commit to user 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di zaman globalisasi sekarang ini, semua kebudayaan asing dapat masuk ke dalam negara kita, yang secara otomatis akan membawa pengaruh signifikan
dalam berbagai bidang kehidupan. Lingkungan menjadi semakin selektif, hal ini diikuti dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
menuntut adanya usaha untuk menjadikan kualitas hidup selalu lebih baik dari sebelumnya. Hidup ini memberi tantangan berupa permasalahan dan kesulitan.
Kesulitan hidup ini bisa dialami oleh siapa saja, termasuk remaja sebagai salah satu tahap dalam perkembangan manusia. Remaja yang dihadapkan pada kesulitan
akan mudah menjadi putus asa apabila dia tidak memiliki tujuan hidup, harapan, dan hal-hal berharga yang ingin dicapai. Bagi remaja yang mampu beradaptasi
dan menunjukkan kemampuannya dengan baik akan tetap eksis di lingkungannya, sedangkan remaja yang tidak mampu untuk beradaptasi dan menunjukkan
kemampuannya maka remaja tersebut bisa jadi akan merasa rendah diri atau merasa tidak berarti.
Permasalahan pada remaja bisa muncul sejalan dengan pergantian status dari anak menjadi remaja. Ali Asrori 2004 mengatakan bahwa remaja
sebenarnya tidak mempunyai kedudukan yang jelas. Remaja sudah tidak termasuk dalam golongan anak, tetapi juga belum dapat diterima secara penuh untuk masuk
ke dalam golongan orang dewasa. Remaja berada di antara anak dan orang 1
commit to user 2
dewasa. Remaja memiliki beberapa tugas perkembangan yang harus dilalui agar dapat menjalani kehidupannya dengan lebih baik menuju kedewasaan. Menurut
Havigrust dalam Panuju Umami, 1999 tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku
sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab dalam lingkungannya karena hal ini merupakan pondasi supaya remaja dapat hidup bermasyarakat. Oleh karena itu,
jika remaja berhasil melalui tugas perkembangan ini akan menimbulkan fase bahagia dan membawa keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya,
tetapi jika gagal melalui tugas perkembangan ini maka akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya.
Selanjutnya, menurut Panuju Umami 1999 terdapat hubungan yang cukup erat antara lingkungan kehidupan sosial dan tugas perkembangan yang
harus dilalui oleh remaja dalam kehidupannya. Keluarga sebagai lingkungan sosial yang terkecil tentu sangat berperan bagi remaja dalam menghadapi tugas
perkembangannya. Remaja memerlukan dukungan dan pengarahan dari keluarga untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya karena keluarga
mempunyai peranan yang penting dalam penanaman nilai dan norma bagi seorang anak yang menuju masa remaja. Rasa aman yang didapat dari keluarga pada awal
pertumbuhan dan perkembangan remaja akan mendorong remaja untuk melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya sehingga remaja dapat
mengembangkan bakat dan kemampuan yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa keutuhan sebuah keluarga dan terpenuhinya kualitas interkasi antar
anggotanya merupakan hal yang diperlukan oleh seorang remaja agar dapat
commit to user 3
tumbuh menjadi seseorang dengan keyakinan bahwa remaja dapat meraih tujuan hidupnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa tidak setiap remaja dilindungi dalam satu keutuhan keluarga yang bisa memenuhi kebutuhan emosional dan fisik secara
optimal. Ada kondisi tertentu yang menyebabkan seorang remaja berada di lembaga yang bernama panti asuhan. Panti asuhan diartikan sebagai rumah,
tempat atau kediaman yang digunakan untuk memelihara atau mengasuh anak yatim, piatu dan yatim piatu Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005. Panti asuhan
sebagai lembaga yang menangani anak-anak terlantar berusaha memenuhi kebutuhan anak asuhnya baik dari segi fisik maupun psikis. Panti asuhan tidak
hanya sebagai tempat penitipan, tetapi juga menjadi sarana pematangan mental agar kelak setelah keluar dari panti asuhan, anak-anak yang dulunya tinggal di
panti asuhan mampu berdiri sendiri. Panti asuhan berperan sebagai pengganti keluarga dalam memenuhi kebutuhan remaja dalam menjalani proses
perkembangannya. Sebuah laporan yang diluncurkan oleh Departemen Sosial Republik
Indonesia Depsos pada Juni 2008 menyebutkan bahwa jumlah panti asuhan di seluruh Indonesia diperkirakan antara 5.000-8.000 yang mengasuh sampai dengan
setengah juta anak ini kemungkinan merupakan jumlah panti asuhan terbesar di seluruh dunia. Pemerintah Indonesia hanya memiliki dan menyelenggarakan
sedikit dari panti asuhan tersebut, lebih dari 99 panti asuhan diselenggarakan oleh masyarakat, seperti yayasan sosial dan organisasi keagamaan. Depsos sendiri
hanya memiliki tiga panti asuhan di seluruh Indonesia dan Pemerintah Daerah
commit to user 4
Pemda hanya menaungi 35 panti asuhan di seluruh Indonesia. Jumlah panti asuhan yang berada di Provinsi Jawa Tengah mencapai 440 panti asuhan,
diantaranya 28 panti asuhan milik Pemerintah dan 412 panti asuhan dikelola oleh pihak swasta, sedangkan jumlah panti asuhan yang berada di Kabupaten
Sukoharjo mencapai delapan panti asuhan, satu panti asuhan milik pemerintah dan tujuh panti asuhan yang dikelola oleh pihak swasta.
Pihak swasta yang ikut mengelola panti asuhan di Kabupaten Sukoharjo antara lain Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Grogol, Panti Asuhan Yatim
Muhammadiyah Bekonang, Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Polokarto, Panti Asuhan Mardhatilah Putra dan Putri, Yayasan Adh-Dhuha yaitu Panti Asuhan
Adh-Dhuha, dan Yayasan Danar Hadi yaitu Panti Asuhan Al Muttaqin. Penulis memilih untuk mengadakan penelitian di Panti Asuhan Mardhatilah Kartasura
karena sesuai dengan tujuan pendirian panti asuhan ini yaitu memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak-anak terlantar agar dapat memenuhi
kebutuhan baik fisik, mental maupun sosial dalam buku profil pendirian Panti Asuhan Mardhatilah Kartasura, Sukoharjo.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memberikan potret mendalam tentang situasi anak-anak dan pengasuhan yang didapatkan di panti asuhan. Salah
satunya adalah hasil penelitian yang menyebutkan bahwa faktor perbedaan rasio anak dengan pengasuh, stabilitas dan kontinuitas interaksi pengasuh dengan anak
serta tingkat demokratisasi pola asuh ternyata hanya memberikan sumbangan 0,23 untuk perkembangan tingkat kompetensi interpersonal anak-anak panti
asuhan di daerah Yogyakarta Mulyati, 1997. Penelitian ini menyebutkan bahwa
commit to user 5
banyak faktor lain yang dimungkinkan lebih berpengaruh terhadap perkembangan tingkat kompetensi interpersonal anak, antara lain kondisi pengasuh, kesempatan
berinteraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa lain selain pengasuh dan karakteristik individual anak.
Selanjutnya, penelitian yang pernah dilakukan pada remaja panti asuhan Islam yang ada di daerah Yogyakarta Lukman, 2000 didapatkan hasil penelitian
bahwa 97,6 remaja panti asuhan cenderung kurang mampu menunjukkan sikap mandiri, 95,2 remaja panti asuhan mengalami kesulitan dalam menunjukkan
kompetensi interpersonal, dan 98,8 remaja panti asuhan menunjukkan konsep diri yang kurang.
Penelitian lain yang telah dilakukan pada beberapa panti asuhan di daerah Jawa Timur Hartini, 2001 mengenai deskripsi kebutuhan psikologis pada anak
panti asuhan didapatkan hasil penelitian bahwa 76 anak-anak panti asuhan cenderung kurang mampu untuk berhubungan dengan orang lain, 77 anak-anak
panti asuhan masih merasa bahwa di lingkungan panti asuhan tempat tinggalnya kurang memberi motivasi untuk berprestasi, 56 anak-anak panti asuhan merasa
masih belum dapat diterima apa adanya dan dibiarkan berkembang sesuai potensinya sendiri, 57 anak-anak panti asuhan merasa belum menemukan orang
yang tepat untuk dijadikan sebagai panutan dan dijadikan teman untuk menjalin suatu komunikasi yang baik, 52 anak-anak panti asuhan cenderung
menunjukkan kesulitan dalam penyesuaian sosialnya karena merasa adanya aturan dan tata cara yang terlalu kaku, dan 56 anak-anak putri panti asuhan masih
sangat tergantung dan kurang mempunyai motivasi untuk mandiri. Hal ini
commit to user 6
menunjukkan bahwa kehidupan panti asuhan tersebut terlalu kaku dan kurang memperhatikan pemenuhan kebutuhan psikologis dan sosial para penghuninya.
Selanjutnya, penelitian yang telah dilakukan di Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Kudus menyebutkan hasil bahwa sebanyak 12,5 anak panti
asuhan memiliki tingkat asertivitas yang sangat baik, sebanyak 12,5 anak panti asuhan memiliki tingkat asertivitas yang baik, sebanyak 25 anak panti asuhan
memiliki tingkat asertivitas yang cukup, sebanyak 32,5 anak panti asuhan memiliki tingkat asertivitas yang kurang, dan sebanyak 17,5 anak panti asuhan
memiliki tingkat asertivitas yang sangat kurang Masriah, 2006. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut menitikberatkan pada
masalah-masalah psikologis yang sering dialami oleh remaja yang tinggal di panti asuhan, diantaranya hasil penelitian yang menyebutkan bahwa 95,2 remaja panti
asuhan Islam di Yogyakarta mengalami kesulitan dalam menunjukkan kompetensi interpersonal, hasil penelitian yang menyebutkan bahwa 76 anak-anak panti
asuhan di Jawa Timur cenderung kurang mampu untuk berhubungan dengan orang lain, dan sebanyak 75 anak panti asuhan di Kudus memiliki tingkat
asertivitas yang kurang. Dilihat dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja yang tinggal di panti asuhan mengalami kesulitan dalam berhubungan
dengan orang lain yaitu dalam kompetensi interpersonalnya, termasuk dalam asertivitas. Kompetensi interpersonal memiliki lima aspek yaitu inisiatif,
keterbukaan, asertivitas, dukungan emosional, dan kemampuan mengatasi konflik Buhrmester dkk, 1988. Salah satu aspek dari kompetensi interpersonal yang
menjadi fokus penelitian kali ini adalah asertivitas.
commit to user 7
Menurut Kamus
Webster Third International
dalam Fensterheim Baer, 1980, kata kerja
assert
berarti menyatakan atau bersikap positif, yakni berterus terang atau tegas. Lalu menurut Lange Jakubowski dalam Calhoun
Acocella, 1990 asertif atau bersikap tegas artinya menuntut hak pribadi dan menyatakan pikiran, perasaan, dan keyakinan dengan cara langsung, jujur dan
tepat. Alberti Emmons dalam Rakos, 1991 secara detail menyebutkan bahwa perilaku asertif merupakan perilaku yang memungkinkan seseorang untuk
bertindak sesuai dengan keinginan, mempertahankan diri tanpa merasa cemas, mengekspresikan perasaan secara jujur dan nyaman, ataupun menggunakan hak-
hak pribadi tanpa melanggar hak-hak orang lain. Perilaku asertif menurut Rimm Masters dalam Rakos, 1991 adalah
perilaku interpersonal berupa pernyataan pikiran dan perasaan yang bersifat jujur dan relatif langsung serta tepat secara sosial artinya tidak menganggu
kesejahteraan orang lain. Selanjutnya menurut Gunarsa 2004, perilaku asertif adalah perilaku interpersonal yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan
pikiran dan perasaan. Perilaku asertif ini ditandai oleh adanya kesesuaian sosial dan mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain. Perilaku asertif ini
dapat ditunjukkan dengan mengkomunikasikan keinginan, perasaan dan pemikirannya kepada orang lain dengan cara langsung dan jujur tanpa bermaksud
menyakiti siapapun. Pada umumnya, orang yang asertif dalam kehidapannya sehari-hari mampu mengenal dirinya sendiri dengan baik sehingga mampu
menentukan pilihan keinginan dan tujuan hidupnya tanpa harus dipengaruhi oleh orang lain.
commit to user 8
Remaja panti asuhan yang memiliki tingkat asertivitas rendah maka remaja panti asuhan tersebut akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dan
berkomunikasi dengan orang lain, baik yang berada di dalam maupun di luar lingkungan panti asuhan. Sebaliknya, apabila remaja panti asuhan memiliki
tingkat asertivitas yang tinggi maka remaja panti asuhan dapat melakukan penyesuaian diri dan berkomunikasi secara efektif dengan orang lain sehingga
membantu dalam kehidupannya nanti setelah keluar dari panti asuhan. Remaja panti asuhan dengan asertivitas tinggi diharapkan mampu membela dirinya sendiri
maupun orang lain ketika diperlakukan tidak adil, mampu memberikan tanggapan terhadap masalah yang dihadapi yang dapat mempengaruhi hidupnya, serta
mampu menyatakan keinginannya secara tegas terhadap orang lain. Selanjutnya, menurut Covey dalam Gunarsa, 2004, latihan untuk
bersikap asertif bermanfaat untuk digunakan dalam menghadapi orang yang tidak dapat mengekspresikan kemarahan atau perasaan yang tersinggung, mengalami
kesulitan untuk mengatakan ”tidak”, terlalu sopan berlebihan dan membiarkan orang lain mengambil keuntungan dari keadaannya, mengalami kesulitan untuk
mengekspresikan perasaan dan respon-respon positif lainnya, dan merasa tidak memiliki hak untuk mengekspresikan pikiran, kepercayaan, dan perasaannya.
Menurut Rich dan Schroeder dalam Rakos, 1991, perilaku asertif merupakan suatu bentuk perilaku atau keterampilan yang dapat dipelajari
learned skill
yang dipengaruhi oleh lingkungan dan interaksi seseorang dengan lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rathus dan Nevid dalam Widjaja
dan Wulan, 1998 yang menyatakan bahwa perilaku asertif merupakan pola-pola
commit to user 9
yang dapat dipelajari dari lingkungan sebagai reaksi terhadap situasi sosial dalam kehidupannya. Selanjutya, berkembangnya perilaku asertif ini dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang dialami individu dalam lingkungan dan sepanjang hidupnya. Tingkah laku ini diduga berkembang sejak anak melakukan interaksi dengan
orang tua dan orang-orang dewasa lain di sekitarnya. Sesuai dengan pendapat Rich dan Schroeder dalam Rakos, 1991 bahwa
perilaku asertif merupakan suatu bentuk perilaku yang dapat dipelajari dan dipengaruhi oleh lingkungan serta interaksi antara orang dengan lingkungannya,
maka untuk membentuk suatu perilaku asertif diperlukan suatu latihan. Latihan untuk meningkatkan perilaku asertif ini terdiri dari beberapa langkah, yaitu
pengkondisian dan pemilihan perilaku yang tepat, mempersiapkan diri untuk bersikap asertif, berpikir positif, dan pemahaman seseorang tentang hak-hak dasar
yang dimiliki Bishop, 2007. Pada tahap pengkondisian dan pemilihan perilaku yang tepat, seseorang
dihadapkan pada situasi yang memungkinkan untuk memilih bersikap pasif, agresif atau asertif di mana sikap pasif dan agresif datang secara alami sedangkan
sikap asertif memerlukan suatu proses kognitif. Pada tahap mempersiapkan diri untuk bersikap asertif, seseorang yang telah memilih untuk bersikap asertif
melakukan latihan keterampilan untuk bersikap asertif. Pada tahap berpikir positif, inti dari latihan bersikap asertif ini adalah berpikir positif karena seseorang yang
berpikir positif akan memiliki sebuah citra diri yang positif, menggunakan bahasa yang positif, mencari hasil positif untuk interaksi, bekerja sama dengan orang lain
untuk memberikan solusi positif dalam suatu masalah sehingga dimenangkan oleh
commit to user 10
kedua belah pihak
win win solution
, menghormati pendapat orang lain secara positif sehingga membuat seseorang menjadi lebih asertif dalam mengemukakan
pendapat, pikiran, dan perasaan secara jujur, langsung, dan terbuka. Pada tahap terakhir yaitu pemahaman seseorang tentang hak-hak dasar yang dimiliki, di sini
yang harus disadari bahwa apa yang menjadi hak pribadi sendiri juga dimiliki oleh pribadi orang lain maka perlu ditekankan untuk saling menghormati kebutuhan,
pendapat dan perasaan masing-masing. Latihan untuk meningkatkan perilaku asertif di atas merupakan suatu
langkah yang dapat dilakukan secara bertahap tetapi disebutkan pula bahwa tahap berpikir positif merupakan inti dalam latihan tersebut maka Penulis mencoba
untuk memfokuskan pada tahap berpikir positif karena berpikir positif merupakan suatu proses kognitif yang dapat dipelajari oleh semua orang, langkah yang
mudah dilakukan dan menghasilkan manfaat yang luar biasa. Berpikir positif dapat membuat seseorang selalu dalam keadaan positif karena selalu positif dalam
memandang kehidupan yang dijalani selama ini. Telah disebutkan pula bahwa diperlukan suatu proses kognitif untuk
bersikap asertif. Selanjutnya, proses kognitif yang sesuai dengan konsep dasar psikologi kognitif, menekankan pada aktivitas pikiran seseorang, proses yang
terjadi dalam pikiran ini meliputi bagaimana seseorang memperoleh informasi, bagaimana informasi itu kemudian direpresentasikan dan ditransformasikan
sebagai pengetahuan, bagaimana pengetahuan itu disimpan di dalam ingatan kemudian dimunculkan kembali, bagaimana pengetahuan itu digunakan seseorang
untuk mengarahkan sikap-sikap dan perilaku-perilakunya Matlin, dkk dalam
commit to user 11
Suharnan, 2005. Proses kognitif yang menjadi inti dalam latihan bersikap asertif ini adalah cara berpikir positif. Di sini, Penulis mencoba untuk menanamkan cara
berpikir yang positif pada remaja panti asuhan agar dapat mengelola pemikiran dan pandangannya ke arah yang positif sehingga lebih mampu mengungkapkan
pikiran dan perasaannya karena pikiran ikut menentukan sikap yang akan diambil dalam menghadapi setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan.
Menurut Peale 2006 dalam bukunya
Berpikir Positif Untuk Remaja
mendefinisikan berpikir positif sebagai cara berpikir dinamis yang menyeluruh. Pemikiran-pemikiran dinamis ini mengubah seseorang dengan perasaan yang
dikelilingi ketidakberdayaan menjadi manusia yang penuh kekuatan. Perubahan yang terjadi dari kondisi yang hampir mutlak kalah menjadi pribadi yang penuh
percaya diri dan bisa memberi inspirasi hanya dengan proses sederhana yakni dengan pengkondisian pemikiran. Selanjutnya, Seligman 2008 melaporkan hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa penelitian berpikir positif efektif untuk mengubah sikap pesimis menjadi optimis dan dapat mengurangi simtom depresi.
Menurutnya, sikap pesimis disebabkan karena adanya keyakinan negatif terhadap dirinya yang berdasar pada cara berpikir yang salah. Dengan jalan mengubah cara
berpikir yang negatif menjadi positif maka individu yang semula mempunyai sikap pesimis akan menjadi optimis dan menjadi lebih yakin pada dirinya sendiri
sehingga lebih mampu dan berani dalam mengekspresikan apa yang dimilikinya, dengan kata lain menjadi lebih asertif.
Asmani 2009 menyebutkan bahwa berpikir positif merupakan cara berpikir yang berangkat dari hal-hal baik yang mampu menyulut semangat
commit to user 12
perubahan menuju taraf hidup yang lebih baik. Berpikir positif telah menjadi sebuah sistem berpikir yang mengarahkan dan membimbing seseorang untuk
meninggalkan hal-hal negatif yang dapat melemahkan semangat perubahan dalam jiwanya. Sementara menurut Elfiky 2009, berpikir positif adalah sumber
kekuatan dan sumber kebebasan, disebut sebagai sumber kekuatan karena berpikir positif dapat membantu manusia memikirkan solusi sampai mendapatkannya
dengan begitu manusia akan bertambah mahir, percaya, dan kuat dan disebut sebagai sumber kebebasan karena dengan berpikir positif manusia dapat terbebas
dari penderitaan dan kungkungan pikiran negatif serta pengaruhnya pada fisik. Kekuatan berpikir positif inilah yang diharapkan dapat meningkatkan perilaku
asertif seseorang sehingga lebih mampu dan berani dalam mengemukakan pendapat, pemikiran, dan perasaan yang dimiliki.
Selanjutnya, cara berpikir positif ini dapat dipelajari melalui pelatihan berpikir positif. Menurut Ellis dalam Seligman, 2008, pelatihan berpikir positif
merupakan salah satu dari terapi kognitif yang bertujuan untuk mengenali pola pikir yang negatif dan memahaminya, mengubah pola pikir yang negatif dengan
latihan-latihan, dan menggunakan pola pikir baru untuk menghadapi peristiwa kehidupan yang akan datang. Teknik-teknik pelatihan berpikir positif
menggunakan Model A-B-C yang dikembangkan oleh Ellis sesuai dengan tahap pengelolaan pikiran dalam terapi rasional-emotif dalam Seligman, 2008. A
Adversity
adalah peristiwa yang tidak mengenakkan atau kesulitan yang dihadapi, B
Belief
adalah keyakinan yang muncul mengenai peristiwa yang terjadi, dan C
Consequences
adalah konsekuensi dari peristiwa yang terjadi.
commit to user 13
Dengan mengikuti pelatihan berpikir positif ini, remaja panti asuhan diharapkan mampu menggunakan cara berpikir positif dalam kehidupannya
sehari-hari karena melalui berpikir positif, remaja panti asuhan akan dapat menjadi pribadi yang percaya diri, tidak mudah putus asa, berani dalam bertindak,
dan dapat mencapai kebahagiaan dalam hidup. Saat remaja panti asuhan tidak dapat mengkomunikasikan apa yang dipikirkan dan dirasakannya karena kurang
mampu berpikir positif, maka tantangan kehidupan yang diterima akan disikapi secara negatif. Tentu saja semua ini akan membuat remaja panti asuhan berada
dalam kondisi gelisah, marah, dan stres. Kondisi ini akan merugikan perkembangan diri remaja panti asuhan dalam melalui tugas perkembangan dan
tidak dapat mengekspresikan potensi yang dimilikinya. Pikiran positif perlu dipelajari dan dilatih secara serius agar remaja panti
asuhan mampu menjadikannya sebagai pandangan hidup. Jika remaja panti asuhan mampu berpikir positif secara konsisten, maka remaja panti asuhan pun
mempunyai kesempatan lebih besar untuk menjadi pribadi yang tegar dan percaya diri dalam mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya. Melalui pikiran positif,
semua kekuatan diri remaja panti asuhan akan bekerja secara otomatis sehingga menjadi berhasil dalam meraih apa yang dicita-citakan. Kesadaran remaja panti
asuhan untuk mau berpikir positif terhadap setiap momen dalam hidupnya akan memberikan energi positif dalam setiap tindakan yang dilakukan. Dengan berpikir
positif diharapkan remaja panti asuhan menjadi pribadi yang mampu bersikap asertif terhadap semua aspek kehidupan yang mengelilingi hidupnya.
commit to user 14
Berdasarkan uraian di atas, melihat pentingnya cara berpikir positif untuk
membantu masalah psikologis yang dialami oleh remaja panti asuhan yakni kemampuan remaja panti asuhan untuk bersikap asertif, maka Penulis akan
memberikan pelatihan berpikir positif kepada remaja yang tinggal di salah satu panti asuhan Islam di daerah Sukoharjo yaitu di Panti Asuhan Mardhotilah
Kartasura, Sukoharjo. Penulis akan mengadakan penelitian untuk penulisan skripsi dengan judul Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif terhadap Tingkat
Asertivitas Remaja Panti Asuhan. Penulis berharap remaja panti asuhan tidak membuat langkah mundur, melupakan harapan-harapan, dan pada akhirnya
menyebabkan remaja panti asuhan tidak dapat mencapai tujuan hidupnya. Peningkatan berpikir positif diharapkan dapat membantu remaja panti asuhan
menjadi lebih asertif dalam mengekspresikan dan mengkomunikasikan apa yang diinginkannya sehingga remaja panti asuhan pun dapat berkomunikasi secara
efektif dengan orang lain dan tercipta hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Dengan menyatakan apa adanya perasaan atau emosinya,
remaja panti asuhan tidak akan dikendalikan oleh orang lain, efektif dalam berinteraksi, lebih dihargai orang lain, menjadi lebih percaya diri dan memiliki
rasa puas dalam hidupnya.
B. Rumusan Masalah