61
12. Pasal  28  D  3  UUD  RI  Tahun  1945  menyatakan  bahwa  “setiap  warga
Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
97
13. Konsideran UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD,
dan  DPRD,  point  menimbang  huruf  b  disebutkan  bahwa  pemilihan  umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat
guna  menghasilkan  pemerintahan  Negara  yang  demokratis  berdasarkan Pancasila  dan  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun
1945. Dengan demikian, tujuan utama penyelenggaraan pemilu  adalah untuk menegakka kemashlahatan, yang merupaka inti dari tujuan syari‟ah maqâsid
al-syarî ’ah.
14. UU  No.  10  Tahun  2008  Pasal  19  ayat  1  yang  menyatakan  bahwa  Warga
Negara  Indonesia  yang  pada  hari  pemungutan  suara  telah  genap  berumur  17 tujuh  belas  tahun  atau  lebih  atau  sudahpernah  kawin  mempunyai  hak
memilih.
98
B. Relevansi Rekomendasi MUI dengan Teori Maslahah al-Syâthibî
Sedikit  menjelaskan  proses  awal  terbentuknya  fatwa  ini.  Setelah  penulis mengadakan  wawancara  dengan  ketua  komisi  Fatwa  MUI  pusat  yaitu  Prof.  Dr.  H.
Hasanudin A.F, M.A, bahwasanya terbentuknya fatwa ini karena adanya mustafti atau yang meminta fatwa ini dibentuk. Lalu sifat fatwa ini adalah untuk publik masyarakat
97
. UUD Negara Republik Indonesia 1945 pdf. h. 19.
98
. UU No 10 2008 pdf, h. 9.
62
secara luas, tidak hanya  mengikat perorang.  Dalam  fatwa ini juga mengandung segi maslahah, karena segala sesuatu mengandung maslahah dan mudarat.
99
Pada sub bab ini peneliti akan menganalisis masalah yang sedang diteliti yaitu tentang  keterkaitan  fatwa  MUI  dengan  teori  maslahah  al-Syâthibî.  Poin  pertama
dalam  fatwa  ini  mengenai  pemilihan  umum  dalam  pandangan  Islam  adalah  upaya untuk  memilih  pemimpin  atau  wakil  yang  memenuhi  syarat-syarat  ideal  bagi
terwujudnya  cita-cita  bersama  sesuai  dengan  aspirasi  umat  dan  kepentingan bangsa.
100
Yang  dimaksud  dengan  syarat-syarat  di  sini  yaitu  sesuai  dari  segi kapabilitas,  kompetensi,  keahlian,  yang  mampu  kapasitasnya.
101
Sebagaimana dijelaskan pada bab kedua yang membahas mengenai pengertian pemilu beserta tata
caranya  dan  macam-macamnya,  pemilu  yang  di  dalamnya  bertujuan  untuk  memilih pemimpin yang sesuai syarat-syarat  yang ditentukan terutama sesuai aspirasi rakyat,
karena  Indonesia ini adalah Negara  yang menganut  asas demokrasi.  Rakyatlah  yang berdaulat, maka rakyat yang memenuhi syarat boleh mengikuti pemilu ini.
Dengan  berasaskan  Jurdil  jujur,  adil,  rakyat  menjalankan  haknya  dalam memilih  pemimpin  yang  sesuai  aspirasi  mereka  dan  yang  pastinya  sesuai  syarat-
syarat  yang  ditentukan.  Meskipun  Indonesia  adalah  Negara  yang  demokrasi,  namun dalam  pemilu  ini  tidak  bisa  dengan  demokrasi  langsung  di  karenakan  banyaknya
rakyat  Indonesia,  maka  demokrasi  tidak  langsung  atau  di  wakilkan    yang  sekarang
99
. Wawanncara Pribadi dengan Hasaudin AF. Di Kantor MUI Pusat  Jakarta, 09 September 2015.
100
. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975, h. 878.
101
.  Wawanncara  Pribadi  dengan  Hasanudin  AF.  Di  Kantor  MUI  Pusat    Jakarta,  09 September 2015.
63
dianut.  Sebagaimana  yang  kita  ketahui,  rakyat  memilih  wakil-wakil  rakyat  dan sekaligus  calon  pemimpinnya  untuk  duduk  di  kursi  pemerintahan.  Ini  merupakan
salah satu bentuk demokrasi, maka untuk para wakil dan pemimpin-pemimpin rakyat agar  selalu  mengedepankan  kepentingan  rakyat  atau  bangsa  di  atas  kepentingan
pribadi, sehingga tidak adanya kekecewaan pada masyarakat ketika sudah berlalunya pemilu.
Sesuai  dengan  pandangan  al-Syâthibî  mengenai  maslahah,  yang  mana  ia memandang  kemaslahatan  dunia  haruslah  ada  unsur  kemaslahatan  akhiratnya  juga,
karena  jika  tidak  maka  itu  bukan  maslahah  yang  di  maksud  oleh  syariah.
102
Begitupun dalam pemilu ini, seluruh lapisan masyarakat haruslah memandang kepada kedua kemaslahatan ini, yaitu  dunia dan akhirat. Karena jika hanya memperhatikan
kemaslahatan  dunia  saja  sedangkan  mengesampingkan  kemaslahatan  akhiratnya, maka  akan  berdampak  buruk  bagi  sebagian  masyarakat.  Misalnya  dalam  masalah
ibadah, jika rakyat memilih pemimpin yang pro rakyat namun hanya dalam masalah keduniaan  saja,  sedangkan  kontra  masalah  keagamaannya.  Maka  sebagian
masyarakat  akan  mengalami  kesulitan  dalam  peribadatan,  khususnya  masyarakat muslim  yang  ada  di  Indonesia.  Yang  memang  Indonesia  ini  berpenduduk  mayoritas
muslim. Karena masalah keagamaan bukan hanya menyangkut masalah duniawi saja, tapi juga menyangkut masalah ukhrawi.
102
.  Hamka  Haq,  Al-Syâthibî  Aspek  Teologis  Konsep  Maslahah  dalam  Kitab  al-Muwâfaqât, h. 81.
64
Selanjutnya,  poin  kedua  dalam  fatwa  ini  yaitu  mengenai  kewajiban  memilih seorang  pemimpin  demi  tegaknya  imâmah  dan  imârah.
103
Imâmah  adalah kepemimpinan  yang  berkaitan  dalam  urusan  agama  maupun  duniawi  sebagai
pengganti  kepemimpinan  Rasulullah  SAW.  Kepemimpinan  di  Indonesia  sudah memenuhi aspirasi rakyat, meskipun masih ada kekurangan namun ada kelebihannya
juga.
104
Sebagaimana  yang  dijelaskan  dalam qâ’idah usȗl yaitu
105
jadi apa adanya yang bisa dipilih. Dalam masalah pemilu, seluruh lapisan masyarakat yang  mempunyai  hak  pilih  wajib  mengikutinya  karena  suara  tiap-tiap  masyarakat
sangatlah  berpengaruh  dalam  penentuan  calon  pemimpin  selajutnya.  Meskipun banyak dari masyarakat yang lebih memilih untuk golputsama sekali tidak memilih,
di karenakan ketidaktahuan mengenai mekanisme pemilu ataupun karakter para calon pemimpin barunya. Seharusnya pemerintah perlu lebih mensosialisasikan mekanisme
pemilu  berikut  dengan  pengenalan  calon  pemimpin  yang  hendak  akan  dipilih  oleh setiap masyarakat.
Masih  ada  keterkaitan  antara  poin  pertama  dan  kedua  dalam  fatwa  ini,  sama- sama menjelaskan tentang kewajiban dalam memilih calon pemimpin sesuai ciri-ciri
yang ideal dan yang mementingkan kepentingan bangsa. Ada beberapa sistem dalam pemilu,  yang di  antaranya sistem pemilihan secara mekanis  yang mana di dalamnya
masing-masing individu masyarakat memberikan suaranya dalam pemilu.
103
. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975, h. 878.
104
.  Wawanncara Pribadi dengan Hasaudin AF. Di Kantor MUI Pusat  Jakarta, 09 September 2015.
105
. Abdul Hamid Hakim, Mabâdî Awwaliyyah Usul al-Fiqh wa al- Qawâ’id al-Fiqhiyyah, h.
43.
65
Secara  pasti  dalam  penegakan  imâmah  dan  imârah  ada  segi  maslahahnya, karena jika di sebuah daerah ataupun negara tidak ada seorang pemimpin maka tidak
akan  terjaganya  kemaslahatan  dunia  ataupun  akhirat.  Inilah  alasan  diwajibkannya menegakkan  imâmah  dan  imârah.  Serta  agar  terpeliharanya  maqâsid  syariah  yang
mana di dalamnya ada perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika  seluruh  lapisan  masyarakat  memilih  sesuai  kriteria  dan  aspirasi  rakyat  yang
mengedepankan  kepentingan  bangsa  sekaligus  kemaslahatan  dunia  ataupun  akhirat, maka akan terpeliharanya kelima hal di atas.
Syariah tidak menghendaki  kesulitan pada manusia, maka hendaklah manusia tidak  mengedepankan  hawa  nafsu,  apalagi  ketika  memilih  dalam  pemilu.  Jika
seseorang  mengedepankan  hawa  nafsu  dengan  memilih  namun  tidak  di  dasari  oleh pengetahuan akan mekanisme pemilu, maka akan salah dalam memilih, tidak sesuai
dengan harapan, atau akan mengalami kesulitan. Selanjutnya  poin  yang  ketiga  mengenai  Imâmah  dan  imârah  dalam  Islam
menghajatkan  syarat-syarat  sesuai  dengan  ketentuan  agama  agar  terwujud kemaslahatan  dalam  masyarakat.
106
Kepemimpinan  dalam  Islam    mengharuskan adanya  syarat-syarat  agar  tidak  salah  dalam  memilih  dan  sesuai  dengan  aspirasi
rakyat  yang  membutuhkan  seorang  pemimpin  yang  ideal  dan  amanah.  Karena pemimpin  yang  amanah,  akan  selalu  mementingkan  kemaslahatan  rakyatnya.
Kemaslahatan  merupakan  mengambil  manfaat  dan  menolak  kemudaratan,  ketika rakyat  memilih  pemimpin  yang  sesuai  dan  memenuhi  syarat,  maka  akan  terjaganya
106
. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975, h. 878.
66
kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sekaligus menolak bahaya yang ditimbulkan jika amanat  diberikan  kepada  yang  bukan  ahlinya.  Karena  kehidupan  manusia  tidaklah
terlepas dari perlindungan terhadap kelima perkara yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.
Tidaklah  sempurna  kehidupan  manusia  jika  tidak  menjaga  kelima  hal  ini. Mengenai  poin  ketiga  ini,  MUI  mensyaratkan  agar  sesuai  dengan  ketentuan  agama,
karena  hal  pertama  yang  dilindungi  dalam  lima  perkara  di  atas  adalah  masalah agama. Maka seorang pemimpin dalam Islam dilihat dari segi agamanya dahulu, jika
agamanya  sudah  baik  bisa  diperkirakan  ia  akan  mampu  mengemban  amanah  yang diberikan  kepadanya.  Setiap  manusia  pasti  diberikan  tanggung  jawab  yang  sesuai
dengan kemampuannya, karena Allah SWT tidak mensyariatkan segala sesuatu yang di  luar  kemampuan  hamba-Nya.  Namun,  kemaslahatan  bisa  didapat  dengan  usaha
yang melelahkan dalam menggapainya seperi halnya perlindungan terhadap akal. Jika seseorang  mengabaikan  perintah-perintah  Allah  SWT  mengenai  perlindungan
terhadap  akal  seperti  pelarangan  meminum  khamrminuman  keras,  maka  tidak  akan terwujudnya  kemaslahatan  jika  tidak  dimulai  dari  diri  masing-masing.  Karena
menegakkan  kemaslahatan  bukan  saja  kewajiban  para  pemimpin,  namun  seluruh masyarakat  haruslah  ikut  berperan  dalam  mewujudkan  kemaslahatan  yang  sesuai
dengan  syariah  Islam.  Selaras  dengan  apa  yang  dikemukakan  oleh  al-Syâthibî  dan
67
Muktazilah  yaitu  tujuan  Allah  SWT  menetapkan  syariat  adalah  untuk  menjaga kemaslahatan manusia.
107
Seperti  yang  sudah  dijelaskan  pada  teks  rekomendasi  yang  pertama,  yaitu tentang  tujuan  pemilu,  ada  keterkaitan  dengan  butir  fatwa  ketiga  ini.  Mengenai
kemaslahatan  dunia  dan  akhirat,  imâmah  dan  imârah  yang  dihajatkan  demi terjaganya kemaslahatan manusia merupakan sebagai penegak kedua kemaslahatan di
atas.  Tanpa  sosok  seorang  pemimpin,  sangatlah  sulit  untuk  menegakkan kemaslahatan  duniawi  ataupun  ukhrawi,  karena  pemimpin  dan  para  wakil-wakilnya
atau  wakil-wakil  rakyatlah  yang  menjadi  penopang    rakyatnya  dalam  menjalani kehidupan  bernegara.  Kebijakan-kebijakan  yang  dibuat  oleh  para  wakil  rakyatlah
yang  harus  mengedepankan  kedua  kemaslahatan  di  atas.  Karena  segala  kepentingan yang  bermuara  pada  kemaslahatan  manusia  menjadi  sebab  diwajibkannya
menjalankan kepentingan tersebut. Semua ketetapan hukum yang ditetapkan oleh nas seluruhnya mengandung kemaslahatan bagi manusia, baik  maslahah di dunia dan di
akhirat. Selanjutnya  poin  keempat  yaitu  memilih  pemimpin  yang  beriman  dan
bertakwa,  jujur  siddîq,  terpercaya  amânah,  aktif  dan  aspiratif  tablîgh, mempunyai  kemampuan  fathonah,  dan  memperjuangkan  kepentingan  umat  Islam
hukumnya  adalah  wajib.
108
Sifat  ketakwaan  disini  relatif  tidak  bisa  diukur,  meski
107
. Abu Ishaq Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqât fî Usul Al- Syarî’ah, jilid 2, h.4.
108
.  Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975, h. 878.
68
demikian  minimal  yang  mendekati  syarat  yang  ditentukan.
109
Memilih  seorang pemimpin merupakan perkara daruri, karena sebagaimana pengertian dari  maslahah
ini  yang  menerangkan  bahwasanya  maslahah  daruri  merupakan  kemaslahatan  yang memelihara  kelima  unsur  pokok  dalam  Islam.  Dan  jika  tercapainya  pemeliharaan
kemaslahatan ini, maka akan melahirkan keseimbangan antara agama dan dunia. Dengan  terpilihnya  seorang  pemimpin  yang  sesuai  dengan  syarat  yang
disebutkan di atas, maka diperkirakan akan terwujudnya keseimbangan antara urusan keagamaan  dan  keduniaan.  Namun  jika  yang  terpilih  seorang  yang  tidak  memiliki
karakter  seperti  yang  disebutkan  di  atas,  kemungkinan  besar  dapat  menimbulkan kemudaratan  yang  sama-sama  besarnya.  Karena  lawan  dari  kemaslahatan  yaitu
kemudaratan,  jika  kemaslahatannya  besar  maka  kemudaratannya  besar  pula,  namun jika  kemaslahatannya  sedang  maka  kemudaratannya  sedang  pula,  begitupun  juga
kemaslahatan yang bersifat ringan. Maka dari itu, rekomendasi ini mewajibkan kepada seluruh masyarakat  yang
sudah  memenuhi  syarat  untuk  dapat  memberikan  suaranya  dalam  pemilihan  umum. Demi  terciptanya  kemaslahatan  yang  di  dalamnya  ada  manfaat,  bukan  kemudaratan
yang  tidak  diinginkan  oleh  semua  pihak.  Karena  seharusnya  lebih  mengutamakan kemaslahatan  yang  lebih  tinggi  dari  pada  kemaslahatan  yang  tingkatannya  lebih
rendah.  Namun  untuk  pemilih,  memilih  dalam  pemilu  ini  hukumya  fardhu  kifayah
109
. Wawanncara Pribadi dengan Hasaudin AF. Di Kantor MUI Pusat  Jakarta, 09 September 2015.
69
bagi  pemilih.  Ketika  sebagian  sudah  melakukan,  maka  yang  lain  bebas  dari kewajiban tersebut.
110
Pada  poin  terakhir  dari  rekomendasi  ini  dijelaskan  bahwasanya  bagi  siapa yang tidak memilih sedangkan ada calon  yang sesuai kriteria  yang dijelaskan dalam
poin  sebelumnya,  maka  hukumnya  haram.  Maksud  dari  fatwa  ini  yaitu  golputtidak memilih  merupakan  hak  pemilih  dalam  pemilu,  karena  kembali  ke  pembahasan
sebelumnya tentang hukum memilih yaitu fardu kifâyah. Maka ketika yang lain sudah memilih,  maka terbebaslah  yang lain dari kewajiban memilih  dalam pemilu. Seperti
yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya, pemilu merupakan wadah bagi masyarakat dalam  menuangkan  aspirasi  suaranya  untuk  memilih  seorang  pemimpin  yang  ideal
sesuai dengan kriteria  yang dijelaskan pada isi fatwa diatas. Maka alangkah ruginya bagi  masyarakat  yang  tidak  menggunakan  hak  pilihnya  dalam  pemilu,  sedangkan
sebagian dari masyarakat  sangatlah antusias dalam  menggunakan hak pilihnya demi membangun  negara  yang  lebih  baik  dengan  pemimpin  yang  sesuai  dengan  kriteria
yang dijelaskan di atas. Namun,  ada  kemungkinan  jika  meningkatnya  angka  golput  pada  pemilu
disebabkan  oleh  ketidak  percayaan  masyarakat  dengan  calon  yang  sudah  ditentukan atau yang mendaftarkan dirinya dalam pemilu yang sedang diadakan. Maka alangkah
baiknya  pemerintah  mengambil  cara  dengan  mengadakan  seleksi  pada  para  calon pemimpin. Tujuannya agar bukan saja hanya yang mempunyai dana atau pendukung
110
. Wawanncara Pribadi dengan Hasaudin AF. Di Kantor MUI Pusat  Jakarta, 09 September 2015.
70
yang  banyak  yang  bisa  menjadi  pemimpin,  namun  calon  yang  memang  benar-benar amanah  dalam  mengemban  amanat  yang  diberikan  kepadanya.  Karena  sebenarnya
seorang  pemimpin  dan  para  wakilnya  di  negeri  ini  merupakan  pelayan  masyarakat, yang  seharusnya  mengedepankan  kemaslahatan  umat,  bukan  mengedepankan
kemaslahatan  pribadi,  partai,  atau  yang  lainnya  yang  sifatnya  diluar  kepentingan bangsa ini.
Maka  dari  itu,  semua  poin-poin  yang  dirumuskan  MUI  dalam  sebuah  fatwa ini,  tidak  lain  hanyalah  sebagai  pedomanlandasan  hukum  yang  ditinjau  dari  segi
agama Islam. Tujuannya hanya agar terwujudnya kemaslahatan manusia seluruhnya, bukan  hanya  kemaslahatan  dunia  saja.  Tapi  juga  kemaslahatan  ukhrawinya.  Karena
sebuah  kepemimpinan  merupakan  hal  yang  sangat  penting,  apalagi  dengan  cakupan sebuah negara yang begitu besar seperti Indonesia ini. Seperti hadis Nabi SAW yang
menerangkan,  jika  ada  tiga  orang  berpergian  ke  suatu  tempat,  maka  salah  satunya harus menjadi pemimpin.
Ini  menunjukan  bahwasanya  posisi  seorang  pemimpin  sangatlah  penting dalam tatanan kepemerintahan yang ada. Namun pemimpin yang ideal dan memenuhi
syaratlah  yang  harus  diutamakan  dalam  pemilu,  demi  tegaknya  maslahah.  Karena jika  suatu  kemaslahatan  tidak  diwujudkan,  maka  akan  datang  kerusakan  yang  sama
besarnya dengan besarnya kemaslahatan yang tidak terwujud. Dari  sekian  pembahasan,  dapat  diambil  kesimpulan  bahwasanya  relevansi
antara  rekomendasi  MUI  ini  dengan  teori  maslahah  al-Syâtibî  ialah  sama-sama
71
mengandung  kemaslahatan  duniawi  dengan  disyaratkannya  seorang  pemimpin dengan  syarat-syarat  yang  ideal  yang  sudah  dijelaskan  di  atas.  Sedangkan
kemaslahatan  akhiratnya  bisa  dilihat  dari  kriteria    ketakwaan  yang  sifatnya  relatif, yang  mana  harus  terpenuhi    demi  terwujudnya  kemaslahatan  akhirat.  Meskipun
selama ini belum ada yang bisa memenuhi syarat ini, tapi setidaknya masing-masing mempunyai  kelebihan  dan  kekurangan.  Diambil  seadanya  tanpa  mengesampingkan
syarat-syarat  yang  ideal  dan  kemaslahatan  yang  harus  diwujudkan,  duniawi  dan ukhrawi.
72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada pembahasan tentang Rekomendasi MUI mengenai Pemilu menurut teori maslahah al-Syâthibî, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Maslahah merupakan tujuan utama Syâri‟ dalam menetapkan hukum bagi
seluruh  manusia.  Maslahah  harus  sejalan  dengan  syariah  meskipun  harus bertentangan  dengan  kepentingan.  Segi  maslahah  dalam  fatwa  ini  yaitu  :
dalam  melaksanakan  pemilu,  syarat-syarat  ideal  seperti  keahlian, kapabilitas dll merupakan salah satu jalan agar terwujudnya kemaslahatan
dunia,  dan  syarat  ketakwaan  merupakan  jalan  agar  terwujudnya kemaslahatan ukhrawi. Selanjutnya dianjurkannya untuk memilih, jika ada
calon  yang  sesuai  karakteristik  yang  ditentukan,  namun  jika  belum  ada yang  memenuhi  kriteria,  maka  harus  dipilih  yang  lebih  sedikit
mafsadahnya. 2.
Relevansi  antara  fatwa  MUI  tentang  Pemilu  dengan  teori  maslahah  al- Syâthibî  ialah  sama-sama  mengandung  dua  kemaslahatan  yaitu
kemaslahatan dunia dan  akhirat,  syarat  ideal  dalam  pemilihan merupakan agar  terwujudnya  kemaslahatan  dunia,  sedangkan  segi  agama  ataupun
ketakwaan  merupakan  salah  satu  syarat  agar  terwujudnya  kemaslahatan akhirat.