personal well-being index pada para supir taksi tersebut. Satu-satunya perbedaan statistik secara signifikan berhubungan dengan kepuasan
dan hubungan pribadi, di mana skor laki-laki lebih tinggi.
B. Faktor-faktor lain yang memengaruhi SWB
Selain kondisi demografis, studi genetik yang dilakukan di Universitas Minnesota dan direview oleh Lykken dalam Diener Ryan,
2008 menemukan bahwa kembar monozygotic yang dibesarkan secara terpisah memiliki kemiripan dalam level kebahagiaan daripada kembar
dizygotic yang tinggal terpisah. Studi kembar menunjukkan bahwa beberapa bagian variabel dalam kebahagiaan mungkin disebabkan
kontribusi genetik. Namun demikian, ada juga penelitian yang menemukan bahwa level subjective well-being seseorang tidak ditentukan
oleh faktor genetiknya. Diener dan kolega Diener dkk., 2002; Lucas dkk., 2004 dalam Diener, 2009 melakukan studi longitudinal di Jerman dan
menemukan bahwa faktor genetik tidak memberi pengaruh pada SWB seseorang. Mereka secara berulang-ulang menemukan bahwa orang yang
menjadi pengangguran unemployed merasa kurang bahagia, dan berlanjut demikian untuk waktu yang cukup lama, dibandingkan dengan
mereka yang memiliki pekerjaan mapan. Hal ini menentukan bahwa genetik yang ada dalam diri individu tidak memengaruhi dirinya
melainkan keadaan demografis dirinya yang membutuhkan pekerjaan. Sejumlah studi juga telah mengkonfirmasi pentingnya temperamen
dan kepribadian dalam menemukan kapasitas individu untuk merasa well- being. Diantara sifat-sifat kepribadian yang berbeda, ekstraversi dan
neurotisime merupakan dua tipe kepribadian yang paling konsisten dan kuat berelasi dengan well-being Diener, Oishi Lucas,. 2003; Rusting
Larsen dalam Diener, 2009. Ekstraversi bisa memprediksi pengaruh positif Lucas Fujita, 2000, sementara pengaruh negatif dengan kuat
diprediksi oleh neurotisisme Fujita, 1991. Lebih lanjut, studi lintas negara menunjukkan bahwa orang yang ekstrovert cenderung untuk
mengalami sejumlah besar perasaan positif dan terjadi secara intens jika dibandingkan dengan yang introvert Diener Biswas-Diener, 2008.
Oleh karena itu, sementara lingkungan memainkan peranan dalam ekspresi genetik, jelas bahwa sifat-sifat warisan genetik memiliki
pengaruh subtansi pada level well-being individu. Selain itu, penentuan tujuan merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi well-being. Hasil penelitian Eryilmaz 2011 menunjukkan bahwa penentuan tujuan hidup remaja berkorelasi dengan SWB mereka.
Jika individu percaya bahwa tujuan mereka penting dan mereka bisa mencapai tujuan ini maka mereka memiliki level SWB yang lebih tinggi.
Dari sudut pandang remaja, penemuan ini menemukan bahwa penentuan tujuan karir memberikan SWB yang lebih baik pada remaja.Tujuan
meningkatkan level SWB individu dengan memfokuskan mereka pada masa depan dan menambahkan arti dalam hidup mereka.
Optimisme juga menjadi faktor yang memengaruhi SWB individu Utsey, Hook, Fischer Belvet, 2008. Gottlieb dan Rooney 2004
dalam penelitiannya menunjukkan bahwa optimisme secara positif berkorelasi dengan kesehatan seseorang. Optimisme juga memiliki
korelasi yang kuat dengan kepuasan hidup Bailey, Eng, Frisch, Snyder, 2007. Optimisme memberikan pengaruh yang positif pada
kepuasan hidup orang dewasa awal Isaacowitz dalam Isaacowitz,
Vaillant Seligman, 2003 dan remaja akhir Heo Lee, 2010; Isaacowitz dalam Isaacowitz, dkk., 2003, remaja perdesaan Alder,
2008, mahasiswa Harju Bolen, 1998, dan siswa SMA Wong, 2009. Persepsi dukungan sosial merupakan hal yang krusial dalam menilai
seberapa baik remaja berjuang dalam kondisi lingkungannya Barnes, Katz, Korbin, O’Brien; Brennan dkk.; Brennan, Barnett, Lesmeister;
Bowes Hayes; McGrath dalam McGrath, Brennan, Dolan Barnett, 2009. Orang tua dan teman sebaya merupakan pendukung yang penting
dalam aktivitas fisik siswa SMA. Orang tua dilihat sebagai teladan dan penyedia dukungan emosional, yang meliputi mendorong anak untuk
menjadi aktif atau memerhatikan anak-anaknya Duncan dkk; McGuire, Hannan, Neumark-Sztainer, Crossrow, Story dalam Robbins, Stommel
Hamel, 2008. Walaupun demikian, teman sebaya merupakan prediktor yang kuat dalam konteks remaja Prochaska dkk. dalam McGrath dkk.,
2009. Namun demikian, dalam konteks sekolah, hasil penelitian Richman, Rosenfeld Bowen 1998 menemukan bahwa guru bersama
dengan orang tua bisa dilihat oleh siswa “bermasalah” sebagai sumber dukungan sosial utama, dalam hubungan dengan hubungan emosional,
bantuan praktis, dan untuk apresiasi yang diterima atas usaha yang dilakukan. Selain orang tua, guru juga merupakan pendukung yang
memberikan kontribusi pada prestasi akademik, keterikatankomitmen dengan sekolah, dan well-being dalam kelas Brewster Bowen; Chen;
Vedder, Boekaerts, Seegers dalam Flaspohler dkk., 2009. Beberapa penelitian pada remaja menemukan beberapa faktor yang
memengaruhi SWB remaja, antara lain, usia dan status ekonomi orang tua menjadi faktor penting bagi SWB remaja Turki Eryilmaz, 2010,
optimisme dan hubungan sosial Morris, Martin, Hopson, dan Welch-
Murphy, 2010, rasa puas pada sekolah, tubuh pada siswa perempuan, dan kesehatan diri, dan strategi interaktif siswa-guru Katja, Paivi, Marja-
Terttu, dan Pekka, 2002, peristiwa dalam hidup McCullough, Huebner, dan Laughlin, 2000, dan konsep diri sosial Chang, McBride-Chang,
Stewart, dan Au, 2003, dan dukungan teman sebaya Robbins dkk., 2008. Selain itu, konteks yang mendukung di mana remaja itu tinggal
dan melakukan aktivitasnya juga memengaruhi SWB remaja. Studi yang dilakukan oleh McGrath dkk. 2009 pada remaja Florida dan Irlandia
menemukan bahwa dukungan sosial informal dan kepuasan di sekolah school satisfaction merupakan prediktor terkuat dari remaja di kedua
lokasi tersebut. Dari sumber-sumber informal, dukungan emosional dari teman dan dukungan nasehatkonkritpenghargaan dari orang tua hadir
sebagai dimensi prediktif yang penting. Kesukaan terhadap sekolah, persepsi akan keberhasilan di sekolah merupakan prediktor utama
kepuasan akan sekolah oleh siswa Irlandia, sementara di Florida, persahabatan siswa dan pengalaman mengalami bullying muncul sebagai
faktor yang signifikan. Selain itu, prediktor global SWB remaja juga antara lain nilai-nilai tertentu seperti keseimbangan pribadi, hubungan
keluarga yang nyaman dan aman, tipe keluarga itu sendiri keluarga
kandung, orang tua tunggal, dan step family khususnya dalam beberapa aspek tertentu, seperti persepsi remaja akan tingginya level kebersamaan
dan stabilitas dalam keluarga dan rendahnya masalah-masalah serius dalam keluarga tersebut Rask, Asted-Kurki, dan Laippala, 2003.
Studi lintas-budaya di remaja Perancis, China, dan Australia telah mengkonfirmasi pengaruh yang lebih besar dari hubungan orang tua-anak
dalam hubungan dengan persepsi kualitas hidup remaja Leung Leung; Petito Cummins; Sastre Ferriere; Shek dalam Huebner, Suldo, Smith
dan McKnight, 2004.
Dalam konteks sekolah, ada beberapa faktor penting yang menjadi penentu SWB remaja, antara lain school connectedness. Siswa yang
merasa memiliki ikatan atau hubungan yang baik dengan sekolahnya melaporkan level emosional well-being yang tinggi Eccles, Early,
Frasier, Belansky McCarthy, 1997; Steinberg dalam McNeely dkk, 2002; Libbey, 2004, dukungan sosial teman sebaya dan guru Flaspohler
dkk., 2009, orang tua del Valle dkk., 2010, school connectedness Eccles dkk., 1997; Steinberg dalam McNeely dkk, 2002; Libbey, 2004,
self-efficacy Yang dkk., 2008. Dari faktor-faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa SWB
dipengaruhi oleh faktor-faktor baik dari dalam diri individu internal maupun faktor eksternal kondisi, lingkungan individu. Faktor internal
meliputi, kepribadian, usia, jender, genetik, dan optimisme, sedangkan faktor eksternal meliputi, dukungan sosial dari teman sebaya, orang tua,
guru, strategi interaktif siswa-guru, agama, pendapatan, status sosio- ekonomi orang tua, konsep diri sosial, peristiwa dalam hidup, penentuan
tujuan, konteks tempat tinggal remaja, school connectedness, hubungan sosial sosial, SES, dan kesehatan diri. Dari semua faktor-faktor di atas,
dua variabel yang akan digunakan sebagai variabel prediktor SWB remaja yaitu school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya.
2.2. PERKEMBANGAN REMAJA