Universitas Sumatera Utara
pemerintahan tersebut dengan baik adalah rakyat atau publik akan selalu mendukung sebuah perubahan untuk kebaikan bersama. Tugas yang maha berat itu diemban oleh lembaga
legislatif. Namun, ada kalanya tidak semua kebijakan atau program yang dibuat oleh lembaga legislatif disukai atau didukung oleh publik. Sebuah tanda yang paling jelas bilamana seluruh
lapisan masyarakat memberikan penolakan besar-besaran. Ini seperti Revolusi Buruh di Rusia pada Oktober 1905 dan Revolusi Prancis untuk menumbangkan kekaisaran Louis
Bonaparte serta permaisuri Marie Antoinette. Seperti itulah keinginan keras rakyat atau publik jika negara bertindak sewenang-wenang terhadap jabatannya. Akhirnya, DPR RI
melalui berbagai macam prosedur dan proses untuk menerbitkan UU Pilkada merupakan sebuah manifestasi dari gedung DPRMPR RI menjadi sebuah penjara, penjara dari suara.
“Proses kreatifnya ya itu, ini kan parodi dari awalnya penjara itu sudah ada. Penjara itu kurungan, mengurung, tidak ada kebebasan disana. Ilustrasi itu memparodikan
atau memplesetkan suatu masalah. Suatu yang terpenjara adalah yang terkurung, tidak ada kebebasan disana. Artinya memang terkurung dia. Sama seperti seekor
burung, burung memang benar-benar bebas sayapnya terpakai jika dia berada di luar, benar-benar bebas. Sama suara rakyat tidak akan mendapatkan kebebasan atau
mendapatkan kebebasan jika tidak terkurung. Nah simboliknya, ikon-ikon yang aku pakai disana ada terlihat siapa yang memenjara dan siapa yang terpenjara. Yang
memenjara adalah parlemen dengan alat RUU. Lalu yang terpenjara siapa? Suara rakyat. Suara rakyat apa ikonnya ya, yaitu kotak Pemilu itu. Kotak Pemilu itu adalah
simbol dari kebebasan. Bebas saja memilih siapa pemimpin yang hendak dipilihnya. Tetapi begitu suara tidak mendapatkan kebebasan, ya sama saja ya terpenjara kan
suara menegaskan
. Meskipun lu punya mulut, punya pilihan pemimpin, punya calon pemimpin yang baik, ya kan, lu berhak dong. Bahayanya, jika nanti kalau
pemimpin daerah dipilih oleh DPRD, itu kan gawat banget korupsinya. Kita semua kan ga tahu selain kita dibungkam. Disana kepala-kepala daerah itu akan sowan ke
partai-partai. Ini mungkin buntutnya dari seperti itu. Para kepala-kepala daerah akan sowan ke partai ke ketua partai buat koalisi, dia ngasi upeti untuk terpilih
suaranya seperti ketakutan
, Nah itu kan tidak terlihat dan korupsi akan merajalela. Nah kalau 2015 akan diadakan pemilihan kepala daerah Pilkada banyak banget
berapa daerah.”Hasil Transkrip Wawancara, Hal 172.
3. Kode Simbolik
Gedung DPRMPR RI terlihat sebagai sebuah gedung yang memiliki akar kejahatan yang lebih keji dari kejahatan lain. Tergambar di sini mereka menerapkan sebuah kejahatan
para penggelap pendaanaan, mafia UU, dan yang paling penting mencabut hak mendasar sebagai warga negara hak bersuara serta hak memilih pemimpin terbaik. Hal paling esensial
dari sebuah negara demokrasi di mana rakyat dapat menentukan pemimpin dan masa terbaik negaranya dengan voting suara.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Gedung DPRMPR RI ini pada umumnya tidak mempunyai sangkut-paut, namun karena oknum-oknum yang menggunakan gedung ini menggunakan hak dan kewajibannya
sewenang-wenang, gedung ini akhirnya mendapatkan sebuah cap gedung pemenjara suara. Oknum-oknum legislatif penghuni gedunglah yang menciptakan sebuah pandangan atau
realitas di mata masyarakat sebagai sebuah penjara, penjara hak-hak rakyat. “Ya, tanda-tandanya ikon itu bahwa disana siapa yang mengurung dan siapa yang
dikurung.Yang mengurung adalah DPR dan Parlemen, dan yang terkurung adalah kotak suara kotak pemilu.” Transkrip Wawancara Jitet, Hal 172
“Ini untuk perubahan, perubahan yang akan membawa manfaat. Rakyat lebih sejahtera dengan pemimpin baru. Coba bayangin misalnya kita, misalnya kepala
daerah dipilih oleh DPRD, ga akan Jokowi di Jakarta. Jakarta tetap kumuh, kemacetan tidak akan tertangani dengan baik akan kayak gitu, pengangguran
dimana-mana, urbanisasi berantakan nanti ga teratur, ya kan, seperti itu. Jika muncul pemimpin baik, harapannya akan ada perubahan dan kesejahteraan untuk
masyarakat, untuk rakyat.” Transkrip Wawancara Jitet, Hal 172
4. Kode Kultural
Sebuah gedung yang banyak menyimpan semua sejarah di Indonesia. Pasca pecahnya peristiwa Trisakti, Gedung DPRMPR RI ini merupakan sebuah cerminan revolusi reformasi
pada tahun 1998, yang diduduki oleh para mahasiswa. Pada tanggal 18 Mei 1998, mahasiswa menduduki gedung untuk memaksa para anggota MPR RI melaksanakan Rapat Istimewa dan
mencabut mandat kepada Soeharto. Aliansi Mahasiswa Indonesia pada saat proses penggulingan Soeharto berarak melakukan demonstrasi hingga akhirnya tujuan akhir adalah
menduduki gedung DPRMPR RI. Presiden Soekarno yang berperan besar dalam mendirikan Gedung DPRMPR RI ini
mendesain sedemikian rupa dengan mempunyai makna filosofis. Dengan mempertimbangkan unsur budaya Indonesia yang diaplikasikan ke dalam ilustrasi, yaitu budaya Hindu kuno.
Gedung DPRMPR RI melambangkan Yoni atau alat vital perempuan vagina. Dengan mempertimbangkan berbagai macam hal, gedung tersebut dibangun dengan menyerupai
tersebut, namun tidak diwujudkan secara nyata realis atau benar-benar menyerupai. Arsitek mengambil gaya absurd dengan mempertimbangkan norma kesopanan. Makna filosofisnya,
gedung tersebut dianalogikan sebagai seorang ibu yang melahirkan anak yang di mana anak dari gedung tersebut adalah Undang-Undang UU atau konstitusi.
Tujuan mendirikan gedung parlemen rakyat ini untuk penyelenggaraan kegiatan Conference of the New Emerging Forces Conefo. Setelah meletusnya peristiwa G-30S-
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
PKI, Soekarno menghentikan proyek pembangunan gedung Conefo ini. Tidak hanya menghentikan, Soekarno juga menginstruksikan agar gedung ini dialihfungsikan menjadi
gedung parlemen setelah gedung yang sebelumnya berada di Lapangan Banteng urung diselesaikan.
5. Kode Semik