34
manfaat, menjaga dari kemudaratan karena maslahah manusia terdiri dari perkara- perkara  dar
ȗriyyât,  hâjiyyât,  dan  tahsîniyyât,  maka  jika  perkara-perkara  ini terjaga,  akan  terlaksana  pula  maslahah  mereka.  Bukti  bahwasanya  maslahah
manusia  tidak  terlepas  dari  tiga  perkara  ini  adalah  perasaan  dan penglihatanpengamatan, karena maslahah setiap diri manusiasecara keseluruhan
terdiri  dari  perkara-perkara  dar ȗriyyât,  hâjiyyât,  dan  tahsîniyyât,  seperti
kebutuhan  dar ȗriyyât  mengenai  tempat  tinggal  manusia  yang  melindungi  dari
panasnya matahari, lalu  kebutuhan  hâjiyyât berupa jendela  yang bisa dibuka dan ditutup sesuai keperluan, dan tahsîniyyât yaitu dengan menghias, dan menyiapkan
perangkat-perangkat untuk istirahat.
48
c. Muhammad Ab
ȗ Zahra
Menurutnya,  maslahah  yang  hakiki  yang  diinginkan  oleh  Islam  adalah maslahah  yang  tetap  dalam  hukum-hukum  Islam,    yang  disebutkan  di  dalamnya
nas-nas  dari  al-Quran  dan  Sunnah,  serta  yang  serupa  untuk  kemaslahatan  yang mengandung di dalamnya nas-nas, dan semua maslahah yang sesuai dengan sudut
pandang  nas-nas  adalah  memeliharamenjaga  kelima  perkara  yaitu  agama,  jiwa, harta, akal dan keturunan, karena kehidupan manusia di dunia terdiri dari kelima
perkara  ini,  dan  tidak  sempurna  kehidupan  manusia  kecuali  dengan  menjaga kelima  perkara  tersebut,  dan  kemuliaan  manusia  terdapat  di  dalam
pemeliharaannya.
49
48
.    Abd  Al-Wahâb  Khallâf,    Ilmu  Us
ȗ
l  al-Fiqh,  T.tp.,  Dar  al-Qolam,  1978,  Cet.  Kedua Belas, h. 199.
49
.  Imâm  Ab ȗ  Zahra,  Târîkh  al-Madzâhib  al-Islâmiyah  fi  al-Siyâsah  wa  al-Aqoidi  wa
Târîkh al-Madzhab al-Fiqhiyyah, juz 1, T.tp., Dar al-Fikr al- „Arabi, 1989 h. 308.
35
Selain  dari  ketiga  pendapat  ulama  di  atas,  ada  pendapat  al-Syâ fi‟î tentang
maslahah  dalam  kaitannya  dengan  penetapan  hukum  Islam.  Al- Syâfi‟î  tidak
memasukan  maslahah  ataupun  al-  maslahah  al-mursalah  dalam  urutan  al-bayân sumber penjelasan hukum sehingga dapat dipahami bahwa ia tidak menganggap
maslahah sebagai dasar hukum yang berdiri sendiri. Dalam berbagai pernyataan, al-
Syâfi‟î  sangat  menekankan  keterikatan  setiap  hukum  kepada  kabar,  yakni Kitab,  Sunnah,  Ijmâ
‟, dan Qiyas.  Dengan pandangan bahwa syariah  Islam telah lengkap  dan  al-Quran  merupakan  tibyan  penjelasan  bagi  segala  sesuatu,  al-
Syâfi‟î tidak menerima kemungkinan adalanya maslahah yang tidak terselesaikan dengan  nas,  baik  secara  langsung  maupun  melalui  ijtihad  yaitu  qiyâs.
50
Namun menurut  para  u
lama  Syafi‟iyah,  Imâm  al-Syâfi‟î  tidak  menolak  pertimbangan maslahah  dalam  ijtihad,  sepanjang  maslahah  itu  diperoleh  dari  dan  diakui  oleh
nas dan ijmâ ’, meskipun hanya pada jenisnya, tetapi ia tidak menerima maslahah
yang sama sekali tidak mendapatkan pengakuan syarak.
51
Dengan kata lain dari ketiga pendapat di atas dapat dipahami bahwa esensi maslahah  itu  ialah  terciptanya  kebaikan  dan  kesenangan  dalam  kehidupan
manusia  serta  terhindar  dari  hal-hal  yang  bisa  merusaknya.  Namun  demikian, kemaslahatan  itu  berkaitan  dengan  tatanan  nilai  kebaikan  yang  patut  dan  layak
yang  memang  dibutuhkan  oleh  manusia.
52
Serta  tidak  ada  keraguan  di  setiap
50
. Lahmudin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’I, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2001, Cet. Pertama,  h.128.
51
. Ibid, h.135.
52
. Romli SA, Muqâranah Madzâhib fî al- Us
ȗ
l, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999, Cet. Pertama, h.158.
36
penelitian,  bahwasanya    hukum-hukum  syariah  Islamiyah    didasari  dengan penjagaanpemeliharaan kemaslahatan para mukallaf.
53
B. Penerapan Maslahah