Maslahah bagi al-Syâthibî

38 hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. 57 Dalam pasal ini, setiap orang berhak mempertahankan kehidupannya agar terwujudnya sebuah kemaslahatan. Dengan mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidup, manusia akan lebih mudah dalam mewujudkan kemaslahatan dunia maupun akhiratnya.

C. Maslahah bagi al-Syâthibî

Perbuatan manusia dapat dipandang dari dua aspek, yakni aspek terwujudnya kemaslahatan dan tuntutan syariah. Dari keduanya, kita bisa melihat bagaimana tanggung jawab manusia sebagai mukallaf. Pada aspek terwujudnya kemaslahatan, daya manusia menjadi syarat utama berlakunya taklif. Jadi, taklîf bi mâ lâ yuthaq tuntutan atas perbuatan di luar daya manusia adalah mustahil. Sedang pada aspek tuntutan syariah, hal ini berkait dengan kehendak irâdah dan perintah amr Allah kepada hamba-Nya. 58 Namun ada beberapa aliran kalam seperti aliran Muktazilah berpendapat bahwasanya manusia dapat menciptakan perbuatannya sendiri, mematuhi atau tidak kepada Tuhan merupakan kehendak manusia itu sendiri karena daya tersebut sudah ada dalam diri manusia. Sedangkan menurut Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwasanya manusia mempunyai kebebasan dalam melakukan perbuatannya dan itulah arti sebenarnya dari perbuatan manusia itu sendiri. Sejalan dengan pemikiran Maturudiyah, Al-Qadariyah mengatakan bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan 57 . Tim Redaksi Fokusmedia, UUD 1945 dan Amandemennya,Bandung: Fokusmedia, 2004, Cet. Pertama, h. 58-59. 58 . Hamka Haq, Al-Syâthibî Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwâfaqât, T.tp., Erlangga, 2007, h. 177. 39 hidupnya,dan manusia mempunya kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar tuhan, dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will dan free act. 59 Karena daya manusia menjadi syarat mutlak berlakunya hukum taklif, maka syariah yang tujuan pokoknya adalah kemaslahatan manusia tidak menghendaki kesulitan masyaqqah atas manusia. Setidaknya ada dua hal yang patut dicatat mengenai kehendak Allah untuk tidak mempersulit hamba-Nya. Pertama, Allah memberlakukan hukum taklif sesuai dengan tingkat pemahaman dan kondisi umum yang telah berlaku pada manusia. Kedua, Allah memberikan alternatif jalan keluar jika hamba mengalami kesulitan dalam pelaksanaan hukum taklif. 60 Tuhan sebagai pencipta alam semesta haruslah mengatasi segala yang ada, bahkan harus melampaui segala aspek yang ada itu. Ia adalah eksistensi yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas. Sebab tidak ada eksistensi lain yang mengatasi dan melampaui eksistensi-Nya. Tuhan dipahami sebagai eksistensi yang esa dan unik. Inilah makna umum yang dianut dalam memahami apa yang dimaksud dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Namun dalam sejarah ilmu kalam, terdapat perbedaan konsep tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan ini. Didasari oleh perbedaan pemahaman terhadap kekuatan akal, fungsi wahyu, kebebasan serta kekuasaan manusia dalam 59 . Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia UI-Press, 1986, Cet. Kelima, h.33. 60 . Ibid, h.209. 40 mewujudkan kehendak dan perbuatannya, konsep tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan pun turut pula berbeda. 61 Aliran kalam rasional, yang memberikan daya yang besar kepada akal serta memberikan kebebasan kepada manusia untuk melaksanakan kehendak perbuatannya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak lagi dipahami dalam pengertian yang mutlak semutlak-mutlaknya, tetapi sudah terbatas. Keterbatasan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu terjadi oleh adanya keadilan serta janji- janji Tuhan sendiri terhadap manusia. 62 Dalam al-Muwâfaqât, al-Syâthibî juga menyebut pendapat al-Râzi dan Muktazilah. Al-Râzi berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan „illah sama sekali dalam perbuatan-Nya. Sebaliknya, Muktazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam melaksanakan syariah, yaitu untuk menjaga kemaslahatan manusia. 63 Al-Syâthibî pun sepakat dengan syariah yang bertujuan untuk menjaga kemaslahatan manusia. 64 Sedikit membahas tentang perbuatan-perbuatan Tuhan, semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan juga melakukan perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai konsekuensi logis dari zat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Namun yang menjadi polemik di kalangan mutakallimîn adalah apakah perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal-hal yang baik- baik saja, ataukah perbuatan Tuhan itu tidak terbatas pada hal yang baik-baik saja, 61 . M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam dari Khawarij ke Buya Hamka hingga Hasan Hanafi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2014, Cet. Pertama, h.123. 62 . Ibid, h.124. 63 . Abu Ishâq Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqât fî Usul Al-Syarî ’ah, jilid 2, Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.th, h.4. 64 . Ibid., h.4. 41 tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk. Muktazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tetapi perbuatan buruk tidak Ia lakukan karena Tuhan mengetahui keburukan perbuatan buruk itu. 65 Sedangkan di dalam al-Quran jelas-jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat al- Quran yang dijadikan dalil oleh Muktazilah untuk mendukung pendapat di atas adalah surah al-Anbiyâ` ayat 23 dan surah ar-R ȗm ayat 8.       ءاي نأا 12 : 12 Artinya: “Dia Allah tiada ditanyai tentang apa-apa yang diperbuatnya, tetapi merekalah yang ditanyai-Nya ”.          ورلا 23 : 5 Artinya: “Allah tiada menjadikan langit dan Bumi serta segala isinya kecuali dengan benar. ” Maslahah mutlak diwujudkan karena keselamatan dan kesejahteraan ukhrawi dan duniawi tidak akan mungkin dicapai tanpanya, terutama bersifat dar ȗri yang meliputi lima hal: pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Hal tersebut juga disebut us ȗl al-dîn, qawâ’id al-syarî’ah, dan kulliyyah al- millah. 66 Maslahah sangatlah penting demi tegaknya kehidupan dunia dan tercapainya kehidupan akhirat. Maka hal-hal yang di dalamnya ada kemaslahatan 65 . M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam dari Khawarij ke Buya Hamka hingga Hasan Hanafi, h.135. 66 . Ibid., h.13. 42 dunia namun tidak ada unsur kemaslahatan akhiratnya, hal itu bukanlah maslahah yang dimaksud oleh syariah. Dalam mewujudkan maslahah, manusia harus terbebas dari hawa nafsunya agar menjadi hamba yang berikhtiar, tidak secara terpaksa. 67 Manusia harus berdasar pada syariah yang telah Allah tentukan, sehingga tidak mengikuti hawa nafsunya dalam mewujudkan maslahah. Karena diwujudkannya sebuah maslahah adalah untuk kebaikan manusia, bukan untuk kepantingan Allah. Hal ini karena syariah itu mengacu kepada kemaslahatan manusia, baik aspek dar ȗriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât. Karena syariah diadakan untuk kemaslahatan manusia, maka perbuatan manusia hendaknya mengacu pula kepada syariah itu. 68 Maslahah berlaku umum dan abadi atas seluruh manusia serta dalam segala keadaan. Beberapa pokok pikiran menyangkut universalitas syariah dirumusukan sebagai berikut. Pertama, bahwa setiap aturan nizâm bagi kemaslahatan diciptakan Tuhan secara harmonis dan tidak saling berbenturan. Jika aturan itu tidak harmonis dan saling bertentangan, Tuhan tentu tidak mensyariatkannya karena hal itu lebih tepat disebut sebagai sumber kerusakan mafsadah, padahal Tuhan menghendaki kemaslahatan secara mutlak. Kedua, kemaslahatan itu berlaku secara umum, tidak parsial, artinya bukan hanya berlaku secara khusus pada satu tempat tertentu saja. Jika hukum syariah itu berlaku khusus atas sebagian manusia saja, maka kaidah pokok ajaran Islam, seperti iman, tidak berlaku secara umum pula. 67 . Hamka Haq, Al-Syâthibî Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwâfaqât, h. 81. 68 . Ibid, h. 83. 43 Ketiga, maslahah universal kulliyyah adalah maslahah yang diterima secara umum. Hal ini sesuai dengan sifat syariah yang dimaksudkan Tuhan untuk berlaku secara umum menurut kondisi manusia. Keempat, kaidah-kaidah pokok maslahah universal bersifat tegas dan pasti, bukan bersifat samar atau tidak pasti. Al-Syâthibî berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaidah-kaidah pokok di sini adalah kaidah dalam teologi us ȗl al-dîn dan usȗl al- fiqh. Kelima, kaidah- kaidah maslahah universal tidak berlaku padanya naskh pembatalan. Naskh hanya terjadi pada kaidah-kaidah parsial. Bahkan, para ahli us ȗl mengakui bahwa maslahah dar ȗriyyât tetap terpelihara dalam setiap agama meski dengan cara yang berbeda sesuai dengan ajarannya masing-masing. 69

D. Pembagian Mashlahah