Targani menghindar ke daerah Kepongpongan dan Kecomberan, Kecamatan Cirebon Selatan. Selanjutnya, mereka bergabung dengan pasukan Merkayangan
Pimpinan Jajang Soedani dan Soetamin Prajitno di daerah Sumber. Meskipun kelompok grilyawan menyingkir keluar kota, kegiatan pengacauan, sabotase,
pembegalan, dan penghadangan konvoi tentara Belanda terus berlanjut, bahkan semakin meningkat.
Anggota gerilyawan semakin berpengalaman dalam pertempuran dan senjata mereka pun bertambah lengkap, hasil dari rampasan dari berbagai
pertempuran dan penghadangan konvoi tentara Belanda. Kegitan perang grilya di kota Cirebon dan sekitarnya berhenti saat ada perintah bahwa semua gerilyawan
harus hijrah ke Yogyakarta pada tanggal 29 Januari 1948. Penarikan gerilyawan dari kantong-kantong gerilya di Jawa Barat untuk pindah ke Yogyakarta,
berdasarkan hasil perundingan Renville. Dengan berat hati, Seluruh pasukan Siliwangi harus berpisah dengan rakyat Jawa Barat. Rasa displin yang tinggi dan
patuh pada perintah atasan mendorong mereka untuk hijrah.
76
2. Pertempuran di Laut Cirebon
Pembentukan TKR Laut Cirebon pada 10 September 1945 bermaksud untuk memelihara keamanan dan ketertiban di daerah pantai Cirebon atas inisiatif
para Pemuda Pelaut daerah kota Cirebon. Para pemuda pelaut selanjutnya mengadakan beberapa pertemuan di rumah RA. Girwo, Sastrawiredja, dan
Tirtaatmadja. Pada suatu pertemuan yang diadakan telah berhasil dibentuk suatu
76
Marhayono,
loc.cit.
hlm. 16.
organisasi yang bersifat kepelautan yaitu Angkatan Pemuda Indonesia API Laut dengan susunan sebagai berikut:
Pemimpin I : Idma Kartadisatra
Pemimpin II : RA. Girwo Pemimpin III : Tirtaatmadja
Pembantu : Ismail, Djoepri, Sastrawiredja, dan Enos Soedjana
77
Usaha pertama yang dilakukan ialah penghimpun Pemuda-pemuda Pelaut dalam wadah baru ini. Serta menerima calon-calon baru pemuda pelaut, yang
telah ditunjuk untuk pelaksanaan dan merekrut calon Pelaut ialah RA. Girwo. Pemilihan para calon Pelaut dilakukan di rumah RA. Girwo sendiri dan dalam
tempo tiga hari sudah terdaftar 48 orang yang pada umumnya berasal dari pemuda-pemuda bekas pegawai pelayaran Sipil Jawa Unko Kaisya Koninklijke
Marine Guru sampai dengan murid Sekolah Pelayaran Tinggi SPT. Markas ditempatkan disebuah gedung yang terletak dijalan masuk pelabuhan Cirebon
yaitu bekas Gedung Bea Cukai. Pendaftaran menjadi anggota BKR Laut terus dilakukan hingga beberapa
hari, setelah pembentukan BKR Laut Cirebon telah mempunyai anggota sebanyak 79 orang. Tugas BKR Laut Cirebon untuk menyelenggarakan Keamanan didaerah
Pelabuhan, mengawasi gedung-gedung didaerah pelabuhan, dan mengawasi kapal-kapal yang keluar masuk pelabuhan. Dalam menlaksanakan tugas tersebut
BKR Laut Cirebon belum mempunyai senjata yang canggih, untuk mendapatkan
77
Panitya Penelitian Monumen Perjuangan Kotamadya Cirebon, op.cit., hlm. 86.
senjata diperintahkan kepada anggota agar berusaha mencari senjata, dengan seusah payah para anggota berhasil mendapatkan beberapa pucuk senjata Eafild.
Dengan adanya senjata ini maka diselenggarakan peningkatan latihan kemiliteran dibawah pimpinan Tirtaatmadja dan Ismail, sedangkan pembagian pakaian latihan
belum ada dengan artian mengunakan pakaian bebas.
78
Pada 5 Oktober 1945 BKR laut Cirebon diganti namanya menjadi TKR Laut dan bermarkas di Cangkol. Sesuai dengan perkembangan situasi pada saat itu
bahwa Tentara Sekutu terus menerus melakukan tekanan terhadap RI maka TKR Laut di Cirebon lebih ditinggkatkan lagi yaitu dengan menjaga pintu masukkeluar
pelabuhan dan mengadakan patrol baik dipantai, laut, maupun darat. Para anggota TKR Laut Cirebon mendapatkan persenjataan, mereka menghubungi Pasukan-
pasukan yang bertempur digaris depan, seperti pertempuran di Bekasi, Tambun, dan Kerawang. Mengingat semakin hebatnya serangan Tentara Sekutu pada awal
Januari 1946, pusat pemerintahan terpaksa dialihkan ke Yogyakarta. Begitu pula dengan badanorganisasi perjuangan harus meninggalkan daerah Cirebon dan
menuju tempat-tempat yang lain. Pada 4 Januari 1947 pukul 18.00 waktu setempat kapal-kapal mendapat
perintah dari pelabuhan tetapi tidak boleh keluar dari daerah territorial untuk mengintai dan mengikuti gerak 3 buah kapal perang Belanda yang berada terus
menerus di tengah lautan diluar perairan teritorial pangkalan Cirebon yang telah dapat diawasi menggunakan teropong pengawas. Setiap pergerakan kapal perang
Belanda selalu dilaporkan ke Komandan yang berada didarat melalui kode isyarat
78
Panitya Penelitian Monumen Perjuangan Kotamadya Cirebon,
op.cit
., hlm. 89.
kepada kapal-kapal yang sedang mengawasi gerak gerik kapal Belanda tersebut.menjelang malam hari kapal perang Belanda pergi meninggalkan
Cirebon. Pada 5 Januari 1947 pukul 05.30 Komandan yang di darat telah menerima
laporan dari kapal Gajah Mada, bahwa kapal Belanda telah berada disebelah timur laut dari Pelabuhan Cirebon. Pukul 06.00 ketika iring-iringan kapal Gajah Mada
berlayar kearah utara, dengan tiba-tiba kapal Belanda memberi isyarat agar kapal Gajah Mada berhenti, walaupun telah diberi isyarat untuk berhenti namun iring-
iringan kapal Gajah Mada tersebut terus berlayar, karena isyaratnya tidak dihiraukan maka kapal Belanda tersebut melepaskan tembakan peringatan. Hal
tersebut tidak di hiraukan oleh Komandan Gajah Mada sebagai pimpinan latihan. Atas perintah komandan Gajah Mada kapal patrol pantai mengundurkan diri
kearah barat sedangkan kapal Gajah mada sendiri segera memutar haluan mendekati kapal musuh.
79
Tembakan peringatan dari kapal perang Belanda tidak ditanggapi oleh kapal Gajah Mada dan kapal patrol pantai maka pihak Belanda mulai menghujani
kapal Gajah Mada dengan tembakan-tembakan meriamnya. Tak sampai disitu kapal Gajah Mada pun mulai memberikan serangan balasan terhadap kapal
Belanda, akan tetapi persenjataan milik kapal perang Belanda kalah lebih canggih dibandingkan dengan kapal Gajah Mada, peluru meriam mulai berterbangan dan
mendarat di kapal Gajah Mada menyebabkan kerusakan hebat dan mengganggu gerak laju kapal dan selang beberapa menit kemudian sebuah meriam mengenai
79
Nina H, Lubis, dkk,
Sejarah kota-kota lama di Jawa Barat
, Bandung: Alqaprint Jatinangor. 2000, hlm. 69.
bagian tengah kapal Gajah Mada, yang menyebakan tangki-tangki minyak terbakar dengan segera api pun berkobar disertai gumpalan asap yang tebal, tidak
lama kapalpun mulai tenggelam. Setelah tembakan meriam yang ke 14 dari kapal Belanda barulah kapal
Gajah Mada mulai kehilangan segala potensi perlawanan dan setelah miring pada salah satu sisi kapalnya tenggelam, sebagai pimpinan angkatan laut RI, pengawas
dari darat melihat sebuah sekoci diturunkan dari kapal Belanda menuju anak buah kapal Gajah Mada yang sedang terapung-apung dilautan. Dari darat segera
dikirimkan sebuah sekoci palang merah untuk menolong korban pertempuran akan tetapi seluruh korban dibawa oleh pasukan Belanda ke kapalnya,
sesampainya dikapal Belanda pemimpin palang merah meminta kepada Komandan dari pasukan Belanda agar para korban yang luka-luka dapat di bawa
oleh palang merah Indonesia, tetapi permintaan dari pimpinan palang merah tersebut di tolak oleh Belanda.
80
Pimpinan palang merah pada akhirnya hanya meminta nama-nama para korban yang ditahan oleh pasukan Belanda yang semuanya berjumlah sekitar 24
orang. Setelah itu kapal Belanda meninggalkan perairan Cirebon kearah timur, keadaan para korban yang di tawan di Kapal Belanda tersebut tidak lah jelas.
Kemudian saat hari menjelang malam Wakil Kepala kamar mesin kapal Gajah Mada ternyata masih hidup dan berhasil meloloskan diri tangkapan Belanda
dengan cara berenang sampai Pangkalan dengan selamat. Pada malam harinya
80
Kosah, dkk, “Sejarah Daerah Jawa Barat”, Jakarta: Departemen Pendidikan, Kebudayaan Direktorat Sejarah dan nilai Tradisi, Proyek ISDN,
1994, hlm. 67.
belum ada yang mengetahui dengan pasti berapa sebenarnya jumlah para korban, keesokan harinya pukul 11:30 beberapa orang nelayan setempat datang kekota
melalui kali Sukalila untuk melaporkan bahwa mereka membawa jenazah bertangan satu. Jenazah tersebut kemudian dibawa ke Markan ALRI dan segera
dikenal sebagai Letnan I Samadikun, Komandan kapal Gajah Mada.
81
Pada 6 Januari 1947, sore hari ALRI berkabung karena gugurnya Letnan I Samadikun setelah dengan keberanian yang luar biasa mempertahankan
kehormatan bangsanya, dalam suatu pertempuran yang tidak seimbang dan dengtan persiapan yang sangat kurang. Walaupun pertempuran di teluk Cirebon
hanyalah satu insiden kecil tetapi dapat ditinjau dari sudut semangat pahlawan dan semangat perjuangan pada waktu itu menjadi bukti bahwa apa yang menggerakan
pemuda-pemuda pada masa mampertahankan RI itu adalah panggilan suci tanpa pamrih yang dapat dijadikan sebagai contoh kepada pemuda-pemuda di masa
yang akan datang.
82
Disamping kedudukan ALRI merasa bangga kerena telah memiliki seorang pahlawan laut yang gagah yaitu Letnan I Samadikun, dengan berani
berjuang sampai titik darah penghabisan. Maka dari pada itu dalam bukunya Sekelumit Kisah Perjuangan Masyarakat Kota Madya Cirebon menyatakan bahwa
81
Adi Patrianto, “Angkatan Laut Republik Indonesia Pangkalan IV Tegal 1945-1948: Studi tentang Sejarah Organisasi dan Peran Angkatan Perang RI
pada Masa Perang Kemerdekaan RI.
Skripsi
Fakultas Sastra ”,Jakarta:
UI, hlm. 63.
82
Panitya Penelitian Monumen Perjuangan Kotamadya Cirebon,
loc.cit
., hlm. 102.
Letnan I Samadikun dijadikan sebuah nama jalan di daerah Cirebon untuk mengenang jasanya.
83
Pada 7 Januari 1946 keluar penetapan Pemerintah yang menyatakan bahwa atas nama Tentara Keamanan Rakyat diganti menjadi Tentara Keselamatan
Rakyat, dan disusul dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 26 Januari 1946 bawa TKR diubah menjadi Tentara Republik Indonesia, maka Angkatan Laut
diganti menyesuaikan diri dari TKR Laut menjadi TRI Laut.
84
B. Terbentuknya pasukan Kancil Merah