Perang Gerilya Masyarakat Cirebon dengan Tentara Belanda

1. Perang Gerilya Masyarakat Cirebon dengan Tentara Belanda

Pada Minggu 20 Juli 1947 kota Cirebon dikejutkan oleh serangan mendadak tentara Belanda dari arah laut dengan tembakan-tembakan meriam kapal perang secara terus menerus dengan sasaran kota bagian Timur dan Selatan, terutama sekitar jembatan Kereta Api di Kali Krian. Serangan tentara Belanda hari pertama tidak terlalu menimbulkan kepanikan penduduk kota, sehingga masyarakat beranggapan peristiwa tersebut bagian dari latihan peperangan, baru diketahui setelah adanya kesibukan ALRI dan TNI mengadakan persiapan masyarakat menyadari bahwa kejadian itu bukanlah latihan akan tetapi kejadian perang yang sebenarnya. 70 Pada Senin 21 Juli 1947 pukul 09.00 serangan ulang dilakukan kembali seperti hari pertama, ditambah dengan serangan udara dari pesawat Bomber dan pesawat Mustang cocor merah, serangan sasaran pemboman Belanda dan penembakan udara diantaranya daerah Krian, Stasiun Parujakan, Pagongan, Stasiun Kereta Api Kejaksan, jalan Kartini, Rumah Penjara Kesambi, dan Asrama TNI. Serangan Belanda dari laut dan udara berakhir pada pukul 16.00, kemudian menjelang malam hari datang kembali serangan Belanda dari darat yang menggunakan kendaraan lapis baja datang dari arah Sumber melalui Kanggraksan dari arah barat melalui Kedawung dan dari jurusan Sumber melalui Krucuk. Sebelum serangan tersebut mencapai sasaran ke kota Cirebon pasukan Belanda mendapatkan perlawanan dari TNI Angkatan Darat dan Laut serta 70 Panitya Penelitian Monumen Perjuangan Kotamadya Cirebon, Sekelumit Kisah Perjuangan Masyarakat Kotamadya Cirebon , Cirebon: Panitya Penelitian Monumen Perjuangan Kotamadya Cirebon,1976, hlm. 49. kesatuan-kesatuan teritorial lainnya sepanjang jalan Gunung Sari-Parujakan- Kesambi- Pasar Kagok- Cangkol- Kesunean dan jalan Kalijaga, akibat dari serangan tersebut mengakibatkan jatuhnya banyak korban baik dari pihak TNI Angkatan Darat maupun Laut termasuk beberapa orang Tentara Pelajar yang gugur, dan terdapat korban dari Rumah Penjara Kesambi yang terdiri dari para tahanan sekitar 50 orang, serta seorang petugas penjara. TNI dan para masyarakat yang selamat dari serangan Belanda berpergian kearah pinggiran kota, sebagian besar ke Sunyaragi. Kota Cirebon praktis dapat dikuasai belanda ketika malam hari. Keadaan ini diakibatkan Pasukan TNI dari Batalyon I yang berdomisili di kota Cirebon dibawah pimpinan Mayor Suwarsi sedang bertugas di front daerah Bandung Utara dan Timur, maka kekuatan tentara yang ada di Cirebon termasuk persenjataannya sangat minim sehingga tidak ada keseimbangan untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan peralatan yang super lengkapnya yang menyerang dari berbagai arah baik melalui jalur darat, laut, dan udara. 71 Pada saat TNI hijrah ke Jawa Tengah, beberapa pasukan meninggalkan senjatanya di daerah Gerilya dengan tugas mengamankan senjata dan melakukan pembinaan pasukan serta pembinaan wilayah, diantaranya Pasukan PPM Kostowo yang semula dipimpin oleh Abdul Kadir, 10 orang lengkap dengan senjatanya, senjata yang ada diantaranya 2 Stegun, 7 Karabijn, 1 Owengun, dan 3 Pistol. Selama tinggalkan Hijrah ke Jawa Tengah, pasukan serta senjatanya dipertanggungjawabkan kepada Eddy Hamzah dan S. Jenaka dengan 71 Ibid., hlm. 52. penggabungan anggota TRIP langsung melakukan kegiatan di wilayah kota dan sekitarnya dengan mereka berada di Kali Gandu. Kegiatan pasukan gabungan PPM dan TRIP ada juga pasukan S.P.88 atau pasukan Imam Prabu yang bergerak di daerah barat sampai ke Sumber pimpinan Anas. Setelah Anas tertembak dan tertangkap Belanda pada suatu kontak senjata didaerah Cirebon Barat, maka pimpinan diambil oleh Semeru. 72 Setelah Kota Cirebon dan sekitarnya diduduki Belanda dan jalannya roda pemerintahan Belanda, baik pihak TRI Tentara Republik Indonesia, para Pegawai Negeri, dan rakyat yang tidak mau bekerja sama dengan pihak Belanda mengunggsi keluar kota dan menyusun kekuatan untuk mengadakan perlawanan terhadap pihak Belanda. TRI , pegawai negeri dan rakyat yang mengungsi keluar kota mendapat dukungan dari rakyat sehingga kekuatan baik dari tenaga maupun pembekalan mereka berkecukupan. Pada saat TNI mengundurkan diri dari kota Cirebon, tidak semua dari mereka pergi keluar kota, tetapi sebagian dari mereka masih bersembunyi dikota dan sekitarnya. Mereka tetap mengadakan konsolidasi dan kontak dengan rekan- rekan seperjuangan. Mereka berkumpul kembali untuk membentuk beberapa kelompok, diantaranya dipimpin oleh Serma Abdoelgani dan sersan Targani. Mereka mengadakan kegiatan konsolidasi, menyelidiki musuh, dan mengumpulkan senjata. Mereka juga mengadakan sabotase, mengacau, dan membegal kelompok yang bersatu dengan musuh, serta kegiatan gerilya. 73 72 Ibid., hlm. 55. 73 Marhayono, op.cit ., hlm. 14. Dengan adamya kegiatan gerilya di kota Cirebon, dan sekitarnya, Belanda mulai terkecoh. Mereka mengira kota Cirebon dapat dikuasai secara mutlak, kenyataannya, Belanda tidak dapat tidur secara pulas akibat tekanan dari para gerilyawan. Adanya kegiatan grilyawan, Belanda mulai mengadakan pembersihan besar-besaran di kota Cirebon dan sekitarnya, diantaranya di daerah Sunyaragi yang disinyalir Belanda dipakai sebagai basis grilya. Belanda mendapatkan informasi tersebut melalui kelompok-kelompok yang pro dengan Belanda, yaitu penghianat Bangsa, sekedar mendapatkan sepotong roti dan sedikit uang dari Belanda, tega mengorbankan pejuang kemerdekaan bangsanya. 74 Pada 14 Agustus 1947, rumah Soetamin di Kampung Kebon Kelapa sekarang menjadi SMK Negri 1 Cirebon digerebeg tentara Belanda. Tentara Belanda menangkap 4 orang pejuang kemerdekaan, yaitu Soetamin, Soeko, Kasmira, dan Sawat. Keempat orang tersebut diikat,diseret, dan dibawa ke lapangan Gua Sunyaragi. Kemudian mereka ditembak dan disaksikan oleh rakyat sekitar Gua Sunyaragi, yang dipaksa harus menonton eksekusi tersebut. Soetamin dan Sawat dimakamkan di Majasem kemudian Soeko dan Kasmira dimakamkan di Karang Jalak, Sunyaragi. Sedangkan rumah Soetamin dibakar habis dan sepuluh pucuk senjata api dirampas oleh Belanda. Sekarang tempat eksekusi tersebut dijadikan sebuah Monumen yang di berinama Monumen Perjuangan. 75 Dengan semakin gencarnya tekanan dari pihak Belanda di kota Cirebon dan sekitarnya, kelompok gerilyawan pimpinan Sersan Abdoelgani dan Sersan 74 Samawi, 25 Tahun Merdeka, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1970, hlm. 61. 75 Monumen Perjungan Cirebon, lihat dalam lampiran 3. hlm. 103. Targani menghindar ke daerah Kepongpongan dan Kecomberan, Kecamatan Cirebon Selatan. Selanjutnya, mereka bergabung dengan pasukan Merkayangan Pimpinan Jajang Soedani dan Soetamin Prajitno di daerah Sumber. Meskipun kelompok grilyawan menyingkir keluar kota, kegiatan pengacauan, sabotase, pembegalan, dan penghadangan konvoi tentara Belanda terus berlanjut, bahkan semakin meningkat. Anggota gerilyawan semakin berpengalaman dalam pertempuran dan senjata mereka pun bertambah lengkap, hasil dari rampasan dari berbagai pertempuran dan penghadangan konvoi tentara Belanda. Kegitan perang grilya di kota Cirebon dan sekitarnya berhenti saat ada perintah bahwa semua gerilyawan harus hijrah ke Yogyakarta pada tanggal 29 Januari 1948. Penarikan gerilyawan dari kantong-kantong gerilya di Jawa Barat untuk pindah ke Yogyakarta, berdasarkan hasil perundingan Renville. Dengan berat hati, Seluruh pasukan Siliwangi harus berpisah dengan rakyat Jawa Barat. Rasa displin yang tinggi dan patuh pada perintah atasan mendorong mereka untuk hijrah. 76

2. Pertempuran di Laut Cirebon