1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani deklarasi Millenium Development Goals
MDGs, Indonesia mempunyai komitmen untuk melaksanakannya serta menjadikannya bagian yang tak terpisahkan dari program
pembangunan nasional. Salah satu dari delapan tujuan MDGs yang juga menjadi tujuan utama program pembangunan nasional adalah memerangi berbagai penyakit
menular berbahaya seperti HIVAIDS, malaria dan penyakit menular lainnya. Pemerintah sampai saat ini terus melaksanakan program kesehatan untuk
mengendalikan penyebaran penyakit menular berbahaya di Indonesia Bappenas, 2010.
Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit menular yang upaya pengendalian dan penurunan kasusnya merupakan komitmen internasional dalam
MDGs. Target yang disepakati secara internasional oleh 189 negara adalah mengusahakan terkendalinya penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus
malaria pada tahun 2015 dengan indikator prevalensi malaria per 1.000 penduduk. Penyakit malaria juga dapat membawa dampak kerusakan ekonomi yang signifikan.
Penyakit malaria dapat menghabiskan sekitar 40 biaya anggaran belanja kesehatan masyarakat dan menurunkan sebesar 1,3 Produk Domestik Bruto PDB khususnya
di negara-negara dengan tingkat penularan tinggi. Pada tahun 2011, case fatality rate 1
Universitas Sumatera Utara
2
CFR malaria di dunia sebesar 3,03 ‰ 655 ribu kematian dari 216 juta kasus malaria WHO, 2012a.
World Health Organization WHO 2012b menyatakan dalam beberapa
tahun terakhir, penanggulangan malaria diagnostikdan pengobatantelah
menunjukkankemajuan yang signifikandi negara-negaradi luar Afrika. Namun, penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamukAnopheles ini terusmenyebabkan
bebanbesar padasistemkesehatan nasional karenamemerlukanstrategi pengendalian yangdisesuaikan untukwilayah geografis yang berbedaantarnegara. Pada tahun 2010
terdapat 51negaraendemis malariadi luar wilayah Afrikadengan34 jutakasusdan sekitar46ribu kematian akibat penyakit ini.Laporan initerfokus padanegara-negaradi
Asia, Asia Pasifik, Amerika, Timur Tengah, dan Eropa seperti terlihat pada Gambar 1.1 di bawah ini:
Gambar 1.1 Peta Negara-Negara yang Terserang Malaria Tahun 2010
Universitas Sumatera Utara
3
Laporan WHO 2012c menyebutkan bahwa pada tahun 2011 malaria menyebabkan sekitar 2.414 kematian per hari dimana lebih dari 90 di antaranya
terjadi di wilayah Afrika. Malaria yang terjadi di daerah endemik merupakan penyakit akibat kemiskinan sekaligus penyebab kemiskinan yang memperlambat
pertumbuhan ekonomi sebesar 1,3 per tahun. WHO juga memperkirakan secara global 33,96 jutahari kerja hilang akibat malaria dan Asia Tenggara menyumbang
sekitar 1,34 juta hari kerja. Afrika menempati urutan pertama persentase kasus malaria di dunia tahun 2011 74,5 kasus klinis dan CFR 95,1, kemudian diikuti
oleh Amerika 32 kasus klinis dan CFR 0,1, Asia Tenggara 15,2 kasus klinis dan CFR 2,7 dan daerah lainnya seperti Eropa, Mediterania dan Asia Pasifik
74,5 kasus klinis dan CFR 95,1. Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa malaria merupakan salah satu
penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di dunia termasuk Indonesia. Morbiditas dan mortalitas akibat malaria di Indonesia sendiri
juga masih menunjukkan angka yang cukup tinggi. Penyakit malaria menjadi salah satu perhatian global karena kasus malaria yang tinggi dapat berdampak luas terhadap
kualitas hidup dan ekonomi melalui hilangnya produktivitas kerja bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia. Dalam jangka panjang, akan menimbulkan
efek menurunnya mutu Sumber Daya Manusia SDM masyarakat Indonesia Depkes RI, 2011a dan Trihono, 2009.
Data Departemen Kesehatan RI tahun 2011 menunjukkan bahwa ada sekitar 146,98 juta penduduk Indonesia merupakan populasi yang berisiko terkena malaria.
Universitas Sumatera Utara
4
Dari jumlah tersebut, ada 1,32 juta kasus malaria klinis dan sekitar 256 ribu dinyatakan positif malaria dengan pemeriksaan sediaan darah. Angka Annual
Parasite Incidence API malaria tahun 2011 adalah 1,7 per 1.000 penduduk. Artinya,
setiap 1.000 penduduk di Indonesia tahun 2011, terdapat sekitar 2 orang yang menderita malaria Depkes RI, 2012.
Tahun 2006 – 2009, Kejadian Luar Biasa KLB selalu terjadi di pulau Kalimantan walaupun kabupatenkota yang terjangkit berbeda-beda tiap tahunnya.
Pada tahun 2009 KLB dilaporkan terjadi di Pulau Jawa Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten, Kalimantan Kalimantan Selatan, Sulawesi Sulawesi Barat, NAD dan
Sumatera Sumatera Barat dan Lampung, dengan total jumlah penderita 1.869 orang, dan meninggal sebanyak 11 orang Depkes RI, 2011b. KLB malaria yang terjadi di
Indonesia tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 1.2 di bawah ini:
Gambar 1.2 Peta KLB Malaria Tahun 2009
Universitas Sumatera Utara
5
Indonesia terletak di daerah tropis dengan iklim yang menguntungkan bagi perkembangan nyamuk penular malaria. Sekitar 400 spesies nyamuk Anopheles telah
ditemukan, 67 dapat menularkan malaria dan 24 spesies diantaranya ditemukan di Indonesia. Walaupun angka kesakitan dan kematian akibat malaria di Indonesia
dalam kurun waktu 5 tahun terakhir cenderung menunjukkan trend menurun, namun kemungkinan besar penyakit ini meningkat bahkan bisa mewabah, sehingga
pemerintah memandang malaria masih sebagai ancaman terhadap status kesehatan masyarakat terutama pada rakyat miskin yang hidup di daerah terpencil Depkes RI
dalam Abdullah, 2008. Departemen Kesehatan RI 2011b menyebutkan sampai saat ini, beberapa
wilayah di Indonesia masih menjadi daerah endemis malaria. Peta endemisitas malaria di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.3 berikut ini:
Gambar 1.3 Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2011 Peta Endemisitas Malaria di Indonesia
Tahun 2011
Universitas Sumatera Utara
6
Hasil Riset Kesehatan Dasar Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit malaria tersebar merata di semua kelompok umur. Prevalensi malaria klinis
di pedesaan dua kali lebih besar bila dibandingkan prevalensi di perkotaan. Prevalensi malaria klinis juga cenderung tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah,
kelompok petani, nelayan, buruh dan kelompok dengan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita rendah. Prevalensi malaria berdasarkan Riskesdas tahun 2010
diperoleh dalam bentuk point prevalence yang menunjukkan proporsi orang yang menderita penyakit malaria pada waktu tertentu. Data malaria dikumpulkan dengan
wawancara terstruktur dan pemeriksaan darah menggunakan dipstick Rapid Diagnostic TestRDT
. Besarnya sampel yang diperiksa dengan RDT adalah 75.192 orang. Hasilnya menunjukkan bahwa point prevalence malaria sebesar 0,6, namun
hasil ini tidak menunjukkan kondisi malaria secara keseluruhan dalam satu tahun, karena setiap wilayah dapat mempunyai masa-masa puncak pola epidemiologi
kasus yang berbeda-beda. Spesies parasit yang paling banyak ditemukan adalah Plasmodium falciparum
86,4, sedangkan sisanya adalah Plasmodium vivax dan campuran antara Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Namun data
sebaran parasit per wilayah tidak diperoleh sehingga tidak dapat diketahui jenis parasit yang dominan per suatu wilayah Depkes RI, 2011b.
Upaya penanggulangan penyakit malaria di Indonesia sejak tahun 2007 dapat dipantau dengan menggunakan Annual Parasite Incidence API. Hal ini sehubungan
dengan kebijakan Departemen Kesehatan RI mengenai penggunaan satu indikator untuk mengukur angka kejadian malaria, yaitu dengan API. Pada tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
7
kebijakan ini mensyaratkan bahwa setiap kasus malaria harus dibuktikan dengan hasil pemeriksaan sediaan darah dan semua kasus positif harus diobati dengan pengobatan
kombinasi berbasis artemisinin atau ACT Artemisinin-based Combination Therapies
Depkes RI, 2011c. Prevalensi nasional malaria berdasarkan data Departemen Kesehatan RI
adalah sebesar 2,85. Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu dari 15 provinsi dengan prevalensi malaria di atas prevalensi nasional. Berdasarkan data yang
diperoleh dari Departemen Kesehatan RI, ada 76,6 ribu kasus malaria klinis terjadi di Sumatera Utara selama tahun 2011 dan 6.358 dinyatakan positif malaria dengan
pemeriksaan sediaan darah. Angka Annual Parasite Incidence API malaria di Sumatera Utara tahun 2011 adalah 0,5 per 1.000 penduduk. Beberapa kabupaten
endemis malaria di Sumatera Utara di antaranya: Kabupaten Asahan, Karo, Labuhan Batu, Langkat, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Nias dan Nias Selatan Depkes
RI, 2012. Secara historis, dalam beberapa tahun terakhir jumlah kasus malaria di
Sumatera Utara menunjukkan angka yang relatif menurun. Tahun 2006 terdapat 64.116 kasus klinis malaria dengan 16.525 kasus positif malaria yang dibuktikan
dengan pemeriksaan sediaan darah. Tahun 2007 kasus positif malaria mengalami penurunan menjadi 15.493 kasus dan terus menurun menjadi 8.796 kasus pada tahun
2010. Walaupun kasus malaria cenderung menurun, namun masih ada wilayah di Sumatera Utara yang merupakan daerah endemis malaria, sehingga membutuhkan
penanganan yang intensif Dinkes Sumut, 2011.
Universitas Sumatera Utara
8
Kabupaten Asahan merupakan salah satu kabupaten endemis malaria di Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan
tahun 2008-2010, jumlah kasus malaria di Kabupaten Asahan selama 2 tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2010, terdapat 2.416 kasus klinis malaria
dengan 241 kasus positif dan pada tahun 2011 naik menjadi 4.056 kasus klinis dengan 687 kasus positif. API malaria di Kabupaten Asahan tahun 2011 mencapai
1,03 per 1.000 penduduk. Angka ini lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 1,01 per 1.000 penduduk. Data dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Asahan selama tahun 2012 menunjukkan masih tingginya angka kesakitan akibat malaria. Mulai Bulan Januari sampai Bulan Desember 2012 terdapat 313 kasus
positif malaria Dinkes Asahan, 2012. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malaria. Faktor-faktor
tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang yang berasal dari dalam diri individu yang mampu
mengendalikan perilaku manusia sehingga berpengaruh terhadap kejadian penyakit seperti malaria. Faktor internal mempengaruhi tindakan-tindakan masyarakat yang
merupakan faktor risiko kejadian malaria. Faktor internal tersebut misalnya karakteristik individu umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan
dan penghasilan dan perilaku individu untuk mencegah penularan malaria. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang yang berasal dari luar diri individu yang mampu
mengendalikan perilaku manusia sehingga berpengaruh terhadap kejadian penyakit seperti malaria. Faktor eksternal tersebut misalnya lingkungan fisik rumah tempat
Universitas Sumatera Utara
9
tinggal, perilaku petugas kesehatan, sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dan sumber informasi yang diperoleh individu dari media-media yang ada Depkes RI,
2009b; Friarayatini, 2006; Sarumpaet, 2007 dan Suhardiono, 2005. Berdasarkan hasil survei pendahuluan, diketahui bahwa wilayah kerja
Puskesmas Binjai Serbangan, Sei Kepayang Barat, Sei Apung, Bagan Asahan dan Aek Songsongan merupakan wilayah dengan insidensi malaria endemis. Hasil
wawancara terhadap beberapa petugas pengendalian penyakit menular di puskesmas tersebut menunjukkan masih rendahnya kesadaran masyarakat akan bahaya yang
ditimbulkan oleh malaria. Hal ini ditunjukkan masih banyaknya rumah warga di sekitar rawa-rawa dan kolam genangan air. Selain itu perilaku masyarakat yang
tidak waspada dengan gigitan vektor nyamuk Anopheles yang ditandai dengan malasnya mereka menggunakan kelambu saat tidur dan kebiasaan sering keluar di
malam hari juga menjadi faktor lain masih tingginya angka kasus malaria di Kabupaten Asahan.
Penelitian yang dilakukan oleh Muslimin 2011 menunjukkan kondisi rumah, kebiasaan keluar rumah di malam hari dan penggunaan kelambu berhubungan erat
dengan kejadian malaria di Kabupaten Pangkep tahun 2011. Selain itu pola spasial menunjukkan kedekatan antara tempat perindukan nyamuk berupa kolam dan sawah
dengan tempat tinggal penderita malaria di kabupaten ini. Menurut Daulay 2006, faktor perilaku sangat berkontribusi terhadap
terjadinya penyakit malaria. Tingkat pengetahuan yang rendah, kebiasaan tidur tidak memakai kelambu, sikap yang kurang mendukung dalam penanggulangan penyakit
Universitas Sumatera Utara
10
malaria, tidak menggunakan alat atau bahan pelindung bila keluar rumah pada malam hari merupakan perilaku yang memiliki risiko terbesar terhadap terjadinya penyakit
malaria. Faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap terjadinya penyakit malaria adalah dukungan petugas kesehatan dan faktor lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian Kasnodihardjo 2008, tentang pola kebiasaan masyarakat dalam kaitannya dengan masalah malaria di daerah Sihepeng Kabupaten
Tapanuli Selatan, menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mengetahui bahwa malaria adalah penyakit menular dan nyamuk sebagai vektor penular. Mereka bahkan
menganggap penyakit malaria berbahaya, namun kebanyakan mereka kurang mengetahui bagaimana cara penularan penyakit malaria. Hal ini memengaruhi
tindakan masyarakat dalam pencegahan penyakit malaria. WHO dalam Abdullah 2008 menetapkan bahwa, program pengendalian
malaria harus menggunakan suatu pengembangan mekanisme yang tepat untuk meramalkan transmisi malaria. Melihat karakteristik dan sifat - sifat biologik nyamuk
Anopheles maka studi epidemiologi lingkungan sangat penting bagi upaya
perencanaan dan pemberantasan penyakit malaria. Dalam program malaria, pemantauan biologik vektor nyamuk Anopheles dibutuhkan suatu sistem informasi
geografi yang berguna untuk: a. Menolong setiap petugas untuk mengenal daerah, bahkan letak rumah penduduk
yang terjangkit malaria, sehingga memudahkan dalam melakukan penyelidikan epidemiologi, supervisi dan operasi pemberantasan.
b. Membatasi daerah malaria peta epidemiologi.
Universitas Sumatera Utara
11
c. Merencanakan tempat-tempat terbaik sebagai pusat kegiatan di lapangan. d. Memikirkan kemungkinan tindakan anti larva misalnya oiling, pengeringan,
irigasi, dan penyebaran ikan pemakan jentik. Kemajuan teknologi saat ini telah merambah ke berbagai bidang termasuk
kesehatan dan juga merupakan integrasi dari berbagai bidang salah satunya bidang kesehatan dengan bidang geografi. Geographic Information System GIS atau Sistem
Informasi Geografis SIG merupakan sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis dan
menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospatial. Data dalam kesehatan masyarakat memiliki komponen spasial lokasi, lalu SIG menambahkan dimensi
grafis dan memunculkan analisis yang kuat dengan menggunakan dasar segitiga epidemiologi, yaitu orang, waktu dan tempat yang sering terabaikan. SIG bermanfaat
juga dalam mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya alam, lingkungan transportasi, fasilitas kota, dan
pelayanan umum lainnya termasuk dalam bidang kesehatan untuk mendukung sistem surveilans Wade et al, 2006.
Wade 2006 juga menyebutkan bahwa analisis spasial adalah salah satu cara pendataan dalam upaya untuk manajemen lingkungan dan merupakan bagian dari
pengelolaan manajemen penyakit berbasis wilayah, merupakan suatu analisis dan uraian tentang data penyakit secara geografis berkenaan dengan kependudukan,
persebaran, lingkungan, perilaku, sosial, ekonomi, kasus kejadian penyakit dan
Universitas Sumatera Utara
12
hubungan antar variabel tersebut dimana masing-masing variabel dapat menjadi faktor risiko terjadinya penyakit malaria.
Sampai saat ini belum ada pola spasial yang terinci mengenai distribusi kasus malaria di Kabupaten Asahan. Padahal pola pemetaan kasus malaria penting sebagai
salah satu upaya untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh penyakit malaria. Penelitian ini mencoba menganalisis pola spasial yang terinci dari kasus malaria yang
terjadi di Kabupaten Asahan sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk mengatasi masalah malaria di kabupaten ini.
1.2 Permasalahan