154
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
HETERONORMATI VI TAS DALAM NOVEL LELAKI TERI NDAH KARYA
ANDREI AKSANA
Prima Hariyanto
Kantor Bahasa Provinsi Bangka Belitung Jln. Letkol Saleh Ode 104, Kacangpedang, Pangkalpinang
No. Ponsel: 0817811525, E-mail: patriyawhuragmail.com
Abstrak
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi adat ketimuran, masyarakat I ndonesia juga mengamini nilai-nilai heteronormativitas. Homoseksual—yang tidak dapat dimungkiri telah ada sejak
dahulu—dianggap keluar dari nilai tersebut. Pelakunya dianggap melawan takdir dan mendapat diskriminasi bahkan penolakan dari masyarakat. Kurangnya informasi mengenai seksualitas,
terutama homoseksualitas, semakin menyudutkan kaum homoseks sehingga terciptalah stigma terhadap mereka. Homoseks dianggap immoral karena seksualitasnya yang non-normatif. Hal-hal
tersebutlah yang menyebabkan ketidakadilan terhadap kaum minoritas seksual. Sastra sebagai ekspresi sebuah masyarakat mencoba mengungkapkan hal tersebut. Menurut Luxemburg dkk.
1984: 23, sastra dianggap sebagai suatu gejala sosial sehingga sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu. Oleh karena
itu, beberapa karya sastra mencoba membicarakan isu homoseksualitas untuk memperlihatkan kehidupan homoseks yang selalu mendapat label negatif.
Dalam makalah ini, dibahas mengenai isu heteronormativitas yang selalu bersinggungan dengan isu homoseksualitas dalam novel Lelaki Terindah karya Andrei Aksana. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ditemukan unsur-unsur heteronormativitas yang dipertentangkan dengan homoseksualitas di dalam novel tersebut.
Kata-kata kunci
: heteronormativitas, seksualitas, heteroseksual, homoseksual, gay
1. Pendahuluan
Sejak masa Reformasi dan turunnya rezim Orde Baru yang terjadi pada tahun 1998, perkembangan yang terjadi di I ndonesia tidak hanya di bidang politik, tetapi juga di
bidang sastra. Semangat Reformasi menuntut adanya kebebasan untuk menyuarakan pendapat individu yang selalu dibungkam dan adanya “pemasungan kreativitas” pada
masa Orde Baru. Hal inilah yang membuat sifat dari sastra pasca-Reformasi bebas dan demokratis. Pada masa inilah terjadi pembebasan kreativitas sastra. Karya-karya sastra
yang sebelumnya tidak dapat diterbitkan secara terang-terangan pada masa Reformasi mulai muncul tanpa takut akan disensor atau ditarik dari peredaran.
Reformasi politik yang terjadi sejak 1998 ini banyak melatarbelakangi lahirnya karya-karya sastra baik puisi, prosa, maupun drama, yang kebanyakan merefleksikan
keadaan sosial politik serta kritik terhadap keadaan bangsa I ndonesia pada saat itu. Sejak Reformasi 1998, banyak muncul penulis dalam dunia sastra I ndonesia, terutama
perempuan penulis. Penulis-penulis tersebut mulai banyak menulis tentang kesetaraan gender, seksualitas, maupun hal-hal lain yang dianggap tabu. Salah satu hal yang
dianggap tabu adalah tema homoseksual. Ketabuan tersebut disebabkan adanya nilai-nilai heteronormativitas yang dijunjung tinggi dalam masyarakat I ndonesia.
Nilai-nilai dalam heteronormativitas telah mengalami pelanggengan bahkan telah menjadi hegemoni sehingga mereka yang tidak menganut norma tersebut menjadi kaum
marginal dan rentan terhadap diskriminasi. Heteronormativitas menuntut orang untuk menjadi heteroseksual sehingga mereka yang bukan heteroseks dan tidak berorientasi
155
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
pada reproduksi, seperti masturbasi dan homoseksual, menjadi korban penindasan. Selain itu, norma ini juga menuntut kesesuaian antara jenis kelaminm identitas gender, dan
identitas seksual. Nilai-nilai tersebut pulalah yang menyebabkan pengarang enggan mengangkat tema homoseksual dalam karyanya. Akan tetapi, semangat kebebasan
pasca-Reformasi mulai mengikis keengganan tersebut. Hal ini juga didukung dengan maraknya pengungkapan fenomena homoseksual ke ruang publik. Menurut situs
http: www.goodreads.com, terdapat sembilan belas novel dan kumpulan cerpen I ndonesia yang mengangkat atau menyinggung tema homoseksualitas, seperti Gerhana
Kembar Clara Ng, Cinta Tak Berkelamin Andy Stevenio, Pria Terakhir Gusnaldi, Garis Tepi Seorang Lesbian Herlinatiens, Rahasia Bulan Is Mujiarso, Kembang Kertas Eni
Martini, Sanubari Jakarta Laila Lele Nurazizah, Club Camilan Bella Widjaja, dan sebagainya.
Salah satu pengarang yang menulis tema tersebut adalah Andrei Aksana. Dalam novelnya, Lelaki Terindah, Aksana menggambarkan bagaimana kisah cinta dan
romantisme sepasang lelaki, Rafky dan Valent. Kisah cinta seperti ini kebanyakan ditentang oleh masyarakat. Sangat sedikit yang mau mengerti dan menerima keadaan
seperti ini, bahkan pelakunya pun merasa bersalah dan tidak menerima keadaan mereka sehingga tak jarang mereka depresi tanpa diketahui orang lain karena berusaha
menutupinya. Mereka takut dengan stigma masyarakat yang mengecap mereka sebagai pendosa yang tak layak bergaul dengan masyarakat dan menganggapnya sebagai
penderita gangguan jiwa. Belum lagi konsekuensi lain, seperti diskriminasi dan ketidakadilan, yang harus mereka terima. Akhirnya, sebagian besar memilih untuk
menyembunyikan orientasi seksualnya atau melakukan penyamaran dengan berpura-pura sebagai heteroseks. Hal ini, salah satunya, disebabkan oleh nilai heteronormativitas yang
berakar di masyarakat. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai isu heteronormativitas yang selalu bersinggungan dengan isu homoseksualitas dalam novel
Lelaki Terindah.
2. Metode Penelitian