Rekomendasi MUI terhadap Pemilihan Umum menurut teori Maslahah al-Syathibi

(1)

REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILIHAN UMUM MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Moehammad Abdul Aziz NIM: 1110043100012

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2015 M/1437 H


(2)

ii

REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILIHAN UMUM MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Moehammad Abdul Aziz NIM. 1110043100012

Di bawah Bimbingan:

Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA. NIP: 197608072003121001

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2015 M/1437 H


(3)

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILIHAN

UMUM MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ” telah diajukan dalam

sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Perbandingan Mazhab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.

Jakarta, 15 Desember 2015 Mengesahkan

Dekan

Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. NIP. 196912161996031001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si ( ... )

NIP. 197412132003121002

Sekretaris : Hj. Siti Hanna, S. Ag, Lc, MA ( ... ) NIP. 197402162008012013

Pembimbing I : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA. ( ... ) NIP. 197608072003121001

Penguji I : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A ( ... ) NIP. 194512301967122001

Penguji II : Dr. H.Muhammad Taufiki, M.Ag ( ... ) NIP. 1965511191998031002


(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu pernyataan memperoleh gelar sarjana strata 1 di Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 03 Rabi‟ al-Awwal 1437 H

15 Desember 2015 M

Moehammad Abdul Aziz 1110043100012


(5)

v ABSTRAK

REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILIHAN UMUM

MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ adalah skripsi hasil karya Moehammad Abdul Aziz, NIM 1110043100012, pada konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih, Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015 M/1436 H.

Skripsi ini bertujuan untuk meneliti segi maslahah dalam Fatwa MUI

tentang Pemilu menurut teori maslahah al-Syâthibî, yang mana beliau

berpendapat agar memeperhatikan kemaslahatan duniawi dengan tidak mengesampingkan kemashlahatan ukhrawi. Selanjutnya, penulis membandingkan

dengan review studi terdahulu yang membahas mengenai golput dan sistem

pemilu dari tahun 1955 sampai dengan masa orde baru. Sebagai pembeda, penulis

lebih menekankan kepada pembahasan maslahah yang terdapat dalam

rekomendasi MUI ini.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menekankan kualitas data. Pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah deskriptif-analisis yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan cara mengumpulkan data,

menyusun, mengklasifikasikan, menganalisa, mengevaluasi, dan

menginterpretasikannya. Pengumpulan data dengan kajian kepustakaan dari berbagai buku, artikel, berita dan literatur yang dipandang mewakili dan berkaitan dengan objek penelitian.

Hasil penelitian menunjukan adanya relevansi antara teori maslahah

al-Syâthibî dengan maslahah yang ada dalam fatwa MUI tentang pemilu. Yaitu

sama-sama membahas kemaslahatan dunia dan akhirat, maslahah dunianya

merupakan idealnya seorang pemimpin dan maslahah akhiratnya adalah

ketakwaan serta keimanan seorang pemimpin.

Kata kunci : Fatwa MUI tentang Pemilu, teori maslahah al-Syâthibî Pembimbing : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA


(6)

vi

ميحّرلا نمحّرلا ها مسب

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, puji serta syukur penulis ucapkan dan panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi, Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan kemudahan, sehingga dengan izin-Nya Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat beserta salam penulis haturkan kepada baginda Rasulullah

SAW, beserta keluarga dan sahabatnya. Allâhumma salli wa sallim wa bârik

‘alaihi.

Dan penulis juga mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung penulis baik langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada :

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Ketua Program Studi

Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum dan Ibu Siti Hanna Lc. M. Ag selaku Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab.

3. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A. Selaku dosen pembimbing yang

telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, serta memberikan arahan dalam membimbing penyusunan skripsi ini.

4. Bapak dan ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan

ilmu kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat dan bapak dan ibu selalu mendapat pahala serta rakmat Allah SWT.


(7)

vii

5. Seluruh staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, staf perpustakaan

Sekolah Pascasarjana, dan staf perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Ungkapan terima kasih, yang mungkin tidak bisa penulis ungkapkan dengan

kata, kepada kedua orang tua penulis: Ayah Saerozi dan Ibu Suparmi. Dan juga kepada adik tercinta Siti Aulia Musyayyadah. Kalian yang terbaik.

7. Teman-teman kelas PMF A 2010, yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu.

8. Teman-teman Asatidz/dzah Pondok Pesantren Daarurrahmah, dan khususnya

Ust Yudi. Lc, Ust Veri Rosyadi, Ust Rio Purnomo, Ust Rivan M Arifin, saudara Saifullah, Fakhri, Wahyudin A dan Ibnu M, Iin S kalian seperti saudara.

9. Teman-teman KKN SOS 2013, atas pengalaman berharga bersosialisasi

dengan warga selama satu bulan dan terimakasih atas segala tawa dan semangatnya.

10.Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan untuk para pembaca yang budiman, meskipun masih terdapat banyak kekurangan dalam isi maupun penulisan skripsi ini. Dan semoga amal baik kita diterima oleh Allah SWT. Amiin.

Jakarta, 04 Safar 1437 H 17 November 2015 M


(8)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D.Review Studi Terdahulu ... 7

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II SEKILAS TENTANG MUI DAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA ... 12

A.Sekilas Tentang MUI ... 12

1. Sejarah MUI ... 13

2. Produk MUI ... 15

B.Pemilihan Umum ... 18

1. Pengertian Pemilu ... 19

2. Tujuan Pemilu ... 21


(9)

ix

4. Gambaran secara Umum Pemilu di Indonesia ... 27

BAB III MASLAHAH DALAM PANDANGAN AL-SYȂTHIBȊ ... 31

A. Pengertian Maslahah ... 31

1. Pengertian secara Etimologi ... 31

2. Makna Terminologi ... 32

B. Penerapan Maslahah ... 36

C. Maslahah bagi al-Syâthibî ... 38

D. Pembagian Maslahah ... 43

BAB IV ANALISIS TEORI MASLAHAH Al-SYȂTHIBȊ TERHADAP REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILU ... 56

A. Rekomendasi MUI Tentang Pemilihan Umum ... 56

1. Teks Tentang Pemilu ... 56

2. Dasar Penetapan ... 57

B. Relevansi Fatwa MUI dengan Teori Maslahah al-Syâthibî ... 61

BAB V PENUTUP ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 73


(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Metode penerapan hukum Islam, secara sederhana, dapat diartikan sebagai cara-cara menetapkan, meneliti, dan memahami aturan-aturan yang bersumber dari nas-nas hukum untuk diaplikasikan dalam kehidupan manusia, baik menyangkut individu maupun masyarakat. Metode ini terkandung dalam suatu

disiplin ilmu yang dikenal dengan ilmu usȗl al-fiqh, yaitu pengetahuan yang

membahas tentang dalil-dalil hukum secara garis besar (ijmâl). Cara

pemanfaatannya, dan keadaan orang yang memanfaatkannya, yakni mujtahid.1

Salah satu konsep dalam syarak ialah usȗl al-fiqh yang mana sebagian besar

pembahasannya adalah kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan lafadz atau arti dari kata seperti signifikasi amar adalah wajib dan signifikasi larangan adalah

haram.2 Dan usȗl al-fiqh, atau dasar-dasar hukum Islam, menguraikan tentang

indikasi-indikasi dan metode deduksi hukum-hukum fikih dari sumber-sumbernya. Indikasi-indikasi ini terutama ditemukan dalam al-Quran dan Sunnah

yang merupakan sumber pokok dari syariah.3 Di antara materi yang termasuk

dalam fikih adalah menyelami tujuan syariah, mengetahui rahasia-rahasia serta

1

. Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam Membongkar Konsep aL-Istiqra’

aL-ma’nawi al-Syâthibî. (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media, 2008), h. 79.

2

. Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawâ’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Radar Jaya Offset 2009, Cet. kedua), h. 64.

3

. Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, Penerjemah Noorhaidi, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar 1996, Cet. Pertama), h. 1.


(11)

2

illah-„illah (sebab)-nya, mengaitkan antara satu bagian dengan yang lain,

mengembalikan cabang-cabang pada aslinya, mengembalikan pula bagian-bagian terkecil pada keseluruhannya, tidak berhenti pada zahirnya saja, dan tidak hanya

terikat pada arti tekstualnya.4

Mengenai sumber hukum Islam, diriwayatkan al-Baihaqi, bahwa Umar r.a pernah mengirim surat intruksi kepada Syuraih yang isinya antara lain, “Apabila engkau menghadapi suatu masalah, sementara masalah itu terdapat dalam kitab Allah, maka putuskan masalah itu dengannya, dan jangan seorang pun dapat memalingkan keputusanmu darinya. Apabila masalah itu tidak dapat dalam kitab Allah, tetapi terdapat dalam Sunnah Rasulullah SAW, maka putuskanlah masalah itu dengannya. Jika masalah itu tidak terdapat dalam Kitab Allah juga Sunnah Rasulullah SAW, maka putuskanlah dengan apa yang telah diputuskan oleh imam-imam (para pemimpin) yang mendapat petunjuk. Jika tidak dalam Kitab-Nya, Sunnah Rasulullah SAW maupun dalam keputusan para imam yang mendapat petunjuk, maka anda bisa memilih di antara dua alternatif. Pertama, berijtihad dengan pendapatmu. Kedua, meminta pertimbangan kepadaku. Aku yakin anda meminta pertimbangan kepadaku tentu hanya akan membuat anda

lebih selamat.5”

Dari Hadis di atas dapat disimpulkan, bahwasanya sumber hukum Islam mulai dari al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW, lalu ada yang disebut dengan ijtihad, metode inilah yang kebanyakan digunakan oleh ulama fikih dalam

4

. Yusuf Qardawî, Fikih Prioritas Urutan Amal yang Terpenting dari yang Penting,

Penerjemah Moh. Nurhakim (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 80. 5

. Muhammad Abdul Aziz al-Halawi, Fatwa dan Ijtihad Umar Bin Khatab Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fikih, (Surabaya: Risalah Gusti, 2009, Cet. Pertama), h. 9.


(12)

3

menetapkan suatu hukum. Dalam berijtihad, seorang mujtahid terkadang menyampaikan bunyi lafaz dalam teks-teks syariah dan memberinya pengertian baru, meskipun asing bagi lafaz itu. Cara ini disebut dengan metode maknawi,

suatu cara yang banyak digunakan ahli qiyâs, istihsân, istislâh.6

Tujuan-tujuan syariah ialah tujuan akhirnya serta rahasia-rahasia yang diletakkan oleh Allah di dalam setiap ketentuan hukumnya. Dengan demikian maka syariah itu pada dasarnya untuk mewujudkan tujuan umum dalam alam nyata yaitu membahagiakan individu dan jama‟ah, memelihara aturan serta menyemarakan dunia dengan segenap saran yang akan menyampaikannya kepada jenjang-jenjang kesempurnaan, kebaikan, budaya, dan peradaban yang paling

menonjol.7 Sesungguhnya norma perilaku ideal dan jalan hidup lurus yang sesuai

dengan syariah, memiki ruang lingkup dan tujuan yang jauh lebih luas dari pada tata hukum biasa dalam sistem kehidupan hasil pemikiran barat. Melalui proses ini, syariah bertujuan mengatur hubungan antar manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama dan hubungan manusia dengan alam serta lingkungannya. Dengan asusmsi inilah, maka hukum syariah tak dapat dipisahkan dengan aspek

akhlak yang Islami (al-akhlâqu al-karîmah).8 Dalam tujuan hukum syarak, yang

merupakan tujuan puncak yang hendak dicapai, yang harus terdapat di dalam

setiap hukum Islam, ialah maslahah (kemaslahatan). Maslahah Islâmiyah yang

diwujudkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nas-nas

6

. Hamka Haq, Falsafat Usȗl al- Fiqh, (Ujung Pandang: Yayasan Al-Ahkam, 1998), h.

203. 7

. Wahbah Al-Zuhaylî, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam Studi Banding dengan Hukum Positif, Penerjemah Said Agil Husain al-Munawar, M. Hadri Hasan (Ciputat Jaksel: Gaya Media Pratama 1997, Cet. Pertama), h. 47.

8

. Abdur Rahman, Syariah Kodifikasi Hukum Islam, Penerjemah Basri Iba Asghary, Wadi Masturi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993, Cet. Pertama), h. 10.


(13)

4

agama adalah maslahah hakiki. Maslahah ini mengacu kepada pemeliharaan

terhadap lima hal, yaitu memelihara: agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Ini disebabkan dunia, tempat hidup manusia hidup, ditegakkan di atas pilar-pilar kehidupan yang lima itu. Tanpa terpeliharanya lima hal ini tidak akan tercapai

kehidupan manusia yang luhur secara sempurna.9

Kemaslahatan hidup duniawi maupun ukhrawi, baik untuk diri sendiri maupun orang lain (dalam kasus ini keluarga) harus sama-sama diraih. Dengan demikian, tidak dibenarkan seseorang melakukan sesuatu untuk meraih kemaslahatan bagi dirinya apabila hal itu dapat menimbulkan mudarat bagi yang lain. Demikian juga, tidak dibenarkan seseorang melakukan sesuatu untuk meraih kemaslahatan ukhrawi dengan mengabaikan kemaslahatan duniawi, atau

sebaliknya.10

Dalam hal ini penulis mencoba untuk menganalisis segi maslahah yang

ada dalam fatwa MUI tentang pemilu. Fatwa adalah hasil ijtihad ulama yang mempunyai kompetensi dalam hal ini. Seperti apa yang dibangun oleh Syâfi‟i, sekali Syâfi‟i telah membangun landasan tekstual otoritatif bagi ijtihâd (qiyâs), ia membatasi cakupan metode ini. Jelas, ketika al-Quran ataupun Sunnah telah memberikan solusi hukum bagi sebuah persoalan tertentu, intervensi tidak dibutuhkan. Akan tetapi, ketika muncul sebuah kasus baru di mana teks tidak memberikan suatu solusi, melakukan ijtihad bukan saja menjadi kebutuhan, melainkan kewajiban. Di dalam ketiadaan sebuah solusi tekstual yang telah

9

. Muhammad Abȗ Zahrah, Usȗl al-Fiqh, penerjemah Saefullah Ma‟sum, Slamet Basyir

dkk, (Pasar Minggu: Pustaka Firdaus, 2014, Cet. Ketujuh Belas), h. 579. 10

. Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali Maslahah Mursalah & Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 39.


(14)

5

diformulasikan, seorang ahli fikih harus mencari kasus yang tekstual yang sama

untuk mencari solusi yang diberikan.11

Pemilu merupakan wadah untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di kursi pemerintahan, pada pemilu ini ada mekanisme dalam menentukan pilihan bagi masyarakat yang mempunyai hak pilih tersebut. Sedangkan pengertian pemilu yang dijelaskan dalam fatwa MUI tentang pemilu adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa. Dan dasar penetapan fatwa ini adalah firman Allah SWT:



















/ ءاسنلا( 4:85 )

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruhmu supaya menyampaikan amanat

kepada ahlinya. Apabila kamu menetapkan keputusan di antara manusia hendaklah menetapkan dengan dalil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Ayat di atas menjelaskan tentang perintah Allah agar menyampaikan amanat kepada ahlinya, meskipun ayat ini diturunkan berkaitan dengan pengembalian kunci Ka‟bah, karena ia merupakan amanat yang dulu diserahkan oleh Utsman bin Thalhah kepada Rasulullah SAW. Kemudian beliau mengembalikannya kepada Utsman sebagaimana Hadis Nabi, maka hukum ayat ini mencakup segala jenis amanat yang diterima oleh manusia. Oleh karena itu, Ibnu Abbas berkata, “Amanat itu bagi orang yang baik maupun durhaka. Yakni,

11

. Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam Pengantar Untuk Usul al-Fiqh Mazhab


(15)

6

amanat itu merupakan perintah bagi setiap orang agar memberikan amanat kepada ahlinya.”

Amanat yang dijelaskan dalam ayat di atas merupakan dasar penetapan fatwa MUI tentang pemilihan umum, dan amanat ini harus diberikan kepada yang pantas menerimanya, karena demi kemaslahatan semua rakyat di Indonesia.

Selanjutnya penulis ingin mengkaji segi maslahah yang ada dalam fatwa ini

dengan menggunakan teori maslahah al-Syâtibî yang menjelaskan tentang

maqâsid syarîah beserta pengertian maslahah. Untuk itu penulis termotivasi

mengkaji permasalahan dalam skripsi yang berjudul “REKOMENDASI MUI

TENTANG PEMILIHAN UMUM MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan tidak berbeli-belit dan tidak berujung, maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini seputar metode penetapan fatwa MUI mengenai pemilihan umum. Adapun hukum Islam yang dimaksud di

sini dilihat dari teori maslahah al-Syâtibî.

Setelah membatasi pembahasan, maka Penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep maslahah dalam Rekomendasi MUI Tentang

Pemilu ?

2. Bagaimana Relevansi Rekomendasi MUI Tentang Pemilu dengan


(16)

7

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui konsep maslahah dalam Rekomendasi MUI mengenai

Pemilu

2. Untuk mengetahui Relevansi Rekomendasi MUI Tentang Pemilu dengan

teori maslahah al-Syâthibî

Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Bagi Program Studi PMH/Fakultas Syariah dan Hukum

Memberikan sumbangan Karya Ilmiah dan menambah literatur

perpustakaan atas tinjauan teori maslahah al-Syâtibî mengenai

Rekomendasi MUI tentang pemilu.

2. Bagi penulis

Untuk menambah khazanah keilmuan bagi penulis serta pembentukan pola berpikir kritis untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana syariah.

D.Review Studi Terdahulu

Tinjauan pustaka berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan di

teliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau sama sekali belum pernah diteliti. Oleh karena itu, untuk menjaga keaslian penelitian ini, penulis telah melakukan review kepustakaan terlebih dahulu. Ada beberapa penelitian terdahulu yang mengangkat pembahasan yang hampir sama dengan yang diteliti oleh penulis jika dilihat secara umum, namun jika ditelusuri lebih mendalam tentu ada


(17)

8

perbedaan dari sudut pembahasan maupun objek kajian di dalam penelitian ini. Adapun penelitian tersebut di antaranya:

1. Fenomena golput di Indonesia pasca orde baru (studi kasus pada pemilu

2004) oleh Acu Nurhidayat dalam skripsi ini hanya menjelaskan masalah golput, sejarah pemilu di Indonesia dan hanya menganalisis pada pemilu 2004. Namun sebagai pembeda, penulis membahas pemilu mulai dari pengertian, sistem pemilu dan gambaran umum pemilu di Indonesia serta lebih cenderung membahas Rekomendasi MUI tentang Pemilu, mulai dari awal terbentuknya, dasar penetapannya teks tersebut. Dengan melihat

relevansi antara teori maslahah al-Syâtibî dengan rekomendasi Fatwa ini.

Karena menurut hasil wawancara penulis dengan ketua komisi fatwa MUI

pusat, ada relevansi antara keduanya. Dari segi maslahah duniawi dan

maslahah ukhrawi.

2. Pelaksanaan Pemilihan Umum dalam Sejarah Nasional Indonesia oleh

Friska Friyati pada tahun 2005, dalam skripsi ini dijelaskan mengenai sistem pelaksanaan Pemilu dari tahun 1955 sampai dengan masa orde baru, namun tidak dijelaskan secara jelas mengenai pengertian pemilu, maka yang menjadi perbedaan dengan skripsi yang ingin penulis angkat ialah penulis sedikit menjelaskan mengenai makna dari pemilu itu sendiri dan lebih condong ke penelitian Rekomendasi MUI tentang Pemilu dari segi maslahahnya.

Maka dengan melihat perbandingan objek kajian di atas dengan penelitian


(18)

9

lebih memfokuskan penelitian terhadap kemaslahatan yang ada dalam rekomedasi MUI tentang Pemilu ini serta melihat relevansi antara teori maslahah al-Syâtibî.

E.Metode Penelitian

Metode yang dalam hal ini diartikan sebagai salah satu cara yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu, sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji suatu pengetahuan, usaha dimana dilakukan dengan menggunakan metode-metode tertentu. Adapun metode yang akan penulis gunakan antara lain adalah:

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah deskriptif-analisis

yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan cara

mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisa, mengevaluasi, dan menginterpretasikannya.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian

kepustakaan (library reseach). Penelitian kepustakaan dilakukan untuk

mencari data melalui buku-buku sebagai literatur yang berkaitan dengan persoalan yang dibahas, seperti karya tulis skripsi, majalah, koran serta bahan-bahan lainnya yang dapat mendukung judul skripsi ini. Adapun metode yang dipakai adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian kulaitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif


(19)

10

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati.12

3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua sumber yaitu:

a. Sumber Primer, yaitu berupa buku Fatwa MUI mengenai pemilihan

umum dan buku-buku usȗl al-fiqh, kitab al-Syâtibî, buku-buku

mengenai pemilu.

b. Sumber Sekunder, yaitu memberikan penjelasan dan menguatkan data primer yang menyangkup karya tulis berupa, koran, majalah, jurnal, maupun data dari internet (website).

Sedangkan jenis data dalam penelitian ini berupa bahan pustaka, dokumen, keadaan, atau yang bercorak individual atau lembaga.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, Penulis menganalisis buku-buku, dokumen, naskah (studi pustaka) yang menjelaskan tentang teori maslahah

al-Syâthibî, buku-buku usȗl al-fiqh dan konsep maslahah dalam Fatwa

MUI mengenai Pemilihan Umum. 5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012”

12

. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,


(20)

11

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini disusun dalam lima bab, di mana pada tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bab. Sistematika penulisan merupakan variasi ringkas secara garis besar mengenai hal pokok yang dibahas guna mempermudah dalam memahami dan melihat satu bab dengan yang lainnya. Adapun uraian pada setiap bab adalah sebagai berikut:

1. Bab Pertama merupakan pendahuluan yang memuat di dalamnya latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

2. Bab Kedua merupakan kajian teoritis yang menjelaskan tentang

teori-teori yang digunakan sebagai dasar pembahasan yaitu mengenai MUI dan pengertian pemilu secara umum.

3. Bab Ketiga menguraikan tentang definisi maslahah serta

pembagianya, pandangan al-Syâthibî dan ulama lainnya mengenai maslahah, serta contoh penerapan maslahah.

4. Bab Keempat menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan,

yaitu mengenai teks Rekomendasi MUI tentang Pemilu dan relevansinya dengan teori maslahah al-Syâthibî.

5. Bab Kelima merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan


(21)

12 BAB II

SEKILAS TENTANG MUI DAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

A. Sekilas tentang MUI

Kemajuan dalam bidang Iptek dan tuntutan pembangunan yang telah menyentuh seluruh aspek kehidupan, di samping membawa berbagai kemudahan dan kebahagiaan, menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan-persoalan baru. Cukup banyak persoalan yang beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, bahkan tidak pernah terbayangkan, kini hal itu menjadi kenyataan.

Di sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam di bumi Nusantara ini semakin tumbuh subur. Oleh karena itu, sudah merupakan kewajaran dan keniscayaan jika setiap timbul persoalan baru, umat berhak mendapatkan jawaban yang tepat dari pandangan ajaran Islam. Telah menjadi kesadaran bersama bahwa membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam

kebingungan tidak dapat dibenarkan, baik secara i’tiqadi maupun secara Syar’i.

Oleh karena itu, para alim ulama dituntut untuk segera memberikan jawaban dan berupaya menghilangkan penantian umat akan kepastian ajaran Islam berkenaan

dengan persoalan yang mereka hadapi.13

Maka penulis akan membahas secara singkat seputar sejarah MUI dan produk-produk MUI berupa fatwa dan lainnya.

13

. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975 pada Mukadimah Penetapan Fatwa, (Jakarta: penerbit Erlangga, 2011), h. 3.


(22)

13

1. Sejarah MUI14

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun

para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak

dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Mejelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah

para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.

Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti,

Al-Washliyah, Matla’ul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI, dan al-Ittihadiyah, 4 orang ulama dari dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat

bermusyawarahnya para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim yang tertuang dalam sebuah “PIAGAM BERDIRINYA MUI”, yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional MUI.

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.

14

. Profil MUI, di akses hari jumat tgl 1 Oktober 2015, jam 20.21 WIB dari mui.or.id/tentang-mui/profil-mui.html.


(23)

14

Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penjajahan dan perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tangtangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia.

Selain itu, kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam.

Dalam perjalanannya, selam dua puluh lima tahun Majelis Ulama

Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zua’ma dan cendekiawan

muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridoi Allah SWT, memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan


(24)

15

kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antar umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pengbangunan nasional, meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslim dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara tibal balik.

Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:

A. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)

B. Sebagai pemberi fatwa (Mufti)

C. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al-Ummah)

D. Sebagai gerakan Islah wa al-Tajdid

E. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar

Selanjutnya, penulis akan membahas sedikit mengenai produk-produk MUI dari awal didirikannya sampai saat ini.

2. Produk MUI

Majelis Ulama Indonesia yang merupakan wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim Indonesia, telah membuat produk berupa ketetapan-ketetapan seperti fatwa, buku, majalah dan sertifikasi halal bagi produk makanan dan lainnya. Selanjutnya penulis akan membahas sekilas tentang produk-produk MUI.


(25)

16

a. Fatwa

Fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum. Sedangkan fatwa MUI adalah fatwa tentang

suatu masalah keagamaan yang telah disetujui oleh anggota Komisi dalam rapat.15

Fatwa MUI telah dimuat dalam sebuah buku tentang Himpunan Fatwa-Fatwa MUI sejak tahun 1975.

b. Sertifikasi Halal16

Selain fatwa, MUI juga mengeluarkan sertifikat halal bagi industri pengolahan seperti pangan, obat, kosmetika, Rumah Potong Hewan (RPH), restoran, maupun industri jasa seperti distributor, transporter. Maka bagi yang ingin mendapatkan sertifikasi halal, harus memenuhi persyaratan sertifikasi halal yang tertuang dalam Buku HAS 2300 (kebijakan, prosedur, dan kriteria). Perusahaan bebas untuk memilih metode dan pendekatan yang diperlukan dalam menetapkan SJH, asalkan dapat memenuhi 11 kriteria SJH, di antara lain yaitu: kebijakan halal, tim manajemen halal, pelatihan dan edukasi, bahan, produk dan lainnya.

Secara umum prosedur sertifikasi halal melalui beberapa tahapan yaitu: Pertama, perusahaan yang mengajukan, dapat melakukan pendaftaran secara

online melalui website LPPOM MUI, Kedua, mengisi data pendaftaran, Ketiga,

membayar biaya pendaftaran, Keempat, mengisi dokumen yang dipersyaratkan,

Kelima, pemeriksaan kecukupan dokumen dan penerbita sertifikat halal.

15

. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975 pada Metode Penetapan Fatwa, h. 3.

16

. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia,

Persyaratan Sertifikasi Halal, artikel diakses pada 2 Oktober 2015 dari www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/39/page/1.


(26)

17

c. Majalah

Sebagai metode dakwah MUI tidak hanya menetapkan fatwa dan sertifikat halal, MUI menerbitkan sebuah majalah sebagai bahan bacaan yang bermanfaat bagi umat Islam khususnya. Seperti Majalah Mimbar Ulama edisi Januari 2014, dalam majalah ini terdapat banyak berita-berita baru seperti kabar larang jilbab bagi Polwan, para panghulu mogok alias tidak mau menikahkan di

hari libur dan lainnya.17

d. Rekomendasi

Rekomendasi yang dimaksud adalah rekomendasi hasil Musyawarah Nasional (Munas), seperti contoh fatwa yang tentang wajibnya umat Islam

memilih Presiden dan Wakil Presiden dan Kepala Daerah yang muslim.18

e. Buku terbitan MUI

Selain majalah, MUI juga menerbitkan sebuah buku seperti Himpunan Fatwa MUI yang di dalamnya dimuat fatwa-fatwa MUI sejak tahun 1975, lalu Himpunan Fatwa DSN-MUI mengenai fatwa-fatwa tentang ekonomi Syariah, dan Daftar Belanja Produk Halal yang berisi tentang daftar produk yang sudah

mendapat sertifikasi halal dari LPPOM-MUI.19

17

.Ahmad Thaha, Majalah Mimbar Ulama edisi Januari 2014, artikel diakses pada 02 Oktober 2015 dari mui.or.id/homepage/berita/berita-singkat/majalah-mimbar-ulama-edisi-januari-2014.html.

18

. Agung Sasongko, Rekomendasi MUI : Umat Islam Wajib Pilih Pemimpin yang Muslim, artikel diakses pada 02 Oktober 2015 dari m.republika.co.id/berita/dunia-Islam/Islam-Nusantara/15/08/27-rekomendasi mui-umat-islam-wajib-pilih-pemimpin-yang-muslim.


(27)

18

B. Pemilihan Umum

Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku

seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku.20

Sebagai Negara yang berdemokrasi, Indonesia termasuk dari Negara-negara yang menggunakan sistem pemilu dalam sistem kepemerintahannya. Sedikit pengertian mengenai pemilu yaitu merupakan suatu proses memilih orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu, seperti presiden, anggota DPR dan DPD,

gubernur, bupati/walikota dan kepada desa.21 Pemilihan umum di Indonesia telah

diadakan sebanyak 11 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014, serta Pemilihan umum di Indonesia menganut

asas "LUBER" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan

Rahasia". Asas "Luber" sudah ada sejak zaman orde baru.

 "Langsung" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara

langsung dan tidak boleh diwakilkan.

 "Umum" berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang

sudah memiliki hak menggunakan suara.

 "Bebas" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada

paksaan dari pihak manapun.

20

. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, Cet. Pertama), h. 17.

21

. Kamus Pemilu di akses hari jumat tgl 5 Juli 2015, jam 13.58 WIB dari http://www.pemiluindonesia.com/kamus.


(28)

19

 "Rahasia" berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya

diketahui oleh si pemilih itu sendiri.

Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang

merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas "jujur" mengandung arti bahwa

pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas "adil" adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara

pemilu.22 Selanjutnya, penulis akan membahas hal-hal yang menyangkut masalah

pemilu, khususnya di Indonesia.

1. Pengertian Pemilu

Dalam review studi, penulis mengambil contoh sebuah skripsi yang ditulis oleh Acu Nurhidayat yang membahas sejarah pemilihan umum nasional Indonesia, yang mana penulis dalam skripsinya menjelaskan mengenai sistem pemilu dari tahun 1955 sampai dengan masa orde baru, serta membandingkan tentang sistem pemilu pada masa orde lama sampai dengan masa orde baru, namun tidak dijelaskan pengertian pemilu itu sendiri, maka sebagai pembeda dari

22

. Ign Christian, Artikel Politik dan pemerintahan Indonesia, pada hari jumat 5/6/2015, jam 13.27 diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia


(29)

20

skripsi sebelumnya penulis mencoba untuk sedikit menjelaskan makna dari pemilu.

Dalam UU No. 22/2007 disebutkan bahwasanya pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.23 Adapun pendapat lain tentang makna pemilihan umum yaitu, salah

satu hak azasi warga negara yang sangat prinsipil. Karenanya dalam rangka pelaksanaan hak-hak azasi adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan pemilihan umum. Sesuai dengan azas bahwa rakyatlah yang berdaulat, maka semuanya itu harus dikembalikan kepada rakyat untuk

menentukannya.24 Yang dimaksud dengan kedaulatan rakyat, yaitu rakyat

mempunyai kekuasaan tertinggi, dan yang menentukan arah tujuan suatu pemerintahan. Suatu negara yang penduduknya sedikit dan luas wilayahnya tidak terlalu besar, kedaulatan rakyat tidak dapat berjalan dengan semurni-murninya. Apalagi dalam negara modern di mana jumlah penduduknya sudah banyak, wilayahnya cukup luas maka tidak mungkin meminta pendapat rakyat seorang

demi seorang dalam menentukan jalannya pemerintahan.25

Pemilihan Umum merupakan salah satu sendi untuk tegaknya sistem demokrasi. Oleh sebab itu tujuan Pemilihan Umum untuk mengimplementasikan

23

. UU No.22/2007 tentang Pemilu, pdf, h. 3 24

. Moh. Kusnardi, Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (T.tp.,

Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV “Sinar Bakti”, 2010, Cet. Kedua Belas), h. 329

25

. Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (T.tp., Prestasi Pustaka Publisher, 2006, Cet. Pertama), h. 247.


(30)

21

prinsip-prinsip demokrasi, dengan cara memilih wakil-wakil rakyat di Badan

Perwakilan Rakyat.26 Karena luasnya wilayah daerah dan banyaknya penduduk

yang hidup di dalamnya, maka demokrasi secara langsung tidak mungkin dilaksanakan lagi. Yang ada hanya demokrasi yang diwakilkan atau demokrasi

tidak langsung.27 Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum tidak

merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi

dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.28 Kenyataannya, apapun

alasannya hanya pemerintahan yang representatiflah yang dianggap memiliki legitimasi dari rakyat untuk memimpin dan mengatur pemerintahan. Sehingga dengan melalui pemilu, klaim jajaran elit pemerintahan bekerja untuk dan atas

nama kepentingan rakyat menjadi dapat diakui.29 Sebagaimana hasil wawancara,

syarat-syarat yang ideal bagi seorang pemimpin menurut pandangan MUI ialah

dari segi kapabilitas, kompetensi, keahlian, dan mampu dalam kapasitasnya.30

2. Tujuan Pemilihan Umum

Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang dibingkai dengan norma-norma konstitusi (UUD Pasal 1 ayat 2). Oleh karena itu, agar derap demokrasi dapat berputar sesuai sumbu konstitusi, maka demokrasi itu harus dijaga.

26

. B. Hestu Cipto Handoyono, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asassi Manusia, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2003, Cet. Pertama), h. 207.

27

. Moh. Kusnardi, Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, hal. 129-130.

28

. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 461. 29

. Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, h. 249. 30

. Wawancara pribadi dengan Hasanudin AF, di MUI Pusat, (Jakarta, Selasa 9 September 2015).


(31)

22

Pelaksanaan demokrasi konstitusi terlihat dalam kegiatan pemilihan umum, pembentukan aturan dan pelaksanaan kewenangan lembaga negara. Salah satu ciri negara demokrasi yaitu adanya pelaksanaan pemilihan umum di negara tersebut, untuk Republik Indonesia paling tidak ada tiga macam tujuan pemilihan

umum itu. Ketiga macam tujuan pemilihan umum itu adalah:31

1. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan

tertib;

2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat; dan

3. Dalam rangka melaksanakan hak-hak azasi warga negara.

Kemampuan seseorang ada batasnya. Karena itu adalah suatu hal yang sangat wajar kalau selalu terjadi pergantian pemerintahan. Pergantian pemerintahan di negara-negara totaliter berbeda dengan apa yang terjadi di negara-negara demokrasi. Di negara-negara totaliter pergantian pemerintahan itu ditentukan oleh sekelompok orang. Tidak demikian halnya dalam negara demokrasi. Di negara ini pergantian pemerintahan itu ditentukan oleh rakyat caranya adalah mengadakan pemilihan umum.

Karena itu pemilihan umum disebutkan bertujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan. Kata memungkinkan di sini tidak berarti bahwa setiap kali dilaksanakan pemilihan umum harus ada pergantian pemerintahan, sebab mungkin saja terjadi suatu partai politik dalam sistem pemerintahan parlementer pemerintahan untuk dua, tiga, atau empat kali, atau seorang menjadi Presiden di Amerika Serikat untuk dua kali masa jabatan. Yang

31


(32)

23

dimaksudkan dengan kata memungkinkan di sini adalah bahwa pemilihan umum itu harus membuka kesempatan sama untuk menang bagi tiap peserta. Pemilihan umum yang demikian itu hanya mungkin terjadi apabila dilaksanakan dengan jujur. Di samping itu masih diperlukan syarat lain untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan itu, yaitu adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang susunan anggotanya sesuai dengan kehendak Undang-Undang Dasar 1945.

Sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam Pembukaan dan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, maka Republik Indonesia menganut azas kedaulatan rakyat. Bahwa kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat itu antara lain tercermin dengan dilaksanakannya pemilihan umum dalam waktu-waktu tertentu. Karena itu adalah dalam rangka untuk memberikan kesempatan kepada warga negara untuk melaksanakan haknya.

Sejak lahir ke dunia seseorang telah mempunyai hak. Orang itu mungkin warga negara dari suatu negara atau berstatus orang asing di negara tempat dia berdomisili. Sebagai warga negara maka salah satu hakya dalam bidang politik yang terpenting adalah hak untuk memilih siapakah wakilnya itulah yang akan menjalankan kedaulatan yang dipunyainya. Di samping itu terbuka pula baginya kesempatan untuk duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat sebagai wakil yang dipercayakan oleh para pemilihnya untuk menjalankan kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat. Dilihat dari sudut kelompok warga negara yang tergabung dalam suatu organisasi partai politik, maka pemilihan umum itu sangat besar artinya bagi suatu partai politik, karena dengan pemilihan umum itu mereka dapat mengetahui


(33)

24

seberapa besar sesungguhnya para pendukung. Apabila terbuka bagi mereka untuk menang, maka pemilihan umum itu adalah suatu media untuk menjalankan programnya.

Karena itu tidak berlebihan kalau dikatakan, apabila suatu pemerintahan telah memutuskan untuk tidak melaksanakan pemilihan umum, maka orang akan mengatakan demokrasi di negara itu telah mulai sirna.

Dari uraian di muka dapat diambil kesimpulan bahwa pemilihan umum tidak saja penting untuk warganegara, partai politik, tapi juga pemerintah sendiri. Bagi pemerintah yang dihasilkan dari suatu pemilihan umum yang jujur berarti bahwa pemerintahan itu mendapat dukungan yang sebenarnya dari rakyat. Sebaliknya kalau pemeritahan yang dibentuk dari hasil pemilihan yang tidak atau kurang jujur maka dukungan rakyat itu hanya bersifat semu.

Dilihat dari sudut pemilihan umum, maka ketiga tujuan itu baru dapat tercapai kalau pelaksanaan pemilihan umum benar-benar jujur, sehingga setiap warga negara yang berhak memilih memberikan pilihannya sesuai dengan hati nuraninya. Dan, adanya ketentuan mengenai pemilihan umum dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk memberi landasan hukum yang lebih kuat bagi pemilu

sebagai salah satu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat.32

32. Ni’matul Huda,

Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 268


(34)

25

3. Sekilas tentang Sistem Pemilihan Umum

Karena pemilihan umum adalah salah satu cara untuk menentukan wakil-wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat, maka dengan sendirinya terdapat berbagai sistem pemilihan umum.

Sistem pemilihan umum berbeda satu sama lain, tergantung dari sudut mana pandangan ditunjukan terhadap rakyat, apakah ia dipandang sebagai individu yang bebas untuk menentukan pilihannya, dan sekaligus mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat, ataukah rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak menentukan siapa wakilnya yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat, atau juga tidak berhak untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka sistem pemilihan umum dapat dibedakan dua macam:

a. Sistem pemilihan mechanis;dan

b. Sistem pemilihan organis.

ad.a. Sistem pemilihan mechanis.

Pandangan mechanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu-individu yang sama. Aliran Liberalisme, Sosialisme dan Komunisme semuanya berdasarkan pandangan mechanis ini. Bedanya bahwa Liberalisme mengutamakan individu sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai kompleks hubungan-hubungan antar individu yang bersifat kontraktuil, sedangkan Sosialisme dan khususnya Komunisme mengutamakan totalitet kolektif masyarakat dan mengecilkan peranan individu dalam totalitet kolektif itu. Tetapi


(35)

26

semua aliran di atas mengutamakan individu sebagai pengenali hak pilih aktif dan memandang rakyat (korps pemilih) sebagai suatu massa individu-individu yang masing-masing mengeluarkan satu suara (suara dirinya sendiri) dalam pemilihan umum.

ad.b. Sistem pemilihan organis

Pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan : geneologis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan) dan lembaga-lembaga sosial (Universitas). Masyarakat dipandangnya sebagai suatu organisme yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalite organisme itu, seperti persekutuan hidup itulah yang diutamakannya sebagai pengendali hak pilih, atau dengan perkataan lain sebagai pengendali hak untuk mengutus wakil-wakil kepada perwakilan masyrakat.

Menurut sistem pemilihan mechanis, partai-partai yang mengorganisir pemilih-pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan sistem Bi Party atau Multy Party (Liberalisme Sosialisme) atau Uni Party (Komunis). Sedangkan menurut sistem pemilihan organis, partai-partai politik tidak perlu dikembangkan, karena pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup dalam

lingkungannya sendiri.33

33


(36)

27

4. Gambaran Umum Pemilu di Indonesia

Sejak kemerdekaan hingga tahun 2004 bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sembilan kali pemilihan umum, yaitu pemilihan umum 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004. Dari pengalaman sebanyak itu, pemilihan umum 1955 dan 2004 mempunyai kekhususan atau keistimewaan dibanding dengan yang lain.

Sebenarnya pemilihan umum sudah direncanakan mulai bulan Oktober 1945, tetapi baru dapat dilaksanakan oleh kabinet Burhanudin Harahap pada tahun 1955. Pada pemilihan umum itu pemungutan suara dilakukan dua kali, yaitu satu kali untuk memilih anggota DPR pada bulan September, dan satu kali untuk memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem pemilihan yang digunakan ialah sistem proporsional. Pada waktu itu sistem itu, sebagaimana yang dicontohkan oleh Belanda, merupakan satu-satunya sistem pemilihan umum yang dikenal dan dimengerti oleh pemimpin negara.

Pemilihan umum diselenggarakan dalam suasana khidmat, karena merupakan pemilihan umum pertama dalam suasana kemerdekaan. Pemilihan umum berlangsung sangat demokratis; tidak ada pembatasan partai-partai, dan tidak ada usaha dari pemerintah mengadakan intervensi terhadap partai-partai sekalipun kampanye berjalan seru, terutama antara Masyumi dan PNI. Pula

administrasi berjalan lancar dan jujur.34 Patut dicatat dan dibanggakan bahwa

pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur, dan adil demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai

34


(37)

28

pihak, termasuk dari negara-negara asing. Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah

tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat.35 Pemilihan Umum Indonesia

1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan diadakan pada tahun

1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling

demokratis.36

Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu Orde Baru. Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut

kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.37 Kondisi Politik menjelang

Pemilu tahun 1999 ditandai dengan ambruknya legitimasi rezim Orde Baru sebagai akibat bobroknya moralitas para penyelenggara negara melalui penguatan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) secara sistematik yang pada gilirannya mengakibatkan kritis multi-dimensional. Kondisi semacam inilah yang kemudian

mengakibatkan kompromi-kompromi di kalangan elit politik.38 Kompromi yang

adil merupakan salah satu proses yang paling produktif untuk mengatasi konflik atas dasar konsensus, di mana cara ini diterima oleh semua pihak melampaui

aturan, sasaran, dan hak-hak dasar yang dimiliki setiap orang di masyarakat.39

35

. Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, h. 262 36

. Redaksi, Sejarah Pemilu 1995 di akses hari jumat tgl 5 Juli 2015, jam 13.54 dari http://www.pemiluindonesia.com/sejarah/pemilihan-umum-indonesia-1955.html.

37

. Ibid, di akses hari jumat tgl 5 Juli 2015,

http://www.pemiluindonesia.com/sejarah/pemilihan-umum-orde-baru-1977-1997.html, 38

. B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia, h. 223.

39

. Thomas Meyer, Jalur Idela Menuju Demokrasi, Friedrich-Eber-Stiftung (FES), (T.tp., Sumber Rezeki Print, 2008, Cet. Pertama), h. 33.


(38)

29

Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla. Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden. Sedangkan pemilu pada zaman reformasi, seperti juga di bidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa perubahan fundamental. Pertama, dibuka kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara bebas, termasuk mendirikan partai baru. Ketentuan ini kemudian tercermin dalam pemilihan umum 1999 yang diselenggarakan dengan disertai banyak partai. Kedua, pada pemilihan umum 2004 untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketiga, diadakan pemilihan untuk suatu badan baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang akan mewakili kepentingan daerah secara khusus.

Keempat, diadakan “electoral threshould”, yaitu ketentuan bahwa untuk pemilihan legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah kursi anggota badan legislatif pusat. Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, partai politik


(39)

30

harus memperoleh minimal 3% jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau

5% dari perolehan suara secara nasional.40Setiap pemilihan umum mempunyai

azas-azas yang tertentu. Demikian pula pemilihan umum tahun 1955. Dan azas pemilihan umum itu disebutkan dalam pasal 35 Undang-Undang Dasar 1950 yang

berbunyi: “Kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa, kemauan ini

dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang menajamin kebebasan mengeluarkan

pendapat”. Dengan demikian azasnya adalah pertama umum yaitu bahwa setiap warga negara yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan berhak untuk ikut memilih dan dipilih. Tidak boleh ada perbedaan antara warga negara. Berkesamaan maksudnya bahwa semua wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentunya harus dipilih melalui pemilihan umum. Dengan sendirinya setiap warga negara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan berhak memilih dan dipilih. Tidak ada sebagian rakyat yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan/ditetapkan

tidak boleh memilih atau dipilih.41

40

. Ibid. h. 483 41


(40)

31

BAB III

MASLAHAH DALAM PANDANGAN Al-SYȂTHIBȊ

A.Pengertian Maslahah

Untuk memahami pandangan ulama tentang al-maslahah, lebih dahulu

perlu dikemukakan penjelasan tentang pengertian al-maslahah. Uraian mengenai

hal-hal ini dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu pengertian secara etimologi (kebahasaan) dan pengertian secara terminologi/istilahi.

1. Pengertian secara Etimologi

Secara etimologi, pengertian Maslahah (ٌ َحَْصَم) berasal dari kata salaha

(َحََص) dengan penambahan alif di awalnya yang secara arti kata berarti baik lawan

dari kata buruk atau rusak. Maslahah adalah masdar dengan arti kata salâh (ٌحاََص)

yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan. Pengertian maslahah dalam

bahasa Arab adalah perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia.

Dalam artianya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan (kesenangan), atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti

menolak kerusakan.42 Sedangkan secara terminologis, para ulama usȗl al-fiqh

termasuk al-Syâthibî telah memberikan beberapa definisi yang berbeda.

42

. Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Usȗl al-Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2009, Cet Kedua). h. 200.


(41)

32

2. Makna Terminologi

Tidak diragukan lagi bahwa agama Islam diarahkan kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki Penciptanya Yang Maha Bijaksana. Demikianlah hukum Islam mempunyai tujuan. Tujuan hukum Islam itu menjadi arah setiap perilaku dan tindakan manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan hidupnya dengan mentaati

semua hukum-hukum-Nya.43 Setiap apa yang Ia lakukan ada tujuannya, yakni

untuk kemaslahatan manusia. Tujuan-tujuan Allah tersebut dapat diketahui dari dua sisi. Pertama, dilihat dari sisi manusia, yakni tujuan-tujuan itu dilihat dari segi kepentingan manusia atau mukallaf. Kedua, dilihat dari sisi Allah sebagai pembuat hukum, yaitu apa tujuan Allah membuat hukum-hukum-Nya dilihat dari

pernyataan-Nya mengapa Ia membuat hukum itu.44

Sehingga tujuan puncak yang hendak dicapai di dalam setiap hukum Islam

ialah maslahah (kemaslahatan). Tidak sekali-kali suatu perkara disyariatkan oleh

Islam melalui al-Quran maupun Sunnah melainkan di situ terkandung maslahah

yang hakiki, walaupun maslahah itu tersamar pada sebagian orang yang tertutup

oleh hawa nafsunya.45 Maslahah yang dikehendaki oleh hukum Islam bukanlah

maslahah yang seiring dengan keinginan hawa nafsu. Akan tetapi, maslahah yang hakiki yang menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan pihak tertentu (khusus). Maka selanjutnya akan sedikit dibahas mengenai pengertian dan macam-macam maslahah menurut beberapa pandangan ulama.

43

. Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM-UNISBA, 1995) h. 99.

44

. Ibid, h. 100. 45


(42)

33

a. Al-Ghozâlî

Al-Ghozâlî mengemukakan bahwa prinsipnya maslahah adalah

“mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan

-tujuan syarak.” Ada lima sasaran hukum syarak yaitu: pertama, agar memelihara

agama, diri, akal, keturunan, dan harta. Maka semua hal yang meliputi dalam

menjaga kelima usul di sebut dengan maslahah.46 Hal ini ditempuh melalui

berbagai ragam ibadah yang disyariatkan, yang kesemuanya dimaksudkan untuk

membersihkan jiwa serta memperkokoh kesetiakawanan sosial.47

Namun yang dimaksud dengan maslahah di sini oleh al-Ghozâlî bukan

dalam pengertian kebahasaan yang biasa dipakai dalam masyarakat atau menurut

urf (kebiasaan), yakni berarti manfaat, melainkan dalam pengertian syarak, yakni

memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.

Maka suatu kemaslahatan menurut al-Ghozâlî harus sejalan dengan hukum syarak, meskipun harus atau bertentangan dengan kepentingan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan akal manusia dalam mendeskripsikan sebuah kemaslahatan, belum lagi pengaruh hawa nafsu yang terkadang bahkan seringkali mendominasi dan mengalahkan pertimbangan akal manusia. Dengan demikian jika bertentangan dengan syarak, maka tidak dapat disebut dengan al-Maslahah, melainkan sebuah mafsadah.

b. Abd al-Wahâb Khallâf

Menurutnya, maslahah adalah tujuan utama al-Syâri‟ dalam mensyariatkan

hukum untuk kemaslahatan manusia di kehidupan ini, yang mendatangkan

46

. Abȗ Hamid Muhammad Bin Muhammad al-Ghazâlî, Al-Mustasfa min i’lmi al-Usȗl

(T.tp., Dar al-Fikri, t.th.,), jilid I, h. 286. 47


(43)

34

manfaat, menjaga dari kemudaratan karena maslahah manusia terdiri dari

perkara-perkara darȗriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât, maka jika perkara-perkara ini

terjaga, akan terlaksana pula maslahah mereka. Bukti bahwasanya maslahah

manusia tidak terlepas dari tiga perkara ini adalah perasaan dan penglihatan/pengamatan, karena maslahah setiap diri manusia/secara keseluruhan

terdiri dari perkara-perkara darȗriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât, seperti

kebutuhan darȗriyyât mengenai tempat tinggal manusia yang melindungi dari

panasnya matahari, lalu kebutuhan hâjiyyât berupa jendela yang bisa dibuka dan

ditutup sesuai keperluan, dan tahsîniyyât yaitu dengan menghias, dan menyiapkan

perangkat-perangkat untuk istirahat.48

c. Muhammad Abȗ Zahra

Menurutnya, maslahah yang hakiki yang diinginkan oleh Islam adalah

maslahah yang tetap dalam hukum-hukum Islam, yang disebutkan di dalamnya nas-nas dari al-Quran dan Sunnah, serta yang serupa untuk kemaslahatan yang mengandung di dalamnya nas-nas, dan semua maslahah yang sesuai dengan sudut pandang nas-nas adalah memelihara/menjaga kelima perkara yaitu agama, jiwa, harta, akal dan keturunan, karena kehidupan manusia di dunia terdiri dari kelima perkara ini, dan tidak sempurna kehidupan manusia kecuali dengan menjaga kelima perkara tersebut, dan kemuliaan manusia terdapat di dalam

pemeliharaannya.49

48

. Abd Al-Wahâb Khallâf, Ilmu Usȗl al-Fiqh, (T.tp., Dar al-Qolam, 1978, Cet. Kedua Belas), h. 199.

49

. Imâm Abȗ Zahra, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah fi al-Siyâsah wa al-Aqoidi wa Târîkh al-Madzhab al-Fiqhiyyah, juz 1, (T.tp., Dar al-Fikr al-„Arabi, 1989) h. 308.


(44)

35

Selain dari ketiga pendapat ulama di atas, ada pendapat al-Syâfi‟î tentang

maslahah dalam kaitannya dengan penetapan hukum Islam. Al-Syâfi‟î tidak

memasukan maslahah ataupun al- maslahah al-mursalah dalam urutan al-bayân

(sumber penjelasan hukum) sehingga dapat dipahami bahwa ia tidak menganggap maslahah sebagai dasar hukum yang berdiri sendiri. Dalam berbagai pernyataan, al-Syâfi‟î sangat menekankan keterikatan setiap hukum kepada kabar, yakni

Kitab, Sunnah, Ijmâ‟, dan Qiyas. Dengan pandangan bahwa syariah Islam telah

lengkap dan al-Quran merupakan tibyan (penjelasan) bagi segala sesuatu,

al-Syâfi‟î tidak menerima kemungkinan adalanya maslahah yang tidak terselesaikan

dengan nas, baik secara langsung maupun melalui ijtihad yaitu qiyâs.50Namun

menurut para ulama Syafi‟iyah, Imâm al-Syâfi‟î tidak menolak pertimbangan

maslahah dalam ijtihad, sepanjang maslahah itu diperoleh dari dan diakui oleh

nas dan ijmâ’, meskipun hanya pada jenisnya, tetapi ia tidak menerima maslahah

yang sama sekali tidak mendapatkan pengakuan syarak.51

Dengan kata lain dari ketiga pendapat di atas dapat dipahami bahwa esensi maslahah itu ialah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan manusia serta terhindar dari hal-hal yang bisa merusaknya. Namun demikian, kemaslahatan itu berkaitan dengan tatanan nilai kebaikan yang patut dan layak

yang memang dibutuhkan oleh manusia.52 Serta tidak ada keraguan di setiap

50

. Lahmudin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001, Cet. Pertama), h.128.

51

. Ibid, h.135. 52

. Romli SA, Muqâranah Madzâhib fî al- Usȗl, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999, Cet. Pertama), h.158.


(45)

36

penelitian, bahwasanya hukum-hukum syariah Islamiyah didasari dengan

penjagaan/pemeliharaan kemaslahatan para mukallaf.53

B.Penerapan Maslahah

Penerapan maslahah dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting,

karena segala aspek kehidupan manusia selalu mengandung segi kemaslahatan yang harus diwujudkan agar dapat menjalani kehidupan yang baik sesuai ketentuan-ketentuan syariah Islam. Di sini penulis mengambil sebuah contoh

realita mengenai penerapan maslahah, yaitu mengenai pencatatan perkawinan

yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam pada bab II dasar-dasar perkawinan

Pasal 2 yang berbunyi “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,

yaitu akad yang sangat kuat atau mîtsâqon gholîzon untuk mentaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.54 Dan perkawinan juga sah,

apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Lalu pada pasal 5 poin pertama mengenai agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap

perkawinan harus dicatat.55 Pencacatan perkawinan meskipun secara harfiyah

tidak diatur dalam nas syâri’ dan tidak ada pula dijumpai nas yang melarangnya,

tetapi ketentuan itu memberikan dampak yang positif bagi umat manusia. Ini jelas, keharusan mencatatkan nikah itu tidak bertentangan dengan tujuan umum

53

. Yusuf al-Qardawî, Mudkhâl li al-Dirâsah al-Syarî’ah al-Islâmiyah, (T.tp., Maktabah Wahbah, 1997, Cet. Ketiga), h. 57.

54

. Tim Redaksi Fokus Media, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2004, Cet. Pertama), h.7.

55

. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2007, Cet. Kelima), h. 114.


(46)

37

pembentukan hukum, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Oleh karena ketentuan dalam pasal-pasal tersebut tidak didasarkan pada nash-nash tertentu, maka dasarnya adalah maslahah.

Demikian juga pada Pasal 15 (1) kompilasi hukum Islam tentang batasan umur kawin. Bunyi pasal ini adalah “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”56

, seperti halnya pencatatan nikah, Islam juga tidak mengatur secara harfiyah batasan umur untuk boleh melakukan pernikahan, namun demi kemaslahatan sebuah keluarga rumah tangga, boleh dilakukannya perkawinan bagi orang-orang yang sudah berumur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk yang sudah matang jiwa dan raganya. Ini merupakan sebuah kemaslahatan bagi manusia.

Contoh lain dari penerapan maslahah yaitu dalam masalah hak asasi

manusia, seperti yang tertera dalam Undang-undang 1945 setelah diamandemen

pada bab X A hak asasi manusia pasal 28 A yang berbunyi : “setiap orang berhak

untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan pasal

28C (1) “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas

56


(47)

38

hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.57

Dalam pasal ini, setiap orang berhak mempertahankan kehidupannya agar terwujudnya sebuah kemaslahatan. Dengan mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidup, manusia akan lebih mudah dalam mewujudkan kemaslahatan dunia maupun akhiratnya.

C.Maslahah bagi al-Syâthibî

Perbuatan manusia dapat dipandang dari dua aspek, yakni aspek terwujudnya kemaslahatan dan tuntutan syariah. Dari keduanya, kita bisa melihat bagaimana tanggung jawab manusia sebagai mukallaf. Pada aspek terwujudnya kemaslahatan, daya manusia menjadi syarat utama berlakunya taklif. Jadi, taklîf bi

mâ lâ yuthaq (tuntutan atas perbuatan di luar daya manusia) adalah mustahil.

Sedang pada aspek tuntutan syariah, hal ini berkait dengan kehendak (irâdah) dan

perintah (amr) Allah kepada hamba-Nya.58

Namun ada beberapa aliran kalam seperti aliran Muktazilah berpendapat bahwasanya manusia dapat menciptakan perbuatannya sendiri, mematuhi atau tidak kepada Tuhan merupakan kehendak manusia itu sendiri karena daya tersebut sudah ada dalam diri manusia. Sedangkan menurut Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwasanya manusia mempunyai kebebasan dalam melakukan perbuatannya dan itulah arti sebenarnya dari perbuatan manusia itu sendiri. Sejalan dengan pemikiran Maturudiyah, Al-Qadariyah mengatakan bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan

57

. Tim Redaksi Fokusmedia, UUD 1945 dan Amandemennya,(Bandung: Fokusmedia, 2004, Cet. Pertama), h. 58-59.

58

. Hamka Haq, Al-Syâthibî Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwâfaqât, (T.tp., Erlangga, 2007), h. 177.


(48)

39

hidupnya,dan manusia mempunya kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar tuhan,

dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will dan free act.59

Karena daya manusia menjadi syarat mutlak berlakunya hukum taklif, maka syariah yang tujuan pokoknya adalah kemaslahatan manusia tidak menghendaki kesulitan (masyaqqah) atas manusia. Setidaknya ada dua hal yang patut dicatat mengenai kehendak Allah untuk tidak mempersulit hamba-Nya. Pertama, Allah memberlakukan hukum taklif sesuai dengan tingkat pemahaman

dan kondisi umum yang telah berlaku pada manusia. Kedua, Allah memberikan

alternatif (jalan keluar) jika hamba mengalami kesulitan dalam pelaksanaan

hukum taklif. 60

Tuhan sebagai pencipta alam semesta haruslah mengatasi segala yang ada, bahkan harus melampaui segala aspek yang ada itu. Ia adalah eksistensi yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas. Sebab tidak ada eksistensi lain yang mengatasi dan melampaui eksistensi-Nya. Tuhan dipahami sebagai eksistensi yang esa dan unik. Inilah makna umum yang dianut dalam memahami apa yang dimaksud dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Namun dalam sejarah ilmu kalam, terdapat perbedaan konsep tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan ini. Didasari oleh perbedaan pemahaman terhadap kekuatan akal, fungsi wahyu, kebebasan serta kekuasaan manusia dalam

59

. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Universitas Indonesia UI-Press, 1986, Cet. Kelima), h.33.

60


(49)

40

mewujudkan kehendak dan perbuatannya, konsep tentang kekuasaan dan

kehendak mutlak Tuhan pun turut pula berbeda.61

Aliran kalam rasional, yang memberikan daya yang besar kepada akal serta memberikan kebebasan kepada manusia untuk melaksanakan kehendak perbuatannya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak lagi dipahami dalam pengertian yang mutlak semutlak-mutlaknya, tetapi sudah terbatas. Keterbatasan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu terjadi oleh adanya keadilan serta

janji-janji Tuhan sendiri terhadap manusia.62

Dalam al-Muwâfaqât, al-Syâthibî juga menyebut pendapat al-Râzi dan

Muktazilah. Al-Râzi berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan („illah)

sama sekali dalam perbuatan-Nya. Sebaliknya, Muktazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam melaksanakan syariah, yaitu untuk menjaga

kemaslahatan manusia.63 Al-Syâthibî pun sepakat dengan syariah yang bertujuan

untuk menjaga kemaslahatan manusia.64

Sedikit membahas tentang perbuatan-perbuatan Tuhan, semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan juga melakukan perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai konsekuensi logis dari zat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Namun yang menjadi polemik di kalangan mutakallimîn adalah apakah perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, ataukah perbuatan Tuhan itu tidak terbatas pada hal yang baik-baik-baik-baik saja,

61

. M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam dari Khawarij ke Buya Hamka hingga Hasan Hanafi, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014, Cet. Pertama), h.123.

62

. Ibid, h.124. 63

. Abu Ishâq Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqât fî Usul Al-Syarî’ah, jilid 2, (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.th), h.4.

64


(1)

72 PENUTUP

A.Kesimpulan

Pada pembahasan tentang Rekomendasi MUI mengenai Pemilu menurut teori maslahah al-Syâthibî, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Maslahah merupakan tujuan utama Syâri‟ dalam menetapkan hukum bagi seluruh manusia. Maslahah harus sejalan dengan syariah meskipun harus bertentangan dengan kepentingan. Segi maslahah dalam fatwa ini yaitu : dalam melaksanakan pemilu, syarat-syarat ideal seperti keahlian, kapabilitas dll merupakan salah satu jalan agar terwujudnya kemaslahatan dunia, dan syarat ketakwaan merupakan jalan agar terwujudnya kemaslahatan ukhrawi. Selanjutnya dianjurkannya untuk memilih, jika ada calon yang sesuai karakteristik yang ditentukan, namun jika belum ada yang memenuhi kriteria, maka harus dipilih yang lebih sedikit mafsadahnya.

2. Relevansi antara fatwa MUI tentang Pemilu dengan teori maslahah al-Syâthibî ialah sama-sama mengandung dua kemaslahatan yaitu kemaslahatan dunia dan akhirat, syarat ideal dalam pemilihan merupakan agar terwujudnya kemaslahatan dunia, sedangkan segi agama ataupun ketakwaan merupakan salah satu syarat agar terwujudnya kemaslahatan akhirat.


(2)

73

B.Saran

Berdasarkan dari hasil penelitian yang berjudul “Rekomendasi MUI tentang

Pemilu menurut teori maslahah al-Syâthibî” maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut :

1. Perlunya sosialisasi lebih terhadap masyarakat mengenai Pemilu, agar masyarakat benar-benar mengenal sosok pemimpin yang akan dipilih. Dan terwujudnya kemaslahatan.

2. Perlunya peran para Ulama dalam berjalannya kepemerintahan di Indonesia.

3. Maslahah perlu diwujudkan agar kehidupan manusia dapat berjalan sesuai dengan ketentuan syariah dan Masyarakat perlu lebih memahami fatwa-fatwa yang ditentukan oleh MUI, karena fatwa-fatwa-fatwa-fatwa inilah yang menjadi landasan hukum meskipun ada beberapa dari fatwa-fatwa MUI yang sifatnya hanya untuk perorangan.


(3)

74 A.Kitab Suci

Al-Quran al-Karim.

B.Buku

Abbas, Ahmad Sudirman, Sejarah Qawâ’id Fiqhiyyah. Jakarta: Radar Jaya Offset 2009, Cet. kedua.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2007.

Ghazali, Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad, Al-Mustasfa min i’lmi al -Usȗl, T.tp., Dar al-Fikri, t.th, jilid I.

Halawi, Muhammad Abdul Aziz, Fatwa dan Ijtihad Umar Bin Khatab Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fikih. Surabaya: Risalah Gusti 2009, Cet. Pertama.

Haq , Hamka, Falsafat Usul Fiqh. Ujung Pandang: Yayasan Al-Ahkam 1998. __________, Al-Syâthibî Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab

al-Muwâfaqât, T.tp., Erlangga, 2007.

Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam Pengantar Untuk Usul al-Fiqh Mazhab Sunni, Jakarta: PT Raya Grafindo, 2000.

Handoyono, B. Hestu Cipto, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asassi Manusia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2003.

Haroen , Nasrun, Usȗl al-Fiqh, Pamulang Ciputat, Logos Publising House, 1996. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2011. Huda, Ni‟matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2005.

Ibrahim, Duski, Metode Penetapan Hukum Islam Membongkar Konsep aL-Istiqra’ aL-ma’nawi al-Syâtibî. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.


(4)

75

Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin, Kamus Usul al-Fiqh, Jakarta: Amzah, 2009.

Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmatu Al-Tasyri’ Wa Falsafati, juz 1, Beirut, Lebanon, Dar Al-Fikr, 1994.

Khallâf , Abd Al-Wahâb, Ilmu Usȗl al-Fiqh, T.tp., Dar al-Qolam, 1978.

Kamali, Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, Penerjemah Noorhaidi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar 1996.

Kusnardi, Moh., Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, T.tp: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV “Sinar Bakti”, 2010.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Meyer, Thomas, Jalur Idela Menuju Demokrasi, Friedrich-Eber-Stiftung (FES), T.tp., Sumber Rezeki Print, 2008.

Nasution, Lahmudin, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’I, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.

Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).

Nur, Iffatin,”Maqâsid al-Syari’ah (Telaah Asal Usul dan Perkembangan Konsep

Maqâsid al-Syari’ah al-Syâthibî)”, Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM, UNISBA, 1995.

Qardawi, Yusuf, Mudkhâl li al-Dirâsah al-Syarî’ah al-Islâmiyah, T.tp., Maktabah Wahbah, 1997.

_______, Yusuf, Fikih Prioritas Urutan Amal yang Terpenting dari yang Penting, Penerjemah Moh. Nurhakim. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Rahman, Abdur, Shariah Kodifikasi Hukum Islam, Penerjemah Basri Iba Asghary, Wadi Masturi. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993.


(5)

Syâthibî, Abȗ Ishaq, Al-Muwâfaqât fî Usȗl Al-Syari’ah, jilid 2, Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.th.

_________ , Abu Ishaq, Al-Muwâfaqât fî Usȗl Al-Syarî’ah, jilid 2, T.tp., Dar al-Hadits, 2006.

Syukur, Sarmin, Sumber-sumber Hukum Islam, Surabaya, Al-Ikhlas, 1993.

Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali Maslahah Mursalah & Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

SA, Romli, Muqâranah Madzâhib fî al- Usȗl. Jaksel, Gaya Media Pratama Jakarta, 1999.

Tutik, Titik Triwulan, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, T.tp., Prestasi Pustaka Publisher, 2006.

Tim Redaksi Fokusmedia, UUD’ 45 dan Amandemennya, Fokusmedia, h. 58-59. __________, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi

Hukum Islam, Fokusmedia,. UU No.22/2007 tentang Pemilu, pdf.

Yusuf, M. Yunan, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam dari Khawarij ke Buya Hamka hingga Hasan Hanafi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2014.

Zahrah, Muhammad Abu, Usȗl al-Fiqh, penerjemah Saefullah Ma‟sum, Slamet Basyir dkk, Pasar Minggu: Pustaka Firdaus, 2014.

_____ , Imam Abu, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah fi al-Siyâsah wa al-Aqoidi wa Târîkh al-Madzhab al-Fiqhiyyah, juz 1, T.tp., Dar al-Fikr al-„Arabi, 1989.

Zuhaylî, Wahbah, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam Studi Banding dengan Hukum Positif, Penerjemah Said Agil Husain al-Muanawar, M. Hadri Hasan. Ciputat Jaksel: Gaya Media Pratama 1997, Cet. Pertama.

________, Wahbah, Nadzriyyâtu al-Darȗrah al-Syar’iyyah Muqoronah ma’a al-Qonȗn al-Wad’i, Beirut/Lebanon, Muassasatu Al-Risalah, 1997.


(6)

77

C.Wawancara

Wawancara pribadi dengan Hasanudin AF, di kantor MUI Pusat, Jakarta, Selasa 9 September 2015.

D.Website

http://www.pemiluindonesia.com/kamus

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia

http://www.pemiluindonesia.com/sejarah/pemilihan-umum-indonesia-1955.html.

http://www.pemiluindonesia.com/sejarah/pemilihan-umum-orde-baru-1977-1997.html