Pembahasan 1. Priyayi sebagai Kelompok Elit

89 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 hasil sastra Jawa modern memang berbeda dengan karya-karya pada zaman kepujanggan R.Ng. Ronggowarsita. Satra Jawa mengalami pergeseran tempat dari sastra kepujanggaan keraton menuju ke luar tembok keraton Utomo, 1993:5. Perkembangan tersebut selanjutnya disebut sastra gagrag anyar atau sastra Jawa modern. Ditegaskan oleh Ras 1979:8, bahwa bangkitnya sastra Jawa modern ditandai oleh munculnya bentuk-bentuk sastra seperti bentuk-bentuk sastra Barat, yaitu cerkak, geguritan, novel, dan drama. Sastra Jawa modern memang mengalami ketidaksinambungan dengan sastra Jawa klasik. Dikemukakan oleh Wiryamartono 1991:5, sastra Jawa modern memang meninggalkan bentuk-bentuk sastra Jawa klasik seperti macapatan, wayang, dan ketoprak, kemudian mengembangkan bentuk-bentuk sastra baru seperti disebut di atas. Di samping perbedaan tempat ada perbedaan lain berkaitan dengan para sastrawannya. Menurut Susilomurti para sastrawan keraton di bawah kendali keraton, sedangkan para sastrawan Jawa modern telah dapat menuangkan sikap sebagai individu yang bebas 1989:2. Para sastrawan keraton memang harus tunduk kepada kehendak raja, karena mereka mengabdi dengan taat kepada raja dan dihidupi oleh kerajaan. Sedangkan para pengarang sastra Jawa modern lebih mandiri. Mereka tidak berada di bawah kehendak siapa pun dan dapat menghidupi dirinya sendiri melalui hasil karyanya. Novel, merupakan salah satu hasil sastra Jawa modern yang lahir paling awal. Jenis satra Jawa modern yang lain baru muncul hampir satu dasa warsa setelah itu. Puisi Jawa modern tepatnya muncul dalam majalah Kejawen sekitar tahun 1929 Ras, 1979:20. Sedangkan cerpen muncul sekitar tahun 1935 dalam majalah Panyebar Semangat Hutomo,1975:39. Kemunculan genre novel dalam sastra Jawa modern, beberapa ahli menyebut- nyebut novel Serat Riyanto 1920 karya R.B. Sulardi sebagai tonggak kemunculan genre novel dalam sastra Jawa modern. Menurut Hutomo 1979:14 terdapat suatu gagasan yang baru dalam Serat Riyanta. Tidak berbeda dengan Hutomo, J.J. Ras juga menempatkan Serat Riyanta sebagai pembuka suatu periode baru dalam sastra Jawa modern. Menurut Ras 1979:20 Serat Riyanta merupakan buku pertama yang tidak dirusakkan oleh kecenderungan didaktik atau ajaran moral, berisi kisah dengan plot yang benar-benar bagus, dan dibangun di atas tema yang bagus pula. Perkembangan gagasan tentang priyayi, khususnya mengenai perkawinan, pergaulan, dan pekerjaan dalam tiga novel yang muncul di awal pertumbuhan sastra Jawa modern menunjukkan perkembangan yang menuju arah yang jelas. Ketiga novel tersebut salah satunya telah disebut-sebut yaitu Serat Riyanto. Kedua novel lainnya yaitu: Kirti Njunjung Drajat dan Ngulandara. Untuk menggali perkembangan gagasan yang terjadi, ketiganya akan dianalisis dengan pendekatan sosiologi sastra yang diungkapkan oleh Swingewood dan Diana Laurenson, 1972. 2. Pembahasan 2.1. Priyayi sebagai Kelompok Elit Masyarakat Jawa mengenal dua tingkatan, yaitu priyayi dan rakyat jelata. Kelompok pertama, kelompok priyayi, merupakan elit yang berkedudukan di atas rakyat jelata Niel,1984:30. Selaku kelompok yang berkedudukan di atas, priyayi 90 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 bertugas memimpin, memberi pengaruh, dan menjadi panutan bagi kelompok rakyat jelata yang terdiri dari para petani, padagang, tukang, buruh, dan lain-lain. Dalam masyarakat Jawa sebutan priyayi digunakan di wilayah gupermen dan di wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Di wilayah gupermen, priyayi adalah mereka yang bekerja sebagai pegawai di kantor-kantor pemerintah, seperti kantor kabupaten, kawedanan, kecamatan, kejaksaan, pengadilan, dan para guru sekolah Kartodirdjo,1993:10. Menurut Geertz 1989:100, para pegawai tersebut diambil dari keluarga raja- raja di Jawa. Priyayi yang berasal dari keturunan raja adalah priyayi atas. Priyayi memiliki sifat-sifat kepriyayian sebagai ciri khas kelompoknya, yang juga dicita-citakan oleh kelompok-kelompok kelas di bawahnya. Sifat-sifat kepriyayian yang merupakan pancaran dari kebudayaan keraton, yang melekat dalam diri seorang priyayi, menurut Damono 1993:205 antara lain adalah tindak-tinduk yang halus, penggunaan bahasa yang halus, sikap menahan diri, rendah hati, berbudi luhur, selalu menjaga harga dan kesucian diri, suka berkorban untuk orang lain, suka prihatin, dan tawakal. Semua itu masih dipertahankan dan disebarluaskan oleh tokoh-tokoh dalam novel-novel tahun 1950- an. Sebagian besar sifat-sifat tersebut berkaitan erat dengan peran etiket. Menurut Ali etiket memegang peranan besar dalam pergaulan priyayi Ali,1986:18. Etiket menuntut seorang priyayi untuk menyembunyikan perasaan sebenarnya dari orang lain. Etiket juga mengatur tingkah laku diri sendiri maupun orang lain sehingga tidak terjadi peristiwa memalukan yang tidak menyenangkan. Dalam perkawinan, sebagian masyarakat Jawa masih banyak yang bersifat parental, masih diatur oleh orang tua kedua- belah pihak. Apabila pihak anak mempunyai pilihan, maka pilihannya harus disetujui oleh orang tua. Sistem tersebut menurut Geertz 1983:59 merupakan suatu pertanda ketergantungan sosial dan psikologis anak kepada orang tua, status anak lebih rendah dari orang tua, dan tentang penerimaannya terhadap tanggung jawab yang harus diberikan kepada orang tua pada hari tua mereka. Ditambahkan oleh Mulder 1985:38, perkawinan yang dijodohkan oleh orang tua kebanyakan terjadi pada perkawinan pertama. Perkawinan pertama banyak yang berakhir dengan perceraian. Seorang wanita, menurut nasihat Mangkunegara I V, selain masalah bibit atau asal usul keturunan seperti yang diuraikan di atas, dalam kriteria pemilihan jodoh hendaknya ditentukan pula mengenai bebet dan bobotnya Ardani,1995:207. Bobot berkaitan dengan masalah kualitas dan kekayaan yang dimiliki oleh pihak wanita. Sedangkan bebet berkaitan dengan masalah watak turunan yang diwarisi dari orang tuanya. Perkawinan antarkeluarga priyayi sangat digemari. Menurut pengamatan Sutherland 1983:60 para bupati cenderung mengawinkan anak-anaknya dengan sesama anak bupati, terutama anak yang lahir dari isteri syah. Sedangkan anak-anak yang lahir dari isteri selir dikawinkan dengan priyayi yang berpangkat lebih rendah. Etiket atau sopan santun itulah yang mendasari dan mengarahkan pergaulan priyayi. Dengan kalimat lain yang lebih terinci Ardani 1995:187. menjelaskan sopan santun pergaulan antara lain bermuka manis dan bermata lembut, susila dalam tingkah laku, berbicara yang halus dan enak didengar, ramah-tamah dan 91 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 memperlihatkan keakraban, pandai membawa diri, merendah meskipun berpangkat tinggi, berbicara hanya menyangkut hal yang bermanfaat, sederhana dan wajar dalam tingkah laku. Priyayi cenderung bergaul dengan sesama priyayi. Pengamatan Koentjaraningrat 1984:234 menunjukkan bahwa pola umbaran, bermain bebas di luar lingkungan rumah, biasa dilakukan oleh anak-anak bukan priyayi. Anak-anak priyayi tidak biasa bermain bebas di luar rumah, berbeda dengan anak-anak petani yang bebas bermain dengan teman-temannya di luar rumah Koentjaraningrat,1984:243. Pergaulan antara pria dan wanita remaja sangat terbatas. Perkumpulan masih terpisah antara kelompok pria dan kelompok wanita. Tempat-tempat pertemuan di luar lingkungan keluarga masih langka Kartodirdjo,1993:194. Keakraban antarlawan jenis merupakan sesuatu yang harus dihindarkan. Kerja merupakan suatu kewajiban yang harus dikerjakan, untuk mencukupi kebutuhan De Jong,1976:75. Bila kerja dipandang hanya merupakan suatu kewajiban, dan hanya untuk mencukupi kebutuhan, beberapa pandangan meragukan tidak adanya semangat atau gairah dalam kerja itu sendiri. Hal ini dihubungkan dengan ungkapan-ungkapan dalam masyarakat Jawa seperti: alon-alon waton kelakon pelan-pelan asal tercapai, ana dina apa upa ada hari pasti ada nasi. Sikap santai tersebut oleh Hardjowirogo 1984:102 juga dihubungkan dengan ungkapan aja ngaya jangan memaksakan diri. Mengenai jenis-jenis pekerjaan Mulder memaparkan bahwa bekerja dengan tangan dipandang rendah dan tidak terhormat. Bertani, bekerja sebagai montir, tukang las, dan pedagang dianggap tidak pantas dilakukan oleh priyayi. Kepuasan kerja bukan terletak pada bekerja itu sendiri maupun hasil yang dapat dicapai, tetapi terletak pada nilai sosial pekerjaan itu. Seperti diuraian oleh De Jong 1976:75 pekerjaan yang dilakukan dengan tangan merupakan pekerjaan yang terletak pada urutan paling bawah. Semua pekerjaan yang dilakukan dengan tangan dianggap suatu pekerjaan yang tidak sesuai untuk dikerjakan oleh seorang priyayi.

2.2 Perkembangan Gagasan tentang Perkaw inan dalam Novel Aw al Sastra Jaw a Modern