Dalam penelitian ini akan digunakan komponen kognitif dari Huebner 2001 dan komponen emosi dari Watson, Clark Tellegan
dalam Ayyash-Abdo Alammudin, 2007
2.1.4. Faktor-faktor yang memengaruhi subjective well-being
Sebagai salah satu studi yang menjadi populer saat ini, penelitian mengenai subjective well-being kemudian diteliti dari berbagai sudut
pandang dengan bermacam-macam variabel yang mewakili bermacam isu. Diener 2009 mengungkapkan bahwa tidak ada faktor tunggal yang
menjadi penentu subjective well-being. Beberapa kondisi kelihatannya dibutuhkan bagi subjective well-being mis, kesehatan mental, hubungan
sosial yang positif, namun hal-hal tersebut tidak cukup dalam menyebabkan kebahagiaan. Para filsuf dan peneliti telah menemukan
sejumlah hal yang menyebabkan kebahagiaan. Menurut Diener, dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa kondisi demografis yang
sangat berperan pada subjective well-being seseorang, antara lain :
A. Faktor Demografis
1 Agama, religiusitas dan praktek-praktek spiritualitas Hubungan antara agama, praktek-praktek spiritualitas dan well-
being merupakan hal yang paradoks. Pada umumnya, orang yang cenderung mengalami level well-being yang lebih tinggi, lebih
spesifik untuk hal-hal partisipasi dalam layanan keagamaan, kekuatan afiliasi agama, hubungan dengan Tuhan, dan doa Ferriss; Poloma
Pendleton; Witter, Stock, Okun, Harin dalam Diener Ryan, 2008. Hubungan yang positif antara agama dan well-being yang
tinggi berasal dari makna dan tujuan serta jaringan sosial dan sistem dukungan yang diciptakan oleh agama dan institusi lain yang diatur
oleh agama. Akan tetapi, motivasi intrinsik dan ekstrinsik terhadap
agama merupakan faktor yang penting dalam hubungan positif Ardelt; Ardelt Koenig dalam Diener Ryan, 2008, dan kekuatan
hubungan ini kelihatannya lebih kuat untuk kelompok masyarakat tertentu, khususnya perempuan African-americans dan orang-orang
tua Eropa Argyle dalam Diener Ryan, 2008. Beberapa studi empirik yang berkembang belakangan ini menunjukkan bahwa
faktor-faktor substantif yang berhubungan dengan tujuan hidup, makna, keterlibatan dalam hal keagamaan, religious coping,
dukungan komunitas jemaat congregational support, dan praktek- praktek spiritual ditemukan sebagai prediktor utama well-being
Koenig, McCullough, Larson, 2001; Ellison; Harker; Maton;
Seybold Hill dalam Morris dkk., 2010. 2 Pendapatan income
Ada begitu banyak penelitian yang menemukan bahwa pendapatan dan SWB memiliki hubungan yang positif. Selain itu
keadaan sosioekonomi seseorang juga berpengaruh. Namun demikian, penelitian mengenai hal ini masih belum konklusif
Diener, 2009; Frey Stutzer, 2002. 3 Pernikahan, perceraian, dan hubungan sosial
Jumlah dan kualitas hubungan sosial individu telah dikonfirmasi memiliki hubungan dan menjadi anteseden dari SWB
Diener Biswas Diener, 2008. Pada umumnya orang lebih bahagia ketika mereka bersama-sama dengan orang lain, ada interaksi sosial
yang terjadi Kahneman Krueger, 2006. Orang cenderung lebih mengekspresikan pengaruh positif ketika mereka berada dengan
orang lain Diener Biswas-Diener, 2008. SWB meningkat melalui ikatan sosial seperti pernikahan, dan kemudian pemenuhan hubungan
sosial lainnya Helliwell, Barrington-Leigh, Harris, Huang, 2009.
Orang yang menikah biasanya mengalami level SWB yang lebih tinggi daripada orang yang tidak menikah menurut studi longitudinal
Lucas, Clark, Georgellis, Diener, 2003 dan sampel representatif yang besar Glenn; Lee, Seccombe, Shehan dalam Diener Ryan,
2008 ; akan tetapi, data juga menunjukkan bahwa orang cenderung beradaptasi dengan cepat pada pernikahan dan kembali pada level
dasar well-being mereka Lucas, Clark, Georgellis, Diener, 2003. Berbeda dengan orang yang menikah, orang yang bercerai
menunjukkan level well-being yang lebih rendah secara rata-rata Lucas, 2005. Lebih lanjut menurutnya, perceraian pada umumnya
menyebabkan kemunduran dalam SWB disebabkan perceraian, dan mereka yang bercerai tidak mudah kembali pada level dasar well-
being sepanjang waktu Lucas, 2005. Dengan demikian, peristiwa perceraian kelihatannya lebih memengaruhi level SWB dibandingkan
peristiwa pernikahan. 4 Jender
Hubungan level well-being yang relatif antar gender telah sering diuji, namun data
yang dikumpulkan selama ini mengindikasikan bahwa perempuan dan laki-laki secara substansi
tidak berbeda secara rata-rata dalam SWB. Eryılmaz 2010 menguji SWB remaja Turki dalam hubungannya dengan usia, jender, dan
status sosio-ekonomi orang tua, menemukan bahwa tidak ada perbedaan jender pada SWB remaja. Namun demikian, dalam banyak
penelitian, perempuan kelihatannya mengalami emosi positif dan negatif lebih sering dan lebih intens dibandingkan laki-laki Diener
Ryan, 2008. Penelitian yang dilakukan oleh Nielsen, Paritski dan Smyth dalam Diener, 2009 pada supir taksi di Beijing menemukan
bahwa tidak ada perbedaan jender yang signifikan dalam skor
personal well-being index pada para supir taksi tersebut. Satu-satunya perbedaan statistik secara signifikan berhubungan dengan kepuasan
dan hubungan pribadi, di mana skor laki-laki lebih tinggi.
B. Faktor-faktor lain yang memengaruhi SWB