4. Semiotika Penanda dan Petanda

Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu

Walter Lippmann pernah menyatakan, “The world outside and the pictures in our head,” dunia diluar dengan gambarannya dipemikiran kita. Lippman dalam Rivers, 2003: 29 dalam bukunya Public Opinion menjelaskan tentang lingkungan semu pseudo- environment. Dunia objektif yang dihadapi manusia itu “tak terjangkau, tak terlihat, dan tak terbayangkan.” Karenanya manusia menciptakan sendiri dunia di pikirannya dalam upayanya sedikit memahami dunia objektif tersebut. “Biasanya kita tidak melihat dulu sesuatu untuk mendefinisikannya; biasanya kita mendefinisikan dulu, baru melihat. Ketika diliputi ketidaktahuan tentang dunia luar, kita begitu saja membayangkannya berdasarkan apa yang sudah kita ketahui. Enak tidaknya makanan, indah atau tidaknya tempat yang dikunjungi akan selalu didasarkan pada apa yang di tempat asal, dan pada apa yang sudah dibayangkan sebelumnya,” Walter Lippmann. Proses penggambaran kenyataan di benak kita tentu saja juga dipengaruhi dari pernak-pernik pengalaman kita. Tetapi tetap saja dalam menafsirkan sesuatu kita bersandar pada pandangan awal, prasangka, motivasi dan kepentingan kita sendiri. Penafsiran dan pengembangan bayangan ini pula yang memunculkan stereotype, dan melandasi cara pandang kita selanjutnya terhadap dunia luar. Lippman berpendapat bahwa prosesnya bisa berulang-ulang tanpa akhir. Media massa sebagai sumber pengetahuan memiliki kemampuan menyajikan informasi dunia luar kepada orang-orang, yang kemudian menggunakannya untuk membentuk atau menyesuaikan gambaran mentalnya tentang dunia. Media massa juga bisa dianggap menciptakan lingkungan semu tersendiri di antara manusia dan dunia ‘nyata’. Sebagai institusi kontrol sosial yang dominan, media bisa dinilai memperkuat nilai-nilai dan pandangan lama disuatu masyarakat. 2. 2. 4. Semiotika Paham mengenai semiotika atau “ilmu tentang tanda” ini telah menjadi salah satu konsep yang paling bermanfaat di dalam kerja kaum strukturalis sejak beberapa dasawarsa yang lalu. Basisnya adalah pengertian tanda, yakni segala sesuatu yang secara konvensional dapat menggantikan atau mewakili sesuatu yang lain. Strukturalisme itu sendiri, menurut David A. Apter, merupakan pendekatan yang paling antardisiplin di antara pendekatan- pendekatan lain. Strukturalisme sendiri berasal dari linguistik, antropologi, filsafat, dan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara sosiologi Apter, 1996:371. Strukturalisme sendiri berusaha menemukan agenda-agenda yang tersembunyi, aturan-aturan permainan yang menentukan aksi. Ia menyusun aktivitas manusia Goffman, dalam Apter, 1996: 371. Strukturalisme awalnya merupakan sebuah pergerakan di dalam ilmu bahasa, sekaligus upasya untuk membuktikan pentingnya konsep dan metode linguistik bagi beragam isu yang luas di dalam ilmu-ilmu humaniora dan ilmu sosial Giddens dan Turner, 2008: 335. Pemilihaan Sussure antara langue dan parole bisa dianggap sebagai ide kunci di dalam strukturalisme linguistik, sekaligus mencerabut studi ‘bahasa’ dari ruang kontingensi dan kontekstualnya. Parole adalah apa yang disebut Saussure sebagai “sisi eksekutif bahasa”, sementara langue adalah “sistem tanda-tanda yang di dalamnya cuma hal-hal esensial yang menjadi pemersatu makna dan citra-citra akustik” Saussure, 1974. Strukturalisme merupakan sebuah paham filsafat yang memandang dunia sebagai realitas berstruktur. Peran linguistik Saussurean dalam hal ini sangat besar dalam membangun filsafat para strukturalis, karena linguistik Saussurean memperkenalkan apa yang dinamakan sistem. Selanjutnya, kaidah-kaidah linguistik ini mereka coba untuk terapkan di lapangan penelitian masing-masing, yakni dengan menjadikannya semacam model yang paralel dengan realitas yang menjadi objek-objek kajian mereka Kurniawan,

2001: 40.

Umar Junus berpendapat semiotika merupakan sebuah perkembangan selanjutnya dari strukturalisme. Pendapat dari Dennis McQuail 1991: 191, “semiotika adalah ‘ilmu tentang tanda dan mencakup strukturalisme dan hal-hal lain yang sejenis, yang karenanya semua hal yang berkaitan dengan siginifikasi signification, betapapun sangat tidak terstruktur, beraneka ragam dan terpisah-terpisah”. Konsep ‘sistem-tanda’ dan ‘signifikasi’ telah biasa dalam ilmu bahasa; strukturalisme dan semiotika terutama berasal dari de Saussure. Dimana tanda adalah setiap ‘kesan bunyi’ yang berfungsi sebagai ‘signifikasi’ sesuai yang ‘berarti’ – suatu objek atau konsep dalam dunia pengalaman yang kita ingin komunikasikan. Aliran strukturalisme modern pun menekan bahwa kehidupan kita ditopang oleh struktur-struktur, jauh dibawah kesadaran roh; struktur-struktur itu merupakan pola-pola, jaringan-jaringan yang memberikan arti dan makna kepada gambar material van Peursen, 1991: 240. Strukturalisme yang memiliki kedekatan dengan lingustik bahasa dikembangkan oleh Saussure. Teorinya mengatakan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Semiologi atau pada saat ini dikenal dengan Semiotika merupakan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari sebuah tanda. Menurut Ferdinand de Saussure dalam Sobur, 2004: vii ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Makna implisit yang dapat kita ambil dari pernyataan tersebut adalah terciptanya sebuah hubungan atau relasi, jika tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, dapat dikatakan bahwa tanda merupakan unsur-unsur dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Pada hipotesa dari Saussure ini berkaitan dengan suatu hal yang bernama konvensi sosial social convention, yaitu yang mengatur penggunaan tanda secara sosial, yaitu pemilihan, pengombinasian, dan penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu, sehingga ia mempunyai makna dan nilai sosial. Semiotika adalah teori dan analisis dari berbagai tanda signs dan pemaknaan signification, dimana semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotika tanda, pemaknaa, denotatum, intepretan, dasar, dan masih banyak lagi yang akan kita kenal pada kesempatan lain dapat diterapkan pada semua bidangan kehidupan asalkan prasyaratnya dipenuhi, yaitu ada arti yang diberikan, ada pemaknaan, ada intepretasi van Zoest, 1993: 54. De Saussure dan juga Barthes melihat tanda sebagai suatu konsep diadik dua bagian yang berbeda tetapi berkaitan dan sebagai sebuah struktur susunan dua komponen yang berkaitan satu sama lain dalam suatu bangun Christomy, 2004: 54. Konsep diadik tersebut yang menghasilkan sebuah makna. Charles Sanders Pierce dalam Sobur, 2004: 13 mengatakan semiotika merupakan sebuah konsep tentang tanda; tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun - sejauh terkait dengan dengan pikiran manusia – seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungan dengan realitas. Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain Wibowo, 2001: 5. Jika kita runut jauh kembali ke masa lalu, semiotika atau ilmu tentang sistem tanda sudah ada ketika masa Greek Stoics. Semula berawal dari tanda yang diperdebatkan oleh penganut mazhab Stoik dan kaum Epikurean di Athena, Yunani pada abad 300 SM. Inti perdebatan mereka berkaitan dengan perbedaan antara tanda natural yang terjadi secara alami dan tanda konvensional yang khusus dibuat untuk komunikasi Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Terdapat dua bentuk semiotika, yaitu Semiotika Signifikasi oleh Ferdinand de Saussure dan Semiotika Komunikasi oleh Charles Sanders Pierce. Semiotika Signifikasi mempunyai pengertian semiotika yang mempelajari relasi elemen-elemen tandadi dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu dalam Sobur, 2004: viii. Relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilah yang disebut sebagai signifikasi signification. Umberto Eco mempunyai pengertian sendiri dalam Semiotika Komunikasi. Semiotika Komunikasi mempunyai penekanan dalam aspek produksi tandasign production, dibandingkan dengan Semiotika Signifikasi yang lebih menekankan sistem tandasign system. Menurut Eco Sobur, 2004: xii sebagai sebuah mesin produksi makna, semiotika komunikasi sangat bertumpu pada pekerja tanda labor, yang memilih tanda dari bahan baku tanda-tanda yang ada, dan mengombinasikannya, dalam rangka memproduksi sebuah ekspresi bahasa bermakna. Menurut Eco dalam Sobur, 2004: xiv, ketika seseorang menuturkan kata atau imaji, maka ia terlibat di dalam sebuah proses produksi tanda, yang sebagaimana pada umumnya konsep ekonomi yang melibatkan pekerja, pekerja tanda. Ia mempekerjakan tanda- tanda memilih, menyeleksi, menata dan mengombinasikan dengan cara dan aturan main tertentu.. Semiotika Komunikasi menurut Eco lebih menekankan pada teori produksi tentang tanda, yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi, dan acuan. Manusia merupakan mahluk pembuat simbol. Ketika dia berbicara, ketika menampilkan dirinya dengan segala perniknya menyimpulkan sebuah simbolisasi. Wanita yang menggunakan baju warna kuning dari atas hingga bawah ingin menampilkan sebuah makna, tanda, dan simbol keceriaan. Seperti kata Cassirer Sobur, 2004: 14 “fungsi dan kebutuhan simbolisasi manusia dijabarkan sebagai ciri khas manusia dan sekaligus ciri keagungannya. Charles Sanders Peirce beranggapan bahwa sebuah tanda representamen merupakan sebuah bagian yang tidak bisa terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda intepretant. Tanda menurut pandangan Peirce itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain Wibowo, 2001: 5. Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda sign dan segala yang berhubungan dengannya : cara berfungsinya, hubungannya dengan kata yang lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya Bungin, 2007: 164. Fiske dalam Bungin, 2007: 167 mengatakan bahwa Semiotika mempunya tiga bidang studi utama yaitu : a. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. b. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya. c.. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Dilain pihak, menurut LittleJohn 2009: 55-56 semiotika dapat dibagi ke dalam tiga dimensi kajian, yaitu semantik, sintaktik, dan pragmatik. Adapun penjelasan secara rincinya adalah sebagai berikut : 1. Semantik, berkenaan dengan makna dan konsep. Dalam hal ini membahas bagaimanatanda memiliki hubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantara atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya Morrisan, 2009: 29. 2. Sintaktik, berkenaan dengan kepaduan dan keseragaman, studi ini mempelajari mengenai hubungan antara para tanda. Tanda dilihat sebagai bagian dari sistem tanda yang lebih besaratau kelompok yang diorganisir melalui cara-cara tertentu. Sistem tanda seperti ini biasa disebut kode. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu dipahami dalam hubungan dengan tanda lainnya Morrisan, 2009:30. 3. Pragmatik, berkenaan dengan teknis dan praktis. Aspek ini mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia dengan kata lain adalah studi mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Berkaitan pula Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara dengan mempelajari bagaimana pemahaman atau kesalahpahaman terjadi dalam berkomunikasi Morrisan, 2009: 30. Preminger mengatakan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda- tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Bungin, 2007:165. Konvensi atau kesetujuan mengenai pemaknaan suatu makna di suatu kebudayaan merupakan hal penting. Hal tersebut dikarenakan intepretan memainkan peran subjektif yang sangat strategis dalam proses pemaknaan tanda itu sendiri. Bungin, 2007: 169. Maksud disini adalah latar belakang, pengalaman, field of reference field of experience, dan kebudayaan menjadi faktor penting seseorang untuk memaknai sebuah tanda. Proses semiosis semiotika atau semiologi yang memberikan makna terhadap unsur kebudayaan yang dipandang akan menghasilkan sebuah tanda. Menurut Danesi dan Perron 1999:68 – 70 tujuan utama semiotika adalah memahami kemampuan otak untuk memproduksi dan memahami tanda serta kegiatan membangun pengetahuan tentang sesuatu dalam kehidupan manusia. Kemampuan itu adalah kemampuan semiosis semiotika atau semiologi, sedangkan kegiatan manusia yang berkaitan dengan tanda adalah representasi kegiatan mengaitkan suatu representamen dengan objeknya. Hoed, 2011: 23. Ferdinand de Saussure merupakan orang yang berjasa dalam mengembangkan ilmu semiotika. Teori yang paling terkenal adalah penanda signifier dan petanda signified. Menurut Saussure, bahasa merupakan suatu sistem tanda sign, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni penanda signifier dan petanda signified. Menurut Saussure dalam Sobur, 2004: 46 tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda signifier dengan sebuah ide atau petanda signified. Dengan kata lain penanda adalah “bunyian yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa Culler, 1976, dalam Ahimsa-Putra, 2001: 35. Setiap tanda kebahasaan , menurut Saussure, pada dasarnya menyatukan sebuah konsep concept dan suatu citra sound image. Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda signifier, sedang konsepnya adalah petanda signified. Bagi Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer bebas, semaunya, baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Menurut Saussure, ini tidak berarti “bahwa Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara pemilihan penanda sama sekali meninggalkan pembicara” namun lebih dari itu adalah “tak bermotif” yaitu arbitrer dalam pengertian penanda tidak ada mempunyai hubungan alamiah dengan petanda Saussure, 1996, dalam Berger 2000b: 11. Semiotika memecah – mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotika menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan dimana ia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual isi: ia mengulas cara-cara beragam unsur bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna. Analisis semiotik biasanya diterapkan pada citra atau teks visual Berger, 1987: 1998a. Metode ini melibatkan pernyataan dalam kata-kata tentang bagaimana citra bekerja, dengan mengaitkan mereka pada struktur ideologis yang mengorganisasikan makna Stokes, 2006 : 78.

2.2.4.1 Semiotika Komunikasi Visual

Sebelum lebih jauh, Semiotika Komunikasi Visual merupakan pisau pembedah tanda- tanda dalam desain komunikasi visual. Menurut Widagdo dalam Tinarbuko, 2009: 23, desain komunikasi visual adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas, dilandasi pengetahuan, bersifat rasional dan pragmatis. Tinarbuko Tinarbuko, 2009: 23 mengatakan desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar ilustrasi, huruf dan tipografi, warna, komposisi, dan layout. Dalam pandangan Sanyoto, desain komunikasi visual memiliki pengertian secara menyeluruh, yaitu rancangan sarana komunikasi yang bersifat kasat mata. T. Susanto menyatakan bahwa desain komunikasi visual DKV senantiasa berhubungan dengan penampilan rupa yang dapat dicerap orang banyak dengan pikiran maupun perasaaan. Pesan atau informasi yang terdapat hasil karya desain komunikasi visual, yang menjadi objek kajian semiotika komunikasi visual. Pesan yang disampaikan kepada khalayak sasaran dalam bentuk tanda. Semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan, dan objektivitas macam itu, melainkan dibangun oleh ‘pengetahuan’ yang lebih terbuka bagi aneka intepretasi. Logika semiotika adalah logika di mana intepretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat kelogisannya; intepretasi yang satu lebih masuk akal daripada yang lain. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Semiotika Komunikasi Visual adalah sebuah upaya memberikan sebuah intepretasi terhadap keilmuan semiotika itu sendiri, yaitu semiotika sebagai sebuah metode pembacaan karya komunikasi visual. Tinarbuko, 2009: x. Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah sebuah ‘sistem semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan tanda vocabulary dan sintaks syntagm. Di dalam semiotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’, yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan message dari sebuah pengirim pesan sender kepada para penerima receiver tanda berdasarkan aturan atau kode-kode tertentu. Semiotika dalam hal ini menjadi disiplin ilmu penopang desain komunikasi visual. Sebab, desain komunikasi visual mengandung tanda-tanda komunikatif. Lewat bentuk-bentuk komunikasi visual seperti itulah pesan tersebut menjadi bermakna. Fungsi utamanya adalah komunikasi, tetapi bentuk-bentuk komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikasi signification, yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi, atau makna. Fungsi signifikasi adalah fungsi dimana penanda signifier yang bersifat konkret dimuati dengan konsep-konsep abstrak, atau makna yang secara umum disebut petanda signified. Pada dasarnya, desain komunikasi visual merupakan representasi sosial budaya masyarakat dan salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Sebagai produk kebudayaan, ia terkait dengan sistem ekonomi dan sosial. Di samping itu, desain bersahabat dengan sistem nilai yang sifatnya abstrak dan spiritual. Tinarbuko, 2009: 6. Karya desain komunikasi visual merupakan saksi sejarah atas perkembangandinamika sosial politik bangsa Indonesia Tinarbuko, 2009 : 8. Sebab, sebagaimana kita ketahui bersama, tren karya desain komunikasi visual tidak bisa lepas dari kondisi sosial politik yang ada di masyarakat. Ketika zama Orde Lama, desain yang muncul tentu akan berbeda dengan masa kejayaan Orde Baru ataupun zaman Reformasi. Desain merepresentasikan keadaan realitas. Semiotika Komunikasi Visual bertujuan mengkaji tanda verbal judul,subjudul, dan teks dan tanda visual ilustrasi, logo, tipografi, dan tata visual desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Pisau analisis diharapkan mampu memperoleh makna yang terkandung di balik tanda verbal dan visual. Tanda verbal terdapat pada aspek ragam Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara bahasa, tema, dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis, dan bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya Tinarbuko, 2009: 9. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan, dan dicari hubungan antara satu dengan yang lainnya. Di dalam bidang desain pada khususnya, semiotika digunakan sebagai sebuah “paradigma”—baik dalam “pembacaan”—maupun “penciptaaan “ creating—disebabkan ada kecenderungan akhir-akhir ini dalam wacana desain untuk melihat objek-objek desain sebagai sebuah fenomena bahasa, yang di dalamnya terdapat tanda sign, pesan yang ingin disampaikan message, aturan atau kode yang mengatur code serta orang-orang yang terlibat di dalamnya sebagai subjek bahasa audience, reader, user Christomy, 2004: 88. Berdasarkan perkembangan paradigma baru tersebut, penggunaan semiotika sebagai sebuah “metode” dalam penelitian desaian harus berangkat dari sebuah prinsip, bahwa desain sebagai sebuah objek penelitian tidak saja mengandung berbagai aspek fungsi utilitas, teknis produksi dan ekonomis, tetapi juga aspek komunikasi dan informasi yang di dalamnya desain berfungsi sebagai medium komunikasi. Ada berbagai macam metode pembacaan semiotika untuk diaplikasikan dalam penelitian semiotika desain, salah satunya dari metode seorang ahli bernama CS Morris. CS Morris menjelaskan tiga dimensi dalam analisis semiotika, yaitu dimensi sintaktik, semantik, dan pragmatik, yang ketiganya saling berkaitan satu sama lainnya. Sintaktis syntactic berkaitan dengan studi mengenai tanda itu sendiri secara individual maupun kombinasinya, khususnya analisis yang bersifat deskriptif mengenai tanda dan kombinasinya. Semantika semantics adalah studi mengenai relasi antara tanda dan signfikasi atau maknanya. Dalam konteks semiotika struktural, semantik dianggap merupakan bagian dari semiotika. Pragmatik pragmatics adalah studi mengenai relasi antara tanda dan penggunanya interpreter, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan tanda secara konkret dalam berbagai peristiwa discourse serta efek atau dampaknya terhadap penguna. Ia berkaitan dengan nilai value, maksud, dan tujuan dari sebuah tanda, yang menjawab pertanyaan: ‘untuk apa’ dan ‘kenapa’, serta pertanyaa mengenai pertukaran exchange dan nilai utilitas kegunaan tanda bagi pengguna. Klasifikasi Morris ini sangat penting dalam penelitian desain karena dapat menjelaskan tingkat sebuah penelitian, apakah pada tingkat sintaksis struktur dan kombinasi Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara tanda, tingkat semantik makna sebuah tanda atau teks atau tingkat pragmatik penerimaan dan efek tanda pada masyarakat. Tabel 2.1 Perbandingan Analisis Morris Level Sintaksis Semantik Pragmatik Sifat penelitian tentang struktur tanda penelitian makna tanda penelitian efek tanda Elemen penandapetanda sintagmasistem konotasidenotasi metaforametonimi struktural kontekstual denotasi konotasi ideologimitos Penerimaan pertukaran wacana efek psikologis ekonomi- sosial gaya hidup Dikutip oleh Winfried Noth, Handbook of Semiotics, 1995:50

2.2.4.2 Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir post-strukturalis yang mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Dalam studinya, Barthes menekankan pentingnya peran pembaca tanda the reader. Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi Sobur, 2004: 63. Roland Barthes melakukan analisa dalam membagi pertandaan. Tingkat pertama adalah denotatif atau denotasi. Tingkat pertama ini merupakan bagian pertandaan yang memiliki ciri umum, makna terlihat langsung, dan tanda dapat dimengerti secara umum. Denotatif terdiri dari dua bagian yaitu penanda dan petanda yang memiliki hubungan hingga menjadi tanda itu sendiri baca : denotasi. Sementara konotasi merupakan tingkat pertandaan yang dimana terdapat perubahan dalam tingkat isi C yang tetap berawal dari dua sistem penanda dan petanda. Selain kedua bentuk analisa tersebut, terdapat satu pertandaan yaitu mitos. Mitos merupakan sebuah perubahan makna konotasi yang telah menjadi pemahaman umum dan diyakini oleh suatu kebudayaan tertentu. Di dalam kerangka pemikiran Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Budiman, 2001: 28. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan. Alasan Barthes memampatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi Budiman, 2001: 28. Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan hanya berupa tuturan oral, namun tuturan itu bisa saja berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada dasarnya adalah segala yang mempunyai modus representasi. Artinya, paparan contoh di atas memiliki arti yang belum tentu bisa ditangkap secara langsung Iswidayanti, 2006. Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok five major code yang di dalamnya terdapat penanda teks leksia. Lima kode yang ditinjau Barthes, yaitu Sobur, 2004: 63 -66 : 1. Kode Hermeneutik kode teka-teki Berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “ kebenaran “ bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki penyelesaiannya di dalam cerita. Kode Hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban yang lain. Tinarbuko, 2009: 18 2. Kode Semik kode konotatif atau kode semantik Proses pembacaan dengan menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan suatu konotasi, kita bisa menemukan suatu di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Bisa disebut juga dengan kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas dan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara maskulinitas atau dengan kata lain, kode semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, atau loyalitas. Tinarbuko, 2009: 18. 3. Kode Simbolik Merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau konsep Barthes pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa berasal dari oposisi biner atau pembedaan-baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan secara mitologi dapat dikodekan. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai- nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. Disebut juga dengan kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduan, pertentangan dua unsur, atau skizofrenia. Tinarbuko, 2009: 18. 4. Kode Proaretik kode tindakan perlakuan Kode yang dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis menurut Barthes melihat semua lakuan perlakuan dapat dikodifikasi. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan perlakuan karena kita dapat memahaminya. Disebut juga dengan kode yang mengandung cerita, urutan, narasi, atau antinarasi. Tinarbuko, 2009: 18 5. Kode Gnomik kode kultural Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu. Kode yang memiliki ciri suara- suara yang bersifat kolektif, anonim, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni dan legenda.Tinarbuko, 2009: 18 Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 1. Signifier 2. Signified Penanda PetandaGambar 2.1 3.Denotative sign 4. Connotative Signifier 5. Connotative Signified Penanda Konotatif Petanda Konotatif 6. Connotative Sign Tanda Konotatif Sumber : Cobley, Paul Jansz , Litza. 1999. Introducing Semiotics. New York : Totem Books, Hal . 51 Dari peta tanda Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan Petanda 2. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif 4. Makna konotatif tidak pernah bisa terlepas tanda tingkat pertama denotatif. Tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Bentuk ini merupakan penyempurnaan dari semiologi Saussurean yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif Sobur, 2004: 69. Teori semiotika Barthes hampir secara harafiah diturunkan dari teori bahasa menurut Saussure. Khususnya pada kajian mengenai penanda dan petanda. Barthes mengembangkan teori penanda dan petanda menjadi sebuah kajian denotasi dan konotasi. Sesuatu objek dianggap sebagai tanda karena masing-masing sudah mendapat dan menentukan “makna”- nya sendiri dalam suatu jaringan relasi pembedaan yang terbentuk dalam ingatan kognisi anggota masyarakat yang bersangkutan. Tanda-tanda komponen tersusun dalam susunan jukstaposisi tertentu sesuai dengan “makna”-nya masing-masing. Barthes mengembangkan model dikotomis penanda-petanda Saussure menjadi lebih dinamis. Ia mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya penanda adalah “ekspresi” E tanda, sedangkan petanda adalah “isi” dalam bahasa Prancis contenu C. Jadi sesuai dengan teori Saussure tanda adalah “relasi “ R antara E dan C. Ia mengemukakan konsep tersebut dengan model E-R-C, tingkat pertama sistem pertama atau lebih kita kenal dengan nama denotasi – makna yang dikenal secara umum Hoed, 2011: 13. Pemakai tanda dapat mengembangkan pemakaian tanda ke dua arah, ke dalam apa yang disebut oleh Barthes sebagai sistem kedua. Pengembangannya terjadi pada segi E ekspresi, bila Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara pemakain tanda memberikan bentuk yang berbeda kepada E, tetapi dengan makna yang sama. Ini lebih dikenal dengan istilah metabahasa. Pengembangannya sepeti ini E E- R2- C - R- C. Bila pengembangan itu berproses ke arah C isi, yang terjadi adalah pengembangan makna baru yang disebut dengan konotasi, E- R- C E - R2 – C. Konotasi adalah makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya. Barthes mengembangkan – terutama – menjadi teori konotasi yang justru dimiliki masyarakat budaya tertentu bukan secara individual. Barthes mengkritik masyarakat dengan menyatakan semua yang dianggap sudah wajar di dalam suatu kebudayaan sebenarnya adalah hasil proses konotasi. Tekanan teori tanda Barthes adalah pada konotasi dan mitos. Ia mengatakan bahwa dalam sebuah kebudayaan selalu terjadi “penyalahgunaan ideologi” yang mendominasi pikiran anggota masyarakatnya. Dengan menulis buku kumpulan esai yang berjudul Mythologies 1957 ia membebaskan masyarakatnya dari “penyalahgunaan ideologi” itu dan memahami mengapa berbagai pemaknaan yang seolah- olah sudah berterima di masyarakat itu terjadi Hoed, 2011: 18.

1. Penanda dan Petanda

Tanda adalah hasil asosiasi antara signified petanda dan signifier penanda. Hubungan keduanya digambarkan dengan dua anak panah, saling melengkapi. Petanda bukanlah ‘benda’ melainkan representasi mental dari ‘benda’ Barthes, 2012:36. Konsep petanda dari lembu bukanlah hewan lembu, melainkan citra atau imaji mentalnya penjelasan ini penting untuk pembahasan selanjutnya mengenai hakikat tanda. Petanda ialah ‘sesuatu’ yang dimaksudkan oleh orang-orang yang menggunakan tanda tertentu. Setiap sistem penanda leksikon terjadi korepodensi, diranah petanda, antara praktik dan teknik; kumpulan petanda-petanda ini menyiratkan dari pihak pengguna sistem pembaca tanda tingkat pengetahuan yang berbeda sesuai dengan kekhasan dalam ‘budaya’ mereka, yang menjelaskan mengapa leksi yang sama atau satuan bacaan yang lebih besar dapat dipahami secara berlainan sesuai dengan kehendak individu Barthes, 2012:41 Satu-satunya perbedaan antara penanda dan petanda adalah bahwa penanda merupakan penghubungmediator; ia membutuhkan materi. Substansi dari penanda selalu material bunyi, objek, citra. Barthes dalam Barthes, 2012: 43 mengatakan penandaan dapat dipahami sebagai sebuah proses; penandaan adalah tindakan mengikat penanda dengan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara petanda, tindakan yang hasilnya adalah tanda. Penanda adalah merupakan mediator material bagi petanda. Sebuah tanda adalah sebuah kombinasi dari sebuah penanda dengan petanda tertentu. “Tertentu” disini berarti sebuah penanda yang sama misalnya kata ‘laki-laki dapat mewakil petanda yang berbeda untuk konsep ’laki-laki’ misalnya alat yang digunakan untuk mencukur kumis laki-laki. Saussure menekankan bahwa suara dan pikiran tersebut penanda dan petanda sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan seperti dua sisi selembar kertas. Mereka terkait intim dan saling tergantung. Sebuah tanda tidak dapat terdiri dari suara penanda tanpa arti petanda atau arti petanda tanpa suara penanda. Bagi Saussure, penanda dan petanda adalah murni psikologis. Psikologis dalam arti: tanda linguistik bukanlah penghubung antara sebuah benda dengan sebuah nama, tapi antara sebuah konsep petanda dengan sebuah pola suara penanda. Birowo, 2004: 46. Penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep, disebut juga petanda adalah aspek mental bahasaBertens, 2001: 180. Gambar 2.2 Sumber: Birowo, 2004 : 46 Meskipun penanda digunakan untuk ‘mewakili’ petanda. Para pakar semiotika Saussurean menekankan bahwa tidak ada hubungan yang mendasar, intrinsik, langsung maupun pasti tak terelakkan antara penanda dan petanda. Saussure menekankan adanya sifat kesewenangan atau arbitrer arbitrariness pada hubungan penanda dengan petanda. Sebagai gambaran, tidak ada hubungan langsung tulisan atau citra suara ‘kursi’ dengan konsep mental kita tentang ‘kursi’ – yakni sebuah benda yang bisa digunakan untuk duduk. Aristoteles pernah mengatakan bahwa “tidak bisa ada hubungan natural antara bunyi suatu bahasa dengan benda yang ditandainya.” Shakespeare memberikan pernyataan juga bahwa segala apa nama yang kita torehkan pada sekuntum mawar merah, aromanya tetaplah semerbak.” Birowo, 2004: 50. Petanda Penanda Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Setiap tanda selalu terdiri atas penanda dan petanda. Dalam teori ini, tanda adalah sesuatu yang terstruktur karena terdiri atas komponen-komponen dalam hal ini ada dua yang berkaitan satu sama lain dan membentuk satu kesatuan Hoed, 2011: 44. Tanda bahasa terdiri dari dua unsur yang tidak terpisahkan, yakni unsur citra akustik bentuk signifiantpenanda dan unsur konsep signifiepetanda. Hubungan antara penanda dan petanda, yakni antara bentuk dan makna, didasari konvensi dalam kehidupan sosial. Kedua unsur tersebut terdapat dalam kongnisi para pemakai bahasa. Hoed, 2011: 54. Penanda adalah “bunyi” yang bermakna atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa Bertens, 2001: 180. Menurut Saussure, penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut : Gambar 2.3 Elemen-Elemen Makna Saussure Sign Composed of Signification Signifier Plus Signified External Reality of The Meaning Sebuah pemaknaan dalam proses pemroduksi tanda adalah hasil kesepakatan dari budaya pengguna bahasa. Signifier penanda merupakan suatu citra, suara atau imaji. Sedangkan, signifiedpetanda merupakan konsep yang terbentuk setelah seorang intepretan mendengar citra, bunyi, atau suara penanda. Sebuah kesinambungan yang terjalin antara penanda dan petanda yang akhirnya menghasilkan sebuah tanda. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Semiotika digunakan sebagai metode pembacaan dimungkinkan karena ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan tersebut, bila seluruh praktik sosial dianggap sebagai fenomena bahasa, ia dapat pula dipandang sebagai “tanda”. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian “tanda” itu sendiri. Saussure dalam Christomy, 2004: 90 menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari bidang—seperti halnya selembar kerta—yaitu bidang penanda signified untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi dan bidang penanda signifier untuk menjelaskan konsep atau makna Gambar 2.4 Diagram Komponen Tanda Dikutip oleh Saussure dalam Christomy, 2004: 90 . Berkaitan dengan piramida atau diagram pertandaan Saussure diatas, Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial atau kesepakatan sosial social convention di kalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa. Penanda dan petanda berasal dari teori Saussure tentang tanda, yang mengatakan bahwa tanda terdiri atas signifier dan signified. Bertolak dari teori Saussure 1915, yang melihat semua gejala dalam kebudayaan sebagai tanda yang terdiri atas signifier penanda, yaitu gejala yang tercerap secara mental oleh manusia sebagai “citra akustik”, dan signified petanda, yaitu makna atau konsep yang ditangkap dari signifier tersebut. Semiotika digunakan untuk memahami kebudayaan diterangkan oleh Barthes melalui bukunya yang cukup terkenal, Mythologies 1957. Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna aspek material, yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier penanda dan signified petanda. Penanda + Petanda = Tanda Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Saussure menyebutkan signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gamabaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signifikasi signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia Fiske, 1990: 44. Hubungan antara signifier dan signified ini dibagi tiga, yaitu van Zoest, 1996: 23: 1. Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya, misalnya foto atau peta. 2. Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan yang ditandai, misalnya asap adalah indeks dari api. 3, Simbol adalah sebuah tanda di mana hubungan antara signifier dan signified semata-mata adalah konvensi, kesepakatan atau peraturan. Misalnya adalah lampu merah yang berarti menunjukkan untuk berhenti van Zoest, 1996: 23. Dalam pandangan Saussure, makna sebuah tanda sangat dipengaruhi oleh tanda yang lain. Sementara itu, Umar Junus menyatakan bahwa makna dianggap sebagai fenomena yang bisa dilihat sebagai kombinasi beberapa unsur dengan setiap unsur itu Sobur, 2001: 126.

2. Denotasi, Metabahasa danKonotasi

Dokumen yang terkait

Konstruksi realitas Islam di media massa : analisis framing; konflik Palestina Israel di harian Kompas dan Republika

1 12 119

Konstruksi realitas di media massa ( analisis framing terhadap pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika )

1 10 116

Semiotik Ilustrasi Ratu Atut Dalam Kasus Korupsi Pada Headline Koran Harian Tempo Tahun 2013

0 10 123

PERAN GAMBAR ILUSTRASI DALAM CERITA PENDEK Studi Kasus: Cerpen Harian Kompas Minggu

0 12 14

TELEVISI INDONESIA DI MATA SUKRIBO Analisis Komik Sukribo di Harian Kompas TELEVISI INDONESIA DI MATA SUKRIBO Analisis Komik Sukribo di Harian Kompas dengan Pendekatan Semiotika Peirce.

0 4 13

ANALISIS MAKNA REFERENSIAL PADA KARIKATUR DALAM RUBRIK OPINI DI HARIAN SURAT KABAR KOMPAS Analisis Makna Referensial Pada Karikatur Dalam Rubrik Opini Di Harian Surat Kabar Kompas Edisi Agustus-Oktober 2014.

0 3 11

ANALISIS MAKNA REFERENSIAL PADA KARIKATUR DALAM RUBRIK OPINI DI HARIAN SURAT KABAR KOMPAS Analisis Makna Referensial Pada Karikatur Dalam Rubrik Opini Di Harian Surat Kabar Kompas Edisi Agustus-Oktober 2014.

0 5 16

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif Paradigma Penelitian - Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

0 0 53

Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

0 0 17

Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet Koestana Di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan) SKRIPSI

0 0 11