Universitas Sumatera Utara
mencakup kondisi realitas politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Pemaknaan terhadap pesan “Ilustrasi Jitet ” merupakan bentuk imaji kebangsaan rakyat Indonesia.
1.2 Fokus Masalah
Berdasarkan uraian konteks di atas, maka fokus masalah yang akan diteliti lebih lanjut adalah sebagai berikut :
1. “Bagaimanakah representasi Imaji Kebangsaan Indonesia Impian Kebangsaan Indonesia di dalam ilustrasi karya Jitet Koestana ?”
2. “Mitos apa yang dapat diungkap dari pemaknaan atas tanda yang terdapat dalam ilustrasi karya Jitet Koestana ?”
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis tanda-tanda yang terdapat di dalam ilustrasi “kebangsaan” karya Jitet
Koestana. 2. Mengungkap mitos yang dikonstruksikan di dalam ilustrasi “kebangsaan” karya Jitet
Koestana
1.4 Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian ini mengkombinasikan semiotika khususnya semiotika Signifikasi Roland Barthes – dengan paradigma konstruktivis. Integrasi kajian semiotika dan
paradigma konstruktivis dalam penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya di kajian Semiotika, cultural studies, dan kajian Ilmu Komunikasi.
2. Secara praktis, penelitian ini berguna agar pembaca dapat mengetahui dan memahami pemaknaan di dalam sebuah karya seni ilustrasi, agar karya seni ilustrasi bisa dimaknai tidak
hanya dari isi pesan yang tampak manifest content, tetapi juga muatan pesan yang tesembunyi latent content.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam perkembangan kajian media di Ilmu Komunikasi FISIP USU, khususnya semiotika. Penelitian ini juga dapat
menjadi bahan referensi bila ada penelitian sejenis di kemudian hari.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perspektif Paradigma Penelitian
Paradigma pada penelitian ini mengacu pada paradigma konstruktivis. Menurut Guba Wibowo, 2011: 136paradigma adalah “ Seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi
prinsip utama, pandangan tentang dunia yang menjelaskan pada penganutnya tentang alam dunia.” Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri
seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia. Paradigma konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan
oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. LittleJohn mengatakan bahwa teori-teori aliran konstruksionis ini berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif,
tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya.
Penelitian ini menggunakan sebuah paradigma Konstruktivis. Paradigma
konstruktivis melihat realitas pada saat ini merupakan hasil kreasi manusia. Paradigma kritis dimaknai sebagai sesuatu konsep kritis dengan latar belakang ideologi tertentu dalam
mengkaji suatu fenomena sosial Vardiansyah, 2008: 62. Paradigma konstruktivisme yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis
terhadap tindakan sosial yang berarti socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, gambar
mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara mengelola dunia sosial mereka Wibowo, 2011: 162.
Denzin dan Lincoln dalam Wibowo, 2011: 162 menilai bahwa, setiap paradigma dapat dibedakan berdasarkan elemen-elemen yang berkaitan dengan epistemologi, ontologi,
aksiologi, dan metodologi. Epistomologimenyangkut asumsi tentang hubungan antara peneliti dan yang diteliti dalam proses untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti.
Elemen metodologimenyangkut asumsi tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai objek pengetahuan, sedangkan aksiologi menyangkut posisi value judgements.
Filsafat ilmu komunikasi diartikan sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu pengetahuan ilmu komunikasi dari segi ciri-ciri, cara perolehan, dan pemanfaatannya.
Ontologi, apakah ilmu komunikasi? Epistomologi, Bagaimana proses yang memungkin
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu komunikasi? Aksiologi, untuk apa ilmu komunikasi itu digunakan?
Epistomologi adalah filsafat yang mempelajari pengetahuan atau bagaimana orang mengetahui apa yang mereka akui mengetahuinya. Karena aneka ragam disiplin terlibat
dalam studi komunikasi dan perbedaan hasil pemikiran mengenai riset dan teori, isu-isu epistomologi adalah penting dalam bidang ini. LittleJohn dalam Zamroni, 2009:87. Objek
Epistomologi adalah pengetahuan sedangkan objek formalnya adalah hakikat ilmu pengetahuan. Di antara isu-isu epistomologi yag penting menurut LittleJohn 2002:26,
adalah pertanyaan : dengan proses apa pengetahuan itu muncul? Pertanyaan ini sangat kompleks, dan debat pada isu-isu ini terletak pada jantung epistomologi.
Konstruktivisme dikaji secara ontologis menurut Guba dalam Denzin dan Lincoln, 2009 : 137 dapat dikelompokkan dalam relativis. Realitas yang bisa dipahami dalam bentuk
konstruksi mental yang bermacam-macam dan tak dapat diindera, yang didasarkan secara sosial dan pengalaman, berciri lokal dan spesifik meskipun berbagai elemen sering kali
sama-sama dimiliki oleh berbagai individu dan bahkan bersifat lintas budaya, dan bentuk beserta isinya bergantung pada manusia atau kelompok individual yang memiliki konstruksi
tersebut. Konstruktivisme dikaji secara epistomologidapat dikelompokkan dalam transaksional dan subjektivis. Peneliti dan objek penelitian dianggap terhubung secara timbal
balik sehingga “hasil-hasil penelitian” terciptakan secara literal seiring dengan berjalannya proses penelitian.
Konstruktivisme menganggap bahwa subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan sosialnyaElvinaro dan Q. Anees, 2007:151. Subjek memiliki
kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan
pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Bagi kaum konstruktivis, semesta adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta
yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara sosial, dan karenanya plural. Konstruktivisme, berdasarkan secara etimologi mengkonstruksi, merangkai.
Konstruktivisme merujukkan pengetahuan pada konstruksi yang yang sudah ada di benak subjek. Namun, konstruktivisme menunjukkan bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi,
melainkan proses panjang sejumlah pengalaman. Banyak situasi yang memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan perubahan akan pengetahuannya. Perubahan inilah
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
yang mengembangkan pengetahuan seseorang. Bettencourt 1989 dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007:157menyebutkan beberapa situasi atau konteks yang membantu perubahan,
yaitu : 1 konteks tindakan, 2 konteks membuat akal, 3 konteks penjelasan, dan 4 konteks pembenaran justifikasi.
Bila dirunut ke belakang, pemikiran konstruktivisme – yang meyakini bahwa makna atau realitas bergantung pada konstruksi pikiranElvinaro dan Q. Anees, 2007:
153berdasarkan teori Popper 1973. Popper membedakan tiga pengetahuan mengenai alam semesta: 1 dunia fisik atau keadaan fisik; 2 dunia kesadaran mental atau disposisi
tingkah laku; dan 3 dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah. Bagi Popper objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik, melainkan selalu
melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan-batasan baru mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan
baru mengenai kebenaran pengetahuan manusia. Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Menurut Von Glossferld
dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 154 konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi bentukan kita
sendiri. Pengetahuan justru selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif. Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita adalah konstruksi bentukan kita sendiri, oleh karenanya pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan realitasWibowo, 2011: 162. Pengetahuaan bukanlah
gambaran dari kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Pada proses ini seseorang
membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan, sehingga suatu pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi
merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang secara terus menerus dialaminya.
Konstruktivis percaya bahwa untuk dapat memahami suatu arti orang harus menerjemahkan pengertian tentang sesuatu. Para peneliti harus menguraikan konstruksi dari
suatu pengertian makna dan melakukan klarifikasi tentang apa dan bagaimanadari suatu arti dibentuk melalui bahasa serta tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktorpelaku.
Sedangkan paradigma kritis menekan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan dengan pikirannya, karena dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di dalam masyarakat. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami
sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema wacana tertentu, maupun strategi di dalamnya Eriyanto, 2001 : 6.
Konstruktivis mengombinasikan pemikiran yang berkaitan dengan cara manusia berpikir sambil berinteraksi dengan lingkungan sosial konstruktivis atau bagaimana makna
diperoleh secara sosial dan dipengaruhi oleh struktur kekuasaan di masyarakat, juga konsekuensi etis dari pilihan manusia kritis. Istilah konstruktivis pertama kali digunakan
tahun 1960-an di bidang pendidikan dan kemudian di bidang psikologi LittleJohn Foss, 2009: 216. Konstruktivisme mengacu pada integrasi pembangunan sosial teori realitas, yang
diajukan dalam tradisi sosiologi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan teori kritis. Menurut Feenberg, pendekatan konstruktivis mengkritisi pandangan deterministik,
yang berpendapat bahwa teknologi membentuk masyarakat dengan sendirinya, independen dari perkembangan utama politik dan kebudayaan. Feenberg membuat tiga dalil: 1
teknologi dibentuk oleh proses sosial di mana pilihan terhadap teknologi dipengaruihi berbagai kriteria kontekstual; 2 proses sosial ini memuaskan berbagai kebutuhan kultural
yang berhubungan dengan teknologi; dan 3 definisi kompetitif teknologi mencerminkan pandangan masyarakat yang bertentangan. Karena itulah, pilihan terhadap teknologi
dipengaruhi oleh pengaturan kekuatan di dalam masyarakat LittleJohn Foss, 2009 : 216.
2.1.1 Pengetahuan
Para pemikir konstruktivis mengatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil pemahaman pemikiran secara terus menerus, berulang-ulang. Piaget 1970 dalam Elvinaro
dan Q. Anees, 2007: 155 membedakan dua aspek dalam pembentukan pengetahuan : 1 aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek berpikir figuratif adalah imajinasi, dan gambaran
mental seseorang terhadap suatu objek atau fenomena. Aspek berpikir operatiflebih berkaitan
dengan transformasi dari satu tingkat ke tingkat lainnya.
Secara ringkas gagasan konstrukstivisme mengenai pengetahuan menurut Glasersferld dan Kitchener dapat dirangkum sebagai berikut dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007 : 155 :
1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu
merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk
pengetahuan. 3.
Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Stuktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsep itu berlaku dalam berhadapan dengan
pengalaman-pengalaman seseorang.
Ketidakpuasan manusia, sepanjang hidup, naluri ingin tahu mendoraong manusia untuk terus mencari tahu. Karenanya, mari kita artikan naluri ingin tahu sebagai dorongan
alamiah yang dibawa manusia sejak lahir untuk mencari tahu tentang segala sesuatu, termasuk hal ihwal diri sendiri, dan baru berhenti di akhir kesadaran manusia pemiliknya
Vardiansyah, 2008 : 2. Sebelum mengetahui, juga manusia terlebih dahulu melihat, mendengar, serta merasa segala yang ada di sekitarnya. Yang berada di sekitar manusia
adalah seisinya, tampak maupun tidak: asalkan ada, dirasakan , atau mungkin ada. Dengan kata lain, objek tahu adalah segala sesuatu yang ada dan mungkin ada.
Hasil persentuhan alam dengan panca indra disebut peng-alam-an pengalaman. Pengalaman hanya memungkinkan seseorang menjadi tahu. Hasil dari tahu disebut penge-
tahu-an pengetahuan. Pengetahuan ada jika manusia demi pengalamannya mampu mencetuskan pertanyaan atau putusan atas objeknya, seperti mangga yang satu itu masam.
Vardiansyah, 2008: 3. Objek materia adalah objek dari mana ilmu dalam bidang yang sedang
diamati,sedangkan objek forma adalah sudut dari mana objek materia dikaji secara spesifik. Dalam hal Ilmu Komunikasi, objek materia adalah tindakan manusia dalam konteks sosial,
sama seperti sosiologi atau antropologi misalnya, dan karenanya masuk dalam rumpun ilmu sosial. Sedangkan objek forma ilmu komunikasi adalah ilmu komunikasi itu sendiri.
2.2 Kerangka Teori Kajian Pustaka
2.2.1 Konstruksi Realitas dalam Media Massa
Isi Media merupakan suatu bentuk konstruksi sosial. Media melakukan konstruksi terhadap terhadap pesan-pesan yang disampaikan berupa tulisan-tulisan, gambar-gambar,
suara, atau simbol-simbol lain melalui proses penyeleksian dan manipulasi tertentu sesuai keinginan atau pun ideologi media itu. Wibowo, 2011: 125.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Khalayak pada dasarnya menerima sebuah bentuk realitas yang dikonstruksi oleh media. Menurut Gerbner dalam Wibowo, 2011: 125 dan kawan-kawan, dunia simbol media
membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata lain media merupakan konstruksi realitas.
Segala bentuk realitas sosial termasuk isi media merupakan realitas yang sengaja dikonstruksi. Berger dan Luckmann mengatakan : “institusi masyarakat tercipta dan
dipertahankan atau diubah melalui melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif. Namun pada kenyataannya
semua dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki
definisi subyektif sama.” Wibowo, 2011: 126. Menurut penjelasan Berger dan Luckmann diatas, segala yang ada dalam institusi
masyarakat dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat itu sendiri melalui suatu interaksi. Setiap interaksi terjadi berdasarkan definisi subjektif dari tiap anggota masyarakat yang
kemudian ditegaskan secara berulang-ulang dan menjadi suatu nilai objektif dalam masyarakat.
Realitas sosial menurut Berger dan Luckmann adalah dalam Wibowo, 2011:125 pengetahuaan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti
konsep, kesadarn umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Berger dan Luckmann dalam Wibowo, 2011: 126 membagi realitas sosial ke dalam
tiga macam realitas, yaitu : a. Realitas objektif yakni realitas terbentuk dari pengalaman dunia objektif yang berada di
luar diri individu dan realitas itu dianggap sebagai suatu kenyataan. b. Realitas simbolik yaitu ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk.
c. Realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi.
Menurut mereka realitas sosial ini terbentuk melalui tiga tahap, yaitu : a. Eksternalisasi yakni individu melakukan penyesuaian diri dengan dengan dunia
sosiokultural sebagai produk manusia.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
b. Objektivasi yakni interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, produk sosial berada pada proses
institusionalisasi. Individu memunculkan dirinya dalam produk-produk kegiatan manusia baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dunia bersama dunia.
Hal terpenting pada tahap ini adalah terjadinya pembuatan tanda – tanda sebagai isyarat bagi pemaknaan subjektif.
c. Internalisasi. yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.
Komunikasi sebagai bentuk interaksi tidak bisa lepas konstruksi-konstruksi realitas sosial. Isi media menurut Alex Sobur pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan
bahasa sebagai perangkat dasarnya. Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai
sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. Dengan demikian semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Menurut Saussure, persepsi
dan pandangan kita tentang realitas,telah dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial. Hal itu menjelaskan peranan tanda yang sangat hebat
dimana tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekadar merefleksikan realitas yang ada Bignell, 1997, dalam Listiorini, 1999.
Atas dasar pengaruh dari tanda tersebut seorang penggiat aktivis penghijauan Green Peace, John Watson, memberikan pendapatnya mengenai media massa. Media massa
merupakan sumber informasi yang menjadi pionir utama dalam keseharian manusia. Menurutnya konsep kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi
sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Kesimpulannya, kebenaran ditentukan oleh media massa Abrar, 1995: 59.
Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Disebabkan
sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan constructed reality.
Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita Tuchman, 1980.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa dalam perkembangan semiotika merupakan suatu alat atau suatu
metode dalam mengembangkan pertandaan. Bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menenetukan relief seperti apa yang akan
diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Bahasa juga bukan sekadar alat komunikasi untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu yang
hendak ditanamkan kepada publik. Akibatnya, media massa mempunya peluang yang sangar besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasikan dari realitas yang
dikonstruksikan. Sesuai dengan perilakunya media massa yang menceritakan kembali sebuah peristiwa fakta, dimana proses penceritaan fakta tersebut disebut dengan pengonstruksian
realitas Sobur, 2001: 88. Fakta tersebut termaktub dalam penggunaan bahasa tertentu yang secara jelas
berimplikasi terhadap suatu kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realita turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna
yang muncul darinya. Bahkan menurut Hamad 2001: 57, bahasa bukan cuma mampu mencerminkan, tetapi sekaligus menciptakan realitas. Dalam konstruksi realitas, bahasa
merupakan unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menciptakan realitas. Peter L. Berger dan Thomas Luckmann 1966 melalui bukunya “Tafsir Sosial atas
Kenyataan : Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan”, menggambarkan sebuah proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas
yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Dalam buku tersebut Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan
memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mereka mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan
being yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata real dan memiliki
karakteristik secara spesifik. Dikatakan, institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui
tindakan dan interaksi manusia. Meskipun, masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif
melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan
mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupan Berger dan Luckmann, 1990: 61.
Lebih jauh lagi pengertian realitas adalah sebuah konsep yang kompleks, yang sarat dengan pertanyaan filosofis Pilliang, dalam Slouka, 1999:15. Apakah yang kita lihat itu
benar-benar nyata? Apakah musik yang kita dengar nyata atau hanya konsep. Ada sebuah konsep filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat bukanlah “realitas”, melainkan
representasi sense datum atau tanda sign dari realitas yang sesungguhnya yang tidak dapat kita tangkap. Menurut Zak van Straaten, yang dapat kita tangkap hanyalah tampilan
appearance dari realitas dibaliknya Piliang, dalam Slouka, 1999: 15. Media memainkan peran dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran
informasi. Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam memandang realita. LittleJohn 1996: 236 membuat sebuah penafsiran mengenai media, “peristiwa tidak
bisa menunjukkan… agar bisa dipahami peristiwa harus dijadikan bentuk simbolis… si komunikator mempunyai pilihan-pilihan kode-kode atau kumpulan simbol… pilihan tersebut
akan mempengaruhi makna peristiwa bagi penerimanya,. karena setiap bahasa – setiap simbol – hadir bersamaan dengan ideologi, pilihan atas seperangkat simbol yang sengaja
atau tidak, merupakan pilihan atas ideologi. Volosinov menyatakan “whenever a sign present, ideology is present too Hall, 1997, dalam
Susilo, 2000. Media dilihat sebagai proses produksi dan pertukaran makna. Terlihat bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan
dengan peran teks di dalam kebudayaan. Pendekatan seperti ini disebut dengan pendekatan strukturalisme yang bisa dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linier
Fiske, 1990:39. Komunikasi massa adalah bentuk institusi sosial yang merupakan suatu kumpulan
individu. Dennis McQuail dalam Wibowo, 2011 : 127 mengatakan bahwa komunikator dalam komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu organisasi. Pesan tersebut
seringkali diproses, distandarisasi dan selalu diperbanyak. Pesan mempunyai nilai tukar dan acuan simbolik yang mengandung nilai kegunaan.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Menurut McQuail bahwa komunikator dari komunikasi massa dalam hal ini media massa bersifat organisasional yang artinya ada tujuan dari pesan-pesan yang disampaikan
dimana pesan-pesan komunikasi massa punya kecenderungan mempunyai nilai-nilai tertentu yang berhubungan dengan kepentingan media.
Itulah sebabnya seperti dikatakan McQuail, dalam media sendiri terjadi standarisasi pesan dan pemrosesannya disinilah proses konstruksi pesan media terjadi. Sobur berpendapat
bahwa isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksi berbagai realitas yang dipilihnya. Penelitian ini pada dasarnya ingin memberikan gambaran tentang realitas
simbolik dalam proses konstruksi yang dilakukan oleh pembuat Ilustrasi di Harian Kompas.
2.2.2 Manusia Sebagai Pembuat Simbol
Pada awalnya yang membedakan antara manusia dengan hewan menurut para filsuf adalah kemampuan dalam menggunakan logika. Hewan berinteraksi menggunakan naluri
atau instingnya. Namun ada unsur pembeda lain, yakni kemampuan manusia berkomunikasi dengan simbol-simbol. Kenneth Boulding dalam Rivers, 2003: 28 mengingatkan hewan
tidak punya gagasan kesadaran dan lingkungan simbolik bahasa, seni, dan mitos seperti halnya manusia; manusia memiliki keunikan karena kemampuan menggunakan nalar logika
serta dunia simboliknya. Hewan ketika diberikan makanan akan bereaksi dengan memakan makanan yang telah diberikan, sedangkan manusia akan menanggapinya dengan berbagai
cara tergantung pada penafsirannya atas simbol-simbol yang ada. Manusia menanggapi sesuatu tidak hanya secara naluriah. Manusia akan mengolah
berbagai gagasan dulu, baik yang bersifat artistik, mistis ataupun religius, sebelum religius. Seperti yang dikatakan Epictetus, dalam Rivers,2003: 28 “Apa yang menyentak manusia
bukanlah benda-benda, melainkan pendapat dan bayangannya sendiri tentang benda-benda tersebut.”
Realitas atau kenyataan mengandung hal-hal yang dapat diindera manusia; namun ada kerangka dan struktur tertentu dalam memahami hal-hal itu yang keberadaanya terkadang
tidak dapat dilihat secara langsung oleh manusia. Untuk mengetahui hal tersebut itulah manusia menggunakan simbol-simbol. Manusia mengolahnya dengan pikiran, membuat citra-
citra, konsep atau bayangan penafsiran tertentu sebagai simbol, dan setiap simbol memiliki makna tersendiri. Itulah sebabnya bagi manusia, sang pencipta simbol, dunia adalah sesuatu
yang semu, suatu jaringan atau rangkaian simbol ciptaannya itu.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu
Walter Lippmann pernah menyatakan, “The world outside and the pictures in our head,” dunia diluar dengan gambarannya dipemikiran kita. Lippman dalam Rivers, 2003:
29 dalam bukunya Public Opinion menjelaskan tentang lingkungan semu pseudo- environment. Dunia objektif yang dihadapi manusia itu “tak terjangkau, tak terlihat, dan tak
terbayangkan.” Karenanya manusia menciptakan sendiri dunia di pikirannya dalam upayanya sedikit memahami dunia objektif tersebut. “Biasanya kita tidak melihat dulu
sesuatu untuk mendefinisikannya; biasanya kita mendefinisikan dulu, baru melihat. Ketika diliputi ketidaktahuan tentang dunia luar, kita begitu saja membayangkannya berdasarkan apa
yang sudah kita ketahui. Enak tidaknya makanan, indah atau tidaknya tempat yang dikunjungi akan selalu didasarkan pada apa yang di tempat asal, dan pada apa yang sudah
dibayangkan sebelumnya,” Walter Lippmann. Proses penggambaran kenyataan di benak kita tentu saja juga dipengaruhi dari
pernak-pernik pengalaman kita. Tetapi tetap saja dalam menafsirkan sesuatu kita bersandar pada pandangan awal, prasangka, motivasi dan kepentingan kita sendiri. Penafsiran dan
pengembangan bayangan ini pula yang memunculkan stereotype, dan melandasi cara pandang kita selanjutnya terhadap dunia luar. Lippman berpendapat bahwa prosesnya bisa
berulang-ulang tanpa akhir. Media massa sebagai sumber pengetahuan memiliki kemampuan menyajikan
informasi dunia luar kepada orang-orang, yang kemudian menggunakannya untuk membentuk atau menyesuaikan gambaran mentalnya tentang dunia. Media massa juga bisa
dianggap menciptakan lingkungan semu tersendiri di antara manusia dan dunia ‘nyata’. Sebagai institusi kontrol sosial yang dominan, media bisa dinilai memperkuat nilai-nilai dan
pandangan lama disuatu masyarakat.
2. 2. 4. Semiotika