Adhisty June Ertyastuti G 0106019
commit to user
PENGARUH PELATIHAN BERPIKIR POSITIF TERHADAP ASERTIVITAS REMAJA PANTI ASUHAN
Skripsi
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh :
Adhisty June Ertyastuti G 0106019
Pembimbing :
1. Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M. Si. 2. Aditya Nanda Priyatama, S. Psi., M. Si.
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
(2)
commit to user ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sesunggguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal- hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.
Surakarta, Juli 2011
(3)
commit to user iii
HALAMAN PERSETUJUAN
Proposal dengan judul : Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif terhadap Asertivitas Remaja Panti Asuhan
Nama Peneliti : Adhisty June Ertyastuti
NIM : G0106019
Tahun : 2011
Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada:
Hari : ... Tanggal : ...
Pembimbing I Pembimbing II
Tri Rejeki Andayani, S.Psi.,M.Si. Aditya Nanda Priyatama, S.Psi.,M.Si. NIP. 197401091998022001 NIP.197810222005011002
Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, M.Psi. NIP.197608172005012002
(4)
commit to user iv
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan judul:Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif terhadap Asertivitas Remaja Panti Asuhan
Adhisty June Ertyastuti, G0106019, Tahun 2011
Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Hari : ... Tanggal : ... 1. Pembimbing Utama
Tri Rejeki Andayani, S.Psi.,M.Si. NIP. 197401091998022001
( ________________ )
2. Pembimbing Pendamping
Aditya Nanda Priyatama, S.Psi.,M.Si. NIP.197810222005011002
( ________________ )
3. Penguji I
Dra. Salmah Lilik, M.Si. NIP. 194904151981012001
( ________________ )
4. Penguji II
Rin Widya Agustin, M.Psi. NIP. 197608172005012002
( ________________ )
Surakarta, _________________
Ketua Program Studi Psikologi
Drs. Hardjono, M.Si NIP. 195901191989031002
Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, M. Psi NIP. 197608172005012002
(5)
commit to user v MOTTO
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain), dan hanya
kepada ALLAH SWT hendaknya kamu berharap. (Q.S. Asy-Syarh: 6-8)
Mulailah dengan melakukan apa yang perlu, Lalu diikuti dengan apa yang mungkin,
dan tanpa kau sadari, dirimu telah melakukan hal yang mustahil. (St. Fransiskus Assisi)
Anda mungkin tidak dapat mengendalikan keadaan, tapi Anda dapat mengendalikan pikiran Anda.
Pikiran positif menghasilkan perbuatan dan hasil yang positif. (Dr. Ibrahim Elfiky)
(6)
commit to user vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini untuk orang-orang yang mencintaiku dan aku cintai. Berbagai rintangan dan keputusasaan mencair karena limpahan perhatian , dukungan, dan doa mereka. Berkat dorongan, dukungan, dan doa merekalah karya ini terselesaikan sebagai suatu bentuk karya terindah
dari limpahan anugerah Illahi Karya ini kupersembahkan untuk : 1. Bapak-Ibu, adik, Mediyanto dan segenap keluarga besarku untuk doa, kasih sayang & perhatiannya yang tak akan pernah berhenti memberiku semangat untuk menyelesaikan karya ini.
2. The Positive Thinking Crew (Mas Burhan, Mas Redy,
Mas Yasir, Mas Agung, Mifta Chu, Arfi NH, Masrika, Ribka, Taurina dan Aminah) yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga
untuk suksesnya penelitian ini. 3. Almamaterku tercinta, Psikologi UNS.
(7)
commit to user vii
KATA PENGANTAR
Bissmillahirrahmanirrahim,
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya serta menganugerahkan tetesan ilmu, kesehatan, dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Setelah melalui sebuah perjalanan panjang dan menghadapi berbagai rintangan yang menghadang, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penyusunan skripsi dengan judul ”Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif terhadap Asertivitas Remaja Panti Asuhan” dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dorongan dan doa dari berbagai pihak, oleh karena itu Penulis mengucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Drs. Hardjono, M.Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dan pembimbing akademik yang telah memberikan perhatian dan arahan selama Penulis menempuh studi.
2. Tri Rejeki Andayani, S.Psi.,M.Si., selaku dosen pembimbing utama, dan Aditya Nanda Priyatama, S.Psi.,M.Si., selaku dosen pembimbing pendamping yang telah meluangkan waktu disela-sela kesibukannya untuk memberikan arahan, motivasi, masukan, dan ilmu yang bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.
3. Dra. Salmah Lilik, M.Si. dan Rin Widya Agustin M.Psi., selaku penguji I dan II yang telah bersedia memberikan saran dan kritik kepada Penulis bagi penulisan skripsi ini.
(8)
commit to user viii
4. Bapak, Ibu dosen dan seluruh staf tata usaha dan staf perpustakaan (Mbak Ana, Mas Dhimas, Mas Ryan, dan Pak Warno) Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan motivasi dan bantuan kepada Penulis dalam penyelesaian studi.
5. Ibu Siti Parini, S.Ag. selaku Pimpinan Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiah Sukoharjo, Bapak Kalimin, S.Pd., S.Ag. selaku Pimpinan Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Sukoharjo, dan Ibu Siti Taurat Aly selaku Pimpinan Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo, beserta seluruh staf pengasuh yang bersedia memberikan izin serta membantu Penulis dalam melakukan penelitian dan seluruh remaja panti asuhan di kedua panti tersebut yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menjadi subjek penelitian dan membantu dalam proses pengumpulan data. 6. Bapak-Ibu, adik, Mediyanto dan segenap keluarga besarku untuk doa, kasih sayang
& perhatiannya yang tak akan pernah berhenti memberiku semangat untuk menyelesaikan skripsi ini di Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. The Positive Thinking Crew (Mas Agung, Mas Redy, Mas Burhan, Mas Yasir, Mifta Chu, Arfi NH, Masrika, Ribka, Taurina dan Aminah) yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk suksesnya penelitian ini.
8. Terima kasih untuk Ddika I.R., Rini, Dika S., Marliana, Noviana, Maria, Sheila, Febi, Tanty dan Indri yang telah memberikan dorongan, kekuatan, waktu, dan ilmu serta kesediaannya dalam mendengarkan keluh kesahku.
9. Keluarga besar Psikologi angkatan 2006 yang telah memberikan kenangan manis, kebersamaan, keceriaan, kesedihan, pengorbanan, persahabatan, motivasi, dan
(9)
commit to user ix
kekuatan selama menempuh studi. Perjuangan belum berakhir, masih ada kesuksesan lagi yang menunggu kita esok.
10.Kakak-kakakku angkatan 2004 dan 2005 yang banyak memberikan ilmu dan kebersamaannya selama menempuh studi dan menyelesaikan skripsi, serta adik-adikku angkatan 2007, 2008, 2009 dan 2010 terima kasih atas kerja samanya. Lanjutkan perjuangan kita.
Semoga Allah SWT berkenan memberikan pahala yang sepadan dengan jerih payah Bapak Ibu dan teman-teman lakukan, dan semoga skripsi yang sederhana ini bermanfaat bagi semua pihak.
Surakarta, Juli 2011
(10)
commit to user x
PENGARUH PELATIHAN BERPIKIR POSITIF TERHADAP ASERTIVITAS REMAJA PANTI ASUHAN
Adhisty June Ertyastuti
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
ABSTRAK
Remaja sebagai salah satu tahap dalam perkembangan manusia, memiliki tugas perkembangan yang berfokus pada upaya untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab dalam lingkungannya. Remaja memerlukan dukungan dan pengarahan dari keluarga untuk menyelesaikan tugas perkembangannya. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak setiap remaja dilindungi dalam satu keutuhan keluarga sehingga menyebabkan remaja harus berada di panti asuhan. Keberadaan panti asuhan berperan penting sebagai lembaga yang menangani anak-anak terlantar untuk memenuhi kebutuhan anak asuhnya baik dari segi fisik maupun psikis tetapi panti asuhan tidak selalu bisa memenuhi kebutuhan anak asuhnya terutama kebutuhan psikis. Masalah psikologis yang sering dialami oleh remaja panti asuhan, diantaranya mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain (kompetensi interpersonal), salah satunya dalam asertivitas yang menjadi fokus penelitian ini. Asertivitas merupakan suatu perilaku yang dapat dipelajari sehingga perilaku asertif dapat ditingkatkan melalui serangkaian latihan. Latihan untuk meningkatkan asertivitas dapat dilakukan dengan menekankan pada proses kognitif. Salah satu pengembangan latihan dengan proses kognitif adalah berpikir positif. Pelatihan berpikir positif ini dimaksudkan untuk meningkatkan asertivitas remaja panti asuhan. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan berpikir positif terhadap asertivitas remaja panti asuhan di Panti Asuhan Yatim (PAY) Mardhatilah Sukoharjo.
Penelitian ini menggunakan Non-Randomized Pretest-Posttest Control-Group Design dengan subjek penelitian sebanyak 10 remaja panti asuhan di PAY Mardhatilah Sukoharjo dengan tingkat asertivitas sedang yaitu lima remaja Kelompok Eksperimen dan lima remaja Kelompok Kontrol. Pelatihan ini menggunakan pendekatan experiential learning dengan metode communication activities, games, role play, sharing, relaksasi, dan pemutaran film serta materi pelatihan yang telah disusun dalam modul. Pengambilan data dilakukan menggunakan Skala Asertivitas dengan daya beda item 0,302 - 0,642 dan koefisien reliabilitas (α) 0,883.
Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U, diketahui besarnya nilai Zhitung = -2,627
(Ztabel = -2,409; Zhitung<Ztabel) dan p 0,008 (p<0,05). Hal ini berarti ada pengaruh
pelatihan berpikir positif terhadap asertivitas remaja panti asuhan. Selanjutnya, hasil uji menggunakan Wilcoxon T, diketahui besarnya nilai Zhitung = -2,032 (Ztabel = -1,728;
Zhitung<Ztabel) dan p 0,042 (p< 0,05). Hal ini berarti bahwa pelatihan berpikir positif
efektif dalam meningkatkan asertivitas remaja panti asuhan.
(11)
commit to user xi
EFFECT OF POSITIVE THINKING TRAINING ON ASSERTIVENESS OF ADOLESCENTS IN ORPHANAGE
Adhisty June Ertyastuti
Psychology Department, Medical Faculty Sebelas Maret University Surakarta
ABSTRACT
Adolescents as one stage in human development, has a developmental task that focuses on efforts to achieve the ability to act and behave as responsible adults in their environment. Adolescents need support and guidance from family to complete their development tasks. The reality shows that not every adolescents is protected in a family unit, causing adolescents to be in an orphanage. The existence of an orphanage as an institution has an important role in charge of abandoned children to fulfil the needs of foster children in terms of both physical and psychological but the orphanage can not always fulfil the needs of foster children in particular psychological needs. Psychological problems often experienced by adolescents in orphanage, including difficulties in related with others (interpersonal competence), one of them is the assertiveness that became the focus of this research. Assertiveness is a behavior that can be learned, therefore, assertive behavior can be improved through a series of exercises. The exercise of assertiveness improving can be used by focusing on cognitive process. One of the development of training with cognitive process is positive thinking training. Positive thinking training is intended to enhance assertiveness of adolescents in orphanage. The purpose of this study was to determine the effect of positive thinking training on assertiveness of adolescents in orphanage in the Orphanage Orphans (PAY) Mardhatilah Sukoharjo.
This study used a Non-Randomized Pretest-Posttest Control-Group Design with 10 adolescents in orphanage of Mardhatilah’s Orphanage with medium level of assertiveness that was five adolescents in Experimental Group and five adolescents in Control Group. This training used experiential learning approaches with communication activities through presentations, games, role play, sharing, relaxation, and film screenings then training materials that have been compiled in the module. Data was collected by using Assertiveness Scale with a correlations coeffisient was at 0.302 up to 0.642 and reliability coeffisient was (α) 0.883.
Based on the results of the Mann-Whitney U test, known that the value Zhitung =
-2.627 (Ztabel = -2.409; Zhitung<Ztabel) and p 0.008 (p <0.05). This means there is an effect
of positive thinking training on assertiveness of adolescents in orphanage. Furthermore, the results of The Wilcoxon T test, it wass known that the value Zhitung = -2.032 (Ztabel =
-1.728; Zhitung<Ztabel) and p 0.042 (p <0.05). This means that positive thinking training is
effective on improving assertiveness of adolescents in orphanage.
(12)
commit to user xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
PERNYATAAN KEASLIAN...ii
HALAMAN PERSETUJUAN...iii
HALAMAN PENGESAHAN...iv
MOTTO...v
HALAMAN PERSEMBAHAN...vi
KATA PENGANTAR...vii
ABSTRAK...x
ABSTRACT...xi
DAFTAR ISI...xii
DAFTAR TABEL...xiv
DAFTAR GAMBAR...xv
DAFTAR LAMPIRAN...xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1
B.Rumusan Masalah...14
C.Tujuan Penelitian...15
(13)
commit to user xiii BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.Asertivitas
1. Pengertian Asertivitas...16
2. Proses Asertivitas...17
3. Aspek Asertivitas...21
4. Manfaat Asertivitas...24
5. Faktor yang Mempengaruhi Asertivitas...27
B. Pelatihan Berpikir Positif 1. Pengertian Pelatihan...29
a. Konsep Pendekatan dalam Pelatihan...31
b. Experiential Learning...35
c. Komponen Pelatihan...38
d. Penyusunan Program Pelatihan...39
2. Berpikir Positif a. Pengertian Berpikir Positif...44
b. Manfaat Berpikir Positif...46
c. Langkah Efektif Berpikir Positif...50
3. Pelatihan Berpikir Positif...73
C.Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif Terhadap Asertivitas Remaja Panti Asuhan...79
D.Kerangka Berpikir...84
(14)
commit to user xiv BAB III METODE PENELITIAN
A.Identifikasi Variabel Penelitian...86
B. Definisi Operasional...86
C.Populasi dan Sampel...90
D.Metode Pengumpulan Data...90
E. Validitas dan Reliabilitas...92
F. Rancangan Penelitian...93
G.Prosedur Penelitian...94
H.Teknik Analisis Data...96
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Penelitian ...97
1. Orientasi Tempat Penelitian ...97
2. Persiapan Administrasi...100
3. Persiapan Alat Ukur...100
a. Alat Ukur Sebelum Uji Coba...100
b. Uji Coba Alat Ukur...102
c. Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas...104
d. Penyusunan Alat Ukur...108
4. Persiapan Eksperimen...109
a. Persiapan Alat dan Bahan...109
b. Uji Coba Modul Pelatihan...110
(15)
commit to user xv
B. Pelaksanaan Penelitian ...113
1. Pelaksanaan Pengambilan Data Pretest...113
2. Penentuan Sampel Penelitian ...115
3. Pelaksanaan Eksperimen...116
4. Pelaksanaan Pengambilan Data Posttest...124
C. Hasil Penelitian...125
1. Hasil Analisis Kuantitatif...125
a. Uji Hipotesis...126
b. Hasil Analisis Evaluasi Proses dan Hasil Pelatihan...129
2. Hasil Analisis Deskriptif ...132
D. Pembahasan ...144
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan...153
B. Saran ...154
(16)
commit to user xvi
DARTAR TABEL
Tabel 1 Perbedaan antara Training dan Education...30
Tabel 2 Rangkaian Pelatihan Berpikir Positif...88
Tabel 3 Blue Print Skala Asertivitas Sebelum Uji Coba...92
Tabel 4 Misi Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo...99
Tabel 5 Distribusi Skala Asertivitas Sebelum Uji Coba...102
Tabel 6 Distribusi Skala Asertivitas Setelah Uji Coba...106
Tabel 7 Hasil Uji Reliabilitas Cronbach’s Alpha...107
Tabel 8 Distribusi Skala Asertivitas Untuk Penelitian...108
Tabel 9 Nilai Tes Evaluasi Materi (Uji Coba Modul)...111
Tabel 10 Nilai Pemahaman Materi (Uji Coba Modul)...112
Tabel 11 Hasil Screening...114
Tabel 12 Sampel Penelitian yang Menjadi Kelompok Kontrol...116
Tabel 13 Sampel Penelitian yang Menjadi Kelompok Eksperimen...116
Tabel 14 Hasil Uji Mann-Whitney U-Test...126
Tabel 15 Hasil Uji Wilcoxon Signed Ranks Test...128
Tabel 16 Distribusi Hasil Analisis Evaluasi Proses Pelatihan...129
Tabel 17 Distribusi Hasil Evaluasi Worksheet...132
(17)
commit to user xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Integrasi Empat Kecerdasan dalam Asertivitas...20
Gambar 2 Siklus Experiential Learning...36
Gambar 3 Bagan Kerangka Berpikir...84
Gambar 4 Desain Penelitian...94
Gambar 5 Skor Asertivitas pada Peserta 1...133
Gambar 6 Skor Asertivitas pada Peserta 2...135
Gambar 7 Skor Asertivitas pada Peserta 3...138
Gambar 8 Skor Asertivitas pada Peserta 4...140
Gambar 9 Skor Asertivitas pada Peserta 5...142
Gambar 10 Grafik Skor Asertivitas Kelompok Eksperimen...146
(18)
commit to user xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Detail Rancangan Pelatihan...159
Lampiran B Skala Untuk Try Out dan Penelitian...163
Lampiran C Penjelasan Pelatihan...173
Lampiran D Lembar Evaluasi Proses...176
Lampiran E Modul Pelatihan Berpikir Positif...179
Lampiran F Tabulasi Try Out, Tabulasi Pretest, Tabulasi Posttest, Kategorisasi Tingkat Asertivitas...200
Lampiran G Uji Reliabilitas, Uji Hipotesis...208
Lampiran H Dokumentasi...212
(19)
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Di zaman globalisasi sekarang ini, semua kebudayaan asing dapat masuk ke dalam negara kita, yang secara otomatis akan membawa pengaruh signifikan dalam berbagai bidang kehidupan. Lingkungan menjadi semakin selektif, hal ini diikuti dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menuntut adanya usaha untuk menjadikan kualitas hidup selalu lebih baik dari sebelumnya. Hidup ini memberi tantangan berupa permasalahan dan kesulitan. Kesulitan hidup ini bisa dialami oleh siapa saja, termasuk remaja sebagai salah satu tahap dalam perkembangan manusia. Remaja yang dihadapkan pada kesulitan akan mudah menjadi putus asa apabila dia tidak memiliki tujuan hidup, harapan, dan hal-hal berharga yang ingin dicapai. Bagi remaja yang mampu beradaptasi dan menunjukkan kemampuannya dengan baik akan tetap eksis di lingkungannya, sedangkan remaja yang tidak mampu untuk beradaptasi dan menunjukkan kemampuannya maka remaja tersebut bisa jadi akan merasa rendah diri atau merasa tidak berarti.
Permasalahan pada remaja bisa muncul sejalan dengan pergantian status dari anak menjadi remaja. Ali & Asrori (2004) mengatakan bahwa remaja sebenarnya tidak mempunyai kedudukan yang jelas. Remaja sudah tidak termasuk dalam golongan anak, tetapi juga belum dapat diterima secara penuh untuk masuk ke dalam golongan orang dewasa. Remaja berada di antara anak dan orang
(20)
commit to user
dewasa. Remaja memiliki beberapa tugas perkembangan yang harus dilalui agar dapat menjalani kehidupannya dengan lebih baik menuju kedewasaan. Menurut Havigrust (dalam Panuju & Umami, 1999) tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab dalam lingkungannya karena hal ini merupakan pondasi supaya remaja dapat hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, jika remaja berhasil melalui tugas perkembangan ini akan menimbulkan fase bahagia dan membawa keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya, tetapi jika gagal melalui tugas perkembangan ini maka akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya.
Selanjutnya, menurut Panuju & Umami (1999) terdapat hubungan yang cukup erat antara lingkungan kehidupan sosial dan tugas perkembangan yang harus dilalui oleh remaja dalam kehidupannya. Keluarga sebagai lingkungan sosial yang terkecil tentu sangat berperan bagi remaja dalam menghadapi tugas perkembangannya. Remaja memerlukan dukungan dan pengarahan dari keluarga untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya karena keluarga mempunyai peranan yang penting dalam penanaman nilai dan norma bagi seorang anak yang menuju masa remaja. Rasa aman yang didapat dari keluarga pada awal pertumbuhan dan perkembangan remaja akan mendorong remaja untuk melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya sehingga remaja dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa keutuhan sebuah keluarga dan terpenuhinya kualitas interkasi antar anggotanya merupakan hal yang diperlukan oleh seorang remaja agar dapat
(21)
commit to user
tumbuh menjadi seseorang dengan keyakinan bahwa remaja dapat meraih tujuan hidupnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa tidak setiap remaja dilindungi dalam satu keutuhan keluarga yang bisa memenuhi kebutuhan emosional dan fisik secara optimal. Ada kondisi tertentu yang menyebabkan seorang remaja berada di lembaga yang bernama panti asuhan. Panti asuhan diartikan sebagai rumah, tempat atau kediaman yang digunakan untuk memelihara atau mengasuh anak yatim, piatu dan yatim piatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Panti asuhan sebagai lembaga yang menangani anak-anak terlantar berusaha memenuhi kebutuhan anak asuhnya baik dari segi fisik maupun psikis. Panti asuhan tidak hanya sebagai tempat penitipan, tetapi juga menjadi sarana pematangan mental agar kelak setelah keluar dari panti asuhan, anak-anak yang dulunya tinggal di panti asuhan mampu berdiri sendiri. Panti asuhan berperan sebagai pengganti keluarga dalam memenuhi kebutuhan remaja dalam menjalani proses perkembangannya.
Sebuah laporan yang diluncurkan oleh Departemen Sosial Republik Indonesia (Depsos) pada Juni 2008 menyebutkan bahwa jumlah panti asuhan di seluruh Indonesia diperkirakan antara 5.000-8.000 yang mengasuh sampai dengan setengah juta anak ini kemungkinan merupakan jumlah panti asuhan terbesar di seluruh dunia. Pemerintah Indonesia hanya memiliki dan menyelenggarakan sedikit dari panti asuhan tersebut, lebih dari 99% panti asuhan diselenggarakan oleh masyarakat, seperti yayasan sosial dan organisasi keagamaan. Depsos sendiri hanya memiliki tiga panti asuhan di seluruh Indonesia dan Pemerintah Daerah
(22)
commit to user
(Pemda) hanya menaungi 35 panti asuhan di seluruh Indonesia. Jumlah panti asuhan yang berada di Provinsi Jawa Tengah mencapai 440 panti asuhan, diantaranya 28 panti asuhan milik Pemerintah dan 412 panti asuhan dikelola oleh pihak swasta, sedangkan jumlah panti asuhan yang berada di Kabupaten Sukoharjo mencapai delapan panti asuhan, satu panti asuhan milik pemerintah dan tujuh panti asuhan yang dikelola oleh pihak swasta.
Pihak swasta yang ikut mengelola panti asuhan di Kabupaten Sukoharjo antara lain Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Grogol, Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Bekonang, Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Polokarto, Panti Asuhan Mardhatilah Putra dan Putri, Yayasan Adh-Dhuha yaitu Panti Asuhan Adh-Dhuha, dan Yayasan Danar Hadi yaitu Panti Asuhan Al Muttaqin. Penulis memilih untuk mengadakan penelitian di Panti Asuhan Mardhatilah Kartasura karena sesuai dengan tujuan pendirian panti asuhan ini yaitu memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak-anak terlantar agar dapat memenuhi kebutuhan baik fisik, mental maupun sosial (dalam buku profil pendirian Panti Asuhan Mardhatilah Kartasura, Sukoharjo).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memberikan potret mendalam tentang situasi anak-anak dan pengasuhan yang didapatkan di panti asuhan. Salah satunya adalah hasil penelitian yang menyebutkan bahwa faktor perbedaan rasio anak dengan pengasuh, stabilitas dan kontinuitas interaksi pengasuh dengan anak serta tingkat demokratisasi pola asuh ternyata hanya memberikan sumbangan 0,23% untuk perkembangan tingkat kompetensi interpersonal anak-anak panti asuhan di daerah Yogyakarta (Mulyati, 1997). Penelitian ini menyebutkan bahwa
(23)
commit to user
banyak faktor lain yang dimungkinkan lebih berpengaruh terhadap perkembangan tingkat kompetensi interpersonal anak, antara lain kondisi pengasuh, kesempatan berinteraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa lain selain pengasuh dan karakteristik individual anak.
Selanjutnya, penelitian yang pernah dilakukan pada remaja panti asuhan Islam yang ada di daerah Yogyakarta (Lukman, 2000) didapatkan hasil penelitian bahwa 97,6% remaja panti asuhan cenderung kurang mampu menunjukkan sikap mandiri, 95,2% remaja panti asuhan mengalami kesulitan dalam menunjukkan kompetensi interpersonal, dan 98,8% remaja panti asuhan menunjukkan konsep diri yang kurang.
Penelitian lain yang telah dilakukan pada beberapa panti asuhan di daerah Jawa Timur (Hartini, 2001) mengenai deskripsi kebutuhan psikologis pada anak panti asuhan didapatkan hasil penelitian bahwa 76% anak-anak panti asuhan cenderung kurang mampu untuk berhubungan dengan orang lain, 77% anak-anak panti asuhan masih merasa bahwa di lingkungan panti asuhan tempat tinggalnya kurang memberi motivasi untuk berprestasi, 56% anak-anak panti asuhan merasa masih belum dapat diterima apa adanya dan dibiarkan berkembang sesuai potensinya sendiri, 57% anak-anak panti asuhan merasa belum menemukan orang yang tepat untuk dijadikan sebagai panutan dan dijadikan teman untuk menjalin suatu komunikasi yang baik, 52% anak-anak panti asuhan cenderung menunjukkan kesulitan dalam penyesuaian sosialnya karena merasa adanya aturan dan tata cara yang terlalu kaku, dan 56% anak-anak putri panti asuhan masih sangat tergantung dan kurang mempunyai motivasi untuk mandiri. Hal ini
(24)
commit to user
menunjukkan bahwa kehidupan panti asuhan tersebut terlalu kaku dan kurang memperhatikan pemenuhan kebutuhan psikologis dan sosial para penghuninya.
Selanjutnya, penelitian yang telah dilakukan di Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Kudus menyebutkan hasil bahwa sebanyak 12,5% anak panti asuhan memiliki tingkat asertivitas yang sangat baik, sebanyak 12,5% anak panti asuhan memiliki tingkat asertivitas yang baik, sebanyak 25% anak panti asuhan memiliki tingkat asertivitas yang cukup, sebanyak 32,5% anak panti asuhan memiliki tingkat asertivitas yang kurang, dan sebanyak 17,5% anak panti asuhan memiliki tingkat asertivitas yang sangat kurang (Masriah, 2006).
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut menitikberatkan pada masalah-masalah psikologis yang sering dialami oleh remaja yang tinggal di panti asuhan, diantaranya hasil penelitian yang menyebutkan bahwa 95,2% remaja panti asuhan Islam di Yogyakarta mengalami kesulitan dalam menunjukkan kompetensi interpersonal, hasil penelitian yang menyebutkan bahwa 76% anak-anak panti asuhan di Jawa Timur cenderung kurang mampu untuk berhubungan dengan orang lain, dan sebanyak 75% anak panti asuhan di Kudus memiliki tingkat asertivitas yang kurang. Dilihat dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja yang tinggal di panti asuhan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain yaitu dalam kompetensi interpersonalnya, termasuk dalam asertivitas. Kompetensi interpersonal memiliki lima aspek yaitu inisiatif, keterbukaan, asertivitas, dukungan emosional, dan kemampuan mengatasi konflik (Buhrmester dkk, 1988). Salah satu aspek dari kompetensi interpersonal yang menjadi fokus penelitian kali ini adalah asertivitas.
(25)
commit to user
Menurut Kamus Webster Third International (dalam Fensterheim & Baer, 1980), kata kerja assert berarti menyatakan atau bersikap positif, yakni berterus terang atau tegas. Lalu menurut Lange & Jakubowski (dalam Calhoun & Acocella, 1990) asertif atau bersikap tegas artinya menuntut hak pribadi dan menyatakan pikiran, perasaan, dan keyakinan dengan cara langsung, jujur dan tepat. Alberti & Emmons (dalam Rakos, 1991) secara detail menyebutkan bahwa perilaku asertif merupakan perilaku yang memungkinkan seseorang untuk bertindak sesuai dengan keinginan, mempertahankan diri tanpa merasa cemas, mengekspresikan perasaan secara jujur dan nyaman, ataupun menggunakan hak-hak pribadi tanpa melanggar hak-hak-hak-hak orang lain.
Perilaku asertif menurut Rimm & Masters (dalam Rakos, 1991) adalah perilaku interpersonal berupa pernyataan pikiran dan perasaan yang bersifat jujur dan relatif langsung serta tepat secara sosial artinya tidak menganggu kesejahteraan orang lain. Selanjutnya menurut Gunarsa (2004), perilaku asertif adalah perilaku interpersonal yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku asertif ini ditandai oleh adanya kesesuaian sosial dan mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain. Perilaku asertif ini dapat ditunjukkan dengan mengkomunikasikan keinginan, perasaan dan pemikirannya kepada orang lain dengan cara langsung dan jujur tanpa bermaksud menyakiti siapapun. Pada umumnya, orang yang asertif dalam kehidapannya sehari-hari mampu mengenal dirinya sendiri dengan baik sehingga mampu menentukan pilihan keinginan dan tujuan hidupnya tanpa harus dipengaruhi oleh orang lain.
(26)
commit to user
Remaja panti asuhan yang memiliki tingkat asertivitas rendah maka remaja panti asuhan tersebut akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dan berkomunikasi dengan orang lain, baik yang berada di dalam maupun di luar lingkungan panti asuhan. Sebaliknya, apabila remaja panti asuhan memiliki tingkat asertivitas yang tinggi maka remaja panti asuhan dapat melakukan penyesuaian diri dan berkomunikasi secara efektif dengan orang lain sehingga membantu dalam kehidupannya nanti setelah keluar dari panti asuhan. Remaja panti asuhan dengan asertivitas tinggi diharapkan mampu membela dirinya sendiri maupun orang lain ketika diperlakukan tidak adil, mampu memberikan tanggapan terhadap masalah yang dihadapi yang dapat mempengaruhi hidupnya, serta mampu menyatakan keinginannya secara tegas terhadap orang lain.
Selanjutnya, menurut Covey (dalam Gunarsa, 2004), latihan untuk bersikap asertif bermanfaat untuk digunakan dalam menghadapi orang yang tidak dapat mengekspresikan kemarahan atau perasaan yang tersinggung, mengalami kesulitan untuk mengatakan ”tidak”, terlalu sopan berlebihan dan membiarkan orang lain mengambil keuntungan dari keadaannya, mengalami kesulitan untuk mengekspresikan perasaan dan respon-respon positif lainnya, dan merasa tidak memiliki hak untuk mengekspresikan pikiran, kepercayaan, dan perasaannya.
Menurut Rich dan Schroeder (dalam Rakos, 1991), perilaku asertif merupakan suatu bentuk perilaku atau keterampilan yang dapat dipelajari (learned skill) yang dipengaruhi oleh lingkungan dan interaksi seseorang dengan lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rathus dan Nevid (dalam Widjaja dan Wulan, 1998) yang menyatakan bahwa perilaku asertif merupakan pola-pola
(27)
commit to user
yang dapat dipelajari dari lingkungan sebagai reaksi terhadap situasi sosial dalam kehidupannya. Selanjutya, berkembangnya perilaku asertif ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dialami individu dalam lingkungan dan sepanjang hidupnya. Tingkah laku ini diduga berkembang sejak anak melakukan interaksi dengan orang tua dan orang-orang dewasa lain di sekitarnya.
Sesuai dengan pendapat Rich dan Schroeder (dalam Rakos, 1991) bahwa perilaku asertif merupakan suatu bentuk perilaku yang dapat dipelajari dan dipengaruhi oleh lingkungan serta interaksi antara orang dengan lingkungannya, maka untuk membentuk suatu perilaku asertif diperlukan suatu latihan. Latihan untuk meningkatkan perilaku asertif ini terdiri dari beberapa langkah, yaitu pengkondisian dan pemilihan perilaku yang tepat, mempersiapkan diri untuk bersikap asertif, berpikir positif, dan pemahaman seseorang tentang hak-hak dasar yang dimiliki (Bishop, 2007).
Pada tahap pengkondisian dan pemilihan perilaku yang tepat, seseorang dihadapkan pada situasi yang memungkinkan untuk memilih bersikap pasif, agresif atau asertif di mana sikap pasif dan agresif datang secara alami sedangkan sikap asertif memerlukan suatu proses kognitif. Pada tahap mempersiapkan diri untuk bersikap asertif, seseorang yang telah memilih untuk bersikap asertif melakukan latihan keterampilan untuk bersikap asertif. Pada tahap berpikir positif, inti dari latihan bersikap asertif ini adalah berpikir positif karena seseorang yang berpikir positif akan memiliki sebuah citra diri yang positif, menggunakan bahasa yang positif, mencari hasil positif untuk interaksi, bekerja sama dengan orang lain untuk memberikan solusi positif dalam suatu masalah sehingga dimenangkan oleh
(28)
commit to user
kedua belah pihak (win win solution), menghormati pendapat orang lain secara positif sehingga membuat seseorang menjadi lebih asertif dalam mengemukakan pendapat, pikiran, dan perasaan secara jujur, langsung, dan terbuka. Pada tahap terakhir yaitu pemahaman seseorang tentang hak-hak dasar yang dimiliki, di sini yang harus disadari bahwa apa yang menjadi hak pribadi sendiri juga dimiliki oleh pribadi orang lain maka perlu ditekankan untuk saling menghormati kebutuhan, pendapat dan perasaan masing-masing.
Latihan untuk meningkatkan perilaku asertif di atas merupakan suatu langkah yang dapat dilakukan secara bertahap tetapi disebutkan pula bahwa tahap berpikir positif merupakan inti dalam latihan tersebut maka Penulis mencoba untuk memfokuskan pada tahap berpikir positif karena berpikir positif merupakan suatu proses kognitif yang dapat dipelajari oleh semua orang, langkah yang mudah dilakukan dan menghasilkan manfaat yang luar biasa. Berpikir positif dapat membuat seseorang selalu dalam keadaan positif karena selalu positif dalam memandang kehidupan yang dijalani selama ini.
Telah disebutkan pula bahwa diperlukan suatu proses kognitif untuk bersikap asertif. Selanjutnya, proses kognitif yang sesuai dengan konsep dasar psikologi kognitif, menekankan pada aktivitas pikiran seseorang, proses yang terjadi dalam pikiran ini meliputi bagaimana seseorang memperoleh informasi, bagaimana informasi itu kemudian direpresentasikan dan ditransformasikan sebagai pengetahuan, bagaimana pengetahuan itu disimpan di dalam ingatan kemudian dimunculkan kembali, bagaimana pengetahuan itu digunakan seseorang untuk mengarahkan sikap-sikap dan perilaku-perilakunya (Matlin, dkk dalam
(29)
commit to user
Suharnan, 2005). Proses kognitif yang menjadi inti dalam latihan bersikap asertif ini adalah cara berpikir positif. Di sini, Penulis mencoba untuk menanamkan cara berpikir yang positif pada remaja panti asuhan agar dapat mengelola pemikiran dan pandangannya ke arah yang positif sehingga lebih mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya karena pikiran ikut menentukan sikap yang akan diambil dalam menghadapi setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan.
Menurut Peale (2006) dalam bukunya Berpikir Positif Untuk Remaja mendefinisikan berpikir positif sebagai cara berpikir dinamis yang menyeluruh. Pemikiran-pemikiran dinamis ini mengubah seseorang dengan perasaan yang dikelilingi ketidakberdayaan menjadi manusia yang penuh kekuatan. Perubahan yang terjadi dari kondisi yang hampir mutlak kalah menjadi pribadi yang penuh percaya diri dan bisa memberi inspirasi hanya dengan proses sederhana yakni dengan pengkondisian pemikiran. Selanjutnya, Seligman (2008) melaporkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penelitian berpikir positif efektif untuk mengubah sikap pesimis menjadi optimis dan dapat mengurangi simtom depresi. Menurutnya, sikap pesimis disebabkan karena adanya keyakinan negatif terhadap dirinya yang berdasar pada cara berpikir yang salah. Dengan jalan mengubah cara berpikir yang negatif menjadi positif maka individu yang semula mempunyai sikap pesimis akan menjadi optimis dan menjadi lebih yakin pada dirinya sendiri sehingga lebih mampu dan berani dalam mengekspresikan apa yang dimilikinya, dengan kata lain menjadi lebih asertif.
Asmani (2009) menyebutkan bahwa berpikir positif merupakan cara berpikir yang berangkat dari hal-hal baik yang mampu menyulut semangat
(30)
commit to user
perubahan menuju taraf hidup yang lebih baik. Berpikir positif telah menjadi sebuah sistem berpikir yang mengarahkan dan membimbing seseorang untuk meninggalkan hal-hal negatif yang dapat melemahkan semangat perubahan dalam jiwanya. Sementara menurut Elfiky (2009), berpikir positif adalah sumber kekuatan dan sumber kebebasan, disebut sebagai sumber kekuatan karena berpikir positif dapat membantu manusia memikirkan solusi sampai mendapatkannya dengan begitu manusia akan bertambah mahir, percaya, dan kuat dan disebut sebagai sumber kebebasan karena dengan berpikir positif manusia dapat terbebas dari penderitaan dan kungkungan pikiran negatif serta pengaruhnya pada fisik. Kekuatan berpikir positif inilah yang diharapkan dapat meningkatkan perilaku asertif seseorang sehingga lebih mampu dan berani dalam mengemukakan pendapat, pemikiran, dan perasaan yang dimiliki.
Selanjutnya, cara berpikir positif ini dapat dipelajari melalui pelatihan berpikir positif. Menurut Ellis (dalam Seligman, 2008), pelatihan berpikir positif merupakan salah satu dari terapi kognitif yang bertujuan untuk mengenali pola pikir yang negatif dan memahaminya, mengubah pola pikir yang negatif dengan latihan-latihan, dan menggunakan pola pikir baru untuk menghadapi peristiwa kehidupan yang akan datang. Teknik-teknik pelatihan berpikir positif menggunakan Model A-B-C yang dikembangkan oleh Ellis sesuai dengan tahap pengelolaan pikiran dalam terapi rasional-emotif (dalam Seligman, 2008). A (Adversity) adalah peristiwa yang tidak mengenakkan atau kesulitan yang dihadapi, B (Belief) adalah keyakinan yang muncul mengenai peristiwa yang terjadi, dan C (Consequences) adalah konsekuensi dari peristiwa yang terjadi.
(31)
commit to user
Dengan mengikuti pelatihan berpikir positif ini, remaja panti asuhan diharapkan mampu menggunakan cara berpikir positif dalam kehidupannya sehari-hari karena melalui berpikir positif, remaja panti asuhan akan dapat menjadi pribadi yang percaya diri, tidak mudah putus asa, berani dalam bertindak, dan dapat mencapai kebahagiaan dalam hidup. Saat remaja panti asuhan tidak dapat mengkomunikasikan apa yang dipikirkan dan dirasakannya karena kurang mampu berpikir positif, maka tantangan kehidupan yang diterima akan disikapi secara negatif. Tentu saja semua ini akan membuat remaja panti asuhan berada dalam kondisi gelisah, marah, dan stres. Kondisi ini akan merugikan perkembangan diri remaja panti asuhan dalam melalui tugas perkembangan dan tidak dapat mengekspresikan potensi yang dimilikinya.
Pikiran positif perlu dipelajari dan dilatih secara serius agar remaja panti asuhan mampu menjadikannya sebagai pandangan hidup. Jika remaja panti asuhan mampu berpikir positif secara konsisten, maka remaja panti asuhan pun mempunyai kesempatan lebih besar untuk menjadi pribadi yang tegar dan percaya diri dalam mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya. Melalui pikiran positif, semua kekuatan diri remaja panti asuhan akan bekerja secara otomatis sehingga menjadi berhasil dalam meraih apa yang dicita-citakan. Kesadaran remaja panti asuhan untuk mau berpikir positif terhadap setiap momen dalam hidupnya akan memberikan energi positif dalam setiap tindakan yang dilakukan. Dengan berpikir positif diharapkan remaja panti asuhan menjadi pribadi yang mampu bersikap asertif terhadap semua aspek kehidupan yang mengelilingi hidupnya.
(32)
commit to user
Berdasarkan uraian di atas, melihat pentingnya cara berpikir positif untuk membantu masalah psikologis yang dialami oleh remaja panti asuhan yakni kemampuan remaja panti asuhan untuk bersikap asertif, maka Penulis akan memberikan pelatihan berpikir positif kepada remaja yang tinggal di salah satu panti asuhan Islam di daerah Sukoharjo yaitu di Panti Asuhan Mardhotilah Kartasura, Sukoharjo. Penulis akan mengadakan penelitian untuk penulisan skripsi dengan judul Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif terhadap Tingkat Asertivitas Remaja Panti Asuhan. Penulis berharap remaja panti asuhan tidak membuat langkah mundur, melupakan harapan-harapan, dan pada akhirnya menyebabkan remaja panti asuhan tidak dapat mencapai tujuan hidupnya. Peningkatan berpikir positif diharapkan dapat membantu remaja panti asuhan menjadi lebih asertif dalam mengekspresikan dan mengkomunikasikan apa yang diinginkannya sehingga remaja panti asuhan pun dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang lain dan tercipta hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Dengan menyatakan apa adanya perasaan atau emosinya, remaja panti asuhan tidak akan dikendalikan oleh orang lain, efektif dalam berinteraksi, lebih dihargai orang lain, menjadi lebih percaya diri dan memiliki rasa puas dalam hidupnya.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini adalah "Apakah ada pengaruh pelatihan berpikir positif terhadap peningkatan asertivitas remaja panti asuhan?"
(33)
commit to user C.Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan berpikir positif terhadap peningkatan asertivitas remaja panti asuhan.
D.Manfaat Penelitian
Manfaat teoretis yang dapat diperoleh apabila penelitian yang dilakukan oleh Penulis ini terbukti adalah melanjutkan dan mengembangkan penelitian sebelumnya mengenai modul pelatihan berpikir positif.
Manfaat praktis yang dapat diambil apabila penelitian ini terbukti adalah sebagai upaya meningkatkan asertivitas remaja panti asuhan melalui pelatihan berpikir positif.
(34)
commit to user BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Asertivitas
1. Pengertian Asertivitas
Asertivitas merupakan salah satu kompetensi interpersonal yang dibutuhkan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain. Beberapa pengertian asertivitas telah diuraikan oleh para ahli. Menurut Kamus Webster Third International (dalam Fensterheim & Baer, 1980), asertivitas berasal dari kata kerja assert yang berarti menyatakan secara sadar atau bersikap positif yakni berterus terang atau tegas. Selanjutnya, Fensterheim & Baer (1980) menyatakan bahwa apabila seseorang mampu bersikap asertif maka akan timbul suatu perasaan yang menggairahkan karena adanya hubungan pribadi yang lebih dekat dan mendalam. Menurut Calhoun & Acocella (1990), asertivitas adalah kemampuan untuk meminta orang lain melakukan sesuatu yang diinginkan atau menolak melakukan hal yang tidak diinginkan.
Menurut Johnson (1993), perilaku asertif merupakan perilaku yang berupa menguraikan perasaan, pemikiran, pendapat dan pilihan secara langsung kepada orang lain dengan cara yang sesuai dan jujur dengan tetap menghormati diri sendiri dan orang lain. Perilaku yang asertif adalah langsung, jujur, menghargai diri, pernyataan diri yang tidak merugikan orang lain dan sesuai dengan penerima dan situasi. Selanjutnya, Breakwell (1998) mendefinisikan sikap asertif adalah menandaskan hak-hak atau opini-opini diri
(35)
commit to user
sendiri. Ini melibatkan usaha menuntut pengakuan dari orang lain sehingga dalam batas hukum, seseorang mempunyai hak untuk memutuskan bagaimana dirinya berpikir, merasa dan bertindak. Hal senada diungkapkan oleh Eggert (1999), asertivitas adalah menegakkan integritas dan martabat diri sendiri sementara pada saat yang sama tetap mendorong dan mengakui perilaku ini pada orang lain.
Dari berbagai pengertian mengenai asertivitas, maka dapat diketahui bahwa asertivitas adalah kemampuan mengekspresikan perasaan, pemikiran, pendapat, dan pilihan secara langsung kepada orang lain dengan cara yang sesuai dan jujur dengan tetap menghormati diri sendiri dan orang lain sehingga dapat tercipta hubungan interpersonal yang harmonis dan efektif. Pengertian ini sesuai dengan pengertian yang diungkapkan oleh Johnson (1993) karena menurut Penulis, pengertian ini telah mencakup dari keseluruhan pengertian asertivitas yang dikemukakan oleh para ahli lain.
2. Proses Asertivitas
Asertivitas merupakan suatu keterampilan yang dapat dipelajari, oleh karena itu terjadi suatu proses dalam diri seseorang untuk menjadi asertif. Proses yang terjadi dalam seseorang yang asertif menurut Covey & Laurence (dalam Townend, 2007) adalah integrasi dari keempat energi atau kecerdasan yaitu fisik, intelektual, emosional, dan kesadaran spiritual.
Integrasi dari keempat energi atau kecerdasan fisik, intelektual, emosional, dan kesadaran spiritual inilah yang merupakan suatu proses yang
(36)
commit to user
terjadi dalam diri seseorang yang asertif. Pada kecerdasan fisik (physical quotient) dalam diri seseorang terdiri dari tubuh, alat indera, fungsi tubuh, memori masa lalu, perilaku dan aktivitas. Pada kecerdasan intelektual (intellectual quotient) terdiri dari pikiran, kepercayaan atau keyakinan diri, memori masa lalu atau ingatan, self-talk, suara, imajinasi, dan cara berpikir. Pada kecerdasan emosional (emotional quotient) terdiri dari hati, kesadaran diri, kesadaran akan orang lain, kerentanan, kekuatan, rasa iba atau belas kasihan, pengampunan, dan perasaan. Pada kecerdasan spiritual (spiritual quotient) terdiri dari semangat, hubungan, nilai, makna dan tujuan, kontribusi, integritas, intuisi, warisan, refleksi, meditasi, dan being. Keempat energi atau kecerdasan ini berintegrasi atau saling menyatu dalam diri seseorang yang asertif.
Ketika keempat kecerdasan ini saling menyatu atau berintegrasi maka muncullah asertivitas dalam diri seseorang karena sesuai dengan pengertian menurut Covey & Laurence (dalam Townend, 2007) bahwa asertivitas adalah integrasi dari keempat kecerdasan yaitu kecerdasan fisik, intektual, emosional, dan kesadaran spiritual. Integrasi keempat kecerdasan tersebut dapat dilihat ketika seseorang memiliki kecerdasan intelektual (intellectual quotient) yang efektif yaitu ketika semua hal yang meliputi kecerdasan intelektual seperti pikiran, kepercayaan atau keyakinan diri, memori masa lalu atau ingatan, self-talk, suara, imajinasi, dan cara berpikir dapat bekerja secara optimal sehingga dapat diandalkan secara intelektual lalu ketika seseorang memiliki kecerdasan emosional (emotional quotient) yang dinamis yaitu ketika hati, kesadaran diri,
(37)
commit to user
kesadaran akan orang lain, kerentanan, kekuatan, rasa iba atau belas kasihan, pengampunan, dan perasaan dapat berkoordinasi dengan baik sehingga dapat mengendalikan emosi dengan baik dan dapat menyesuaikan diri di berbagai situasi yang berbeda lalu ketika seseorang memiliki kecerdasan spiritual (spiritual quotient) yang terarah yaitu ketika semangat, hubungan, nilai, makna dan tujuan, kontribusi, integritas, intuisi, warisan, refleksi, meditasi, dan being dapat dikoordinasikan dengan optimal sehingga dapat bersikap arif dan bijaksana dalam bertindak serta memiliki kehidupan rohani yang mendalam lalu ketika seseorang memiliki kecerdasan fisik (physical quotient) yang prima yaitu ketika tubuh, alat indera, fungsi tubuh, memori masa lalu, perilaku dan aktivitas dapat berfungsi dengan baik sehingga selalu tampil dengan fisik yang tampak segar dan bugar yang dapat ditunjukkan dengan ekspresi non verbal sesuai yang dikemukakan oleh Mehrabian (dalam Eggert, 1999) yaitu ekspresi wajah yang dapat dipercaya, prihatin, tertarik, dan responsif; postur tubuh yang tegak lurus, santai, dan terbuka; kontak mata yang tinggi; suara yang langsung, santai, ramah, dan tidak tegang; dan gestur yang terbuka, tidak mengangkat tangan di atas siku, dan bahu yang paralel atau sejajar maka integrasi dari keempat kecerdasan ini akan membuat seseorang menjadi asertif.
(38)
commit to user Gambar 1
Integrasi Empat Kecerdasan dalam Asertivitas (Sumber : Townend, 2007) Gambar di atas digunakan untuk membantu mengembangkan kesadaran diri seseorang, mengetahui bahwa di dalam dirinya penuh dengan energi dan vitalitas. Ini berarti memperhatikan dan melihat bagaimana perasaan seseorang secara fisik, intelektual, emosional, dan kesadaran spiritual, dan pada saat yang sama menyadari bahwa orang lain juga terdiri dari fisik, intelektual, emosional, dan kesadaran spiritual. Seseorang secara sadar atau tidak, potensi kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan fisik itu ada dalam keseluruhan diri seseorang sebagai manusia. Kecerdasan intelektual mencakup unsur logis dan
Physical - Body - Sensing - Bodily
functions - Memories from
past - Action - Doing Spiritual
- Spirit
- Connectedness - Values - Meaning and
purpose - Contribution - Integrity - Intuition - Legacy - Reflection - Meditation - Being
Intellectual / Mental - Mind - Self-beliefs - Memories from
past - Self-talk - Voices - Imagination - Thinking -
Emotional - Heart
- Self-awareness - Awareness of
others
- Vulnerability - Strength - Compassion - Forgiveness - Feeling
Integrasi empat kecerdasan dalam asertivitas
(39)
commit to user
linguistik. Kecerdasan emotional mencakup unsur interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan spiritual lebih banyak terkait dengan masalah makna hidup, nilai-nilai dan keutuhan diri. Kecerdasan fisik mencakup keseluruhan yang ada pada tubuh manusia. Keempat tipe kecerdasan tersebut akan berfungsi maksimal jika saling berkaitan erat satu sama lain. Keempat kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan fisik adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait di dalam diri manusia sehingga tidak mungkin dipisahkan fungsinya.
3. Aspek Asertivitas
Mengenai aspek perilaku asertif, para ahli banyak memberikan penjelasan. Lazarus (dalam Rakos, 1991) pertama kali mendefinisikan perilaku asertif secara spesifik yaitu :
a. Kemampuan untuk berkata “tidak”.
b. Kemampuan untuk meminta apa yang diinginkan atau mampu mengajukan permintaan.
c. Kemampuan untuk mengekspresikan perasaan yang positif maupun negatif.
d. Kemampuan untuk berinisiatif, melanjutkan dan mengakhiri suatu pembicaraan dengan baik.
Selanjutnya, Galassi & Galassi (dalam Rakos, 1991) menambahkan perilaku asertif menjadi sembilan kategori yaitu memberi dan menerima pujian, membuat permintaan, memulai dan melanjutkan percakapan, berpihak kepada
(40)
commit to user
hak atau kebenaran, menolak permintaan, menyatakan pendapat pribadi, mampu menyatakan kejengkelan, mampu menyatakan kemarahan, dan merasakan hal yang positif.
Fensterheim dan Baer (1980) memberikan definisi aspek perilaku asertif sebagai berikut :
a. Merasa bebas untuk mengemukakan dirinya sendiri. Seseorang dapat mengemukakan dirinya melalui kata-kata dan tindakan. Hal ini senada dengan kriteria orang asertif menurut Eggert (1999) yaitu mampu mengungkapkan keinginan dan perasaan kepada orang lain. Misalnya, mengeluarkan pernyataan melalui kata-kata dan tindakan yang dilakukan, “Inilah diri saya. Inilah yang saya rasakan, saya pikirkan dan saya inginkan.”
b. Dapat berkomunikasi secara terbuka, langsung, dan jujur dengan orang lain dari semua tingkatan, baik dengan orang-orang yang tidak dikenal, sahabat-sahabat, dan keluarga. Hal ini senada dengan kriteria seseorang yang asertif menurut Eggert (1999) yaitu mampu berkomunikasi dan bekerja dengan baik dengan orang-orang di semua tingkatan. Misalnya, memulai suatu percakapan dengan orang tidak dikenal yang baru saja ditemuinya, “Hai, perkenalkan nama saya Adhisty.”
c. Mempunyai pandangan yang aktif tentang hidup. Misalnya, tetap optimis untuk menyelesaikan tugas karena yakin akan kesuksesan yang akan diraihnya.
(41)
commit to user
d. Bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri karena pribadi ini menyadari bahwa tidak dapat selalu menang maka pribadi ini dapat menerima keterbatasannya. Misalnya, terus berusaha keras dalam perlombaan karena kalah ataupun menang tidaklah penting, yang terpenting adalah terus berusaha dan tetap memiliki harga diri.
Selanjutnya, menurut Johnson (1993) mengemukakan perilaku asertif meliputi beberapa aspek yaitu :
a. Perilaku seseorang untuk bertindak sesuai dengan minat terbaik yang dimiliki. Misalnya, meraih cita-cita yang diinginkan seperti menjadi dokter, psikolog, dan profesi lain yang menjadi minat terbaiknya.
b. Berpihak kepada diri sendiri tanpa ketertarikan yang tidak pantas. Misalnya, tetap berpegang teguh pada pendapat dimiliki apabila pendapatnya memang rasional atau masuk akal.
c. Menyatakan perasaan yang jujur dengan nyaman. Misalnya, mengatakan “tidak” terhadap sesuatu yang tidak diinginkan.
d. Berlatih meminta hak diri sendiri tanpa menyangkal hak orang lain. Misalnya, membuat permintaan kepada orang lain.
Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas mengenai aspek asertivitas, Penulis lebih memilih untuk menggunakan aspek perilaku asertif yang dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980) yaitu merasa bebas untuk mengemukakan dirinya sendiri, dapat berkomunikasi secara terbuka, langsung, dan jujur dengan orang lain dari semua tingkatan, mempunyai pandangan yang aktif tentang hidup, dan bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri.
(42)
commit to user
Menurut Penulis, aspek perilaku asertif yang dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980) telah mencakup aspek perilaku asertif yang dikemukakan oleh ahli lain yaitu Johnson (1993) dan Lazarus (dalam Rakos, 1991). Misalnya, pada aspek merasa bebas mengemukakan diri sendiri yang dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980) dapat mencakup aspek kemampuan untuk berkata
“tidak”, kemampuan untuk mengungkapkan perasaan baik yang positif maupun
negatif, kemampuan mengajukan permintaan oleh Lazarus (dalam Rakos, 1991) dan aspek menyatakan perasaan yang jujur dengan nyaman oleh Johnson (1993), lalu kemampuan untuk memulai, melanjutkan dan mengakhiri suatu percakapan dengan baik oleh Lazarus (dalam Rakos, 1991) dapat dimasukkan dalam aspek dapat berkomunikasi secara terbuka, langsung, dan jujur dengan orang lain yang dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980), lalu aspek bertindak sesuai dengan minat terbaik yang dimiliki oleh Johnson (1993) dapat dimasukkan dalam aspek mempunyai pandangan hidup yang aktif yang dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980), lalu aspek berpihak kepada diri sendiri tanpa ketertarikan yang tidak pantas dan berlatih meminta hak diri sendiri tanpa menyangkal hak orang lain oleh Johnson (1993) dapat diwakili oleh aspek bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri yang dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980).
4. Manfaat Asertivitas
Asertivitas sebagai suatu perilaku yang memiliki beberapa aspek seperti yang telah disebutkan di atas, maka dapat diketahui bahwa banyak manfaat
(43)
commit to user
yang diperoleh ketika seseorang mampu bersikap asertif. Sebelum mempelajari manfaat dari perilaku asertif, perlu diketahui bahwa perilaku asertif ini terbagi dalam tiga kategori menurut Christoff & Kelly (dalam Gunarsa, 2004), yaitu :
a. Asertif penolakan, perilaku asertif penolakan ini ditandai oleh ucapan untuk memperhalus seperti menggunakan kata maaf.
b. Asertif pujian, perilaku asertif pujian ini ditandai oleh kemampuan untuk mengekspresikan perasaan positif seperti menghargai, menyukai, mencintai, mengagumi, memuji dan bersyukur.
c. Asertif permintaan, perilaku asertif permintaan ini terjadi kalau seseorang meminta orang lain untuk melakukan suatu kebutuhan atau tujuan seseorang yang memungkinkan untuk dicapai tanpa tekanan atau paksaan. Dari uraian ini terlihat bahwa perilaku asertif adalah perilaku yang menunjukkan adanya keterampilan untuk dapat menyesuaikan diri dalam hubungan interpersonal dengan lingkungan sekitarnya. Seseorang yang bersikap asertif akan mampu mengungkapkan penolakan, pujian, serta permintaan kepada orang lain.
Selanjutnya, beberapa manfaat bersikap asertif telah dikemukakan oleh para ahli dalam buku karangan Calhoun & Acocella (1990) yaitu bersikap asertif membuat seseorang merasa lega dan mudah mendapatkan sesuatu yang diinginkan dan membuat seseorang lebih dihargai oleh orang lain, dengan bersikap asertif seseorang dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik sehingga dapat membuat pilihan dan melaksanakannya karena seseorang akan merasa bebas untuk memilih dan melaksanakan pilihannya serta bertanggung
(44)
commit to user
jawab atas tindakannya dan dari perasaan bebas dan bertanggung jawab inilah akan muncul penghargaan diri, bersikap asertif akan menghasilkan peningkatan harga diri dan kepercayaan diri. Perilaku asertif juga meningkatkan pengertian tentang martabat sebagai makhluk manusia.
Eggert (1999) menguraikan beberapa manfaat yang dapat diperoleh ketika seseorang dapat berperilaku asertif, yaitu :
a. Ketika seseorang berperilaku asertif maka akan meningkatkan integritas yang dimilikinya karena jujur dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain sehingga dengan kejujuran tersebut, seseorang dapat memperoleh apa yang diinginkan tanpa kompromi.
b. Menjadi seseorang yang mudah berkomunikasi dengan orang lain. c. Tidak mudah merasa bersalah ataupun marah karena mengetahui apa
yang menjadi haknya.
d. Memiliki harga diri yang tinggi.
e. Mendapat apa yang diinginkan dan mampu mengungkapkan apa yang perlu sehingga orang lain tidak mudah mengambil keuntungan dari dirinya.
f. Dapat memberikan batas pada perilaku diri sendiri dan orang lain. g. Dapat menikmati pandangan yang realistis tentang apa yang mungkin
dan apa nyang tidak mungkin bagi dirinya.
h. Dapat menikmati keberhasilan yang diperoleh dan menerima kegagalan yang dialami.
(45)
commit to user
i. Selalu dapat mengendalikan perilaku diri sendiri dan tidak terdorong untuk menjadi agresif ataupun dipaksa untuk menjadi tunduk (pasif). Berdasarkan beberapa uraian manfaat perilaku asertif dari beberapa ahli di atas, maka dapat diketahui bahwa perilaku asertif memiliki banyak manfaat, antara lain seseorang akan merasa bebas serta akan mendapatkan kepuasan diri karena dapat berkomunikasi dengan terbuka sehingga memudahkan orang tersebut untuk menentukan sesuatu yang dirasa benar, seseorang dapat membatasi perilaku diri sendiri dan orang lain sehingga dapat memperoleh apa yang diinginkan dan orang lain tidak mudah mengambil keuntungan dari dirinya, serta harga diri sesorang akan meningkat dengan bersikap asertif.
5. Faktor yang Mempengaruhi Asertivitas
Asertivitas sebagai perilaku yang dapat dipelajari tentu dipengaruhi oleh faktor tertentu. Berikut ini merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi asertivitas, antara lain :
a. Kebudayaan (Furnham dalam Rakos, 1991)
Konsep asertivitas dipengaruhi oleh kebudayaan karena bersifat culture bound (Furnham dalam Rakos, 1991). Di beberapa kebudayaan, asertivitas adalah hal yang bersifat normatif di Amerika Utara dan di sebagian Eropa bersifat tidak toleransi. Kerendahan hati, pengabdian, dan toleransi adalah nilai yang terkandung dalam asertivitas di beberapa kebudayaan lain.
(46)
commit to user b. Pola asuh orang tua (Marini & Andriani, 2005)
Perilaku asertif dapat dipelajari secara alami dari lingkungan. Perilaku asertif merupakan pola-pola yang dipelajari dari lingkungan sebagai reaksi terhadap situasi sosial dalam kehidupannya.Lingkungan yang dimaksud disini adalah keluarga sebagai lingkungan sosial pertama bagi anak. Keluarga memberikan banyak pengalaman bagi anak. Pengalaman tersebut berupa interaksi dengan orang tua melalui pola asuh yang ada dalam keluarga yang menentukan pola respons seseorang dalam menghadapi berbagai masalah setelah ia menjadi dewasa kelak. Pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak.
c. Proses kognitif (Bishop, 2007)
Perilaku pasif dan agresif datang secara alami dan sering terlihat sebagai pilihan yang mudah (meskipun jarang yang paling efektif), sedangkan perilaku asertif membutuhkan suatu proses kognitif. Perilaku asertif ini dipelajari karena manusia tidak dilahirkan dengan asertivitas. Perilaku asertivitas ini tergantung pada suasana hati diri sendiri, situasi, orang-orang yang terlibat dan seterusnya. Seseorang-orang sering menanggapi suatu situasi pada pilihan pasif atau agresif tanpa pertimbangan mengenai pilihan asertif yang mengakui kebutuhan, perasaan dan pendapat diri sendiri dan orang lain.
(47)
commit to user
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa faktor yang mempengaruhi asertivitas diantaraya adalah kebudayaan, pola asuh orang tua, dan proses kognitif. Asertivitas merupakan perilaku yang dapat dipelajari karena manusia sebenarnya tidak dilahirkan dengan asertivitas sehingga faktor dari luar sangat mendukung terbentuknya asertivitas dalam diri manusia. Faktor lain yang juga mempengaruhi asertivitas adalah usia dan jenis kelamin namun belum banyak penelitian yang dilakukan (Marini & Andriani, 2005). Sesuai dengan pendapat Bishop (2007) bahwa perilaku asertif membutuhkan suatu proses kognitif maka selanjutnya proses kognitif yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah latihan berpikir positif untuk meningkatkan perilaku asertif.
B.Pelatihan Berpikir positif
1. Pengertian Pelatihan
Dalam dunia kerja, pelatihan adalah suatu kegiatan yang direncanakan oleh perusahaan atau institusi untuk memfasilitasi proses belajar karyawan untuk mencapai kompetensi dalam pekerjaannya (Noe dalam Yuwono dkk, 2005). Kompetensi ini meliputi pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang dianggap penting untuk mencapai kinerja yang maksimal. Tujuan pelatihan adalah agar karyawan dapat menguasai pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang dilatihkan dalam program pelatihan sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Menurut penjelasan di atas, pelatihan merupakan suatu proses belajar, lalu apakah yang menjadi perbedaan antara pelatihan (training) dan pendidikan (education) karena keduanya menyangkut
(48)
commit to user
proses belajar. Berikut ini merupakan tabel yang berisi perbedaan antara pelatihan (training) dengan pendidikan (education) menurut Beebe, Mottet, & Roach (dalam Yuwono dkk, 2005), yaitu :
Tabel 1 Perbedaan antara Training dan Education Menurut Beebe, Mottet, & Roach (dalam Yuwono dkk, 2005)
No Training Education
1 Pelatihan adalah suatu proses pengembangan keterampilan dan perubahan perilaku
Pendidikan adalah suatu proses penanaman pengetahuan atau informasi
2 Mengutamakan proses “doing” atau
melakukan
Megutamakan proses “knowing” atau
mengetahui 3 Mengutamakan pencapaian tingkat
keterampilan tertentu
Mengutamakan pada penguasaan materi yang dibandingkan dengan orang lain
4 Mengutamakan closed system
perspective,, suatu sistem yang tertutup
dimana ada kepastian tentang cara yang benar dan salah yang telah ditentukan dalam kondisi internal pelatihan
Mengutamakan opened system
perspective, suatu sistem terbuka
sehingga memungkinkan adanya pengaruh luar yang menentukan kebenaran atau kesalahan misalnya faktor kreativitas
5 Materi pelatihan terkait dengan tugas atau pekerjaan
Materi pendidikan lebih luas dan tidak terkait langsung dengan pekerjaan 6 Mengutamakan comprehensive listing
atau langkah-langkah yang diatur secara jelas untuk mencapai tujuan pelatihan
Mengutamakan open-ended approach
atau langkah-langkahnya tidak diatur secara jelas untuk mencapai tujuan
Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa tujuan pelatihan menurut Noe (dalam Yuwono dkk, 2005) adalah agar seseorang dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan perilaku tertentu yang dilatihkan
(49)
commit to user
dalam program pelatihan. Pelatihan dan pendidikan keduanya menyangkut proses belajar, hanya saja ada yang membedakan antara pelatihan dengan pendidikan diantaranya, pelatihan lebih menekankan pada pengembangan keterampilan dan perubahan tingkah laku sedangkan pendidikan penanaman pengetahuan, materi keterampilan terkait dengan tugas atau pekerjaan sedangkan materi pendidikan lebih luas dan tidak terkait langsung dengan pekerjaan, pelatihan mengutamakan proses melakukan dan pencapaian tingkat keterampilan tertentu sedangkan pendidikan mengutmakan proses mengetahui dan penguasaan materi, pelatihan mengutamakan sistem yang tertutup di mana ada kepastian tentang cara yang benar dan salah sedangkan pendidikan mengutamakan sistem terbuka sehingga memungkinkan adanya pengaruh luar yang menentukan salah dan benar, langakah-langkah dalam pelatihan diatur dengan jelas sedangkan langkah-langkah dalam pendidikan tidak diatur secara jelas untuk mencapai tujuan.
Jadi, yang membedakan antara pelatihan dan pendidikan adalah di dalam pelatihan sangat difokuskan pada suatu materi dan dengan cara tertentu dengan menggunakan sistem yang tertutup sedangkan dalam pendidikan materinya lebih luas lagi dan tidak hanya terfokus pada keterampilan saja serta cara yang digunakan tidak ditentukan secara jelas dengan menggunakan sistem terbuka.
a. Konsep Pendekatan dalam Pelatihan
Menurut Miner (dalam Munandar, 2006) terdapat lima konsep pendekatan pelatihan yang efektif, yaitu :
(50)
commit to user 1) Motivasi
Pelatihan pada umumnya terjadi jika seseorang memiliki motivasi untuk belajar atau mengikuti pelatihan. Seseorang mengikuti pelatihan karena mengharapkan bahwa setelah pelatihan selesai maka orang tersebut akan memiliki kemampuan seperti yang dilatihkan atau memberi dampak positif dalam dirinya, Setiap peserta pelatihan yang mengikuti suatu pelatihan memiliki harapan yang ingin diperoleh setelah mengikuti pelatihan tersebut. Motivasi adalah suatu usaha menimbulkan dorongan untuk melakukan suatu tindakan, sehingga suatu pelatihan perlu dirancang sedemikian rupa agar dapat menimbulkan motivasi bagi peserta pelatihan untuk mengikuti atau bertahan untuk mengikuti sebuah pelatihan.
2) Pengukuhan Kembali (Positive Reinforcement )
Berdasarkan teori law of effect Thorndike (dalam Munandar, 2006) maka perilaku yang dianggap mengarah ke satu hadiah atau memenuhi satu kebutuhan cenderung untuk dipelajari dan diulangi. Setiap kejadian yang meningkatkan kemungkinan timbulnya perilaku khusus dianggap mengukuhkan kembali. Pengukuhan kembali yang positif perlu diusahakan jika hasil proses pembelajaran menghasilkan perilaku yang diharapkan. Dalam pelatihan, seorang peserta pelatihan mampu memecahkan masalah manajerial dengan menggunakan teknik pemecahan masalah tertentu dengan hasil yang baik, maka perilakunya perlu dikukuhkan kembali secara positif dengan memberi pujian
(51)
commit to user
misalnya atau memberi kesempatan untuk memecahkan masalah yang lain.
3) Pengetahuan Tentang Hasil
Dengan memberikan umpan balik kepada peserta pelatihan agar mereka mengatahui hal-hal apa saja yang telah dikuasainya, yang telah dapat dilakukan dengan baik, dan yang belum dikuasai. Dengan mengetahui hasil, peserta pelatihan dapat mengkonsentrasikan pada hal-hal yang masih harus perlu dipelajari.
4) Praktek Aktif dan Pembelajaran Melalui Pengalaman (Experiental Learning)
Pembelajaran memerlukan praktek dan pengalaman dengan tugas. Konsep sentral dari pembelajaran melalui pengalaman adalah bahwa harus ada praktek yang aktif agar seseorang mengulang-ulang apa yang harus dipelajari dan dihayati sehingga akhirnya menguasai pengetahuannya atau keterampilannya.
5) Pemindahan dari Pelatihan (Transfer of Training)
Sering terjadi bahwa apa yang sudah dipelajari dalam program pelatihan tidak berhasil dibawa dan diterapkan pada dunia nyata, maka dengan kata lain pemindahan dari pelatihan dinyatakan gagal. Cara untuk mengatasi hal tersebut adalah harus diupayakan mengadakan unsur-unsur yang sama antara situasi nyata dengan situasi pelatihan. Diskusi dengan peserta dapat dilakukan dalam suatu pelatihan untung mengetahui
(52)
commit to user
tentang apa saja yang akan dialami jika pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dipelajari dalam pelatihan diterapkan dalam situasi nyata.
Lima konsep pendekatan dalam pelatihan tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Kekuatan dari pendekatan motivasi adalah peserta akan mengikuti pelatihan hingga akhir pelatihan jika memiliki motivasi tinggi dan terjaga namun jika peserta tidak memiliki motivasi maka peserta akan sulit untuk bertahan dan menerima pelatihan. Kekuatan dari pendekatan pengukuhan kembali perilaku yang telah diubah akan muncul dalam keseharian jika terdapat reinforcement dan perilaku sulit untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari jika tidak ada reinforcement. Kekuatan dari pendekatan pengetahuan tentang hasil adalah peserta akan terus melatih hal-hal yang belum dikuasainya dan kelemahannya adalah peserta cenderung mengabaikan hal-hal yang telah dikuasainya. Kekuatan pendekatan pemindahan dari pelatihan adalah peserta dihadapkan pada situasi yang telah dimanipulasi sehingga mendekati kondisi nyata sehingga mudah untuk diterapkan dalam kehidupan nyata dan kelemahannya adalah tidak semua program pelatihan berhasil dibawa dan diterapkan dalam kehidupan nyata. Kekuatan pendekatan praktek aktif melalui pengalaman (experiental learning) adalah peserta praktek langsung tentang materi pengalaman sehingga peserta mengalaminya langsung dan mendapatkan pengalaman yang menginternalisasi.
Pelatihan berpikir positif yang akan dilakukan dalam penelitian ini merupakan pelatihan dengan pengembangan model kognitif maka konsep
(53)
commit to user
pendekatan yang digunakan dalam pelatihan ini adalah experiential learning karena menurut teori kognitif yang menggambarkan cara seseorang belajar untuk mengenali dan mendefinisikan masalah serta bereksperimen untuk menemukan solusinya. Menurut teori ini, jika mereka berhasil menemukan sendiri solusinya maka hal itu akan lebih lama disimpan dalam memorinya. Teori kognitif memiliki dasar pemikiran discovery atau do it yourself. Teori belajar melalui pengalaman (experiential learning) seperti yang digambarkan Kolb, Rubin, dan Mc Intyre (dalam Yuwono dkk, 2005) terdiri dari empat siklus tahapan, yaitu pengalaman nyata, observasi dan refleksi terhadap pengalaman, pembentukan konsep abstrak dan generalisasi yang menjelaskan tentang pengalaman dan menentukan bagaimana hal itu dapat diterapkan, dan menguji implikasi konsep data pada situasi yang baru.
b. Experiential learning
Belajar melalui pengalaman (experiential learning) terjadi jika seseorang melakukan kegiatan, melihat kembali lalu melakukan analisis dari informasi yang bermanfaat, dan menempatkan hasil belajar melalui perubahan perilaku. Proses ini dialami secara spontan dalam kehidupan sehari-hari. Belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan perilaku, suatu hasil dari pengalaman atau masukan, yang merupakan tujuan umum dari suatu pelatihan. Pelatihan terstruktur akan menghasilkan suatu kerangka kerja yang dapat difasilitasi seperti gambar di bawah ini :
(54)
commit to user
Gambar 2 Siklus Experiential Learning Pfeiffer & Ballew (UA Training, 1988)
Belajar melalui pengalaman (experiential learning) menurut Pfeiffer & Ballew (1988) terdiri dari lima tahapan sesuai dengan gambar siklus di atas, yaitu :
a) Experiencing, tahap awal dalam pelatihan yaitu menghasilkan
pengalaman terstruktur. Ini adalah langkah yang sering dikaitkan dengan "permainan" atau hal-hal yang menyenangkan. Jelas, jika proses berhenti setelah tahap ini, tidak ada kesempatan untuk mempelajari semua yang tersisa, maka fasilitator belum menyelesaikan tugasnya. Hampir setiap kegiatan yang melibatkan penilaian diri atau interaksi interpersonal dapat digunakan sebagai bagian dari pembelajaran pengalaman. Contoh kegiatan yang terdapat dalam tahap ini adalah membuat produk atau model, menciptakan objek-objek seni, menulis, bermain peran, transaksi, pemecahan masalah atau berbagi informasi, memberi dan menerima umpan balik, keterbukaan diri, fantasi, memilih, berkomunikasi secara
(55)
commit to user
verbal atau nonverbal, menganalisis materi kasus, negosiasi atau tawar-menawar, perencanaan, bersaing atau bekerja sama, dan menghadapi. b) Publishing, tahap kedua dari siklus ini kira-kira analog dengan
penginputan data, istilah-istilah dalam pengolahan data. Peserta pelatihan telah mengalami dan mengikuti suatu kegiatan dan sekarang mereka mungkin siap untuk berbagi tentang apa yang mereka lihat dan atau apa yang mereka rasakan selama acara tersebut. Langkah ini melibatkan mencari tahu apa yang terjadi di dalam dan pada individu-individu, pada kognitif, afektif, dan tingkat perilaku, sementara kegiatan ini terus berlanjut.
c) Processing, tahap ini dapat dianggap sebagai titik tumpu atau langkah penting dalam pengalaman belajar. Ini adalah pemeriksaan sistematis pengalaman umum dimiliki oleh orang yang terlibat yaitu peserta pelatihan. Ini adalah dinamika kelompok yaitu tahap siklus di mana para peserta pada dasarnya merekonstruksi pola dan interaksi aktivitas dari pengumuman laporan individu (individual report). Tahap ini merupakan bagian dari siklus yang kritis, fasilitator perlu merencanakan dengan hati-hati bagaimana pengolahan akan dilakukan dan terfokus ke langkah berikutnya yaitu generalisasi.
d) Generalization, jika belajar adalah untuk mentransfer ke dunia "nyata", penting bagi para peserta untuk dapat memperkirakan pengalaman dari pelatihan terstruktur ke dunia luar. Sebuah lompatan kesimpulan harus
(56)
commit to user
dilakukan pada saat ini dalam pengalaman terstruktur, dari kenyataan di dalam kegiatan dengan realitas kehidupan sehari-hari.
e) Applying, tahap akhir dari siklus experiential learning adalah tujuan yang terstruktur dari seluruh pengalaman yang telah dirancang. Pertanyaan penting di sini adalah "Sekarang apa?" Fasilitator membantu peserta pelatihan untuk menerapkan generalisasi dengan situasi aktual di mana diri mereka terlibat.
Berdasarkan uraian mengenai pelatihan di atas, dapat diketahui bahwa pelatihan melalui beberapa tahapan sesuai Siklus Experiential Learning menurut Pfeiffer & Ballew (UA Training, 1988) yaitu tahap experiencing, publishing, processing, generalization, serta applying. c. Komponen Pelatihan
Komponen-komponen dalam pelatihan dan pengembangan menurut Mangkunegara (2009) adalah :
1) Tujuan dan sasaran pelatihan dan pengembangan harus jelas dan dapat diukur, yang menjadi tujuan dan sasaran dalam pelatihan ini adalah untuk meningkatkan asertivitas remaja panti asuhan.
2) Para pelatih (trainers) harus ahlinya yang berkualifikasi memadai dan profesional, yang menjadi pelatih dalam pelatihan ini adalah mahasiswa semester akhir dari Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
(1)
commit to user
menyatakan bahwa peserta sangat senang akan adanya pelatihan berpikir positif yang telah diadakan dan akan menggunakan ilmu yang didapat selama pelatihan dalam kehidupannya karena sangat bermanfaat. Hal ini mendorong peserta pelatihan untuk lebih terbuka dalam mengungkapkan pendapat, pikiran, dan perasaannya kepada orang-orang di sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari.
Faktor yang mendukung keberhasilan pelatihan berpikir positif ini adalah modul yang telah disusun Peneliti secara sistematis sehingga hal ini mempermudah Fasilitator dalam menyampaikan serta mempermudah peserta pelatihan dalam memahami isi materi yang diberikan. Modul pelatihan berpikir positif disusun dengan materi yang lengkap yaitu diawali dengan pengertian berpikir positif pada sesi I, langkah-langkah efektif berpikir positif pada sesi II, dan manfaat berpikir positif pada sesi III. Modul pelatihan berpikir positif ini disusun dengan menggunakan metode communication actives melaui presentasi dengan media power point, roleplay, worksheet, relaksasi dan penayangan film supaya membuat peserta pelatihan lebih tertarik untuk mengikuti pelatihan serta membantu peserta pelatihan dalam mengaplikasikan materi dan keterampilan yang diberikan selama pelatihan. Uji coba modul membantu Peneliti dalam melakukan perbaikan dan pemilihan materi dan metode pelatihan yang lebih efektif dan aplikatif.
Fasilitator dan asisten fasilitator mampu menyajikan modul yang telah disusun Peneliti dalam pelatihan sehingga peran fasilitator sama pentingnya dalam pelatihan berpikir positif ini. Pengalaman, penguasaan materi, kualitas interpersonal yang baik dan kerja sama antar fasilitator dan asisten fasilitator
(2)
commit to user
merupakan modal utama yang mendukung fasilitator dalam menjalankan pelatihan dengan baik. Fasilitator mampu memimpin proses pelatihan dengan baik, mampu menumbuhkan suasana keterbukaan dan keakraban di antara peserta pelatihan, mampu menjelaskan materi serta menumbuhkan rasa ketertarikan peserta terhadap pelatihan ini. Suasana keakraban sudah dibangun dari awal pelatihan dengan ice breaking perkenalan yang penuh canda tawa. Ketertarikan peserta tumbuh saat fasilitator menyajikan rangkaian materi penuh dengan menarik sehingga menumbuhkan rasa ingin tahu pada subyek selain itu fasilitator mengungkap pengalaman-pengalaman pribadi yang membuat peserta sadar akan pentingnya pelatihan bagi peserta. Beberapa kemudahan yang mendukung tercapainya keberhasilan dalam pelatihan ini, antara lain tersedianya sarana dan prasarana seperti ruangan yang kondusif (tenang, terang, dan luas), perlengkapan seperti laptop dan speaker, serta dukungan penuh dari instansi terkait.
Partisipasi dari peserta pelatihan juga mendukung keberhasilan dalam pelatihan. Peserta dalam pelatihan ini sangat antusias dan memperhatikan apa yang diberikan fasilitator, meskipun sebagian besar dari peserta pada awal pelatihan masih merasa malu dan tertutup, namun setelah mendapatkan penjelasan membuat peserta semangat dan antusias hingga akhir pelatihan.
Kendala-kendala yang dialami dalam penelitian ini adalah sulitnya mengatur waktu agar dapat selesai pada waktunya dan tidak terdapatnya LCD (Liquid Crystal Display) sebagai media bantu dalam penayangan slide pelatihan. Pihak panti meminta agar kegiatan pelatihan diadakan setelah jam sekolah usai agar tidak mengganggu kegiatan sekolah peserta pelatihan. Hal ini membuat
(3)
commit to user
minimnya observasi dan evaluasi Peneliti setelah pertemuan yang merupakan keterbatasan dari penelitian ini. Keterbatasan selanjutnya adalah Peneliti juga kurang mampu mengetahui atau memantau pengaplikasian keterampilan berpikir positif di setiap harinya peserta pelatihan karena Peneliti tidak memberikan buku harian atau agenda sebagi alat bantu memantau. Pihak panti pun menjanjikan adanya LCD di setiap pelatihan namun hal ini tidak terealisasi karena LCD sedang digunakan oleh pihak lain sehingga penayangan slide pelatihan hanya ditayangkan menggunakan laptop. Keterbatasan penelitian lainnya adalah Peneliti tidak mampu mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi asertivitas yang berasal dari diri individu sebagai faktor bawaan (proactive history) seperti usia, jenis kelamin, kepribadian, sikap, inteligensi dan sebagainya, akan tetapi Peneliti telah berusaha melakukan kontrol terhadap faktor tersebut dengan menyamakan karakteristik sampel dalam sebara usia 12-21 tahun yang diperkecil menjadi 13-18 tahun, tingkat asertivitas yang sama dalam keadaan sedang, selain proactive history terdapat pula faktor lain seperti lingkungan panti asuhan, fisik, dan berbagai faktor psikologis seperti keadaan emosi atau mood peserta saat mengikuti pelatihan. Selain itu Peneliti juga tidak mampu mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya pelatihan maupun faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan materi pelatihan seperti faktor fisik (dalam kondisi sakit atau tidak) dan psikologis seperti kecemasan, motivasi mengikuti pelatihan dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini memang masih terdapat banyak kendala dan keterbatasan walaupun Peneliti sudah berusaha melakukan persiapan yang matang dan maksimal, maka perlu dilakukan perbaikan untuk penelitian selanjutnya.
(4)
commit to user
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian analisis kuantitatif dan deskriptif yang telah dilakukan, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Ada pengaruh pelatihan berpikir positif terhadap peningkatan asertivitas pada remaja panti asuhan di Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo. Hal ini dapat diketahui dari analisis kuantitatif yang menyebutkan bahwa terdapat perbedaan skor posttest pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perubahan yang positif berupa peningkatan asertivitas pada remaja panti asuhan setelah mengikuti pelatihan berpikir positif.
2. Pelatihan berpikir positif efektif dalam meningkatkan tingkat asertivitas pada remaja panti asuhan di Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo. Hal ini dapat diketahui dari analisis kuantitatif dan deskriptif yang menyebutkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada skor skala asertivitas antara sebelum dan sesudah pelatihan berpikir positif pada kelompok eksperimen. 3. Berdasarkan hasil analisis deskriptif yang dilakukan, remaja panti asuhan yang
tadinya tertutup dan pemalu maka setelah mengikuti pelatihan berpikir positif menjadi lebih terbuka dalam mengungkapkan pikiran, pendapat, dan peraasaannya kepada orang-orang di sekitarnya, remaja dan panti asuhan menjadi lebih percaya diri, berpikir positif tentang orang lain, memiliki
(5)
commit to user
pandangan hidup yang positif, dan mampu bertindak dengan cara yang dihormatinya dengan tidak mengedepanlan emosi dalam penyelesaian masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari atau dengan kata lain, remaja panti asuhan menjadi lebih asertif daripada sebelum mengikuti pelatihan berpikir positif.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Pihak Panti Asuhan
Pihak panti diharapkan dapat memberikan pelatihan berpikir positif ini secara berkelanjutan karena telah terbukti untuk meningkatkan asertivitas remaja panti asuhan kepada setiap remaja panti asuhan agar ketika remaja panti asuhan ini telah cukup usianya untuk terjun ke masyarakat memiliki keterampilan asertivitas dan komunikasi yang baik sehingga dapat hidup mandiri di masyarakat. Pelatihan ini dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan lembaga psikologi yang ada.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan survei secara menyeluruh sehingga hasil survei benar mengungkapkan keadaan subjek penelitian secara keseluruhan dan mendalam.
b. Peneliti selanjutnya diharapkan memiliki persiapan yang lebih matang mengenai alat apa saja (LCD, laptop, speaker) yang diperlukan dalam pelaksanaan pelatihan dan memberikan tugas rumah (misalnya buku harian)
(6)
commit to user
untuk mengevaluasi dan memantau kemajuan atau peningkatan yang terjadi pada peserta pelatihan.
c. Peneliti selanjutnya diharapkan melakukan pemantauan pada kelompok eksperimen setelah pelatihan berakhir melalui evalusai proses, hasil dan materi pelatihan sehingga dapat diketahui seberapa pemahaman dan seberapa mampu subjek mengaplikasikan keterampilan yang diberikan.