134
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
agar tidak membumihanguskan pesantren. Utusan kiai malah dibunuh di warung Ki Badra. Dalam kepungan dan kondisi terjepit, salah satu santri berhasil membunuh Ki Badra dan
membuat pihak Japra dan Japri semakin mengamuk. Mereka melancarkan serangan ke pesantren. Pertempuran antara pihak pesantren dan jawara pun tak terelakkan. Saefudin,
anak Kiai Saefullah diperintah ayahnya melarikan diri dari pesantren. Dalam pelariannya, ia bertemu Gojali dan ayahnya. Saefudin trauma dengan kematian Ayah dan para santri.
Hingga ia memilih mengasingkan diri dari dunia persilatan. Sementara itu, Gojali merasa dikhianati oleh Sumi kekasihnya yang tiba-tiba mencintai Ki Johani. Bahkan Gojali
mengaitkan kepergian Sumi dari sisinya karena ilmu magis.
Dikisahkan pula, di sebuah padepokan di Pandeglang, Badai meminta izin ke Abah Santa untuk merantau mencari kitab Serat Cikadueun. Dia pun mengizinkan dan
memberi bekal sebuah petunjuk penting. Badai mulai berpetualang dan menghadapi banyak tantangan dari jawara yang mengincar kitab itu. Dengan ilmu bela dirinya, Badai
mampu bertahan. Di tengah perjalanan, Badai dibekali Golok Salam Nunggal oleh Abah Hasan, teman seperguruan Abah Santa. Abah Santa berpesan kepada Badai agar
menemui Kiai Kohar. Kiai Koharlah yang menyelamatkan Badai dari serangan para jawara yang mengaku sebagai anak buah Angkara. Kiai ini adalah tokoh kunci dalam pencarian
kitab Serat Cikadueun. Dia memiliki lempengan batu yang sama dengan milik Badai dan berisikan sandi penunjuk lokasi kitab tersebut. Di tengah perjalanan, Jaka yang telah
berlatih ilmu bela diri, ikut bergabung. Demikian pula dengan Sulastri, murid Abah Hasan yang diperintahkan untuk membantu Badai. Keempat pendekar yang mewakili pihak
jawara dan kiai ini mendapat serangan dari para pendekar jahat yang mengincar kitab Serat Cikadueun. Semua pihak baik jawara dan kiai beranggapan bahwa kitab itu dapat
menambah kesaktian orang yang menemukannya dan dapat melumpuhkan Angkara yang dikabarkan sakti mandraguna.
Dalam sebuah pertempuran, Kiai Kohar meninggal terkena pukulan jarak jauh. Di dusun Kadu Engang, mereka bertemu dengan kuncen Gunung Karang yang memberi
petunjuk keberadaan kitab Serat Cikadueun dan menceritakan perihal Sumur Tujuh. Sebelum menemukan kitab itu, mereka harus menemukan Sumur Tujuh. Perjalanan ini
pun diwarnai pertempuran dengan para jawara. Dalam pertempuran itulah, mereka bertemu dengan seorang jawara yang bernama Sarga yang akhirnya ikut mencari
keberadaan kitab tersebut bersama-sama. Mereka berhasil menemukan tiga buah sumur. Melalui ketiga buah sumur dan perantara Golok Salam Nunggal, mereka dapat
menemukan kitab Serat Cikadueun
4. Pembahasan
Warna lokal yang terdapat dalam
novel Jawara: Angkara di Bumi Krakatau menunjukkan kebudayaan Banten yang tersurat maupun tersirat didalamnya. Menurut
Abrams 1981:89 sastra warna lokal adalah sastra berlatar belakang daerah, berupa adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dialek, cara berpikir, dan berperasaan masyarakat. Warna
lokal tidak hanya diartikan sebagai sesuatu kedaerahan yang menggambarkan suatu dimensi keruangan atau batas geografis, tetapi juga menggambarkan ciri-ciri khusus
kultur setempat. Banten sebagai komunitas budaya inilah yang secara simbolik ditangkap oleh pengarang novel. Menurut Sutarto dalam Naila 2010:258, penelitian sastra yang
berfokus pada salah satu budaya perlu dilakukan karena dapat dijadikan sebagai salah satu sarana untuk mempelajari budaya lokal secara rinci dan bisa digunakan sebagai alat
untuk mencermati kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan kemajemukan, perbedaan, keterbelahan, ketidaksinambungan berbagai peristiwa, kemunculan berbagai
gejala yang bercampur aduk dengan berbagai macam variable yang tentunya sangat sulit dipahami dengan pendekatan kuantitatif. Warna lokal yag tergambar dari hasil analisis
data yang telah dilakukan terhadap novel Jawara: Angkara di Bumi Krakatau adalah sebagai berikut.
135
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
4.1 Bahasa
Salah satu warna lokal yang tampak dalam novel ini adalah penggunaan bahasa lokal Banten yaitu bahasa Jawa dan Sunda Banten.Penggunaan bahasa Banten pada
novel Jawara: Angkara di Bumi Krakatau ini bukan dalam bentuk kalimat atau frasa yang utuh. Bahasa Jawa Serang dan Sunda dimunculkan dalam bentuk kosakata yang
diselipkan dalam dialog para tokoh. Adapula bentuk kosakata yang sengaja dimunculkan karena penggunaan kosakata tersebut sangat khas Banten. Bahasa yang khas itu lebih
sesuai dipakai karena lebih mencerminkan budaya Banten daripada mencari padanan kata dalam bahasa I ndonesia dan membuat ciri khas Banten tenggelam. Seperti pada kutipan
berikut.
Gaya bicara mereka sompral tanpa tedheng aling-aling Zam, 2012:34. Kosakata sompral dan tanpa tedheng aling-aling ini muncul untuk menjelaskan karakter
jawara yang lugas dan tanpa basa-basi. Meskipun kosakata sompral dapat dipadankan dengan makna “berbicara sembarangan dengan bercanda”, namun usaha untuk
memadankan makna itu juga tidak mewakili makna yang sebenarnya. Apabila dipaksakan malah mengurangi makna yang akan disampaikan oleh penngarang. Demikian pula
dengan kosakata tanpa tedheng aling-aling yang merupakan padanan makna secara kias dari “keterusterangan”. Kosakata ini sebenarnya juga merupakan sifat jawara yang
terbuka pada pandangan dan pendapat orang lain. Selain itu, terdapat pula kosakata bahasa Sunda Banten. Salah satunya adalah leuwi Zam, 2012:85 yang berarti pusaran
air, jeujeur useup Zam, 2012:39 yang berarti alat pancing ikan yang terbuat dari bambu dan diraut hingga elastis.
Beberapa kosakata bahasa Sunda Banten lain yang muncul adalah rangda bengsrat 2012:87 yang berarti janda genit. Adapula yang berkaitan dengan hal magis
seperti sirep 2012:92 dan ririwa 2012:95 . I stilah khusus yang berkaitan dengan golok seperti sarangka 2012:394, ruruncang 2012:103, tonggong lempeng 2012:102,
tonggong bentik 2012:102, beuteung lempeng 2012:102, beuteung ngagayot 2012:102, nonggong munding 2012:102, dan nonggong kuya 2012:102. Kosakata
Jawa Banten yang muncul dalam novel Jawara: Angkara di Bumi Krakatau yaitu manut 2012:58, jegongan 2012:103, amben 2012:94, ngeyel 2012:497, dan sumringah
2012:433. Pengarang sengaja membubuhkan beberapa istilah lokal, agar pembaca merasakan budaya lokal Banten dalam novel tersebut. I stilah dalam bahasa Jawa dan
Sunda Banten tersebut tidak dipaksakan muncul dalam sebuah dialog atau deskripsi. Keberadaan istilah-istilah tersebut penting karena menunjukkan warna lokal Banten yang
memperkuat penyampaian cerita kepada pembaca.
4.2 Magis
Magis merupakan usaha manusia untuk memanipulasi rangkaian sebab dan akibat antara peristiwa-peristiwa yang bagi kita tidak berhubungan, dengan cara bagi kita yang
tidak rasional Keesing, 2004:96. Dalam novel Jawara: Angkara di Bumi Krakatau
terdapat beberapa hal magis yang diyakini oleh masyarakat sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak bisa dijelaskan secara logika. Pengetahuan magis yang muncul yaitu sirep.
Penyebutan sirep dalam novel ini tampak pada paragraf berikut.
Gojali memiringkan tidurnya ke kanan. Tidak lama, sudah miring ke kiri. Telentang, lalu menelungkup. Semuanya tidak mempan mengundang kantuk. Barangkali, ahli sirep pun akan
menepuk jidat beberapa kali karena kemampuannya nyata tidak berpengaruh terhadap Gojali Zam, 2012:91—92.
Selain ilmu sirep, terungkap pula warna lokal Banten yang berkaitan dengan magis yaitu guna-guna pelet dan jimat pengasihan. Hal itu terdapat pada percakapan antara
Gojali, Ki Sobri, Saefudin, dan Komar. Saat itu Gojali curiga terhadap perubahan drastis yang dialami Sumi dan keluarganya. Perihal guna-guna terungkap pada kutipan berikut.