Maslahah berdasarkan tingkat kebutuhannya

45 dekat dalam mendapatkan apa yang dimaksudkan dari kebiasaan-kebiasaanadat yang ada di dunia. Maka jika tercampur dengan mafsadah, itu bukanlah tujuanmaksud dari tuntutan secara syar‟i. Begitupun dengan mafsadah, jika mafsadah lebih nampakjelas maka itulah yang dimaksud secara syar‟i atau murni, tapi untuk mafsadah ada pelarangan tidak seperti maslahah yang dibutuhkandituntut, dan jika diiringi dengan maslahah sesuatu yang nikmat maka itu bukan maksud dari pelarangan terhadap pekerjaan tersebut, tetapi yaang lebih nampaklah yang dimaksud. b. Begitupun dengan maslahah dan mafsadah ukhrowiakhirat, Al-Syâthibî membagi menjadi dua bagian, yaitu: 72 Pertama, kemaslahatan dan mafsadah harus murni tidak tercampur satu dengan yang lainnya, seperti azab bagi para penghuni neraka, kenikmatan bagi penghuni surga, neraka itu untuk ahli neraka. Kedua, yang tercampur antara keduanya, seperti neraka untuk orang yang beriman, orang yang mukmin tapi masuk neraka, mereka mendapatkan mafsadah yaitu masuk neraka. Tapi mafsadahnya tidak selamanya, karena ketika mereka masuk surga di kemudian hari, akhirnya mereka mendapatkan maslahah.

2. Maslahah berdasarkan tingkat kebutuhannya

Maslahah berdasarkan tingkatan kebutuhannya terbagi menjadi tiga kategori, ada beberapa perbedaan pandangan ulama dalam mengkategorikan maslahah berdasarkan tingkatannya, yaitu : 72 . Ibid, h. 282. 46 a. Maslahah Dar ȗriyyât primer ialah tingkatan di mana berbagai maslahah tersebut akan terealisir tanpa terpenuhinya tingkatan ini. Maka, dar ȗriyyat dalam kaitannya dengan al-nafs jiwa adalah memelihara kehidupan nyawa, anggota badan dan segala sesuatu yang menopang tegaknya kehidupan manusia. 73 Menurut al-Syâthibî, makna dari dar ȗriyyât adalah kemaslahatan yang sangat dibutuhkan demi keseimbangan maslahah keagamaan dan keduniaan, jika kemaslahatan ini tidak ada maka maslahah keduniaan tidak akan berjalan secara istiqomah, tetapi akan mengalami kerusakan dalam kehidupan, dan mengalami kerugian. 74 Sejalan dengan yang diutarakan oleh Abd al-Wahâb Khollâf, beliau mengatakan bahwa perkara dar ȗriyyat adalah sesuatu yang mempengaruhi kehidupan manusia untuk istiqomahnya kemaslahatan manusia, dan perkara-perkara ini bagi manusia kembali kepada pemeliharaan terhadap lima hal yaitu, agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Maka menjaga setiap dari kelima hal tersebut merupakan perkara dar ȗriyyât. 75 Jika agama tidak ada dan manusia dibiarkan begitu saja, maka akan muncul masyarakat Jahiliyah, dan manusia hidup dengan penuh kekacauan. Karena itu, beriman, salat, puasa, zakat, dan haji disyariatkan untuk memelihara keberadaan agama. Selain itu disyariatkan pula hukuman-hukuman yang ampuh 73 . Muhammad Ab ȗ Zahrah, Us ȗ l al-Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma‟sum dkk, h. 584. 74 . Ab ȗ Ishâq Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqât fî Us ȗ l Al-Syarî ’ah, jilid 2, h. 265. 75 . Abd Al-Wahâb Khollâf, Ilmu Us ȗ l al-Fiqh, h. 199. 47 mencegah perbuatan yang mengancam eksistensi agama, seperti hukuman bunuh bagi orang yang murtad, dan memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. 76 Dalam rangka memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama serta membentengi jiwa dengan nilai-nilai keagamaan itulah, maka berbagai macam ibadah disyariatkan. Ibadah-ibadah ini dimaksudkan untuk membersihkan jiwa dan menumbuhkan semangat keberagamaan. Memelihara jiwa al-muhâfazah „ala al-Nafs, ialah memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memeliahara jiwa agar terhindar dari tindakan penganiayaan, berupa pembunuhan, pemotongan anggota badan maupun tindakan melukai. Termasuk dalam kategori memelihara jiwa, adalah memelihara kemuliaan atau harga diri manusia dengan jalan mencegah perbuatan qadzaf menuduh berbuat zina, mencaci-maki serta perbuatan-perbuatan serupa. Atau, berupa pembatasan gerak langkah manusia tanpa memberi kebebasan untuk berbuat baik. Karenanya, Islam melindungi kebebasan berkarya berprofesi, kebebasan berpikir dan berpendapat, kebebasan bertempat tinggal serta kebebasan-kebebasan lain yang bertujuan menegakkan pilar-pilar kehidupan manusia terhormat dan bebas bergerak di tengah dinamika sosial yang utama sepanjang tidak merugikan orang lain. Memelihara akal al-muhâfazah „ala al-aql, ialah menjaga akal agar tidak terkena bahaya kerusakan yang mengakibatkan orang yang bersangkutan tak berguna lagi di masyarakat, menjadi sumber keburukan dan penyakit bagi orang lain. Arti penting pemeliharaan akal dapat ditinjau dari beberapa segi: 76 . Iffatin Nur, ”Maqâsid al-Syarî’ah Telaah Asal Usul dan Perkembangan Konsep Maqâsid al- Syari’ah al-Syâthibî”, Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. h. 75. 48 1. Agar setiap anggota masyarakat Islam tidak terganggu, bahkan mendapat limpahan kebaikan dan kemanfaatan. 2. Orang yang membiarkanmempertaruhkan akalnya dalam bahaya kerusakan, akan menjadi beban yang harus dipikul oleh masyarakat. Jika memang demikian, maka terhadap orang itu harus diancam dengan hukuman- hukuman yang kiranya dapat mencegahnya dari perbuatan nekat. 3. Orang yang akalnya terkena bahaya, akan menjadi sumber timbulnya kerawanan sosial. Masyarakat akan ikut menanggung resiko, menghadapi kejahatan dan pelanggaran. Memilihara keturunan al-muhâfazah „ala al-Nasl, ialah memelihara kelestarian jenis makhluk manusia dan membina sikap mental generasi penerus agar terjalin rasa persahabatan dan persatuan di antara sesama umat manusia. Misalnya, setiap anak dididik langsung oleh kedua orang tuanya, perilakunya terus dijaga dan diawasi. Dengan demikian, dituntut adanya lembaga perkawinan yang teratur, pencegahan akan terjadinya broken home, serta pencegahan terhadap perbuatan yang merusak citra diri, baik dengan perbuatan qadzaf maupun berzina. Sebab hal tersebut menodai amanat yang dititipkan Allah SWT kepada masing- masing diri orang laki-laki dan perempuan agar melahirkan keturunan, sehingga terhindar dari kepunahan dan hidup dalam suasana tentram dan sejahtera. Dengan demikian, anak keturunanya akan semakin banyak dan kuat serta mudah tercipta persatuan dan kesatuan di tengah masyarakat, di mana mereka hidup. Dan dalam konteks itulah, adanya sanksi hukuman zina, qadzaf serta sanksi-sanksi hukuman ta’zir lainnya yang ditetapkan dalam rangka menjaga kelangsungan keturunan. 49 Memelihara harta al-muhâfazah „ala al-Mâl, dilakukan dengan mencegah perbuatan yang menodai harta, misalnya pencurian mencegah perbuatan yang menodai harta, misalnya pencurian dan ghasab; mengatur sistem mu’âmalah atas dasar keadilan dan kerelaan; dan dengan berusaha mengembangkan harta kekayaan dan menyerahkannya ke tangan orang yang mampu menjaga dengan baik. Sebab harta yang ada di tangan perorangan menjadi kekuatan bagi umat secara keseluruhan. Karena itu, harus dipelihara dengan menyalurkannya secara baik, dan dengan memelihara hasil karya hak cipta, mengembangkan sumber-sumber ekonomi umum, mencegah agar tidak dimakan di antara sesama manusia dengan cara yang batil, tidak dengan cara yang haq benar yang dihalalkandibenarkan oleh Allah kepada hamba-Nya. Termasuk dalam kategori memelihara harta, setiap hal yang disyariatkan oleh Allah untuk mengatur kerja sama di antara sesama manusia seperti jual beli, sewa menyewa dan bentuk-bentuk transaksi lainnya yang obyeknya adalah harta bidang ekonomi. 77 Contoh dari maslahah ini ialah seperti diwajibkannya had bagi yang meminum khamr karena demi menjaga akal manusia. 78 Karena khamr dapat memb ahayakan harta dan jiwa, maka Syari‟ menetapkan hukuman dengan 80 kali dicambuk bagi peminumnya. 79 b. Maslahah hâjiyyât sekunder adalah perkara-perkara yang diperlukan manusia untuk menghilangkan dan menghindarkan dirinya dari kesempitan dan 77 . Muhammad Ab ȗ Zahrah, Us ȗ l al-Fiqh, Penerj emah Saefullah Ma‟sum dkk, h. 579- 582. 78 . Ab ȗ Hamid Muhammad Bin Muhammad al-Ghazâlî, Al-Mustasfa min i’lmi al-Us ȗ l jilid I, h.287. 79 . Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmatu Al-Tasyrî ’ Wa Falsafati, juz 1, Beirut, Lebanon, Dar al-Fikr, 1994, h. 196. 50 kesulitan, yang sekiranya perkara-perkara ini tidak ada, maka peraturan hidup manusia tidak sampai rusak. Begitu juga keresahan dan kehancuran tidak sampai bertebaran, sebagaimana yang diakibatkan oleh perkara-perkara dar ȗriyyât. 80 Atau segala sesuatu yang oleh hukum syarak tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan masyaqat, kesempitan, atau ihtiyâth berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut. Seperti diharamkannya hal-hal berikut: menjual arak agar tidak mudah memperolehnya, melihat aurat wanita, shalat di bumi yang dighasab, membanting harga dan menimbun barang. Perlu ditegaskan, bahwa termasuk dalam kategori hâjiyyât adalah memelihara kebebasan individu dan kebebasan beragama. Sebab manusia hidup membutuhkan dua kebebasan ini. Akan tetapi, terkadang seseorang mengahadapi kesulitan. Termasuk hâjiyyât dalam kaitannya dengan keturunan, ialah diharamkannya berpelukan. Sedang hâjiyyât dalam kaitannya dengan harta, seperti diharamkannya ghasab dan merampas. Keduanya tidak menyebabkan lenyapnya harta, karena masih mungkin untuk diambil kembali. Sebab keduanya dilakukan secara terang- terangan. Begitu juga, peminjam yang mampu, yang tidak mau membayar hutangnya. Sedangkan hâjiyyât yang berkaitan dengan akal seperti diharamkannya meminum sedikit minuman keras. Contoh lain, seperti keringanan dalam masalah ibadah dikarenakan sakit atau dalam perjalanan. 81 Maka al-Quran telah menetapkan bahwa menghilangkan kesempitan dari 80 . Sarmin Syukur, Sumber-sumber Hukum Islam, Surabaya, Al-Ikhlas, 1993, Cet. Pertama, h. 181. 81 . Muhammad Ab ȗ Zahrah, Us ȗ l al-Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma‟sum dkk, h. 585. 51 manusia adalah merupakan satu segi diantara berbagai segi dari dasar disyariatkannya syariah Islam. Allah berfirman:         رق لا 1 : 258 Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” c. Maslahah Tahsîniyyât, adalah kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya, 82 ataupun pelengkap hal-hal yang tidak dalam rangka merealisasi lima kemaslahatan pokok tersebut, tidak pula dalam rangka ihtiyâth, akan tetapi dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan melindungi lima hal pokok hukum di atas lima kemaslahatan. 83 Wahbah Dzhuhaiylî berpendapat mengenai maslahah ini beliau berpendapat bahwasanya yang dimaksud dengan maslahah tahsîniyyât adalah perkara-perkara yang dikembalikan kepada kemuliaan akhlak, atau yang ditujukan kepada kebaikan-kebaikan adat istiadat. 84 Contohnya tahsîniyyât dalam kaitannya dengan diri seseorang al-nafs seperti melindungi diri dari dakwaan tuduhan batil dan makian orang , serta perbuatan serupa yang tidak menyangkut sumber kehidupan asl hayat, tidak pula menyangkut hajat hidup kebutuhan sekunder. Akan tetapi, berkenaan dengan maslahah yang dapat mendatangkan kesempurnaan hidup. Martabat tahsîniyyât ini melengkapi dua martabat terdahulu, yakni dar ȗriyyat dan hâjiyyât. Dalam melindungi harta, 82 . Nasrun Haroen, Us ȗ l al-Fiqh, Pamulang Ciputat, Logos Publising House, 1996, Cet Pertama, h. 116. 83 . Muhammad Ab ȗ Zahrah, Us ȗ l al-Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma‟sum dkk, h. 586. 84 . Wahbah Al-Dzuhaylî, Nadzriyyâtu al-Dar ȗ rah al-S yar’iyyah Muqoronah ma’a al- Qon ȗ n al-W ad’i,BeirutLebanon, Muassasatu Al-Risalah, 1997, Cet. Kelima, h. 54. 52 diharamkannya menipu atau memalsukan barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri eksistensinya, tetapi menyangkut kesempurnaannya. Sebab hal itu berlawanan kepentingan dengan keinginan membelanjakan harta secara terang dan jelas; serta keinginan memperoleh gambaran yang tepat tentang untung dan rugi. Adapun contoh yang berkenaan dengan memelihara keturunan, diharamkannya seorang wanita keluar di tengah jalan mengenakan perhiasan, dalam firman Allah:                                                                                   رونلا 14 : 22 Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita- wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki- laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan 53 kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. ” Larangan wanita memakai perhiasan di luar rumah itu termasuk dalam kategori tahsîniyyât, karena memelihara kesempurnaan asl pokok naslketurunan. Selain itu, larangan tersebut sebagai wujud kehormatan, kemuliaan, dan dapat mengangkat harkat wanita yang dewasa ini, nampak ditempatkan dalam posisi rendah. Sedangkan dalam masalah agama, di antaranya adalah larangan terhadap dakwah yang menyimpang, agar tidak menyentuh pokok keimanan, di mana dengan semakin gencarnya gerakan dakwah semacam itu akan menimbulkan keraguan terhadap ajaran Islam. 85 Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian pengertian al-maslahah, lawan dari kemaslahatan adalah kemudaratan atau kemafsadah-an. Dengan demikian, jika memelihara tujuan syarak yang lima merupakan dua sifat yang saling bertolak belakang, maka sejalan dengan tingkatan kemashlahatan yang terdapat pada tujuan-tujuan syarak, tentu secara logis dapat dikatakan bahwa tingkat kemaslahatan dengan tingkat kemudaratan yang akan timbul sebagai akibat dari tidak tercapainya kemaslahatan juga terdiri dari tiga tingkatan, yaitu kemudaratan yang bersifat terberat atau terbesar, yang sedang dan kemudaratan yang bersifat ringan. Kemudaratan yang terbesar adalah kemudaratan yang timbul sebagai akibat dari tidak tercapainya tujuan syarak yang bersifat primer sebagai 85 . Muhammad Ab ȗ Zahrah, Usul al- Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma‟sum dkk, h. 586- 587. 54 kemaslahatan primer. Bentuk dari kemudaratan ini adalah timbulnya kerusakan dan kekacauan dalam tatanan kehidupan, baik yang berkaitan dengan keduniaan ataupun keakhiratan. Kemudaratan yang bersifat sedang adalah yang timbul sebagai akibat dari tidak terpenuhinya kemaslahatan sekunder. Sedangkan kemudaratan yang bersifat ringan adalah kemudaratan yang timbul akibat tidak tercapainya kemaslahatan tersier. Kemudaratan ini tidak sampai melahirkan kekacauan ataupun kesulitan dalam kehidupan manusia, tetapi dengan adanya kemudaratan ini akan menghilangkan nilai- nilai estetis dan predikat “beradab dan berbudaya” dari kehidupan manusia. Masing-masing tingkat kemaslahatan di atas berhubungan dengan kemaslahatan lainnya yang berfungsi sebagai penyempurna. Karena ia bersifat menyempurnakan, maka meskipun ia tidak ada, hikmah yang terdapat pada pensyariatan sesuatu hukum pada masing-masing tingkatan di atas tidak sampai menjadi rusak atau hilang. 86 Tujuan jumhur ulama melakukan pembagian al- maslahah ke dalam tiga tingkatan di atas ialah, untuk menetapkan skala prioritas dalam melakukan pilihan terhadap berbagai kemaslahatan sebagai dalil dalam menetapkan hukum. Dalam hal ini, penetapan hukum yang didasarkan atas kemaslahatan dipersyaratkan tidak mengakibatkan terjadinya pengabaian terhadap al-maslahah yang lebih tinggi tingkatannya, serta tidak pula bertentangan dengan kemaslahatan yang ada dasar hukumnya secara tertentu. Sebagai contoh, memelihara jiwa adalah maslahah dar ȗriyyat, sedangkan memelihara muru’ah adalah mashlahah tahsîniyyât. Seseorang tidak dibenarkan 86 . Iffatin Nur,” Maqasid al-Syarî’ah Telaah Asal Usul dan Perkembangan Konsep Maqâsid al-Syarî ah”,h. 78-79. 55 mengabaikan pemeliharaan yang bersifat dar ȗrî, hanya karena hendak memelihara yang bersifat tahsînî. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh menolak untuk diperiksa oleh dokter medis untuk tujuan pengobatan, apabila ia menderita penyakit yang dapat mengancam jiwanya, meskipun pemeriksaan tersebut akan mengakibatkan auratnya terlihat. Sebab menutup „aurat sebagai bagian dari muru’ah adalah tahsînî, sedangkan memelihara jiwa adalah darȗrî. 87 Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan dari pemaparan di atas mengenai macam-macam maslahah, adanya keterkaitan antara maslahah dar ȗriyyât dengan maslahah lainnya, dengan tidak mengesampingkan perkara-perkara yang sifatnya dar ȗrî, karena jika dikesampingkan maka akan menimbulkan kerusakan yang sesuai dengan kemashlahatan yang dilindungi. Karena di samping kemashlahatan yang besar ada pula kerusakan yang besar pula, maka dalam Islam sangatlah penting memelihara kemashlahatan karena merupakan tujuan dari penetapan syariah oleh Allah SWT. 87 . Iffatin Nur,” Maqasid al-Syarî’ah Telaah Asal Usul dan Perkembangan Konsep Maqâsid al- Syarîah”,, h. 80-81. 56

BAB IV ANALISIS REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILU MENURUT TEORI

MASLAHAH Al-SY ȂTHIBȊ

A. Rekomendasi MUI tentang Pemilu

1. Teks Tentang Pemilu

Menggunakan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum. 88 a. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa b. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imârah dan imâmah dalam kehidupan bersama c. Imârah dan imâmah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat d. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur siddiq, terpercaya amânah, aktif dan aspiratif tabligh, mempunyai kemampuan fathonah, dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib. 88 . Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975, Jakarta: penerbit Erlangga, 2011, h. 878.