45
dekat  dalam  mendapatkan  apa  yang  dimaksudkan  dari  kebiasaan-kebiasaanadat yang  ada  di  dunia.  Maka  jika  tercampur  dengan  mafsadah,  itu  bukanlah
tujuanmaksud dari tuntutan secara syar‟i. Begitupun  dengan  mafsadah,  jika  mafsadah  lebih  nampakjelas  maka
itulah  yang  dimaksud  secara  syar‟i  atau  murni,  tapi  untuk  mafsadah  ada pelarangan  tidak  seperti  maslahah  yang  dibutuhkandituntut,  dan  jika  diiringi
dengan  maslahah  sesuatu  yang  nikmat  maka  itu  bukan  maksud  dari  pelarangan terhadap pekerjaan tersebut, tetapi yaang lebih nampaklah yang dimaksud.
b. Begitupun  dengan  maslahah  dan  mafsadah  ukhrowiakhirat,  Al-Syâthibî
membagi menjadi dua bagian, yaitu:
72
Pertama,  kemaslahatan  dan  mafsadah  harus  murni  tidak  tercampur  satu dengan  yang  lainnya,  seperti  azab  bagi  para  penghuni  neraka,  kenikmatan  bagi
penghuni surga, neraka itu untuk ahli neraka. Kedua, yang tercampur antara keduanya, seperti neraka untuk orang yang
beriman, orang yang mukmin tapi masuk neraka, mereka mendapatkan mafsadah yaitu  masuk  neraka.  Tapi  mafsadahnya  tidak  selamanya,  karena  ketika  mereka
masuk surga di kemudian hari, akhirnya mereka mendapatkan maslahah.
2. Maslahah berdasarkan tingkat kebutuhannya
Maslahah  berdasarkan  tingkatan  kebutuhannya  terbagi  menjadi  tiga kategori,  ada  beberapa  perbedaan  pandangan  ulama  dalam  mengkategorikan
maslahah berdasarkan tingkatannya, yaitu :
72
.  Ibid, h. 282.
46
a. Maslahah  Dar
ȗriyyât  primer  ialah  tingkatan  di  mana  berbagai  maslahah tersebut  akan  terealisir  tanpa  terpenuhinya  tingkatan  ini.  Maka,  dar
ȗriyyat dalam  kaitannya  dengan  al-nafs  jiwa  adalah  memelihara  kehidupan
nyawa,  anggota  badan  dan  segala  sesuatu  yang  menopang  tegaknya kehidupan  manusia.
73
Menurut  al-Syâthibî,  makna  dari  dar ȗriyyât  adalah
kemaslahatan  yang  sangat  dibutuhkan  demi  keseimbangan  maslahah keagamaan  dan  keduniaan,  jika  kemaslahatan  ini  tidak  ada  maka  maslahah
keduniaan  tidak  akan  berjalan  secara  istiqomah,  tetapi  akan  mengalami
kerusakan dalam kehidupan, dan mengalami kerugian.
74
Sejalan dengan  yang diutarakan  oleh  Abd  al-Wahâb  Khollâf,  beliau  mengatakan  bahwa  perkara
dar ȗriyyat  adalah  sesuatu  yang  mempengaruhi  kehidupan  manusia  untuk
istiqomahnya  kemaslahatan  manusia,  dan  perkara-perkara  ini  bagi  manusia kembali  kepada  pemeliharaan  terhadap  lima  hal  yaitu,  agama,  jiwa,  akal,
nasab,  dan  harta.    Maka  menjaga  setiap  dari  kelima  hal  tersebut  merupakan perkara dar
ȗriyyât.
75
Jika  agama  tidak  ada  dan  manusia  dibiarkan  begitu  saja,  maka  akan muncul  masyarakat  Jahiliyah,  dan  manusia  hidup  dengan  penuh  kekacauan.
Karena  itu,  beriman,  salat,  puasa,  zakat,  dan  haji  disyariatkan  untuk  memelihara keberadaan  agama.  Selain  itu  disyariatkan  pula  hukuman-hukuman  yang  ampuh
73
. Muhammad Ab ȗ Zahrah, Us
ȗ
l al-Fiqh, Penerjemah  Saefullah Ma‟sum dkk, h. 584.
74
. Ab ȗ Ishâq Al-Syâthibî,  Al-Muwâfaqât fî Us
ȗ
l Al-Syarî ’ah,  jilid 2, h. 265.
75
. Abd Al-Wahâb Khollâf, Ilmu Us
ȗ
l al-Fiqh, h. 199.
47
mencegah perbuatan  yang mengancam eksistensi agama, seperti hukuman bunuh bagi orang yang murtad, dan memerangi orang yang tidak mau membayar zakat.
76
Dalam  rangka  memelihara  dan  mempertahankan  kehidupan  beragama serta  membentengi  jiwa  dengan  nilai-nilai  keagamaan  itulah,  maka  berbagai
macam ibadah disyariatkan. Ibadah-ibadah ini dimaksudkan untuk membersihkan jiwa dan menumbuhkan semangat keberagamaan. Memelihara jiwa al-muhâfazah
„ala  al-Nafs,  ialah  memelihara  hak  untuk  hidup  secara  terhormat  dan memeliahara  jiwa  agar  terhindar  dari  tindakan  penganiayaan,  berupa
pembunuhan,  pemotongan  anggota  badan  maupun  tindakan  melukai.  Termasuk dalam  kategori  memelihara  jiwa,  adalah  memelihara  kemuliaan  atau  harga  diri
manusia  dengan  jalan  mencegah  perbuatan  qadzaf  menuduh  berbuat  zina, mencaci-maki  serta  perbuatan-perbuatan  serupa.  Atau,  berupa  pembatasan  gerak
langkah manusia tanpa memberi kebebasan untuk berbuat baik. Karenanya, Islam melindungi kebebasan berkarya berprofesi, kebebasan berpikir dan berpendapat,
kebebasan  bertempat  tinggal  serta  kebebasan-kebebasan  lain  yang  bertujuan menegakkan  pilar-pilar  kehidupan  manusia  terhormat  dan  bebas  bergerak  di
tengah dinamika sosial yang utama sepanjang tidak merugikan orang lain. Memelihara akal al-muhâfazah
„ala al-aql, ialah menjaga akal agar tidak terkena  bahaya  kerusakan  yang  mengakibatkan  orang  yang  bersangkutan  tak
berguna  lagi  di  masyarakat,  menjadi  sumber  keburukan  dan  penyakit  bagi  orang lain. Arti penting pemeliharaan akal dapat ditinjau dari beberapa segi:
76
.  Iffatin  Nur, ”Maqâsid  al-Syarî’ah  Telaah  Asal  Usul  dan  Perkembangan  Konsep
Maqâsid  al- Syari’ah  al-Syâthibî”,  Disertasi    Sekolah  Pascasarjana  Universitas  islam  Negeri
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,  2008. h. 75.
48
1. Agar  setiap  anggota  masyarakat  Islam  tidak  terganggu,  bahkan  mendapat
limpahan kebaikan dan kemanfaatan. 2.
Orang  yang  membiarkanmempertaruhkan  akalnya  dalam  bahaya kerusakan,  akan  menjadi  beban  yang  harus  dipikul  oleh  masyarakat.  Jika
memang demikian, maka terhadap orang itu harus diancam dengan hukuman- hukuman yang kiranya dapat mencegahnya dari perbuatan  nekat.
3. Orang  yang  akalnya  terkena  bahaya,  akan  menjadi  sumber  timbulnya
kerawanan  sosial.  Masyarakat  akan  ikut  menanggung  resiko,  menghadapi kejahatan dan pelanggaran.
Memilihara  keturunan  al-muhâfazah „ala  al-Nasl,  ialah  memelihara
kelestarian  jenis  makhluk  manusia  dan  membina  sikap  mental  generasi  penerus agar  terjalin  rasa  persahabatan  dan  persatuan  di  antara  sesama  umat  manusia.
Misalnya,  setiap  anak  dididik  langsung  oleh  kedua  orang  tuanya,  perilakunya terus dijaga dan diawasi. Dengan demikian, dituntut adanya lembaga perkawinan
yang teratur, pencegahan akan terjadinya broken home, serta pencegahan terhadap perbuatan yang merusak citra diri, baik dengan perbuatan qadzaf maupun berzina.
Sebab  hal  tersebut  menodai  amanat  yang  dititipkan  Allah  SWT  kepada  masing- masing  diri  orang  laki-laki  dan  perempuan  agar  melahirkan  keturunan,  sehingga
terhindar dari kepunahan dan hidup dalam suasana tentram dan sejahtera. Dengan demikian, anak keturunanya  akan semakin banyak dan kuat  serta mudah  tercipta
persatuan dan kesatuan di tengah masyarakat, di mana mereka hidup. Dan dalam konteks itulah, adanya sanksi hukuman zina, qadzaf serta sanksi-sanksi hukuman
ta’zir  lainnya yang ditetapkan dalam rangka menjaga kelangsungan keturunan.
49
Memelihara  harta  al-muhâfazah „ala  al-Mâl,  dilakukan  dengan
mencegah  perbuatan  yang  menodai  harta,  misalnya  pencurian  mencegah perbuatan  yang menodai harta, misalnya pencurian dan ghasab; mengatur sistem
mu’âmalah  atas  dasar  keadilan  dan  kerelaan;  dan  dengan  berusaha mengembangkan  harta  kekayaan  dan  menyerahkannya  ke  tangan  orang  yang
mampu menjaga dengan baik. Sebab harta yang ada di tangan perorangan menjadi kekuatan  bagi  umat  secara  keseluruhan.  Karena  itu,  harus  dipelihara  dengan
menyalurkannya  secara  baik,  dan  dengan  memelihara  hasil  karya  hak  cipta, mengembangkan  sumber-sumber  ekonomi  umum,  mencegah  agar  tidak  dimakan
di  antara  sesama  manusia  dengan  cara  yang  batil,  tidak  dengan  cara  yang  haq benar  yang  dihalalkandibenarkan  oleh  Allah  kepada  hamba-Nya.  Termasuk
dalam  kategori  memelihara  harta,  setiap  hal  yang  disyariatkan  oleh  Allah  untuk mengatur  kerja  sama  di  antara  sesama  manusia  seperti  jual  beli,  sewa  menyewa
dan  bentuk-bentuk  transaksi  lainnya  yang  obyeknya  adalah  harta  bidang ekonomi.
77
Contoh dari maslahah ini ialah seperti diwajibkannya had bagi  yang meminum  khamr  karena  demi  menjaga  akal  manusia.
78
Karena  khamr  dapat memb
ahayakan harta dan jiwa, maka Syari‟ menetapkan hukuman dengan 80 kali dicambuk bagi peminumnya.
79
b. Maslahah hâjiyyât sekunder adalah perkara-perkara yang diperlukan manusia
untuk  menghilangkan  dan  menghindarkan  dirinya  dari  kesempitan  dan
77
.  Muhammad  Ab ȗ Zahrah, Us
ȗ
l  al-Fiqh,  Penerj emah  Saefullah Ma‟sum dkk, h. 579-
582.
78
.  Ab ȗ Hamid  Muhammad Bin Muhammad al-Ghazâlî,  Al-Mustasfa min i’lmi al-Us
ȗ
l jilid I, h.287.
79
. Ali Ahmad Al-Jurjawi,  Hikmatu Al-Tasyrî ’ Wa Falsafati, juz 1, Beirut, Lebanon, Dar
al-Fikr, 1994, h. 196.
50
kesulitan,  yang sekiranya perkara-perkara ini tidak ada, maka peraturan hidup manusia  tidak  sampai  rusak.  Begitu    juga  keresahan  dan  kehancuran  tidak
sampai  bertebaran,  sebagaimana  yang  diakibatkan  oleh  perkara-perkara dar
ȗriyyât.
80
Atau segala sesuatu yang oleh hukum syarak tidak dimaksudkan untuk  memelihara  lima  hal  pokok  tadi,  akan  tetapi  dimaksudkan  untuk
menghilangkan  masyaqat,  kesempitan,  atau  ihtiyâth  berhati-hati  terhadap lima  hal  pokok  tersebut.  Seperti  diharamkannya  hal-hal  berikut:  menjual  arak
agar  tidak  mudah  memperolehnya,  melihat  aurat  wanita,  shalat  di  bumi  yang dighasab,  membanting  harga  dan  menimbun  barang.  Perlu  ditegaskan,  bahwa
termasuk  dalam  kategori  hâjiyyât  adalah  memelihara  kebebasan  individu  dan kebebasan  beragama.  Sebab  manusia  hidup  membutuhkan  dua  kebebasan  ini.
Akan  tetapi,  terkadang  seseorang  mengahadapi  kesulitan.  Termasuk  hâjiyyât dalam  kaitannya  dengan  keturunan,  ialah  diharamkannya  berpelukan.  Sedang
hâjiyyât  dalam  kaitannya  dengan  harta,  seperti  diharamkannya  ghasab  dan merampas.  Keduanya  tidak  menyebabkan  lenyapnya  harta,  karena  masih
mungkin  untuk  diambil  kembali.  Sebab  keduanya  dilakukan  secara  terang- terangan.  Begitu  juga,  peminjam  yang  mampu,  yang  tidak  mau  membayar
hutangnya.  Sedangkan  hâjiyyât  yang  berkaitan  dengan  akal  seperti diharamkannya  meminum  sedikit  minuman  keras.  Contoh  lain,  seperti
keringanan  dalam  masalah  ibadah  dikarenakan  sakit  atau  dalam  perjalanan.
81
Maka  al-Quran    telah  menetapkan  bahwa  menghilangkan  kesempitan  dari
80
.    Sarmin  Syukur,  Sumber-sumber  Hukum  Islam,  Surabaya,  Al-Ikhlas,  1993,  Cet. Pertama, h. 181.
81
. Muhammad Ab ȗ Zahrah, Us
ȗ
l al-Fiqh, Penerjemah  Saefullah Ma‟sum dkk, h. 585.
51
manusia  adalah  merupakan  satu  segi  diantara  berbagai  segi  dari  dasar disyariatkannya syariah Islam. Allah berfirman:
 
 
 
 
رق لا 1
: 258
Artinya:
“Allah  menghendaki  kemudahan  bagimu,  dan  tidak  menghendaki kesukaran bagimu.”
c. Maslahah  Tahsîniyyât,  adalah  kemaslahatan  yang  sifatnya  pelengkap  berupa
keleluasaan  yang  dapat  melengkapi  kemaslahatan  sebelumnya,
82
ataupun pelengkap  hal-hal  yang  tidak  dalam  rangka  merealisasi  lima  kemaslahatan
pokok  tersebut,  tidak  pula  dalam  rangka  ihtiyâth,  akan  tetapi  dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan melindungi lima hal pokok hukum di atas lima
kemaslahatan.
83
Wahbah  Dzhuhaiylî  berpendapat  mengenai  maslahah  ini beliau  berpendapat  bahwasanya  yang  dimaksud  dengan  maslahah  tahsîniyyât
adalah perkara-perkara yang dikembalikan kepada kemuliaan akhlak, atau yang ditujukan  kepada  kebaikan-kebaikan  adat  istiadat.
84
Contohnya  tahsîniyyât dalam  kaitannya  dengan  diri  seseorang  al-nafs  seperti  melindungi  diri  dari
dakwaan tuduhan batil dan makian orang , serta perbuatan serupa yang tidak menyangkut sumber kehidupan asl hayat, tidak pula menyangkut hajat hidup
kebutuhan  sekunder.  Akan  tetapi,  berkenaan  dengan  maslahah  yang  dapat mendatangkan  kesempurnaan  hidup.  Martabat  tahsîniyyât  ini  melengkapi  dua
martabat  terdahulu,  yakni  dar ȗriyyat  dan  hâjiyyât.  Dalam  melindungi  harta,
82
. Nasrun Haroen, Us
ȗ
l al-Fiqh, Pamulang Ciputat, Logos Publising House, 1996, Cet Pertama,  h. 116.
83
. Muhammad Ab ȗ Zahrah, Us
ȗ
l al-Fiqh, Penerjemah  Saefullah Ma‟sum dkk, h. 586.
84
.    Wahbah  Al-Dzuhaylî,    Nadzriyyâtu  al-Dar
ȗ
rah  al-S yar’iyyah Muqoronah ma’a al-
Qon
ȗ
n al-W ad’i,BeirutLebanon,  Muassasatu Al-Risalah, 1997, Cet. Kelima, h. 54.
52
diharamkannya  menipu  atau  memalsukan  barang.  Perbuatan  ini  tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri eksistensinya, tetapi menyangkut
kesempurnaannya.  Sebab  hal  itu  berlawanan  kepentingan  dengan  keinginan membelanjakan  harta  secara  terang  dan  jelas;  serta  keinginan  memperoleh
gambaran yang tepat tentang untung dan rugi. Adapun contoh yang berkenaan dengan memelihara keturunan, diharamkannya seorang wanita keluar di tengah
jalan mengenakan perhiasan, dalam firman Allah:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
رونلا 14
: 22
Artinya: “Katakanlah  kepada  wanita  yang  beriman:  Hendaklah  mereka
menahan pandangannya,
dan kemaluannya,
dan janganlah
mereka Menampakkan  perhiasannya,  kecuali  yang  biasa  nampak  dari  padanya.  dan
hendaklah  mereka  menutupkan  kain  kudung  kedadanya,  dan  janganlah Menampakkan  perhiasannya  kecuali  kepada  suami  mereka,  atau  ayah  mereka,
atau  ayah  suami  mereka,  atau  putera-putera  mereka,  atau  putera-putera  suami mereka,  atau  saudara-saudara  laki-laki  mereka,  atau  putera-putera  saudara
lelaki  mereka,  atau  putera-putera  saudara  perempuan  mereka,  atau  wanita- wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-
laki  yang  tidak  mempunyai  keinginan  terhadap  wanita  atau  anak-anak  yang belum  mengerti  tentang  aurat  wanita.  dan  janganlah  mereka  memukulkan
53
kakinyua  agar  diketahui  perhiasan  yang  mereka  sembunyikan.  dan  bertaubatlah kamu  sekalian  kepada  Allah,  Hai  orang-orang  yang  beriman  supaya  kamu
beruntung. ”
Larangan  wanita  memakai  perhiasan  di  luar  rumah  itu  termasuk  dalam kategori
tahsîniyyât, karena
memelihara kesempurnaan
asl pokok
naslketurunan.    Selain  itu,  larangan  tersebut  sebagai  wujud  kehormatan, kemuliaan,  dan  dapat  mengangkat  harkat  wanita  yang  dewasa  ini,  nampak
ditempatkan dalam posisi rendah. Sedangkan  dalam  masalah  agama,  di  antaranya  adalah  larangan  terhadap
dakwah  yang  menyimpang,  agar  tidak  menyentuh  pokok  keimanan,  di  mana dengan  semakin  gencarnya  gerakan  dakwah  semacam  itu  akan  menimbulkan
keraguan terhadap ajaran Islam.
85
Sebagaimana  telah  dijelaskan  pada  uraian  pengertian  al-maslahah,  lawan dari  kemaslahatan  adalah  kemudaratan  atau  kemafsadah-an.  Dengan  demikian,
jika memelihara tujuan syarak yang lima merupakan dua sifat yang saling bertolak belakang,  maka  sejalan  dengan  tingkatan  kemashlahatan  yang  terdapat  pada
tujuan-tujuan  syarak,  tentu  secara  logis  dapat  dikatakan  bahwa  tingkat kemaslahatan  dengan  tingkat  kemudaratan  yang  akan  timbul  sebagai  akibat  dari
tidak tercapainya kemaslahatan juga terdiri dari tiga tingkatan, yaitu kemudaratan yang  bersifat  terberat  atau  terbesar,  yang  sedang  dan  kemudaratan  yang  bersifat
ringan.  Kemudaratan  yang  terbesar  adalah  kemudaratan  yang  timbul  sebagai akibat  dari  tidak  tercapainya  tujuan  syarak  yang  bersifat  primer  sebagai
85
. Muhammad Ab ȗ Zahrah, Usul al- Fiqh, Penerjemah  Saefullah Ma‟sum dkk, h. 586-
587.
54
kemaslahatan  primer.  Bentuk  dari  kemudaratan  ini  adalah  timbulnya  kerusakan dan  kekacauan  dalam  tatanan  kehidupan,  baik  yang  berkaitan  dengan  keduniaan
ataupun  keakhiratan.  Kemudaratan  yang  bersifat  sedang  adalah  yang  timbul sebagai  akibat  dari  tidak  terpenuhinya  kemaslahatan  sekunder.  Sedangkan
kemudaratan  yang  bersifat  ringan  adalah  kemudaratan  yang  timbul  akibat  tidak tercapainya  kemaslahatan  tersier.  Kemudaratan  ini  tidak  sampai  melahirkan
kekacauan  ataupun  kesulitan  dalam  kehidupan  manusia,  tetapi  dengan  adanya kemudaratan ini akan menghilangkan nilai-
nilai estetis dan predikat “beradab dan berbudaya” dari kehidupan manusia.
Masing-masing  tingkat  kemaslahatan  di  atas  berhubungan  dengan kemaslahatan  lainnya  yang  berfungsi  sebagai  penyempurna.  Karena  ia  bersifat
menyempurnakan,  maka  meskipun  ia  tidak  ada,  hikmah  yang  terdapat  pada pensyariatan  sesuatu  hukum  pada  masing-masing  tingkatan  di  atas  tidak  sampai
menjadi  rusak  atau  hilang.
86
Tujuan  jumhur  ulama  melakukan  pembagian  al- maslahah ke dalam  tiga tingkatan di atas ialah, untuk menetapkan skala prioritas
dalam  melakukan  pilihan  terhadap  berbagai  kemaslahatan  sebagai  dalil  dalam menetapkan  hukum.  Dalam  hal  ini,  penetapan  hukum  yang  didasarkan  atas
kemaslahatan dipersyaratkan tidak mengakibatkan terjadinya pengabaian terhadap al-maslahah yang lebih tinggi tingkatannya, serta tidak pula bertentangan dengan
kemaslahatan yang ada dasar hukumnya secara tertentu. Sebagai contoh, memelihara jiwa adalah maslahah dar
ȗriyyat, sedangkan memelihara
muru’ah  adalah  mashlahah  tahsîniyyât.  Seseorang  tidak  dibenarkan
86
. Iffatin  Nur,”  Maqasid  al-Syarî’ah  Telaah  Asal  Usul  dan  Perkembangan  Konsep
Maqâsid al-Syarî ah”,h. 78-79.
55
mengabaikan  pemeliharaan  yang  bersifat  dar ȗrî,  hanya  karena  hendak
memelihara yang bersifat tahsînî. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh menolak untuk diperiksa oleh dokter medis untuk tujuan pengobatan, apabila ia menderita
penyakit  yang  dapat  mengancam  jiwanya,  meskipun  pemeriksaan  tersebut  akan mengakibatkan  auratnya  terlihat.  Sebab  menutup
„aurat  sebagai  bagian  dari muru’ah adalah tahsînî, sedangkan memelihara jiwa adalah darȗrî.
87
Maka  dapat  ditarik  sebuah  kesimpulan  dari  pemaparan  di  atas  mengenai macam-macam maslahah, adanya keterkaitan antara maslahah  dar
ȗriyyât dengan maslahah  lainnya, dengan tidak mengesampingkan perkara-perkara yang sifatnya
dar ȗrî,  karena  jika  dikesampingkan  maka  akan  menimbulkan  kerusakan  yang
sesuai dengan kemashlahatan yang dilindungi. Karena di samping kemashlahatan yang  besar    ada  pula  kerusakan  yang  besar  pula,  maka  dalam  Islam  sangatlah
penting  memelihara  kemashlahatan  karena  merupakan  tujuan  dari  penetapan syariah oleh Allah SWT.
87
. Iffatin  Nur,”  Maqasid  al-Syarî’ah  Telaah  Asal  Usul  dan  Perkembangan  Konsep
Maqâsid al- Syarîah”,, h. 80-81.
56
BAB IV ANALISIS REKOMENDASI MUI  TENTANG  PEMILU MENURUT TEORI
MASLAHAH Al-SY ȂTHIBȊ
A. Rekomendasi MUI tentang Pemilu
1. Teks  Tentang Pemilu
Menggunakan  Hak  Pilih dalam  Pemilihan Umum.
88
a. Pemilihan  umum  dalam  pandangan  Islam  adalah  upaya  untuk  memilih
pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa
b. Memilih  pemimpin  dalam  Islam  adalah  kewajiban  untuk  menegakkan
imârah dan imâmah dalam kehidupan bersama c.
Imârah  dan  imâmah  dalam  Islam  menghajatkan  syarat-syarat  sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat
d. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur siddiq, terpercaya
amânah,  aktif  dan  aspiratif  tabligh,  mempunyai  kemampuan
fathonah,  dan  memperjuangkan  kepentingan  umat  Islam  hukumnya adalah wajib.
88
. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975, Jakarta: penerbit Erlangga, 2011, h. 878.