangan tingkat  kompetensi  interpersonal  anak, antara lain kondisi  pengasuh,  kesempatan
berinteraksi  dengan  teman  sebaya  dan  orang  dewasa  lain  selain  pengasuh  dan karakteristik individual anak.
Selanjutnya, penelitian yang pernah dilakukan  pada  remaja panti asuhan Islam yang ada di daerah Yogyakarta Lukman, 2000 didapatkan hasil penelitian
bahwa 97,6 remaja panti asuhan cenderung kurang mampu menunjukkan sikap mandiri,  95,2  remaja  panti  asuhan  mengalami  kesulitan  dalam  menunjukkan
kompetensi  interpersonal,  dan  98,8  remaja  panti  asuhan  menunjukkan  konsep diri yang kurang.
Penelitian lain yang telah dilakukan pada beberapa panti asuhan di daerah Jawa  Timur  Hartini,  2001  mengenai  deskripsi  kebutuhan  psikologis  pada  anak
panti  asuhan  didapatkan  hasil  penelitian  bahwa  76    anak-anak  panti  asuhan cenderung kurang mampu untuk berhubungan dengan orang lain, 77 anak-anak
panti  asuhan  masih  merasa  bahwa  di  lingkungan  panti  asuhan  tempat  tinggalnya kurang memberi motivasi untuk berprestasi, 56 anak-anak panti asuhan merasa
masih  belum  dapat  diterima  apa  adanya  dan  dibiarkan  berkembang  sesuai potensinya sendiri, 57 anak-anak panti asuhan merasa belum menemukan orang
yang  tepat  untuk  dijadikan  sebagai  panutan  dan  dijadikan  teman  untuk  menjalin suatu  komunikasi  yang  baik,  52  anak-anak  panti  asuhan  cenderung
menunjukkan kesulitan dalam penyesuaian sosialnya karena merasa adanya aturan dan  tata  cara  yang  terlalu  kaku,  dan    56  anak-anak  putri  panti  asuhan  masih
sangat  tergantung  dan  kurang  mempunyai  motivasi  untuk  mandiri.  Hal  ini
commit to user 6
menunjukkan  bahwa  kehidupan  panti  asuhan  tersebut  terlalu  kaku  dan  kurang memperhatikan pemenuhan kebutuhan psikologis dan sosial para penghuninya.
Selanjutnya, penelitian yang telah dilakukan di Panti Asuhan Yatim Piatu Darul  Hadlonah  Kudus  menyebutkan  hasil  bahwa  sebanyak  12,5  anak  panti
asuhan memiliki tingkat asertivitas yang sangat baik, sebanyak 12,5 anak panti asuhan  memiliki  tingkat  asertivitas  yang  baik,  sebanyak  25  anak  panti  asuhan
memiliki  tingkat  asertivitas  yang  cukup,  sebanyak  32,5  anak  panti  asuhan memiliki tingkat asertivitas yang kurang, dan sebanyak 17,5 anak panti asuhan
memiliki tingkat asertivitas yang sangat kurang Masriah, 2006. Penelitian-penelitian  yang  telah  dilakukan  tersebut  menitikberatkan  pada
masalah-masalah psikologis yang sering dialami oleh remaja yang tinggal di panti asuhan, diantaranya hasil penelitian yang menyebutkan bahwa 95,2 remaja panti
asuhan Islam di Yogyakarta mengalami kesulitan dalam menunjukkan kompetensi interpersonal,  hasil  penelitian  yang  menyebutkan  bahwa  76    anak-anak  panti
asuhan  di  Jawa  Timur  cenderung  kurang  mampu  untuk  berhubungan  dengan orang  lain,  dan  sebanyak  75  anak  panti  asuhan  di  Kudus  memiliki  tingkat
asertivitas yang kurang. Dilihat dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja  yang  tinggal  di  panti  asuhan  mengalami  kesulitan  dalam  berhubungan
dengan  orang  lain  yaitu  dalam  kompetensi  interpersonalnya,  termasuk  dalam asertivitas.  Kompetensi  interpersonal  memiliki  lima  aspek  yaitu  inisiatif,
keterbukaan, asertivitas, dukungan emosional, dan kemampuan mengatasi konflik Buhrmester  dkk,  1988.  Salah  satu  aspek  dari  kompetensi  interpersonal  yang
menjadi fokus penelitian kali ini adalah asertivitas.
commit to user 7
Menurut Kamus
Webster Third International
dalam Fensterheim  Baer, 1980,  kata  kerja
assert
berarti  menyatakan  atau  bersikap  positif,  yakni  berterus terang  atau  tegas.  Lalu  menurut  Lange    Jakubowski  dalam  Calhoun
Acocella,  1990  asertif  atau  bersikap  tegas  artinya  menuntut  hak  pribadi  dan menyatakan  pikiran,  perasaan,  dan  keyakinan  dengan  cara  langsung,  jujur  dan
tepat. Alberti  Emmons dalam Rakos, 1991 secara detail menyebutkan bahwa perilaku  asertif  merupakan  perilaku  yang  memungkinkan  seseorang  untuk
bertindak  sesuai  dengan  keinginan,  mempertahankan  diri  tanpa  merasa  cemas, mengekspresikan  perasaan  secara  jujur  dan  nyaman,  ataupun  menggunakan  hak-
hak pribadi tanpa melanggar hak-hak orang lain. Perilaku  asertif  menurut  Rimm    Masters  dalam  Rakos,  1991  adalah
perilaku interpersonal berupa pernyataan pikiran dan perasaan yang bersifat jujur dan  relatif  langsung  serta  tepat  secara  sosial  artinya  tidak  menganggu
kesejahteraan  orang  lain.  Selanjutnya  menurut  Gunarsa  2004,  perilaku  asertif adalah  perilaku  interpersonal  yang  melibatkan  aspek  kejujuran  dan  keterbukaan
pikiran  dan  perasaan.  Perilaku  asertif  ini  ditandai  oleh  adanya  kesesuaian  sosial dan mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain. Perilaku asertif ini
dapat  ditunjukkan  dengan  mengkomunikasikan  keinginan,  perasaan  dan pemikirannya kepada orang lain dengan cara langsung dan jujur tanpa bermaksud
menyakiti  siapapun.  Pada  umumnya,  orang  yang  asertif  dalam  kehidapannya sehari-hari  mampu  mengenal  dirinya  sendiri  dengan  baik  sehingga  mampu
menentukan pilihan keinginan dan tujuan hidupnya tanpa harus dipengaruhi oleh orang lain.
commit to user 8
Remaja panti asuhan yang memiliki tingkat asertivitas rendah maka remaja panti  asuhan  tersebut  akan  mengalami  kesulitan  dalam  menyesuaikan  diri  dan
berkomunikasi  dengan  orang  lain,  baik  yang  berada  di  dalam  maupun  di  luar lingkungan  panti  asuhan.  Sebaliknya,  apabila  remaja  panti  asuhan  memiliki
tingkat  asertivitas  yang  tinggi  maka  remaja  panti  asuhan  dapat  melakukan penyesuaian  diri  dan  berkomunikasi  secara  efektif  dengan  orang  lain  sehingga
membantu  dalam  kehidupannya  nanti  setelah  keluar  dari  panti  asuhan.  Remaja panti asuhan dengan asertivitas tinggi diharapkan mampu membela dirinya sendiri
maupun orang lain ketika diperlakukan tidak adil, mampu memberikan tanggapan terhadap  masalah  yang  dihadapi  yang  dapat  mempengaruhi  hidupnya,  serta
mampu menyatakan keinginannya secara tegas terhadap orang lain. Selanjutnya,  menurut  Covey  dalam  Gunarsa,  2004,  latihan  untuk
bersikap asertif bermanfaat untuk digunakan dalam menghadapi orang yang tidak dapat  mengekspresikan  kemarahan  atau  perasaan  yang  tersinggung,  mengalami
kesulitan  untuk  mengatakan  ”tidak”,  terlalu  sopan  berlebihan  dan  membiarkan orang  lain  mengambil  keuntungan  dari  keadaannya,  mengalami  kesulitan  untuk
mengekspresikan  perasaan  dan  respon-respon  positif  lainnya,  dan  merasa  tidak memiliki hak untuk mengekspresikan pikiran, kepercayaan, dan perasaannya.
Menurut  Rich  dan  Schroeder  dalam  Rakos,  1991,  perilaku  asertif merupakan suatu bentuk perilaku atau keterampilan yang dapat dipelajari
learned skill
yang  dipengaruhi  oleh  lingkungan  dan  interaksi  seseorang  dengan lingkungan.  Hal  ini  sesuai  dengan  pernyataan  Rathus  dan  Nevid  dalam  Widjaja
dan Wulan, 1998  yang menyatakan bahwa perilaku asertif merupakan pola-pola
commit to user 9
yang dapat dipelajari dari lingkungan sebagai reaksi terhadap situasi sosial dalam kehidupannya.  Selanjutya,  berkembangnya  perilaku  asertif  ini  dipengaruhi  oleh
faktor-faktor  yang  dialami  individu  dalam  lingkungan  dan  sepanjang  hidupnya. Tingkah  laku  ini  diduga  berkembang  sejak  anak  melakukan  interaksi  dengan
orang tua dan orang-orang dewasa lain di sekitarnya. Sesuai  dengan  pendapat  Rich  dan  Schroeder  dalam  Rakos,  1991  bahwa
perilaku  asertif  merupakan  suatu  bentuk  perilaku  yang  dapat  dipelajari  dan dipengaruhi  oleh  lingkungan  serta  interaksi  antara  orang  dengan  lingkungannya,
maka  untuk  membentuk  suatu  perilaku  asertif  diperlukan  suatu  latihan.  Latihan untuk  meningkatkan  perilaku  asertif  ini  terdiri  dari  beberapa  langkah,  yaitu
pengkondisian  dan  pemilihan  perilaku  yang  tepat,  mempersiapkan  diri  untuk bersikap asertif, berpikir positif, dan pemahaman seseorang tentang hak-hak dasar
yang dimiliki Bishop, 2007. Pada  tahap  pengkondisian  dan  pemilihan  perilaku  yang  tepat,  seseorang
dihadapkan  pada  situasi  yang  memungkinkan  untuk  memilih  bersikap  pasif, agresif atau asertif di mana sikap pasif dan agresif datang secara alami sedangkan
sikap  asertif  memerlukan  suatu  proses  kognitif.  Pada  tahap  mempersiapkan  diri untuk  bersikap  asertif,  seseorang  yang  telah  memilih  untuk  bersikap  asertif
melakukan latihan keterampilan untuk bersikap asertif. Pada tahap berpikir positif, inti dari latihan bersikap asertif ini adalah berpikir positif karena seseorang  yang
berpikir positif akan memiliki sebuah citra diri yang positif, menggunakan bahasa yang positif, mencari hasil positif untuk interaksi, bekerja sama dengan orang lain
untuk memberikan solusi positif dalam suatu masalah sehingga dimenangkan oleh
commit to user 10
kedua  belah  pihak
win  win  solution
,  menghormati  pendapat  orang  lain  secara positif  sehingga  membuat  seseorang  menjadi  lebih  asertif  dalam  mengemukakan
pendapat,  pikiran,  dan  perasaan  secara  jujur,  langsung,  dan  terbuka.  Pada  tahap terakhir  yaitu pemahaman seseorang tentang hak-hak dasar  yang dimiliki,  di sini
yang harus disadari bahwa apa yang menjadi hak pribadi sendiri juga dimiliki oleh pribadi  orang  lain  maka  perlu  ditekankan  untuk  saling  menghormati  kebutuhan,
pendapat dan perasaan masing-masing. Latihan  untuk  meningkatkan  perilaku  asertif  di  atas  merupakan  suatu
langkah yang dapat dilakukan secara bertahap tetapi disebutkan pula bahwa tahap berpikir  positif  merupakan  inti  dalam  latihan  tersebut  maka  Penulis  mencoba
untuk memfokuskan pada tahap berpikir positif karena berpikir positif merupakan suatu  proses  kognitif  yang  dapat  dipelajari  oleh  semua  orang,  langkah  yang
mudah  dilakukan  dan  menghasilkan  manfaat  yang  luar  biasa.  Berpikir  positif dapat membuat seseorang selalu dalam keadaan positif karena selalu positif dalam
memandang kehidupan yang dijalani selama ini. Telah  disebutkan  pula  bahwa  diperlukan  suatu  proses  kognitif  untuk
bersikap  asertif.  Selanjutnya,  proses  kognitif  yang  sesuai  dengan  konsep  dasar psikologi  kognitif,  menekankan  pada  aktivitas  pikiran  seseorang,  proses  yang
terjadi  dalam  pikiran  ini  meliputi  bagaimana  seseorang  memperoleh  informasi, bagaimana  informasi  itu  kemudian  direpresentasikan  dan  ditransformasikan
sebagai  pengetahuan,  bagaimana  pengetahuan  itu  disimpan  di  dalam  ingatan kemudian dimunculkan kembali, bagaimana pengetahuan itu digunakan seseorang
untuk  mengarahkan  sikap-sikap  dan  perilaku-perilakunya  Matlin,  dkk  dalam
commit to user 11
Suharnan, 2005. Proses kognitif yang menjadi inti dalam latihan bersikap asertif ini adalah cara berpikir positif. Di sini, Penulis mencoba untuk menanamkan cara
berpikir  yang  positif  pada  remaja  panti  asuhan  agar  dapat  mengelola  pemikiran dan  pandangannya  ke  arah  yang  positif  sehingga  lebih  mampu  mengungkapkan
pikiran dan perasaannya karena pikiran ikut  menentukan sikap yang akan diambil dalam menghadapi setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan.
Menurut  Peale  2006  dalam  bukunya
Berpikir  Positif  Untuk  Remaja
mendefinisikan  berpikir  positif  sebagai  cara  berpikir  dinamis  yang  menyeluruh. Pemikiran-pemikiran  dinamis  ini  mengubah  seseorang  dengan  perasaan  yang
dikelilingi  ketidakberdayaan  menjadi  manusia  yang  penuh  kekuatan.  Perubahan yang  terjadi  dari  kondisi  yang  hampir  mutlak  kalah  menjadi  pribadi  yang  penuh
percaya  diri  dan  bisa  memberi  inspirasi  hanya  dengan  proses  sederhana  yakni dengan pengkondisian pemikiran. Selanjutnya, Seligman 2008 melaporkan hasil
penelitian  yang  menunjukkan  bahwa  penelitian  berpikir  positif  efektif  untuk mengubah sikap pesimis menjadi optimis dan dapat mengurangi simtom depresi.
Menurutnya, sikap pesimis disebabkan karena adanya keyakinan negatif terhadap dirinya yang berdasar pada cara berpikir yang salah. Dengan jalan mengubah cara
berpikir  yang  negatif  menjadi  positif  maka  individu  yang  semula  mempunyai sikap pesimis akan menjadi optimis dan menjadi lebih yakin pada dirinya sendiri
sehingga lebih mampu dan berani  dalam mengekspresikan apa  yang dimilikinya, dengan kata lain menjadi lebih asertif.
Asmani  2009  menyebutkan  bahwa  berpikir  positif  merupakan  cara berpikir  yang  berangkat  dari  hal-hal  baik  yang  mampu  menyulut  semangat
commit to user 12
perubahan  menuju  taraf  hidup  yang  lebih  baik.  Berpikir  positif  telah  menjadi sebuah  sistem  berpikir  yang  mengarahkan  dan  membimbing  seseorang  untuk
meninggalkan hal-hal negatif yang dapat melemahkan semangat perubahan dalam jiwanya.  Sementara  menurut  Elfiky  2009,  berpikir  positif  adalah  sumber
kekuatan dan sumber kebebasan, disebut sebagai sumber kekuatan karena berpikir positif  dapat  membantu  manusia  memikirkan  solusi  sampai  mendapatkannya
dengan  begitu  manusia  akan  bertambah  mahir,  percaya,  dan  kuat  dan  disebut sebagai sumber kebebasan karena dengan berpikir positif manusia dapat terbebas
dari  penderitaan  dan  kungkungan  pikiran  negatif  serta  pengaruhnya  pada  fisik. Kekuatan  berpikir  positif  inilah  yang  diharapkan  dapat  meningkatkan  perilaku
asertif  seseorang  sehingga  lebih  mampu  dan  berani  dalam  mengemukakan pendapat, pemikiran, dan perasaan yang dimiliki.
Selanjutnya,  cara  berpikir  positif  ini  dapat  dipelajari  melalui  pelatihan berpikir positif. Menurut  Ellis  dalam Seligman,  2008, pelatihan berpikir positif
merupakan  salah  satu  dari  terapi  kognitif  yang  bertujuan  untuk  mengenali  pola pikir  yang  negatif  dan  memahaminya,  mengubah  pola  pikir  yang  negatif  dengan
latihan-latihan,  dan  menggunakan  pola  pikir  baru  untuk  menghadapi  peristiwa kehidupan  yang  akan  datang.  Teknik-teknik  pelatihan  berpikir  positif
menggunakan  Model  A-B-C  yang  dikembangkan  oleh  Ellis  sesuai  dengan  tahap pengelolaan  pikiran  dalam  terapi  rasional-emotif  dalam  Seligman,  2008.  A
Adversity
adalah  peristiwa  yang  tidak  mengenakkan  atau  kesulitan  yang dihadapi,  B
Belief
adalah  keyakinan  yang  muncul  mengenai  peristiwa  yang terjadi, dan C
Consequences
adalah konsekuensi dari peristiwa yang terjadi.
commit to user 13
Dengan  mengikuti  pelatihan  berpikir  positif  ini,  remaja  panti  asuhan diharapkan  mampu  menggunakan  cara  berpikir  positif  dalam  kehidupannya
sehari-hari  karena  melalui  berpikir  positif,  remaja  panti  asuhan  akan  dapat menjadi pribadi yang percaya diri, tidak mudah putus asa, berani dalam bertindak,
dan  dapat  mencapai  kebahagiaan  dalam  hidup.  Saat  remaja  panti  asuhan  tidak dapat  mengkomunikasikan  apa  yang  dipikirkan  dan  dirasakannya  karena  kurang
mampu  berpikir  positif,  maka  tantangan  kehidupan  yang  diterima  akan  disikapi secara  negatif.  Tentu  saja  semua  ini  akan  membuat  remaja  panti  asuhan  berada
dalam  kondisi  gelisah,  marah,  dan  stres.  Kondisi  ini  akan  merugikan perkembangan  diri  remaja  panti  asuhan  dalam  melalui  tugas  perkembangan  dan
tidak dapat mengekspresikan potensi yang dimilikinya. Pikiran  positif  perlu  dipelajari  dan  dilatih  secara  serius  agar  remaja  panti
asuhan  mampu  menjadikannya  sebagai  pandangan  hidup.  Jika  remaja  panti asuhan  mampu  berpikir  positif  secara  konsisten,  maka  remaja  panti  asuhan  pun
mempunyai kesempatan lebih besar untuk menjadi pribadi yang tegar dan percaya diri  dalam mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya.  Melalui pikiran positif,
semua  kekuatan  diri  remaja  panti  asuhan  akan  bekerja  secara  otomatis  sehingga menjadi  berhasil  dalam  meraih  apa  yang  dicita-citakan.  Kesadaran  remaja  panti
asuhan  untuk  mau  berpikir  positif  terhadap  setiap  momen  dalam  hidupnya  akan memberikan energi positif dalam setiap tindakan yang dilakukan. Dengan berpikir
positif  diharapkan  remaja  panti  asuhan  menjadi  pribadi  yang  mampu  bersikap asertif terhadap semua aspek kehidupan yang mengelilingi hidupnya.
commit to user 14
Berdasarkan uraian di atas, melihat pentingnya  cara berpikir positif untuk
membantu  masalah  psikologis  yang  dialami  oleh  remaja  panti  asuhan  yakni kemampuan  remaja  panti  asuhan  untuk  bersikap  asertif,  maka  Penulis  akan
memberikan  pelatihan  berpikir  positif  kepada  remaja  yang  tinggal  di  salah  satu panti  asuhan  Islam  di  daerah  Sukoharjo  yaitu  di  Panti  Asuhan  Mardhotilah
Kartasura,  Sukoharjo.  Penulis  akan  mengadakan  penelitian  untuk  penulisan skripsi  dengan  judul  Pengaruh  Pelatihan  Berpikir  Positif  terhadap  Tingkat
Asertivitas  Remaja  Panti  Asuhan.  Penulis  berharap  remaja  panti  asuhan  tidak membuat  langkah  mundur,  melupakan  harapan-harapan,  dan  pada  akhirnya
menyebabkan  remaja  panti  asuhan  tidak  dapat  mencapai  tujuan  hidupnya. Peningkatan  berpikir  positif  diharapkan  dapat  membantu  remaja  panti  asuhan
menjadi  lebih  asertif  dalam  mengekspresikan  dan  mengkomunikasikan  apa  yang diinginkannya  sehingga  remaja  panti  asuhan  pun  dapat  berkomunikasi  secara
efektif  dengan  orang  lain  dan  tercipta  hubungan  yang  harmonis  dengan lingkungan  sekitarnya.  Dengan  menyatakan  apa  adanya  perasaan  atau  emosinya,
remaja  panti  asuhan  tidak  akan  dikendalikan  oleh  orang  lain,  efektif  dalam berinteraksi, lebih  dihargai  orang  lain,  menjadi  lebih  percaya  diri  dan  memiliki
rasa puas dalam hidupnya.
B. Rumusan Masalah