menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas- tugas berikutnya Havighurst dalam Hurlock, 2003.
Havighurst mengemukakan delapan tugas perkembangan remaja yang meliputi:
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman
sebaya baik pria maupun wanita b.
Mencapai peran sosial pria dan wanita c.
Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung
jawab e.
Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya
f. Mempersiapkan karier ekonomi
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis
Disadari atau tidak, setiap remaja pasti menghadapi tugas-tugas perkembangan tersebut. Untuk menjalankan semua tugas tersebut setiap
remaja memiliki tantangan dan kesulitannya sendiri. Kesulitan itu semakin bertambah bila remaja itu sendiri tidak menyadari akan tugas-
tugas perkembangannya atau juga lingkungan hidup yang tidak mendukungnya secara optimal.
2.3. SCHOOL CONNECTEDNESS
2.3.1. Definisi School Connectedness
School connectedness telah dipelajari dengan variasi nama dan definisi Blum Libbey, 2004. Beberapa istilah yang sering digunakan meliputi,
“school belonging” Osterman, 2000; Willms dalam Frydenberg, Care, Freeman Chan, 2009, “student engagement” Taylor Nelms, 2006,
“school bonding” Catalano, Haggerty, Oesterle, Fleming Hawkins, 2004, dan “teacher support” Klem Connell, 2004; Reddy, Rhodes,
Mulhall, 2003. Konstruk mengenai school connectedness sendiri didefinisikan oleh
Goodenow 1993 sebagai tingkat di mana siswa secara personal merasa diterima, dihormati, merasa menjadi bagian, dan didukung oleh orang lain
dalam lingkungan sosial sekolah. School connectedness telah muncul sebagai prediktor potensial yang utama dari masalah psikososial remaja dan
kesehatan mental mereka, khususnya depresi Shochet, Dadds, Ham Montague, 2006. School connectedness didefinisikan meliputi indikator-
indikator umum seperti: kesukaan terhadap sekolah, perasaan memiliki, hubungan positif dengan guru dan teman, dan keterlibatan aktif dalam
kegiatan sekolah Thompson, McGrath dkk., 2009. Rasa terhubung dengan sekolah secara sederhana bisa didefinisikan
sebagai tingkat di mana siswa merasa sebagai bagian dari sekolah. Lebih kompleks lagi, meliputi persepsi bahwa sekolah memberikan dukungan
terhadap cita-cita akademik siswa, memiliki iklim disiplin, dan budaya yang mendukung. Selain itu, school connectedness juga merupakan konsep yang
muncul dari interaksi individu dengan lingkungan sekolahnya Hawkins dkk.; McBride dkk. dalam Resnick dkk., 1997.
Libbey mereview studi yang didesain untuk mengukur hubungan siswa dengan sekolahnya dan mengemukakan definisi school connectedness
sebagai keyakinan bahwa orang dewasa di sekolah peduli terhadap siswa secara individu dan proses belajar yang mereka lakukan Libbey dalam
Waters, Cross Runions, 2009. Indikator dasar yang digunakan dalam
konstruk definisi tersebut meliputi sikap dan motivasi siswa terhadap sekolah dan belajar, level di mana siswa merasa mereka disukai oleh orang lain di
sekolah dan komitmen siswa, keterlibatan, dan keyakinan dalam aturan- aturan sekolah Libey, 2004. Selain itu, school connectedness juga
didefinisikan sebagai perasaan dipedulikan, diterima, dihargai, dan didukung oleh orang lain baik oleh keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat luas
Lee Robbins, 1995; Resnick dkk., 1993; Rutter dalam McGraw, Moore, Fuller Bates, 2008.
Dari definisi-definisi di atas, maka untuk tujuan penelitian ini, definisi school connectedness yang akan digunakan yaitu persepsi siswa mengenai
penerimaan dirinya di sekolah oleh guru dan pengidentifikasian serta keterlibatan aktif dirinya sebagai bagian dari sekolah.
2.3.2. Aspek-aspek School Connectedness