27
4. Gambaran  Umum Pemilu di Indonesia
Sejak  kemerdekaan  hingga  tahun  2004  bangsa  Indonesia  telah menyelenggarakan  sembilan  kali  pemilihan  umum,  yaitu  pemilihan  umum  1955,
1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004. Dari pengalaman sebanyak itu,  pemilihan  umum  1955  dan  2004  mempunyai  kekhususan  atau  keistimewaan
dibanding dengan yang lain. Sebenarnya  pemilihan  umum  sudah  direncanakan  mulai  bulan  Oktober
1945, tetapi baru dapat dilaksanakan oleh kabinet Burhanudin Harahap pada tahun 1955. Pada pemilihan umum itu pemungutan suara dilakukan dua kali, yaitu satu
kali  untuk  memilih  anggota  DPR  pada  bulan  September,  dan  satu  kali  untuk memilih  anggota  Konstituante  pada  bulan  Desember.  Sistem  pemilihan  yang
digunakan ialah sistem proporsional. Pada waktu itu sistem itu, sebagaimana yang dicontohkan oleh Belanda, merupakan satu-satunya sistem pemilihan umum yang
dikenal dan dimengerti oleh pemimpin negara. Pemilihan  umum  diselenggarakan  dalam  suasana  khidmat,  karena
merupakan  pemilihan  umum  pertama  dalam  suasana  kemerdekaan.  Pemilihan umum  berlangsung  sangat  demokratis;  tidak  ada  pembatasan  partai-partai,  dan
tidak  ada  usaha  dari  pemerintah  mengadakan  intervensi  terhadap  partai-partai sekalipun  kampanye  berjalan  seru,  terutama  antara  Masyumi  dan  PNI.  Pula
administrasi  berjalan  lancar  dan  jujur.
34
Patut  dicatat  dan  dibanggakan  bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar,
jujur,  dan  adil  demokratis.  Pemilu  1955  bahkan  mendapat  pujian  dari  berbagai
34
. Ibid. h. 473-474
28
pihak, termasuk dari negara-negara asing. Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya  kesadaran  berkompetisi  secara  sehat.
35
Pemilihan  Umum  Indonesia 1955  adalah  pemilihan  umum  pertama  di  Indonesia  dan  diadakan  pada  tahun
1955.  Pemilu  ini  sering  dikatakan  sebagai  pemilu  Indonesia  yang  paling demokratis.
36
Pemilu-Pemilu  berikutnya  dilangsungkan  pada  tahun  1977,  1982,  1987, 1992,  dan  1997.  Pemilu-Pemilu  ini  diselenggarakan  dibawah  pemerintahan
Presiden  Soeharto.  Pemilu-Pemilu  ini  seringkali  disebut  dengan  Pemilu  Orde Baru.  Sesuai  peraturan  Fusi  Partai  Politik  tahun  1975,  Pemilu-Pemilu  tersebut
hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya  dimenangkan  oleh  Golongan  Karya.
37
Kondisi  Politik  menjelang Pemilu  tahun  1999  ditandai  dengan  ambruknya  legitimasi  rezim  Orde  Baru
sebagai akibat bobroknya moralitas para penyelenggara negara melalui penguatan KKN  Korupsi,  Kolusi,  dan  Nepotisme  secara  sistematik  yang  pada  gilirannya
mengakibatkan kritis multi-dimensional. Kondisi semacam inilah yang kemudian mengakibatkan  kompromi-kompromi  di  kalangan  elit  politik.
38
Kompromi  yang adil  merupakan  salah  satu  proses  yang  paling  produktif  untuk  mengatasi  konflik
atas  dasar  konsensus,  di  mana  cara  ini  diterima  oleh  semua  pihak  melampaui aturan,  sasaran,  dan  hak-hak  dasar  yang  dimiliki  setiap  orang  di  masyarakat.
39
35
. Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, h. 262
36
.  Redaksi,  Sejarah  Pemilu  1995  di  akses  hari  jumat  tgl  5  Juli  2015,  jam  13.54  dari http:www.pemiluindonesia.comsejarahpemilihan-umum-indonesia-1955.html.
37
. Ibid,  di akses hari jumat tgl 5 Juli 2015, http:www.pemiluindonesia.comsejarahpemilihan-umum-orde-baru-1977-1997.html,
38
.  B.  Hestu  Cipto  Handoyo,  Hukum  Tata  Negara,  Kewarganegaraan    Hak  Asasi Manusia, h. 223.
39
. Thomas Meyer, Jalur Idela Menuju Demokrasi, Friedrich-Eber-Stiftung FES, T.tp., Sumber Rezeki Print, 2008, Cet. Pertama,  h. 33.
29
Pemilu  2004  merupakan  pemilu  pertama  di  mana  para  peserta  dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres
2004  adalah  Susilo  Bambang  Yudhoyono.  Pilpres  ini  dilangsungkan  dalam  dua putaran, karena tidak ada pasangan calon  yang berhasil mendapatkan suara lebih
dari  50.  Putaran  kedua  digunakan  untuk  memilih  presiden  yang  diwarnai persaingan  antara  Yudhoyono  dan  Megawati  yang  akhirnya  dimenangi  oleh
pasangan  Yudhoyono-Jusuf  Kalla.  Pergantian  kekuasaan  berlangsung  mulus  dan merupakan  sejarah  bagi  Indonesia  yang  belum  pernah  mengalami  pergantian
kekuasaan  tanpa  huru-hara.  Satu-satunya  cacat  pada  pergantian  kekuasaan  ini adalah  tidak  hadirnya  Megawati  pada  upacara  pelantikan  Susilo  Bambang
Yudhoyono  sebagai  presiden.  Sedangkan  pemilu  pada  zaman  reformasi,  seperti juga di bidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa perubahan fundamental.
Pertama,  dibuka  kesempatan  kembali  untuk  bergeraknya  partai  politik  secara bebas, termasuk mendirikan partai baru. Ketentuan ini kemudian tercermin dalam
pemilihan  umum  1999  yang  diselenggarakan  dengan  disertai  banyak  partai. Kedua,  pada  pemilihan  umum  2004  untuk  pertama  kali  dalam  sejarah  Indonesia
diadakan  pemilihan  presiden  dan  wakil  presiden  secara  langsung,  sebelumnya presiden  dan  wakil  presiden  dipilih  melalui  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat
MPR.  Ketiga,  diadakan  pemilihan  untuk  suatu  badan  baru,  yaitu  Dewan Perwakilan  Daerah  yang  akan  mewakili  kepentingan  daerah  secara  khusus.
Keempat,  diadakan  “electoral  threshould”,  yaitu  ketentuan  bahwa  untuk pemilihan legislatif setiap partai  harus meraih  minimal  3 jumlah kursi anggota
badan legislatif pusat. Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, partai politik
30
harus memperoleh minimal 3 jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau 5  dari  perolehan  suara  secara  nasional.
40
Setiap  pemilihan  umum  mempunyai azas-azas  yang  tertentu.  Demikian  pula  pemilihan  umum  tahun  1955.  Dan  azas
pemilihan umum itu disebutkan dalam pasal 35 Undang-Undang Dasar 1950 yang berbunyi:
“Kemauan  rakyat  adalah  dasar  kekuasaan  penguasa,  kemauan  ini dinyatakan dalam pemilihan berkala  yang jujur dan  yang dilakukan menurut hak
pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia  ataupun  menurut  cara  yang  menajamin  kebebasan  mengeluarkan
pendapat”. Dengan demikian azasnya  adalah pertama umum  yaitu bahwa setiap warga  negara  yang  memenuhi  syarat-syarat  yang  telah  ditentukan  berhak  untuk
ikut  memilih  dan  dipilih.  Tidak  boleh  ada  perbedaan  antara  warga  negara. Berkesamaan maksudnya bahwa semua wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat
dan  Dewan  Perwakilan  Rakyat  dan  Dewan  Perwakilan  Rakyat  Daerah  tentunya harus  dipilih  melalui  pemilihan  umum.  Dengan  sendirinya  setiap  warga  negara
yang memenuhi syarat-syarat  yang ditentukan berhak memilih dan dipilih. Tidak ada  sebagian  rakyat  yang  memenuhi  syarat-syarat  yang  ditentukanditetapkan
tidak boleh memilih atau dipilih.
41
40
. Ibid. h. 483
41
. Moh. Kusnardi, Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, h. 343
31
BAB III MASLAHAH DALAM PANDANGAN Al-SY
ȂTHIBȊ
A. Pengertian Maslahah
Untuk  memahami  pandangan  ulama  tentang  al-maslahah,  lebih  dahulu perlu dikemukakan penjelasan tentang pengertian  al-maslahah. Uraian  mengenai
hal-hal  ini  dapat  dibagi  kepada  dua  bagian,  yaitu  pengertian  secara  etimologi kebahasaan dan pengertian secara terminologiistilahi.
1. Pengertian secara Etimologi
Secara  etimologi,  pengertian  Maslahah ٌ َحَْصَم  berasal  dari  kata  salaha
َحََص dengan penambahan alif di awalnya yang secara arti kata berarti baik lawan dari kata buruk atau rusak. Maslahah adalah masdar dengan arti kata salâh
ٌحاََص yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan. Pengertian maslahah dalam
bahasa  Arab  adalah  perbuatan-perbuatan  yang  mendorong  kepada  kebaikan manusia.
Dalam artianya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi  manusia,  baik  dalam  arti  menarik  atau  menghasilkan  seperti  menghasilkan
keuntungan  kesenangan,  atau  dalam  arti  menolak  atau  menghindarkan  seperti menolak  kerusakan.
42
Sedangkan  secara  terminologis,  para  ulama  us ȗl  al-fiqh
termasuk al-Syâthibî telah memberikan beberapa definisi yang berbeda.
42
.  Totok  Jumantoro,  Samsul  Munir  Amin,  Kamus  Us
ȗ
l  al-Fiqh,  Jakarta:  Amzah,  2009, Cet Kedua. h. 200.