140
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
Di rumah Abah Santa, Badai dan anak kampung lainnya belajar mengaji. Tidak hanya mengaji, di sana juga diajarkan dasar-dasar ilmu bela diri. Kata Abah Santa, dunia dan akhirat harus seimbang.
Yang kuat bukan hanya dalamnya saja, luarnya pun harus berisi. Orang yang kuat ilmu agama tetapi lemah dalam olah kanuragan, akibatnya akan dicemooh dan diganggu orang ketika berdakwah. Pun
kalau hanya luarnya saja yang berisi, sementara dalamnya kerontang, hanya akan menjadi manusia semena-mena. Keseimbangan itulah prinsipnya Zam, 2012:32.
Karakter fisik lainnya yang dapat dilihat adalah golok Banten. Lelaki Banten adalah lelaki jantan yang tidak terpisah dengan golok di pinggangnya. Sebenarnya di tempat lain
pun dikenal peralatan sejenis golok, seperti rencong di Aceh dan badik di Palembang, Lampung, dan Makasar, Dayak dengan mandaunya, dan Madura dengan caroknya.
Budaya daerah-daerah
tersebut—dengan perkakas
senjatanya masing-masing—
berimplikasi pada watak dan karakter yang khas dan cenderung keras. Tipikal ini memang tidak bisa dirubah, karena kearifan lokal yang dimiliki masing-masing daerah
tersebut telah hidup sejak lama. Keberadaan golok dan hubungannya dengan konvensi masyarakat Banten terdapat pada kutipan berikut.
“Apa kau tidak memiliki golok, Badai?” Badai menggeleng.
“Apa kau pemuda Banten?” Badai mengangguk.
“Aneh sekali kalau kau tidak punya golok. Setiap lelaki Banten sepengetahuanku tidak pernah terpisah dari golok di pinggangnya. Kepemilikan atas golok menandakan kejantanan.” . . .
“Golok dibuat tidak hanya untuk alat rumah tangga atau senjata. Ada nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.” . . .
Setiap golok memiliki sarung atau lazim disebut sarangka. Golok dan sarangka-nya ibarat lelaki dan perempuan, berpasangan. Golok yang memakai sarangka akan terlihat sangat bagus. Dan yang lebih
penting setiap golok memiliki sarangka yang pas. Tidak ada golok yang sarangka-nya kepanjangan atau kependekan. Setiap sarangka harus mengikuti bentuk goloknya. Golok dan sarangka adalah
satu kesatuan makna. Begitu pula halnya dalam memilih pasangan. Harus pas. Harus klop,” kali ini Abah Hasan tidak lupa memulas penjelasannya dengan senyum.
Zam, 2012:120.
4.4. Pesantren
Dengan julukan kota SEJUTA SANTRI SERI BU KI AI , Banten memiliki banyak pesantren yang menjadi sentra pendidikan Islam bagi masyarakat Banten khususnya dan
luar Banten pada umumnya. Sejarah I slam menunjukkan bahwa I slam menyebar melalui pengajian dan penghafalan ayat-ayat suci Alquran. Sebagai kelanjutan tradisi penyebaran
I slam tersebut, maka setiap santri yang telah mempunyai ilmu agama tertentu akan segera mendirikan musala langgar. Di situlah anak-anak desa dididik membaca Alquran.
I nilah bentuk sistem pendidikan masyarakat yang berkembang sejak di Timur Tengah hingga Jawa, yaitu melalui langgar dan masjid, yang kemudian berkembang menjadi
pesantren. Betapa pun sederhananya sistem pendidikan pesantren, namun pendidikan tradisional ini sangat berperan besar hingga dewasa ini Supriatna, 2011:213. Pesantren
sebagai tempat pembelajaran dan penyebaran Islam sangat berperan dalam pembentukan karakter yang berlandaskan I slam. Di dalam novel Jawara: Angkara di Bumi
Krakatau, terdapat beberapa tokoh yang hidup dalam lingkungan pesantren. Alur novel mengisahkan liku-liku kehidupan yang berkaitan dengan sosok kiai, santri, dan jawara.
Penokohan serta pembentukan karakternya sangat bercirikan I slam, terutama dalam konsep penguasaan dan penyerahan diri terhadap Allah swt yang diselipkan dalam
beberapa dialog. Salah satunya seperti kutipan di bawah ini.
“Apa pesan dari Abah Hasan?” Sulastri menghela napas beberapa kali. Kemudian berujarlah dia, “Hanya penyerahan diri yang total
kepada Gusti Allah.” Zam, 2012:483
141
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
Menurut Geertz dalam Keesing 2004:94, agama adalah sistem simbol yang berfungsi untuk menanamkan semangat dan motivasi yang kuat, mendalam, dan
bertahan lama pada manusia dengan menciptakan konsepsi-konsepsi yang bersifat umum tentang eksistensi, dan membungkus konsepsi-konsepsi itu sedemikian rupa dalam
suasana faktualitas sehingga suasana dan motivasi itu kelihatan sangat realistis. Agama menurut Cholil dalam Supriatna 2011:201 adalah teratur, beres dengan tepat dapat
dikatakan suatu “peraturan”. Menurut Frazer 2011 :203, agama sebagai cara untuk mengambil hati dan mencanangkan kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, dan
menurut kepercayaan adalah membimbing dan mengendalikan nasib kehidupan manusia. Masyarakat Banten sebagian besar memeluk I slam. Simbol keislaman yang tampak pada
novel Jawara: Angkara di Bumi Krakatau yaitu keberadaan pesantren sebagai tempat menimba ilmu agama I slam. Seperti pada kutipan berikut.
Gemuruh suara memenuhi gendang telinga ketika Janari sampai di Pondok At-Ta’awwun. Suara itu adalah suara puluhan atau mungkin ratusan santri yang tengah mengaji. Ada tiga bangunan utama
yang dia jumpai, sebagaimana bangunan di pondok pesantren pada umumnya. Satu bagian langgar yang cukup besar, satu kobong, dan satu bangunan utama di mana pemimpin pesantren dan
keluarganya tinggal Zam, 2012:502.
Penguasaan golok Salam Nunggal dan usaha untuk mencari kitab Serat Cikadueun berkaitan erat dengan prinsip penyerahan diri dan tawakal kepada Allah swt. Hal itu juga
tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kuat I slam yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat. Dalam bab kitab Serat Cikadueun, penjelasan mengenai
hubungan antarelemen dalam ritual salat diurai Fatih Zam dengan menambahkan kesan- kesan fiksi seperti golok Salam Nunggal milik Badai yang memiliki kekuatan sebagai
perantara untuk menemukan kitab tersebut. Secara dramatis, golok tersebut tiba-tiba bergetar ketika ditancapkan ke tanah dan membuat posisi seakan-akan sedang bersujud
sebagai simbol penyerahan total kepada Sang Maha Esa. Dalam posisi seperti bersujud, golok itu mengarah ke langgar yang ada di puncak gunung Karang. Langgar atau surau
kecil sebagai tempat ibadah umat I slam. Melakukan kegiatan salat sebagai wujud ketundukan, kepasrahan, dan penyerahan total hamba kepada Yang Mahatunggal. Dalam
langgar itu ada pangimaman atau tempat imam saat salat berjamaah yang menjadi akhir pencarian Badai dan kawan-kawan, karena di sanalah kotak tempat kitab tersebut
tersembunyi Zam, 2012:487—490.
Pada novel ini, peran kiai sangat besar yaitu sebagai pemuka agama I slam. Selain sebagai pemimpin pesantren, kiai juga berperan dalam kehidupan sosial. Pada umumnya,
kepemimpinan pesantren terpusat pada seorang kiai. Kiai mengatur irama perkembangan dan keberlangsungan kehidupan pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu,
kharismatik, dan keterampilannya. Sebagai unsur yang sangat dominan dalam sebuah pesantren, segala keputusan dan kebijakan pesantren ada di tangan kiai. Pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam bagi pemuda Banten adalah tempat mengkaji ilmu agama untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat kelak. Gambaran
pesantren ada dalam bab Epilog novel ini, dimulai ketika Janari memasuki pondok pesantern At-ta’awun dan disambut oleh suara puluhan santri yang sedang mengaji.
Pesantren tersebut memiliki tiga bangunan utama sebagaimana bangunan di pesantren umumnya. Satu bangunan langgar yang cukup besar, satu kobong atau asrama para
santri, dan satu bangunan utama tempat pimpinan pesantren dan keluarganya tinggal. Kiai Sohib, tokoh dalam novel ini digambarkan sebagai sosok yang sangat bersahaja
dengan gamis putihnya yang panjang hingga ke mata kaki dan tangan kanannya yang selalu memegang tasbih. Dengan kemampuan batinnya, Kiai Sohib memiliki kemampuan
berkomunikasi secara batiniah dengan kiai lain tanpa harus bertatap muka. Dalam kondisi genting perihal keberlangsungan hidup pesantrennya, Kiai Sohib mengutus tokoh Janari
untuk menyelidiki dan mencari tahu kebenaran tentang perilaku kesewenang-wenangan aparat desa yang dibekingi oleh para jawara dan berpotensi menimbulkan pertumpahan
142
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
darah antara jawara dan santri. Demi tujuan itulah Janari menemui pimpinan pesantren lainnya, yaitu Kiai Sobar Zam, 2012:2—3.
4.5. Representasi Kondisi Geografis Banten