Visi dan Kritik tentang Masalah Lingkungan Manusia Mendayagunakan Alam

71 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012

3.1. Visi dan Kritik tentang Masalah Lingkungan

Dalam cerita Ongkak, pengarang bercerita tentang kehidupan para pembalak kayu di hutan Riau yang membalak kayu dan kemudian menjualnya kepada para tauke dengan harga yang murah. Kata Ongkak sendiri berarti ‘rel kayu tempat meluncurkan kayu balak’ 2010: 24; pembalakan hutan itu menjadi pekerjaan yang menguntungkan bagi masyarakat di desa tersebut. Namun kisah menjadi sebuah tragedi ketika Sudir, tokoh utama dalam cerita itu, kehilangan istrinya Kanah yang sedang mengandung enam bulan. Kanah saat itu mendesak untuk ikut Sudir membalak kayu di hutan. Semula Sudir melarang Kanah, namun karena wanita itu bersikeras untuk ikut, Sudirpun membiarkannya ikut dengannya. Ketika Sudir dan beberapa lelaki sedang mendorong kayu balak yang licin oleh gerimis hujan diatas ongkak, dan Kanahpun ikut mendorong, tiba-tiba wanita itu jatuh terjerembab, tubuhnya jatuh terbelintang ditengah ongkak dan kayu balak itu menggelinding diatas perut buntingnya. Tubuh Kanah hancur dan remuk. Sudirpun meraung-raung histeris menyesali kelalaian dirinya telah mengizinkan istrinya ikut dengannya sehingga istrinyapun kemudian tewas secara memilukan 2010: 18-19. Dengan merujuk pada kategori yang dikemukakan oleh Suroso, dkk. bahwa relasi manusia dan alam seperti yang digambarkan dalam kisah tersebut, dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: citra manusia yang bersatu dengan alam; citra manusia yang mendayagunakan alam; dan citra manusia yang bersahabat dengan alam 2008: 203. Namun dalam bahasan ini, penulis hanya merujuk pada dua aspek yaitu manusia mendayagunakan alam dan manusia bersahabat dengan alam . Kedua aspek ini sekaligus menunjukkan visi dan kritik pengarang terhadap masalah-masalah lingkungan.

a. Manusia Mendayagunakan Alam

Dalam cerita Ongkak maupun dalam cerita-cerita yang lain seperti Kemarau Airmata, Republik Banjir, Parit Dorba, dan Semokel, pengarang secara eksplisit menggambarkan fenomena pembalakan dan perusakan hutan dalam praktik alih fungsi lahan untuk kepentingan perkebunan dan pemukiman. Dalam Ongkak, pendayagunaan alam itu digambarkan melalui pembalakan kayu hutan oleh tokoh Sudir dan beberapa warga masyarakat di kampung Melayu, Riau. Begitu pula dalam cerita Semokel yang berarti ‘penyelundupan kayu tradisional lintas batas’ 2010: 167 oleh warga masyarakat di Kampung Beranti. Sedangkan dalam cerita Kemarau Airmata, Republik Banjir, dan Parit Dorba, pengalih-fungsian lahan tanah hutan ulayat milik warga masyarakat Melayu adalah untuk kepentingan pembangunan PLTA Kemarau Airmata, 2010: 36; pembangunan villa dan lapangan golf Republik Banjir, 2010: 78-79; perluasan kebun kelapa sawit Parit Dorba, 2010: 84. Dalam cerita Ongkak misalnya, upaya masyarakat Melayu dalam mendayagunakan alam terlihat melalui kegiatan mereka dalam mencari kayu hutan untuk dijual kepada para tauke. Namun Sudir telah diajarkan oleh kakek dan neneknya akan kearifan lokal bahwa menebang kayu di hutan harus dilakukan seperlunya – Sedari kecil ia diajari Datuk dan Neneknya betapa alam yang terdedah begitu molek bagi penghidupan banyak orang. Pokok-pokok kayu yang berjajar ditengah rimba raya itu patutlah jadi mata pencaharian orang-orang sekampung. Tapi sejak dulu, tak ada rimba yang gundul. Pokok 72 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 kayu itu ditebang seperlunya. Diambil buat kebutuhan kayu menanak nasi, tiang rumah atau keperluan pagar 2010: 20. Kearifan lokal yang terlihat, melalui kebiasaan dan perlakuan yang bijak dari masyarakat Melayu terhadap hutan ulayat mereka menunjukkan pandangan pengarang terhadap hubungan yang selaras antara manusia dengan alam. Namun keselarasan itu berubah menjadi ancaman dan petaka ketika para tauke kayu balak menyerbu hutan dan menebangi kayu-kayu hutan secara besar-besaran dengan bantuan tenaga orang-orang bagak di kampung. Bahkan banyak diantara pohon yang ditebang itu adalah pokok sialang yang menjadi tempat lebah madu bersarang dan mengucurkan madu setiap waktu 2010: 20. Sejak saat itu banyak orang di desa itu yang bekerja sebagai pembalak. Mereka menjual kayu balakan kepada para tauke dengan harga murah – “Kayunya dijual pada para tauke sehingga para taukelah yang ‘terima bersih’ mendapatkan laba yang luar biasa” 2010: 21. Gambaran tentang perubahan perilaku masyarakat Melayu tersebut dan para tauke dalam mendayagunakan alam menunjukkan kritik pengarang terhadap kecenderungan manusia untuk bertindak serakah terhadap alam dan lingkungannya. Dan perilaku yang kurang bijak tersebut akhirnya bias mendatangkan petaka bagi manusia – “Kawan-kawan, tak elok membabat rimba ini suka-suka kita. Bila rimba dirusaki maka banyak mudharat yang akan datang. Lebih baiklah kita menyesali diri sejak sekarang…” 2010: 22. Dalam cerita Kemarau Airmata, pengarang menggunakan metafora untuk menggambarkan derita dan kesedihan yang dirasakan oleh masyarakat desa karena proyek PLTA pemerintah yang akan dibangun di desa mereka. Kesedihan mereka bukan saja karena cuaca kemarau panjang yang melanda desa mereka, mengeringkan sungai dan tanah-tanah pertanian mereka, melainkan juga ganti rugi yang terlalu rendah dari pemerintah untuk proyek PLTA tersebut. Namun karena kemarau yang panjang dan air sungai Turip yang dangkal, akan sangat sulit bagi pemerintah untuk membangun bendungan sebagai bagian dari proyek tersebut. Sehingga rencana proyek tersebut urung dilaksanakan. Tentu saja hal ini menggembirakan hati masyarakat desa meski di sisi lain mereka tetap menderita karena kemarau yang panjang tersebut 2010: 39. Dalam cerita Republik Banjir, pengarang menyampaikan pandangannya tentang alam dalam hubungan manusia dan air sebagai sumber kehidupan. Air adalah berkah bagi manusia untuk menjalankan kehidupannya – Sejak lama hubungan peradaban antara orang-orang dan air melengkapi sejarah kehidupan. Air memberikan berkah. Orang-orang di bumi yang menikmatinya. Apalagi saat dahaga. Air jadi sosok impian saat berada di hamparan padang pasir terbuka. Setetes air jadi rahmat dan penentu kesinambungan kehidupan 2010: 77-78. Namun visi yang gembira terhadap manfaat air tersebut berubah menjadi pandangan skeptis ketika manusia mulai melakukan perusakan terhadap alam, deforestasi dan alih fungsi lahan yang mengikis sumber-sumber air tanah didalamnya – Keseimbangan alam terusik termasuk keseimbangan air dengan pantai dan tebingnya. Keseimbangan alam mulai digoyang. Hutan dan tumbuhan yang hidup damai sejak lama mulai diluluh-lantakkan. Padahal, disitulah air bernaung agar bisa hidup damai. Agar bisa memberikan kehidupan pada orang-orang. Kawasan perbukitan yang asri dan hijau oleh 73 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 tetumbuhan hutan, kini dijarah dan dikelupas jadi villa dan lapangan golf. Air yang terbelenggu pada akar kayu hutan mulai bebas. Kebebasan ini bagaikan kuda yang terluka sehingga air mulai beringas 2010: 78-79. Metafora yang digambarkan oleh pengarang tersebut menunjukkan bagaimana deforestasi dan alih fungsi lahan merupakan salah satu penyebab timbulnya bencana alam seperti banjir. Pengarang juga menyampaikan visi dan kritiknya tentang bencana banjir itu melalui personifikasi yang memanusiakan banjir seperti sebuah republik dengan armada manusia yang siap menyerbu – Otonomi di Republik Banjir sangat luas dan terbuka. Masing-masing republik boleh beraksi apabila situasi tak bisa ditoleransi lagi. Pemantauan terhadap pengrusakan hutan pegunungan yang menjadi markas besar dan ibukota Republik Banjir dilakukan secara seksama 2010: 80. Secara eksplisit, pengarang menyampaikan kritiknya terhadap kerusakan lingkungan dan alih-fungsi lahan dari area di kawasan Puncak, Bogor dengan menggambarkan kawasan yang semula berupa kawasan hijau dan hutan konservasi, namun kini telah dipenuhi oleh bangunan villa – serta lapangan golf. Merebaknya bangunan-bangunan villa tersebut telah membuat tanah-tanah di kawasan tersebut menjadi rawan longsor dan banjir 2010: 80-81. Dalam cerita Parit Dorba, tindakan manusia dalam mendayagunakan alam khususnya digambarkan melalui ketidakberdayaan orang-orang Melayu Sakai di bumi Riau dalam memperjual-belikan tanah-tanah ulayat nenek moyang mereka kepada para tauke dengan harga murah untuk kepentingan alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Tokoh dalam cerita tersebut Dorba bersama para lelaki Sakai yang lain telah diperdaya oleh para tauke untuk menjual tanah ulayat mereka seluas seribu hektar dengan harga murah. Saat itu Dorba dan beberapa orang Sakai diajak oleh para tauke ke sebuah tempat; ternyata tempat itu adalah sebuah diskotik. Dorba dan kawan-kawannya disuguhi minuman arak dan anggur yang mungkin dicampur pil ekstasi, hingga mereka mabuk. Dalam keadaan mabuk itu, para tauke itu menyodori mereka beberapa lembar kertas agar dicap jari. Tanpa sadar mereka telah menyetujui untuk menjual lahan ulayat mereka kepada para tauke itu 2010: 90. Gambaran tentang alih fungsi lahan dari hutan ulayat menjadi parit-parit raksasa untuk perkebunan kelapa sawit disampaikan pengarang seperti yang dikutip berikut ini: Persis di sempadan kiri, kanan dan belakang tanah perumahannya yang gundul kekuningan, Dorba menyaksikan alat berat becko menggali parit raksasa. Lebar parit itu mencapai tiga meter dan kedalamannya dua meter lebih. Parit-parit itu sengaja dibuat oleh beberapa perusahaan kehutanan yang menggarap kawasan itu untuk dibangun hutan tanaman atau perkebunan kelapa sawit. Tanah pemukiman Dorba dan suku Sakai lainnya memang sudah kian ciut. Irisannya pun tak petak lurus lagi melainkan bagai irisan kue talam yang mirip trapezium 2010: 84. Gambaran alih-fungsi lahan dari hutan ulayat orang-orang Melayu Sakai tersebut sekaligus juga menyampaikan kritik pengarang tentang fenomena alih-fungsi lahan yang menjadi faktor berkurangnya kawasan hutan lindung untuk kepentingan konservasi alam dan lingkungan. 74 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 Dalam cerita Semokel, pengarang menggambarkan upaya manusia dalam mendayagunakan alam melalui praktik semokel atau penyelundupan tradisional kayu lintas batas 2010: 167. Dalam cerita ini, tokoh utama Umang yang sudah renta dan tinggal di Teluk Beranti, di seberang Semenanjung Kembar di Riau dilukiskan sedang menonton berita di TV yang sedang menayangkan konferensi internasional tentang lingkungan COP Conference of Partnership 15 di Copenhagen. Berita konferensi itu seketika mengingatkan Umang pada masa mudanya ketika dia dan kawan-kawannya membalak kayu di hutan dan menyelundupkan kayu-kayu itu melalui sungai. Praktik semokel tersebut menjadi mata pencaharian orang-orang Melayu pada masa itu. Namun pada masa kini, pembalakan liar masih berlangsung di kawasan hutan itu dengan menjual kayu-kayu hutan itu kepada para tauke di Malaysia atau bahkan menyelundupkan hingga ke negeri Jepang atau Cina 2010: 163. Kawasan itu kini semakin gundul. Para pembalak sesudah zamannya berlalu masih terus saja melakukan penebangan kayu di kawasan hutan yang semestinya dilindungi itu. Pokok-pokok kayu semakin banyak yang meranggas 2010: 162. Gambaran hutan yang porak-poranda oleh praktik pembalakan pada masa kini dalam kutipan tersebut menunjukkan kerisauan Umang sekaligus kritik pengarang terhadap kondisi hutan yang tidak lebih baik dari masa-masa ketika Umang muda dahulu. Dalam cerita itu upaya manusia dalam mendaya-gunakan alam melalui praktik semokel tidak hanya mengambil kayu untuk memenuhi kebutuhan melainkan cenderung mengeksploitasi sumber alam di hutan untuk mendapatkan keuntungan finansial yang lebih – “Atau kayu balak itu langsung dijual lagi secara selundupan ke negeri Jepun atau Cina dengan nilai yang lebih besar” 2010: 163. Pembalakan liar itu tetap menjadi problema yang tidak kunjung usai sepanjang penampung atau pembeli kayu-kayu selundupan itu masih melegitimasi dan melegalisasi pembelian kayu-kayu hasil pembalakan itu.

b. Manusia Bersahabat dengan Alam