131
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
WARNA LOKAL DALAM NOVEL JAWARA: ANGKARA DI BUMI KRAKATAU
Nur Seha, Rukmini, dan Adek Dwi Oktaviantina
Kantor Bahasa Provinsi Banten Jalan Raya Bhayangkara 145 Cipocok Jaya Serang Banten
dzihniyahoo.com, celominiyahoo.com, dan dcsunardigmail.com
Abstrak
Penelitian ini membahas mengenai warna lokal dalam novel Jawara: Angkara di Bumi Krakatau. Novel karya Fatih Zam setebal 530 halaman dan diterbitkan oleh PT. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri ini mengangkat tema mengenai jawara Banten. Hal itu menarik, karena pengarang berusaha mengembalikan citra jawara ke makna yang positif. Metode yang digunakan adalah
deskriptif kualitatif dan menggunakan teori sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Rene Wellek dan Warren. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa warna lokal yang tampak dalam novel tersebut
adalah bahasa lokal. Bahasa lokal yang digunakan dalam novel adalah Jawa dialek Serang dan Sunda dialek Banten. Selain itu, terungkap pula karakter masyarakat Banten yang ditandai oleh
hadirnya sosok kiai dan jawara yang merupakan identitas masyarakat Banten. Keberadaan kiai dan jawara digambarkan saling melengkapi. Jawara yang sering dianggap sebagai pengacau dan
berkonotasi negatif di masyarakat, dimaknai secara positif dalam novel ini, yaitu sebagai pengawal dan tentara kiai. Keahlian jawara dalam ilmu beladiri menjadi salah satu kelebihan yang
memungkinkannya mengawal seluruh aktifitas kiai dan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, kiai adalah sosok pribadi yang menjadi panutan dan rujukan masyarakat dalam
berperilaku.
Kata-kata kunci
: warna local, jawara, kiai, dan bahasa local
Abstract The Local Color of Jaw ara: Angkara di Bumi Krakatau’s Novel
This research discussed the local color in the novel entitled Jawara: Angkara di Bumi Krakatau novel. Fatih Zam’s 530 pages novel, published by PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, was using jawara banten as its theme. I t was interesting, because the author tried to restore the image of jawara itself into a positive meaning. The method used in this
research was qualitative and descriptive literature using sociological theory by Rene Wellek and Warren. The results of the discussion of the research have shown that the
local color which appeared in the novel is the local language. Local languages which are used in the novel are Javanese using Serang dialect and Sundanese dialect of Banten.
Besides, it also revealed the character of society of Banten which is characterized by the presences of kiai and jawara as the identity of Banten. The presences of kiai and jawara
were described as a mutual symbiosis giving complement to each other. Jawara, who is often regarded as a troublemaker and seen as a negative connotation in the society,
interpreted positively in this novel, that is, as the guards and the soldiers of the kiai. The expertise of jawara in the martial arts became one of the excess that make them enable
to escort all the activities of the kiai and society in their daily life. Meanwhile, the kiai is a figure who became a role model and the referral for the community to behave in their life.
Key w ords
: local color, jawara, kiai, and local language
1. Pendahuluan
Kiai dan jawara merupakan salah satu bentuk budaya lokal di Banten. Dua entitas khas Banten ini menarik untuk dikaji karena dikaitkan dengan perjuangan pahlawan
132
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
masa lalu, perjuangan membela kebenaran, serta berkaitan dengan budaya kekerasan di masyarakat Banten. Khusus jawara, sosok ini sering dikaitkan dengan mitos setempat
yang sarat dengan unsur mistik. Pemaknaan sosok jawara pada masa kini berkembang menjadi alat untuk memanipulasi mitos demi kepentingan politik. Menurut Miftahul Falah
S.S., ada empat penafsiran mengenai asal-usul istilah jawara. Penafsiran pertama, istilah jawara memiliki makna sebagai jagoan. Jago dalam mengadu ayam dan hebat dalam
bela diri pencak silat.
Penafsiran kedua, jawara merupakan pasukan khusus militan pada zaman pemerintahan Kesultanan Banten, Maulana Hasanuddin. Penafsiran ketiga, dimulai
dengan dibentuknya perkumpulan Orok Lanjang oleh golongan pemuda di Distrik Menes Pandeglang, kemudian sekarang berkembang menjadi tukang pukul. Penafsiran keempat,
istilah jawara muncul ketika terjadi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda abad 19 yang digerakkan oleh kaum ulama. Penafsiran kelima, istilah jawara muncul
sebagaimana
yang diungkapkan RM
Taufik Djajadiningrat,
tatkala dimulainya
pembangunan Jalan Raya Pos Deandles 1808-1811 antara Anyer-Panarukan. Pembangunan jalan yang sangat merugikan rakyat ini menimbulkan pemberontakan di
kalangan para pendekar persilatan, dikenal dengan peristiwa Perang Pertama http: silatindonesia.com 2009 03 menapaki-jejak-sang-jawara-entitas-
E2 80 9Csubculture-of-violence E2 80 9D-masyarakat-banten-dan-jawa-bagian- barat .
Dari kelima penafsiran di atas, terdapat penafsiran jawara dalam pemaknaan positif maupun negatif. Dalam perkembangannya, menurut sejarawan Taufiq Abdullah,
jawara pada saat ini memanfaatkan psikologi ketakutan yang berakar kuat di masyarakat, yaitu memitologisasikan tradisi keulamaan seraya mengaktualisasikan tradisi kejawaraan.
Jawara menjadi
dinasti politik
yang bermodalkan
mitos masa
silam http: endibiaro.blogdetik.com ?p= 346. Jawara merupakan perhatian utama dalam
novel Jawara: Angkara di Bumi Krakatau karya Fatih Zam. Namun, terdapat pula aspek budaya lokal lain yang tampak pada novel tersebut seperti pemilihan lokasi Gunung
Karang di kabupaten Pandeglang, Banten sebagai latar tempat novel ini. Pemahaman budaya lokal sebagai konsep cipta pengarang pada keadaan sosio-geografi ini merupakan
daya tarik tersendiri.
Telaah karya sastra mendudukkan teks sastra sebagai cerminan masyarakat berusaha menggambarkan lokalitas jawara yang merupakan fakta sosial budaya yang
terjadi pada kehidupan masyarakat Banten. Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa karakteristik dan warna lokal yang terdapat dalam novel Jawara: Angkara di Bumi
Krakatau memiliki kekhasan tersendiri yang menarik untuk diteliti. Penelitian ini berfokus pada warna lokal dalam novel karya Fatih Zam ini. Dan sejauh pengamatan penulis,
penelitian warna lokal novel Jawara: Angkara di Bumi Krakatau belum dilakukan.
Judul penelitian yang dapat dijangkau penulis mengenai lokalitas Banten yang pernah dilakukan sebelumnya adalah sebagai berikut. Representasi Jawara dalam Cerpen
“Pembelaan Bah Bela” karya Moh. Wan Anwar Muhyidin, 2008, penelitian ini menyimpulkan bahwa jawara memiliki kultur dominan di masyarakat sehingga jawara
dipandang memiliki nilai, norma, dan pandangan hidup yang khas. Nilai dan Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Banten Seha, 2010, penelitian ini hanya mengambil empat
cerita rakyat Banten sebagai datanya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa cerita Mesjid Terate Udik, Legenda Gunung Pinang, Legenda Batu Kuwung, dan Pangeran Pande
Gelang mengandung nilai moral kejujuran, kesabaran, kerendahan hati, kerja keras, dan kedermawanan. Selain itu, keempat cerita tersebut juga mengandung kearifan lokal yang
berkaitan dengan pelestarian objek-objek wisata, penanaman kejujuran di atas sumpah, dan penghormatan terhadap ibu. Tasbih Dan Golok: Studi tentang Kharisma Kyai
Jawara di Banten Baedhowi, 2002, penelitian ini memaparkan tentang kedudukan dan peran kiai dan jawara sebagai elit sosial.
133
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
2. Kerangka Teori