Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

(1)

Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi

Karya Jitet Koestana Di Harian Kompas

(Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian

Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

SKRIPSI

Yudha Ikhsan

110904018

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi

Karya Jitet Koestana Di Harian Kompas

(Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian

Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana Program Strata I (S1) pada Departemen Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik Universitas

Sumatera Utara

Yudha Ikhsan

110904018

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK LEMBARPERSETUJUAN

Skripsiinidisetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Yudha Ikhsan NIM : 110904018

Departemen :Ilmu Komunikasi (HUMAS)

JudulSkripsi : Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis

Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

Medan, Maret 2015

Dosen Pembimbing, Ketua Departemen,

Drs. Syafruddin Pohan, M.SiDra.FatmaWardy Lbs,MANIP.

19581205198931002 NIP. 196208281987012001

DekanFISIP-USU,


(4)

HALAMANPERNYATAANORISINALITAS

Skripsiiniadalah hasilkaryasayasendiri, semuasumber baikyangdikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernyadengan benar. Jika kemudian hari sayaterbukti melakukan pelanggaran(plagiat), makasayabersedia diproses sesuai

dengan hukumyangberlaku.

Nama : Yudha Ikhsan

NIM : 110904018

TandaTangan:


(5)

HALAMANPENGESAHAN

Skripsiinidiajukan oleh :

Nama : Yudha Ikhsan

NIM : 110904018

Departemen :Ilmu Komunikasi (Humas)

JudulSkripsi :Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet Koestana di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

Telahberhasildipertahankandi hadapan DewanPengujidanditerima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial danIlmuPolitikUniversitas Sumatera Utara

MajelisPenguji

Ketua Penguji : Penguji : PengujiUtama


(6)

HALAMANPERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGANAKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas SumateraUtara,sayayangbertandatangan di bawah ini:

Nama : Yudha Ikhsan NIM : 110904018

Departemen :Ilmu Komunikasi (Humas) Fakultas :Ilmu Sosial danIlmu Politik Universitas : SumateraUtara

Jenis Karya : Skripsi

Demipengembangan ilmupengetahuan,penelitimeneytujuiuntukmemberikan kepadaUniversitas SumateraUtaraHakBebasRoyaltiNon Eksklusif(Non- exclusiveRoyalty-FreeRight) ataskaryailmiah sayayangberjudul:Konstruksi Realitas Pesan Ilustrasi Pada Pemaknaan Imaji Kebangsaan (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan), beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak BebasRoyaltiNoneksklusif ini, Universitas SumateraUtaraberhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengeloladalambentuk pangkalandata (database), merawatdanmempublikasikantugasakhirsaya tanpameminta izindarisaya selama tetapmencantumkan namasayasebagaipenulisataupenciptasebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan inisayabuat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Padatanggal : Maret, 2015)

YangMenyatakan

(Yudha Ikhsan


(7)

Skripsi ini diajukan oleh

Nama : Yudha Ikhsan

NIM : 110904018

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi :Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian

Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji :

Penguji : Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, Ph. D NIP. 195812051989031002

Pemguji Utama :

Ditetapkan di : Medan

Tanggal : Maret 2015


(8)

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Mahas Esa Allah SWT, karena berkat rahmatNya serta hidayahNya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU). Saya menyadari tanpa bimbingan dari berbagai pihak, dari awal masa perkuliahan hingga sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih sangat mendalam kepada kedua orang tua tercinta Drs. Safrin M.Si (Bapak) dan Dra. Dahniar (Ibu) yang telah berupaya melakukan yang terbaik untuk kebaikan peneliti, serta senantiasa terus berdoa kepada Allah SWT untuk kelancaran proses penelitian ini berlangsung. Juga kepada Feby Aulia (Kakak) dan Gilang Putra Bahana (Adik) yang telah banyak memberikan dukung moril sehingga peneliti terus termotivasi untuk melakukan yang terbaik.

Peneliti juga mengucapkan puji dan syukur dari lubuk hati yang terdalam, saya ingin menyampaikan ucapan sebesarnya terimakasih kepada:

1) Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2) Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU

3) Bapak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih untuk pengertian dan kebebasan yang Bapak berikan sehingga saya bisa mengeksplorasi materi skripsi dengan leluasa.

4) Bapak/ibu dosen dan staf pengajar Ilmu Komunikasi FISIP USU yang telah berperan besar dalam terlaksananya perkuliahan selama ini.

5) Siti Safira Mayhara S. pemberi kesejukan dalam keringnya ilalang kehidupan. Terimakasih atas perhatian dengan tulus yang senantiasa memotivasi peneliti untuk melakukan yang terbaik.

6) Edi S. Maha, Rizky Ananda, dan Nabilah Adzhani. Rekan, partner in crime, yang memiliki waktu sangat terbatas tetapi memiliki kesediaan yang sangat tinggi untuk terus memotivasi. 7) Rumah, tempat berkeluh kesah dan tempat berproses dari ‘diam’ menjadi ‘berlari’ wadah peneliti untuk menjadi terampil, Pers Mahasiswa Pijar. Terimakasih atas prosesnya yang sangat berharga sehingga menjadikan peneliti intelektual pekerja keras. Terimakasih waktu-waktu mesra yang sangat elok untuk dikenang. Ariverderci.


(9)

8) M. Zahrawi sepupu terbaik yang banyak mengajarkan pentingnya bekerja keras. Juga Kepada teman-teman Ilmu Komunikasi FISIP USU, ‘ANTO’, sangat indah nian dikenang memori jiwa.

9) Perhumas Muda USU terimakasih atas waktu-waktu yang indah untuk dikenang. Jangan pernah takut untuk mencoba, dan terus bekerja serta berusaha untuk melakukan yang terbaik. Perhumas Muda Medan terimakasih atas pengertian dan kebaikannya, semoga bisa menjadi lebih lagi amin.

10) Kepada Kakanda Jovita Sabarina Sitepu, atas kesediaanya memberikan kritikan dan nasihat untuk menjadikan skripsi ini lebih baik lagi.

11) Ibu Mazdalifah yang telah banyak membantu peneliti dalam halnya memberikan kemajuan dalam melaksanakan kegiatan kampus dan berorganisasi.

12) Jitet Koestana, seniman hebat dari kota Semarang. Senang sekali bisa berdiskusi dan mengenal Anda sebagai seorang teman, partner diskusi, dan Indonesianis berjiwa nyeni. Terimakasih atas kesediaanya membantu peneliti. Terimakasih atas data-data penelitian yang sangat membantu peneliti.

13) Herman Tan Dela Oeslan (Harian Analisa) dan Basuki Hu Wie Tian (Harian Waspada) , terimakasih atas proses wawancaranya yang telah banyak mengorbankan waktu. Tetap terus berkarya pak.

14) USU Channel, jangan pernah menyerah. Tunjukkan kalian bisa lebih baik dan lebih giat dalam proses menghasilkan karya jurnalistik. Salam berita. Sukses untuk USU Channel. 15) Kakak Siti Nuraini yang telah banyak memberikan semangat, ide-idel liar namun spektakuler, kritikan serta nasihat membangun, dan khususnya yang paling penting daftar literatur yang sangat komperhensif membuat penelitian dari peneliti bisa menjadi lebih baik. Salam sukses.

16) Kepada sang kepingan mimpi-mimpi yang berserakan, kita kembali, merindu kembali kepada sang jiwa utuh, berjalan tanpa takut di sela-sela kabut hati. Kita menuju mimpi, bersama diriku Yudha Ikhsan. Universiteit Franfurt 2015.

Lembaran ini tidak pernah cukup untuk menitikkan air mata kebahagiaan. Sangat terkira senangnya atas kebaikan para pemuja hati, kebaikan pembuka mimpi. Terimakasih banya atas kiranya, pihak-pihak, individu yang telah banyak membantu peneliti mulai ketika semester awal hingga akhirnya peneliti bisa menyelesaikan tugas akhirnya secara maksimal. Akhir kata, saya berharap ini merupakan langkah awal dari perjalanan kehidupan mimpiku. Saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini dapat menjadi kontribusi yang signifikasn bagi dunia keilmuan, khususnya Ilmu Komunikasi.


(10)

Medan, Maret 2015 Peneliti,


(11)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

———————————————————————————————————————

Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Yudha Ikhsan

NIM : 110904018

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (ISIP)

Universitas : Universitas Sumatera Utara (USU)

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-Exclusive Royalty – Free Right) atas karya ilmuah saya yang berjudul :

……… ……… ……… ………

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royali Non-eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat : …..

Pada tanggal : …… Yang Menyatakan


(12)

DAFTAR ISI………. xi

DAFTAR GAMBAR……… xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Konteks Masalah……… 1

1.2Fokus Masalah……… 11

1.3Tujuan Penelitian……… 11

1.4Manfaat Penelitian……….. 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/Paradigma Kajian……….. 13

2.1.1 Pengetahuan………. 16

2.2 Kajian Pustaka……… 17

2.2.1 Konstruksi Realitas dalam Media Massa………. 17

2.2.2 Manusia Sebagai Pembuat Simbol ………. 22

2.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu……….. 23

2.2.4 Semiotika………. 23

2.2.4.1 Semiotika Komunikasi Visual……….. 29 2.2.4.2 Semiotika Roland Barthes………... 32

2.2.5 Ilustrasi……….... 53

2.2.6 Kebangsaan………. 55

2.2.7 Komunikasi Massa……….. 61

2.2.7.1 Surat Kabar……….. 62

2.3 Model Teoritik……… 65

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian……….. 66

3.2 Objek Penelitian………. 67

3.3 Subjek Penelitian……….. . 68

3.4 Kerangka Analisis………... 68

3.5 Teknik Pengumpulan Data………. 69

3.6 Keabsahan Data……….. 69

3.7 Teknik Analisis Data……….. 70

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Lokasi Penelitian……… 73

4.1.1 Sejarah Harian Kompas……….. 73

4.1.2 Profil Jitet Koestana……… 77

4.1.3 Profil Basuki……… 78

4.1.5 Profil Herman Tan Dela Oeslan……….. 79

4.2 Hasil Analisis Penelitian………. 80

4.2.1 Ilustrasi Pertama (1)………. 81

Judul: Dagelan Sepak Bola MPR/DPR RI 4.2.2 Ilustrasi Kedua (2)……… 87

Judul: Suara yang Terpenjara 4.2.3 Ilustrasi Ketiga (3)……… 93

Judul: Suara Tenggelam dalam Kegelapan 4.2.4 Ilustrasi Keempat (4)……… ……… 100

Judul: Gedung Penggusur Suara 4.2.5 Ilustrasi Kelima (5)……… 107

Judul: Kekuasaan yang Terikat 4.2.6 Ilustrasi Keenam (6)……….. 112


(13)

4.2.7 Ilustrasi Ketujuh (7)……….. 118

Judul: Mayat Demokrasi 4.2.8 Ilustrasi Kedelapan (8)……….. 124

Judul: Pilkada yang Terkungkung 4.2.9 Ilustrasi Kesembilan (9)………. 131

Judul: Gedung Pemenjara Harapan 4.2.10 Ilustrasi Kesepuluh (10)……… 137

Judul: Pendar Kemurnian dan Tukang Rasuah 4.2.11 Ilustrasi Kesebelas (11)……….. 143

Judul: Konferensi Meja Kekuasaan (KMK) 4.2.12 Ilustrasi Keduabelas (12)………... 149

Judul: Penjara, Saksi Kursi 4.2.13 Ilustrasi Ketigabelas (13)……… 155

Judul: Runtuhnya Demokrasi Indonesia 4.2.14 Ilustrasi Keempatbelas (14)……… 161

Judul: Di balik Pelarian Kekuasaan 4.3 Transkrip Hasil Wawancara……… 167

4.3.1 Hasil Wawancara Bersama Jitet Koestana (Ilustrator Kompas)……... 167 4.3.2 Hasil Wawancara Bersama Basuki (Ilustrator Waspada)………. 193

4.3.3 Hasil Wawancara Bersama Herman (ilustrator Analisa)……….. 209

4.4 Pembahasan……… 221

BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan……… 223

5.1 Saran……….. 225

5.3 Implikasi Teoritis……… 225

5.4 Implikasi Praktis………. 225 DAFTAR PUSTAKA


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Gambar Peta Tanda Roland Barthes……….. 29

2.2 Konsep Petanda dan Penanda………...31

2.3 Elemen-elemen Makna Saussure………33

2.4 Diagram Komponen Tanda………39

2.5 Signifikasi Dua Tahap Barthes………...41

2.6 Tingkat Pertandaan……….42

2.7 Metabahasa……….42

2.7 Konotasi………..43

2.8 Teori Metabahasa dan Konotasi……….43

2.9 Poros Paradigma dan Sintagma………..41

2.10 Sintagmatik dan Paradigmatik Kalimat……..41

4.1 Gambar Ilustrasi Pertama………81

4.2 Gambar Ilustrasi Kedua………. .86

4.3 Gambar Ilustrasi Ketiga………. .91

4.4 Gambar Ilustrasi Keempat………. .97

4.5 Gambar Ilustrasi Kelima……… 103

4.6. Gambar Ilustrasi Keenam………...108

4.7 Gambar Ilustrasi Ketujuh………... 113

4.8 Gambar Ilustrasi Kedelapan……….. 118

4.9 Gambar Ilustrasi Kesembilan………. 124

4.10 Gambar Ilustrasi Kesepuluh………... 129

4.11 Gambar Ilustrasi Kesebelas……… 134

4.12 Gambar Ilustrasi Keduabelas………. 140

4.13 Gambar Ilustrasi Ketigabelas………. 145


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Tabel Perbandingan Analisis Moriss ………..32


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

- Ilustrasi Jitet Koestana - Dokumentasi Penelitian - Biodata Peneliti


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Konteks Masalah

Berdiri pada era pergolakan orde lama menuju orde baru, tepatnya pada tahun 28 Juni 1965 turut mendirikan harian Kompas dengan pemimpin umumnya adalah Petrus Kanisius Ojong (1920 – 1980), sebelumnya adalah Pemimpin Redaksi Harian Star Weekly dan Keng Po. Bersama dua orang temannya Jakob (Jakobus) Oetama – sebelumnya Pemimpin Redaksi Surat Kabar Penabur dan Frans Seda, mereka mendirikan sebuah surat kabar yang memberikan nafas baru dalam keadilan. Pada awalnya harian ini direncanakan bernama Bentara Rakyat, namun sebelum rilis, berdasarkan wawancara dengan Frans Seda, Presiden Soekarno meminta namanya diubah menjadi harian Kompas(Penerbit Kompas). Kompas yang berarti penunjuk arah. Sebelum Kompas (Bentara Rakyat), pada Agustus 1963 mereka mendirikan sebuah majalah yang bernama Intisari. Sesuai dengan namanya, majalah ini merangkum semua bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi dunia menjadi sebuah saripati informasi.

Media massa merupakan sebuah ikhtisar informasi yang sangat penting sebagai suplemen pengetahuan mengenai informasi yang berkembang saat ini. Mulai dari jatuhnya Presiden Hoesni Mobarrok, menyebarnya virus endemik Ebola di wilayah Afrika, Revolusi di Mesir, terpukulnya raksasa-raksasa ekonomi Eropa pada saat masa resesi ekonomi, dan pelantikan Presiden RI – Joko Widodo beberapa waktu yang lalu. Sedemikian pentingnya informasi menjadikan manusia yang menguasai informasi adalah manusia yang beruntung. Napoleon pernah berkata, hear, read, and look an information from up and down from left to right to seize the world (dengar, baca, dan carilah informasi dari atas ke bawah dari kiri ke kanan untuk menaklukan dunia).

Harian Kompas dengan slogannya “Amanat Hati, Nurani Rakyat” menjadi sebuah media massa yang memberikan cahaya pada pekatnya informasi mengenai perkembangan pemerintahan. “Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak akan mungkin diajak berjuang. Perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, diantaranya lewat media massa,” ujar Jakob Oetama pada penutupan tahun 1978 (Sularto, 10 : 2011). Sebuah harapan untuk memberikan kemuliaan kepada masyarakat, khususnya memberikan angin harapan kepada


(18)

kaum papa dan mengingatkan pemerintah juga para kaum berada. Medium is the extension of men, media adalah kepanjangan tangan dari masyarakat. (dalam Sularto, 18 : 2011).

Kompas memiliki sebuah rubrik yang bernama Opini. Rubrik ini berisikan kumpulan pemikiran para cendekiawan dan kumpulan hasil seni para redaktur artistik Kompas. Ilustrasi merupakan sebuah penggambaran harapan masyarakat yang tergambarkan dalam sebentuk komunikasi visual.Dalam rubrik tersebut terdapat ilustrasi dan karikatur yang menjadi penggambaran mengenai realitas pada masa itu. GM Sudarta sendiri merupakan pembuat ilustrasi pertama di harian Kompas. Ilustrasi mempunyai peran untuk melakukan kritikan satir terhadap pemerintah yang pada saat itu media sangat diawasi oleh pemerintahan.

Ilustrasi sendiri menurut KBBI adalahgambar (foto, lukisan) untuk membantu memperjelas isi buku, karangan, dsb; gambar, desain, atau diagram untuk penghias (halaman sampul dsb); (pen-jelasan) tambahan berupa contoh, bandingan, dsb untuk lebih memperjelas paparan (tulisan dsb); (KBBI, 1995 : 78). Ilustrasi sendiri mulai berkembang pada Eropa Barat, khususnya di Jerman, Pada awalnya ilustrasi digunakan hanyak untuk merekam sebuah peristiwa penting. Pada abad ke – 16 ilustrasi terus mengalami perkembangan hingga akhirnya pada era tersebut pemerintahan memasukkannya ke dalam sebuah mata pelajaran. Munculnya Albert Durer, Hans Burgkmair, Altorfer dan Hans Holbein merupakan titik balik perkembangan ilustrasi. Hingga akhirnya pada abad ke – 17, Rembrandt menjadi pionir terdepan dalam mengembangkan ilustrasi meliputi berbagai aspek khususnya media massa.

Sebuah ilustrasi menurut Yasuo Yoshitomi, kartunis dan Ketua Komite SeleksiThe 9th Kyoto International Cartoon Exhibition, kartun/ilustrasi punya makna lebih. “Maknanya sangat dalam. Kita harus berpikir dan melihat ke dalam diri kita untuk mengerti,” ujar nya (Media Indonesia, 8 September 2010). Ilustrasi memiliki dua ciri utama, yaitu menghadirkan ironi dan bersifat satir. Sifat inilah yang kemudian akan menggerakkan hati dan membuat kita bercermin terhadap diri sendiri. Juga pada akhirnya menimbulkan harapan. Bahwa belum terlambat bagi kita untuk memperbaikinya (Media Indonesia, 8 September 2010).

Media massa dan ilustrasi merupakan sebuah perpaduan hubungan yang pas. Media massa membutuhkan ilustrasi untuk semakin menegaskan isi pemberitaan yang ada. Pada saat ini ilustrasi yang terdapat di harian Kompas merupakan penggambaran dari realitas yang terjadi saat ini. Misalnya contoh sebuah ilustrasi Jokowi dan Jusuf Kalla yang membawa sebuah truk berisikan masalah-masalah dari Indonesia. Truk tersebut merupakan harapan agar


(19)

Indonesia bergerak maju dan lebih baik perkembangannya ke depan. Illustrator yang menghasilkan ilustrasi tersebut adalah Jitet Koestana. Beliau merupakan seorang ilustrator yang telah melahirkan banyak penghargaan juga ilustrasi. Salah satu penghargaan yang dimilikinya adalah Penghargaan dari Museum Rekor Indonesia sebagai Penerima Penghargaan Terbanyak di sebuah kompetisi kartun internasional.

Jitet Koestana lahir pada tanggal 19 Maret 1967. Beliau merupakan kartunis idealis yang menggambarkan sebuah pengharapan terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Ilustrasi merupakan keahlian yang didapat melalui proses pembelajaran pribadi. Tujuan awal berkarya adalah untuk kesenangan hati dan menyuarakan suara mereka yang lemah lewat kartun ataupun ilustrasi. Semakin luas ilustrasiitu diperlihatkan, semakin banyak orang yang tahu (Media Indonesia, 8 September 2010). Ilustrasi yang bagus tak hanya punya teknik yang bagus. Ia mengibaratkannya sebagai sebuah makhluk yang tak hanya berdaging, berdarah, dan bertulang. Tapi juga harus memiliki roh dan hati. “Tidak cuma mengandung pesan, tapigagasannya mengungkapkan cinta kasih dan membela kelangsungan hidup manusia.” (Media Indonesia, 8 September 2010).

Menurut catatan Efix Mulyadi, penulis seni, gambar Jitet tak sekadar enak dipandang, tapi juga ilustrasi yang tajam mengkritik sekaligus memberi humor yang bernas. Kedalaman makna itulah yang akhirnya membuat karya ilustrasi Jitet Koestana sering menjadi alat pengritik media untuk pemerintahan (Media Indonesia, 8 September 2010).

Titik balik perjalanan sejarah ilustrasi dimulai pada akhir abad 18, muncul sebuah Gerakan Romantik yang kemudian mempengaruhi pergeseran posisi seorang Ilustrator dan fungsi dari Ilustrasi. Gagasan baru yang ditawarkan adalah seorang ilustrator selayaknya bebas dalam menginterpretasikan sebuah teks dengan keliaran imajinasinya. Ilustrator menjadi lebih mandiri. Posisi yang pada awalnya subordinan dari teks, kini memiliki nilai tawar dan tempatnya sendiri. Kebebasan berkreasi tersebut menjadikan ilustrator bagai seorang seniman. Konsep ini sebenarnya telah muncul lebih dulu pada abad 6 SM di Cina. Pada masa itu, seorang pelukis juga seorang penyair. Dengan demikian, karyanya mencerminkan gabungan dari keduanya.

Perkembangan selanjutnya mencapai titik puncak pergeseran fungsi Ilustrasi adalah pada abad 19 di Perancis. Penanda penting adalah dengan munculnya Livre De Peintre (painter’s book). Ilustrasi tidak hanya menjadi bagian atau pelengkap sebuah buku, tetapi


(20)

menjadi sesuatu yang sifatnya lebih dominan. Buku – buku tersebut di desain oleh para seniman dan diproduksi dalam jumlah terbatas. Livre yang cukup berpengaruh adalah Pararellment karya Pierre Bonnard yang ditulis oleh Paul Verlaine. Seniman-seniman lain yang juga menghasilkan livre adalah Henry Matisse, Marc Chagall dan Pablo Picasso.

Kemandirian Ilustrasi bahkan kemudian semakin dikukuhkan dengan aktivitas-aktivitas jurnalisme visual oleh para seniman yang terjun langsung di daerah peperangan untuk mengabadikan secara on the spot melalui sketsa dan gambar, ataupun para Kartunis dengan komentar-komentar visualnya melalui kartun opininya. Dalam konteks ini Ilustrasi sudah tidak berfungsi sebagai penjelas teks, tetapi sebagai teks (visual) yang berdiri sendiri. Ilustrasi tidak sebagai perantara dari penulis kepada pembacanya, tetapi posisi Ilustrator sebagai author itu sendiri. Ilustrasi menemukan otonominya sendiri.

Pada Indonesia sendiri ilustrasi menjadi sebuah peranan dalam pergerakan sosial. Pada 1945 ilustrasi mulai menjadi simbol perlawanan. Dimulai dari ilustrasi atau poster legendaris dengan slogannya. “Boeng, ayo boeng,” yang menjajah jalan-jalan dari banyak kota di Jawa menjadi sebuah titik balik bergeraknya seni sebagai media revolusi. Desain dari ilustrasi dibuat oleh pelukis Sudjojono, sementara tulisannya diambil dari puisi Chairil Anwar. Pada awalnya ilustrasi dibuat atas perintah Presiden Soekarno menjadi sebuah sarana efektif untuk membakar semangat para pemuda.

Pemerintahan Orde Baru Soeharto sesungguhnya adalah pemerintahan yang sangat sadar akan kekuatan propaganda melalui berbagai jenis media komunikasi, baik audio maupun visual. Bahkan sejak awal berkuasa pun Soeharto berpropaganda mengkambinghitamkan Partai Komunis Indonesia, dan membesarkan jasa dirinya dan Angkatan Darat, dalam persitiwa G-30S-PKI. Pada masa Orde Baru ilustrasi dan poster bersama baliho pembangunan, digunakan secara efektif untuk masyarakat luas, hingga pelosok desa melalui Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan) dan pameran pembangunan. Ilustrasi-ilustrasi dan poster politik terkait kampanye Pemilu tercatat dalam buku Pemilu dalam Poster(Suwondo, Budiman, Pradjarta, 1987, hal.26). Tercatat bahwa kontestan yang mampu menampilkan desain ilustrasi dan poster dengan warna-warna menarik dan ‘bermodal’ adalah kontestan Golkar. Keunggulan modal dan keunggulan politik yang tak imbang dibandingkan kontestan Pemilu lainnya disindir dalam buku ini dengan sebutan “Pesta Demokrasi Golkar”. Kampanye Keluarga Berencana dan Imunisasi di masa Orde Baru, juga memanfaatkan ilustrasi dalam poster. Salah-satu ilustrasi yang menyebarluas


(21)

adalah ilustrasi “Imunisasi, Perlu untuk Semua Bayi”. Ilustrasi dalam poster ini menampilkan foto Ibu Tien mendampingi “Bapak Presiden” yang sedang meneteskan obat Imunisasi Polio pada bayi, dalam rangka Hari Anak-Anak Nasional 1986. Rancangan poster itu dibuat ulang pada 1991, dengan dibubuhi tanda tangan Soeharto pada bagian bawah poster. (Jurnal Poster Aksi, 2013).

Pada masa represif Orde Baru ini pula bermunculan poster berisikan ilustrasi perlawanan anti-propaganda Soeharto. ilustrasi perlawanan ini berkembang sejalan dengan bertumbuhnya gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang bertumpu di berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat maupun perguruan tinggi. Pada masa Orde Baru itu sekitar tahun 1980an muncul kalender poster “Tanah untuk Rakyat” yang dirancang oleh Yayak ‘Kencrit’ Ismaya. Kalender satu tahun dalam bentuk satu lembar ilustrasi poster ini tampil dalam gaya ilustrasi yang sarkastik. Karena rancangannnya ini maka aparat pemerintah mencari-cari Yayak hingga akhirnya dia terpaksa pindah ke Jerman. Pada 2009 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pernah diadakan sebuah pameran “Grafis Melawan Lupa” yang menampilkan beragam media desain grafis, khususnya poster-poster perlawanan untuk menggerus propaganda Orde Baru yang sangat masif. Salah-satu poster yang ditampilkan adalah poster perlawanan yang cukup ekspresif dirancang oleh Semsar Siahaan, berjudul Marsinah (koleksi Harry Wibowo). Sebuah poster untuk memperingati dibunuhnya aktivis buruh Marsinah oleh aparat negara. (Jurnal Poster Aksi, 2013).

Seni dalam pergerakan perubahan sosial sejalan dengan pemikiran Karl Mar. Walau tidak memusatkan kajiannya pada seni, namun seni menjadi bagian perhatiannya. Marx melihat seni merupakan representasi dari superstruktur yang sangat dipengaruhi oleh basis ekonomi masyarakat, oleh karenanya seni dapat menjadi elemen aktif bagi perubahan sosial. Karena itu, Marx mencerca habis seni masa Yunani yang memuja estetika dari sebuah bentuk kebudayaan borjuis. (Terry Eagleton, 2002: 100).

Media massa dalam hal ini termasuk bagian dari komunikasi massa menjadi sebuah pionir perubahan. Ilustrasi disini juga mengambil peran untuk membuka mata para stake holder di pemerintahan untuk mengingat fungsi dan perannya kembali. Media massa juga berperan dalam perubahan dalam struktur kemasyarakatan ataupun perubahan dalam kesejahteraan sosial masyarakat. Komunikasi massa yang diinisiasi oleh media massa yang bertanggung jawab untuk kepentingan masyarakat adalah kunci kebebasan pers yang adil dan berdaulat.


(22)

Komunikasi massa bagi Lasswell (dalam Nurudin, 2007:78), mempunyai peran untuk pengawasan. Artinya, menunjuk pada pada pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian yang ada disekitar kita. Fungsi pengawasan bisa dibagi menjadi dua, yakni pengawasan peringatan dan pengawasan instrumental. Rubrik opini dan ilustrasi ini menjadi tempat kegelisahan para pemikir dan cendekiawan menumpahkan kegelisahan dan kegetiran mereka, mengenai nasib negara yang mereka cintai.

Surat kabar ini memiliki sebuah rubrik dalam tata letak majalah. Rubrik tersebut adalah opini dan ilustrasi. Dua rubrik ini telah berperan dalam mengawasi berjalannya tata pemerintahan secara baik, dengan para pengisinya seperti Soe Hok Gie, Mochtar Lubis, dan lainnya. Dalam rubrik opini ini, rubrik ilustrasi juga mendapatkan porsi penting dalam halnya pressure group kepada pemerintahan.Dengan kritikan yang bersifat satir dan membangun, ilustrasi pada surat kabar, khususnya harian Kompas menjadi semacam sebuah penggambaran mengenai realitas, potret harapan dalam kemajuan negara, dan kritik keras terhadap pemerintahan.

Apa yang menjadi harapan dalam masa lalu, khususnya kebebasan untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas menjadi sebuah bumerang yang disalah gunakan. Media massa pada era reformasi saat ini mengalami fase kemunduran dalam informasi. Khususnya informasi atau isi yang menjadi penginspirasi masyarakat malah digunakan untuk kepentingan pemilik modal (pemilik media) dalam menyebarkan paham-pahamnya. Khususnya pada saat Pemilihan Presiden Republik Indonesia beberapa waktu yang lalu, para pemimpin partai sekaligus pemilik media menjadikan media massa untuk melakukan kampanye-kampanye yang menyalahi aturan. Media menjadi corong kampanye terbaik.

Salah satu media berwarna merah secara eksplisit menggambarkan tingkah dan perilaku keburukan salah satu kandidat yang menjadi musuh utama dalam pergelaran Pemilihan Umum 2014. Ada pun dengan cara merangkai pemberitaan pada salah satu kandidat yang secara tidak sengaja mengikuti proses kegiatan agama minoritas. Media pesaing tersebut langsung membombardir pemberitaan di medianya dengan isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Ihwalnya, sebuah perusahaan media atau pers harus memberikan informasi yang mendidik kepada masyarakat, bukan menyesatkan masyarakat dengan informasi yang belum jelas verifikasinya. Secara langsung media merah tersebut melanggar Kode Etik Jurnalistik. Pelanggaran tersebut termaktub pada pasal :


(23)

Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. (Dewan Pers, Kebijakan).

Jelas-jelas secara tekstual menyuratkan bahwa seorang wartawan atau jurnalis diharamkan untuk menyinggung ranah-ranah merah, dimana hal yang ditakutkan adalah akan munculnya konflik horizontal, baik itu suku, agama, ras, maupun antar golongan. Pelanggaran yang dilakukan merupakan bentuk hasrat atau berahi untuk berkuasa. Sama seperti zaman orde baru yang menggunakan stasiun televisi nasional TVRI.

Dalam kurun waktu 20 tahun pertama, kebangsaan Indonesia mengalami ujian yang berat sebagai akibat dari eksperimen politik yang dikembangkan oleh para pemimpin Indonesia pada waktu mengelola kekuasaan, khususnya bagaimana demokrasi berkembang di Indonesia. Demokrasi yang dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat menjadi slogan pengampanyean saja. Bagaimana konsentrasi pembangunan perkembangan kota yang berfokus di wilayah Jawa saja. Akibatnya periode itu membuka ruang bagi tumbuhnya aspirasi separatis yang disebabkan oleh karena ketidakpuasan daerah terhadap kepemimpinan politik di Jakarta ketika itu. Akibatnya tujuan terbentuknya bangsa dan negara Indonesia sejak awal untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur terabaikan oleh proses tersebut.

Media massa dengan peran sertanya juga mempunyai fungsi-fungsi penting untuk mengawal segala kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang keliru diberikan saran, kebijakan pemerintah yang baik terus didukung. Media massa berperan menjadi watch dog (anjing penjaga) agar pemerintah tidak menyeleweng dari apa yang diharapkan. Akan tetapi media massa baik cetak maupun elektronik mengalami krisis identitas akibat kapitalisme menyerang mereka. Media tidak berdaya menghadapi tuntutan zaman yang mengedepankan perekonomian yang kuat. Pada Pemilihan Presiden 2014, black campaign menjadi isu yang hangat diperdebatkan oleh banyak pihak. Pusat penelitian dan pengembangan (Litbang) Kompas mengeluarkan sebuah hasil penelitian mengenai ‘kampanye hitam’ . Hasilnya adalah sebanyak 28,6 persen setiap hari mendengar mengenai kampanye hitam, 40,4 persen hanya berkisar 2-3 hari mendengar kampanye hitam, dan selebihnya 28.3 persen tidak pernah


(24)

mendengar kampanye hitam. Bisa dikatakan masyarakat Indonesia telah diterpa oleh gelombang kemunduran demokrasi. (Litbang Kompas, 9 Juni 2014).

Pola kampanye hitam dan kampanye negatif yang digunakan oleh kedua belah pihak melalui media sosial (media elektronik) dan media massa bertujuan untuk menjatuhkan lawan politik tiap capres. Materi-materi kampanye berupa suku, agama, ras, dan antar golongan serta rekam jejak calon yang tendensius menjadi isu dominan ketimbang mengkritisi gagasan, visi-misi, dan program pemerintah capres. Dengan kata lain, materi kampanye hitam dan kampanye negatif memang diarahkan untuk menyerang pribadi capres. (Litbang Kompas, 9 Juni 2014).Terlihat intrik dan manuver para political communicatorjauh diambang kewajaran. Terlihat ada sebuah tujuan untuk membagi Indonesia menjadi dua kubu, khususnya membelah Indonesia menjadi dua kubu beragama, agama a versus agama b.

Selain melihat jumlah penduduk Indonesia yang terimbas dari kampanye hitam, Litbang Kompas membuat penelitian mengenai efek dari kampanye hitam itu sendiri. Fenomena saling serang dengan kampanye hitam ini bisa mengancam kehidupan bersama bangsa Indonesia. Ini karena isu SARA yang diangkat sebagai materi kampanye menyinggung secara langsung realitas kehidupan bersama bangsa Indonesia. Masyarakat akan terbelah ke dalam kelompok berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

Lebih dari separuh bagian (55,5 persen) khawatir kampanye hitam yang dilakukan menyerang para capres bisa mengancam keamanan selama proses pemilihan presiden berjalan. Secara emosional, kampanye hitam juga berpotensi memicu kebencian antar pendukung capres. Sebagian besar (61,6 persen) responden khawatir dengan hal ini. Bahkan lebih jauh lagi, 64,0 persen responden menuturkan kampanye hitam yang kian gencar dilakukan bisa memicu konflik terbuka antar pendukung capres. Jika ini yang terjadi, tidak mustahil konflik ini akan melebar dan bisa memicu gejolak politik yang lebih besar lagi. Lebih dari separuh bagian (58,3 persen) responden khawatir kampanye hitam bisa mengancam persatuan bangsa.

Kekhawatiran ini mencuat karena isu-isu yang diangkat dalam kampanye hitam sudah melibatkan sentimen-sentimen kelompok yang berbasis pada rasa primordial dan fanatisme kepada capres. Sentimen primordial yang negatif akan memicu kebencian terhadap kelompok tertentu. Jika kampanye hitam dibiarkan terus tanpa kontrol, efeknya akan panjang dan


(25)

berdampak pada rusaknya sendi-sendi persatuan bangsa Indonesia. (Litbang Kompas, 9 Juni 2014).

Permainan politik dengan tujuan membelah masyarakat menjadi berkubu-kubu tidak hanya melalui media televisi saja. Media cetak juga menjadi sarana utama untuk menyebarkan paham-paham sesat. Salah satunya media yang terbit saat berlangsungnya pemilihan presiden 2014, tabloid Obor Rakyat. Tabloid Obor Rakyat menjadi media propaganda untuk mendiskreditkan salah satu calon presiden, khususnya dalam bidang agama. Obor Rakyatmemfitnah dan menumbuhkan benih kebencian yang telah mencederai demokrasi. Dewan Pers (Kompas, 16 Juni 2014) menegaskan, tulisan-tulisan yang dimuat dalam tabloid Obor Rakyat bukanlah sebuah karya jurnalistik yang dikerjakan dengan menghormati kode etik jurnalistik, diantaranya tidak menyinggung suku, agama, ras, dan antar-golongan. Penyebaran tabloid yang secara simultan dan terus menerus di wilayah pesantren, khususnya di wilayah pesantren Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur terlihat bertujuan untuk memecah belah umat islam dengan isi berita yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Salah satu pemberitaan Jokowi di tabloid Obor Rakyat :

Kelompok penginjil Kristen dan keuskupan katolik di Indonesia menyandang dana habis-habisan untuk Jokowi menjadi Presiden RI. Mereka yakin, jika Jokowi menjadi presiden, target pertumbuhan gereja dan pemurtadan di Indonesia berjalan lebih cepat. Jokowi sangat mungkin melakukan semua itu atas nama toleransi. Jokowi sebagai pemeluk Islam sinkretis, relatif tidak punya tanggung jawab akan masa depan mayoritas Muslim, karena yang ada dibenaknya hanya bagaimana mencapai puncak kekuasaan tertinggi. Obor Rakyat,

Edisi 01 (Mei 201 4).

Pemberitaan tersebut merupakan salah satu proses degenerasi kebangsaan rakyat Indonesia. Perjuangan untuk mencapai kebangsaan secara tidak langsung terkikis sedikit demi sedikit akibat nafsu untuk berkuasa. Proses propaganda yang berjalan masif tersebut mencederai ciri-ciri bangsa yaitu saling menghargai dan menghormati. Bagaimanapun solidaritas dan rasa kebersamaan itu tidak terbangun atas dasar asal usul, suku bangsa, agama, bahasa, geografi, melainkan pengalaman sejarah dan nasib bersama. Pilar utama yang paling penting dari kebangsaan adalah persatuan dan kemajemukan (pluralisme).

Harian Kompas sesuai dengan cita-citanya, amanat hati nurani rakyat menjadi sebuah pionir dalam pembaharuan. Kompas dalam pemberitaanya khusus mengenai prosesi


(26)

Pemilihan Presiden tetap menganut azas keberimbangan, cover both sides. Masing-masing calon mendapat porsinya masing-masing sehingga Kompas berhasil menjalankan peran sebagai pemberi informasi kepada masyarakat. Siapa yang hendak dipilih berpulang kembali ke masyarakat. Kompas media yang berpihak, berpihak pada kebenaran. Lalu di rubrik opini Kompas tetap memberikan ruang untuk para cendekiawan menyampaikan pendapat untuk kebaikan negara. Pada rubrik opini, Kompas juga menyediakan sebuah ‘penyegaran’ dengan ilustrasinya yang menggambarkan nilai-nilai kebangsaan, kebersamaan, persaudaraan, dan khususnya mengenai perkembangan politik.

Ilustrasi yang terdapat dalam rubrik Opini harian Kompas merupakan sebuah manifestasi harapan bangsa. Harapan bangsa yang ingin mendapatkan kedamaian dan serta dalam keadilan politis. Mereka yang sebelumnya sudah mendapatkan sebuah degenerasi proses politis, yang memecah bangsa menjadi dua kubu semakin merana melihat tingkah laku para lembaga amanat rakyat

Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti ilustrasi “Ilustrasi Jitet” dengan menggunakan metode analisis semiotika. Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh yang semakin kuat dan luas dalam satu dekade terakhir ini, termasuk di Indonesia. Sebagai metode kajian, semiotika memperlihatkan kekuatannya di dalam berbagai bidang, seperti antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, mempunyai pengaruh pula pada bidang seni rupa, tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk desain komunikasi visual (Pilliang, 2012 : 337).

“Ilustrasi Jitet ” merupakan suatu produk komunikasi visual. Pesan yang ingin dimaknai adalah pesan kebangsaan. Di dalam semiotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’. Yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah pengiriman pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan kode-kode tertentu. Meskipun fungsi utamanya adalah komunikasi, tapi bentuk-bentuk komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikasi (signification) yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna (Tinarbuko, 2009 :xi).

Jitet Koestana merangkai sebuah hubungan antara situasi realitas yang terjadi pada saat ini, perkembangan dunia, dan harapan-harapan masyarakat dalam sebuah kanvas ilustrasi yang memberikan makna melalui tanda. Tanda-tanda menjadi sebuah rangkaian-rangkaian bermakna yang merepresentasikan harapan bangsa, harapan masyarakat dunia dengan


(27)

mencakup kondisi realitas politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Pemaknaan terhadap pesan “Ilustrasi Jitet ” merupakan bentuk imaji kebangsaan rakyat Indonesia.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan uraian konteks di atas, maka fokus masalah yang akan diteliti lebih lanjut adalah sebagai berikut :

1. “Bagaimanakah representasi Imaji Kebangsaan Indonesia (Impian Kebangsaan Indonesia) di dalam ilustrasi karya Jitet Koestana ?”

2. “Mitos apa yang dapat diungkap dari pemaknaan atas tanda yang terdapat dalam ilustrasi karya Jitet Koestana ?”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis tanda-tanda yang terdapat di dalam ilustrasi “kebangsaan” karya Jitet Koestana.

2. Mengungkap mitos yang dikonstruksikan di dalam ilustrasi “kebangsaan” karya Jitet Koestana

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini mengkombinasikan semiotika khususnya semiotika Signifikasi Roland Barthes – dengan paradigma konstruktivis. Integrasi kajian semiotika dan paradigma konstruktivis dalam penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya di kajian Semiotika, cultural studies, dan kajian Ilmu Komunikasi.

2. Secara praktis, penelitian ini berguna agar pembaca dapat mengetahui dan memahami pemaknaan di dalam sebuah karya seni ilustrasi, agar karya seni ilustrasi bisa dimaknai tidak hanya dari isi pesan yang tampak (manifest content), tetapi juga muatan pesan yang tesembunyi (latent content).


(28)

3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam perkembangan kajian media di Ilmu Komunikasi FISIP USU, khususnya semiotika. Penelitian ini juga dapat menjadi bahan referensi bila ada penelitian sejenis di kemudian hari.


(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/ Paradigma Penelitian

Paradigma pada penelitian ini mengacu pada paradigma konstruktivis. Menurut Guba (Wibowo, 2011: 136)paradigma adalah “ Seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi prinsip utama, pandangan tentang dunia yang menjelaskan pada penganutnya tentang alam dunia.” Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia. Paradigma konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. LittleJohn mengatakan bahwa teori-teori aliran konstruksionis ini berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya.

Penelitian ini menggunakan sebuah paradigma Konstruktivis. Paradigma konstruktivis melihat realitas pada saat ini merupakan hasil kreasi manusia. Paradigma kritis dimaknai sebagai sesuatu konsep kritis dengan latar belakang ideologi tertentu dalam mengkaji suatu fenomena sosial (Vardiansyah, 2008: 62).

Paradigma konstruktivisme yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap tindakan sosial yang berarti (socially meaningful action) melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, gambar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara mengelola dunia sosial mereka (Wibowo, 2011: 162).

Denzin dan Lincoln (dalam Wibowo, 2011: 162) menilai bahwa, setiap paradigma dapat dibedakan berdasarkan elemen-elemen yang berkaitan dengan epistemologi, ontologi, aksiologi, dan metodologi. Epistomologimenyangkut asumsi tentang hubungan antara peneliti dan yang diteliti dalam proses untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Elemen metodologimenyangkut asumsi tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai objek pengetahuan, sedangkan aksiologi menyangkut posisi value judgements. Filsafat ilmu komunikasi diartikan sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu komunikasi) dari segi ciri-ciri, cara perolehan, dan pemanfaatannya. Ontologi, apakah ilmu komunikasi? Epistomologi, Bagaimana proses yang memungkin


(30)

ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu komunikasi? Aksiologi, untuk apa ilmu komunikasi itu digunakan?

Epistomologi adalah filsafat yang mempelajari pengetahuan atau bagaimana orang mengetahui apa yang mereka akui mengetahuinya. Karena aneka ragam disiplin terlibat dalam studi komunikasi dan perbedaan hasil pemikiran mengenai riset dan teori, isu-isu epistomologi adalah penting dalam bidang ini. (LittleJohn dalam Zamroni, 2009:87). Objek Epistomologi adalah pengetahuan sedangkan objek formalnya adalah hakikat ilmu pengetahuan. Di antara isu-isu epistomologi yag penting menurut LittleJohn (2002:26), adalah pertanyaan : dengan proses apa pengetahuan itu muncul? Pertanyaan ini sangat kompleks, dan debat pada isu-isu ini terletak pada jantung epistomologi.

Konstruktivisme dikaji secara ontologis menurut Guba (dalam Denzin dan Lincoln, 2009 : 137) dapat dikelompokkan dalam relativis. Realitas yang bisa dipahami dalam bentuk konstruksi mental yang bermacam-macam dan tak dapat diindera, yang didasarkan secara sosial dan pengalaman, berciri lokal dan spesifik (meskipun berbagai elemen sering kali sama-sama dimiliki oleh berbagai individu dan bahkan bersifat lintas budaya), dan bentuk beserta isinya bergantung pada manusia atau kelompok individual yang memiliki konstruksi tersebut. Konstruktivisme dikaji secara epistomologidapat dikelompokkan dalam transaksional dan subjektivis. Peneliti dan objek penelitian dianggap terhubung secara timbal balik sehingga “hasil-hasil penelitian” terciptakan secara literal seiring dengan berjalannya proses penelitian.

Konstruktivisme menganggap bahwa subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan sosialnya(Elvinaro dan Q. Anees, 2007:151). Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Bagi kaum konstruktivis, semesta adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara sosial, dan karenanya plural.

Konstruktivisme, berdasarkan secara etimologi mengkonstruksi, merangkai. Konstruktivisme merujukkan pengetahuan pada konstruksi yang yang sudah ada di benak subjek. Namun, konstruktivisme menunjukkan bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi, melainkan proses panjang sejumlah pengalaman. Banyak situasi yang memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan perubahan akan pengetahuannya. Perubahan inilah


(31)

yang mengembangkan pengetahuan seseorang. Bettencourt (1989) (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007:157)menyebutkan beberapa situasi atau konteks yang membantu perubahan, yaitu : (1) konteks tindakan, (2) konteks membuat akal, (3) konteks penjelasan, dan (4) konteks pembenaran (justifikasi).

Bila dirunut ke belakang, pemikiran konstruktivisme – yang meyakini bahwa makna atau realitas bergantung pada konstruksi pikiran(Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 153)berdasarkan teori Popper (1973). Popper membedakan tiga pengetahuan mengenai alam semesta: (1) dunia fisik atau keadaan fisik; (2) dunia kesadaran mental atau disposisi tingkah laku; dan (3) dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah. Bagi Popper objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik, melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan-batasan baru mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran pengetahuan manusia. Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Menurut Von Glossferld (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 154) konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan justru selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif.

Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, oleh karenanya pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas)(Wibowo, 2011: 162). Pengetahuaan bukanlah gambaran dari kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Pada proses ini seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan, sehingga suatu pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang secara terus menerus dialaminya.

Konstruktivis percaya bahwa untuk dapat memahami suatu arti orang harus menerjemahkan pengertian tentang sesuatu. Para peneliti harus menguraikan konstruksi dari suatu pengertian / makna dan melakukan klarifikasi tentang apa dan bagaimanadari suatu arti dibentuk melalui bahasa serta tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktor/pelaku.

Sedangkan paradigma kritis menekan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral


(32)

yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan dengan pikirannya, karena dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di dalam masyarakat. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema wacana tertentu, maupun strategi di dalamnya (Eriyanto, 2001 : 6).

Konstruktivis mengombinasikan pemikiran yang berkaitan dengan cara manusia berpikir sambil berinteraksi dengan lingkungan sosial (konstruktivis) atau bagaimana makna diperoleh secara sosial dan dipengaruhi oleh struktur kekuasaan di masyarakat, juga konsekuensi etis dari pilihan manusia (kritis). Istilah konstruktivis pertama kali digunakan tahun 1960-an di bidang pendidikan dan kemudian di bidang psikologi (LittleJohn & Foss, 2009: 216). Konstruktivisme mengacu pada integrasi pembangunan sosial teori realitas, yang diajukan dalam tradisi sosiologi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan teori kritis.

Menurut Feenberg, pendekatan konstruktivis mengkritisi pandangan deterministik, yang berpendapat bahwa teknologi membentuk masyarakat dengan sendirinya, independen dari perkembangan utama politik dan kebudayaan. Feenberg membuat tiga dalil: (1) teknologi dibentuk oleh proses sosial di mana pilihan terhadap teknologi dipengaruihi berbagai kriteria kontekstual; (2) proses sosial ini memuaskan berbagai kebutuhan kultural yang berhubungan dengan teknologi; dan (3) definisi kompetitif teknologi mencerminkan pandangan masyarakat yang bertentangan. Karena itulah, pilihan terhadap teknologi dipengaruhi oleh pengaturan kekuatan di dalam masyarakat (LittleJohn & Foss, 2009 : 216).

2.1.1 Pengetahuan

Para pemikir konstruktivis mengatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil pemahaman pemikiran secara terus menerus, berulang-ulang. Piaget (1970) (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 155) membedakan dua aspek dalam pembentukan pengetahuan : (1) aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek berpikir figuratif adalah imajinasi, dan gambaran mental seseorang terhadap suatu objek atau fenomena. Aspek berpikir operatiflebih berkaitan dengan transformasi dari satu tingkat ke tingkat lainnya.

Secara ringkas gagasan konstrukstivisme mengenai pengetahuan menurut Glasersferld dan Kitchener dapat dirangkum sebagai berikut (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007 : 155) :

1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.


(33)

2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.

3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Stuktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsep itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

Ketidakpuasan manusia, sepanjang hidup, naluri ingin tahu mendoraong manusia untuk terus mencari tahu. Karenanya, mari kita artikan naluri ingin tahu sebagai dorongan alamiah yang dibawa manusia sejak lahir untuk mencari tahu tentang segala sesuatu, termasuk hal ihwal diri sendiri, dan baru berhenti di akhir kesadaran manusia pemiliknya (Vardiansyah, 2008 : 2). Sebelum mengetahui, juga manusia terlebih dahulu melihat, mendengar, serta merasa segala yang ada di sekitarnya. Yang berada di sekitar manusia adalah seisinya, tampak maupun tidak: asalkan ada, dirasakan , atau mungkin ada. Dengan kata lain, objek tahu adalah segala sesuatu yang ada dan mungkin ada.

Hasil persentuhan alam dengan panca indra disebut peng-alam-an pengalaman. Pengalaman hanya memungkinkan seseorang menjadi tahu. Hasil dari tahu disebut penge-tahu-an (pengetahuan). Pengetahuan ada jika manusia demi pengalamannya mampu mencetuskan pertanyaan atau putusan atas objeknya, seperti mangga yang satu itu masam. (Vardiansyah, 2008: 3).

Objek materia adalah objek dari mana ilmu dalam bidang yang sedang diamati,sedangkan objek forma adalah sudut dari mana objek materia dikaji secara spesifik. Dalam hal Ilmu Komunikasi, objek materia adalah tindakan manusia dalam konteks sosial, sama seperti sosiologi atau antropologi misalnya, dan karenanya masuk dalam rumpun ilmu sosial. Sedangkan objek forma ilmu komunikasi adalah ilmu komunikasi itu sendiri.

2.2 Kerangka Teori / Kajian Pustaka

2.2.1 Konstruksi Realitas dalam Media Massa

Isi Media merupakan suatu bentuk konstruksi sosial. Media melakukan konstruksi terhadap terhadap pesan-pesan yang disampaikan berupa tulisan-tulisan, gambar-gambar, suara, atau simbol-simbol lain melalui proses penyeleksian dan manipulasi tertentu sesuai keinginan atau pun ideologi media itu. (Wibowo, 2011: 125).


(34)

Khalayak pada dasarnya menerima sebuah bentuk realitas yang dikonstruksi oleh media. Menurut Gerbner (dalam Wibowo, 2011: 125) dan kawan-kawan, dunia simbol media membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata lain media merupakan konstruksi realitas.

Segala bentuk realitas sosial termasuk isi media merupakan realitas yang sengaja dikonstruksi. Berger dan Luckmann mengatakan : “institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif. Namun pada kenyataannya semua dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif sama.” (Wibowo, 2011: 126).

Menurut penjelasan Berger dan Luckmann diatas, segala yang ada dalam institusi masyarakat dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat itu sendiri melalui suatu interaksi. Setiap interaksi terjadi berdasarkan definisi subjektif dari tiap anggota masyarakat yang kemudian ditegaskan secara berulang-ulang dan menjadi suatu nilai objektif dalam masyarakat.

Realitas sosial menurut Berger dan Luckmann adalah (dalam Wibowo, 2011:125) pengetahuaan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadarn umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial.

Berger dan Luckmann (dalam Wibowo, 2011: 126) membagi realitas sosial ke dalam tiga macam realitas, yaitu :

a. Realitas objektif yakni realitas terbentuk dari pengalaman dunia objektif yang berada di luar diri individu dan realitas itu dianggap sebagai suatu kenyataan.

b. Realitas simbolik yaitu ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. c. Realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi.

Menurut mereka realitas sosial ini terbentuk melalui tiga tahap, yaitu :

a. Eksternalisasi yakni individu melakukan penyesuaian diri dengan dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia.


(35)

b. Objektivasi yakni interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, produk sosial berada pada proses institusionalisasi. Individu memunculkan dirinya dalam produk-produk kegiatan manusia baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dunia bersama dunia. Hal terpenting pada tahap ini adalah terjadinya pembuatan tanda – tanda sebagai isyarat bagi pemaknaan subjektif.

c. Internalisasi. yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.

Komunikasi sebagai bentuk interaksi tidak bisa lepas konstruksi-konstruksi realitas sosial. Isi media menurut Alex Sobur pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya.

Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. Dengan demikian semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas,telah dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial. Hal itu menjelaskan peranan tanda yang sangat hebat dimana tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekadar merefleksikan realitas yang ada (Bignell, 1997, dalam Listiorini, 1999).

Atas dasar pengaruh dari tanda tersebut seorang penggiat aktivis penghijauan Green Peace, John Watson, memberikan pendapatnya mengenai media massa. Media massa merupakan sumber informasi yang menjadi pionir utama dalam keseharian manusia. Menurutnya konsep kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Kesimpulannya, kebenaran ditentukan oleh media massa (Abrar, 1995: 59).

Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita (Tuchman, 1980).


(36)

Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa dalam perkembangan semiotika merupakan suatu alat atau suatu metode dalam mengembangkan pertandaan. Bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menenetukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Bahasa juga bukan sekadar alat komunikasi untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada publik. Akibatnya, media massa mempunya peluang yang sangar besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasikan dari realitas yang dikonstruksikan. Sesuai dengan perilakunya media massa yang menceritakan kembali sebuah peristiwa fakta, dimana proses penceritaan fakta tersebut disebut dengan pengonstruksian realitas (Sobur, 2001: 88).

Fakta tersebut termaktub dalam penggunaan bahasa tertentu yang secara jelas berimplikasi terhadap suatu kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realita turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. Bahkan menurut Hamad (2001: 57), bahasa bukan cuma mampu mencerminkan, tetapi sekaligus menciptakan realitas. Dalam konstruksi realitas, bahasa merupakan unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menciptakan realitas.

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) melalui bukunya “Tafsir Sosial atas Kenyataan : Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan”, menggambarkan sebuah proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.

Dalam buku tersebut Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mereka mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik secara spesifik.

Dikatakan, institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun, masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat


(37)

generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupan (Berger dan Luckmann, 1990: 61).

Lebih jauh lagi pengertian realitas adalah sebuah konsep yang kompleks, yang sarat dengan pertanyaan filosofis (Pilliang, dalam Slouka, 1999:15). Apakah yang kita lihat itu benar-benar nyata? Apakah musik yang kita dengar nyata atau hanya konsep. Ada sebuah konsep filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat bukanlah “realitas”, melainkan representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas yang sesungguhnya yang tidak dapat kita tangkap. Menurut Zak van Straaten, yang dapat kita tangkap hanyalah tampilan (appearance) dari realitas dibaliknya (Piliang, dalam Slouka, 1999: 15).

Media memainkan peran dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran informasi. Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam memandang realita. LittleJohn (1996: 236) membuat sebuah penafsiran mengenai media, “peristiwa tidak bisa menunjukkan… agar bisa dipahami peristiwa harus dijadikan bentuk simbolis… si komunikator mempunyai pilihan-pilihan kode-kode atau kumpulan simbol… pilihan tersebut akan mempengaruhi makna peristiwa bagi penerimanya,. karena setiap bahasa – setiap simbol – hadir bersamaan dengan ideologi, pilihan atas seperangkat simbol yang sengaja atau tidak, merupakan pilihan atas ideologi.

Volosinov menyatakan “whenever a sign present, ideology is present too (Hall, 1997, dalam Susilo, 2000). Media dilihat sebagai proses produksi dan pertukaran makna. Terlihat bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan dengan peran teks di dalam kebudayaan. Pendekatan seperti ini disebut dengan pendekatan strukturalisme yang bisa dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linier (Fiske, 1990:39).

Komunikasi massa adalah bentuk institusi sosial yang merupakan suatu kumpulan individu. Dennis McQuail (dalam Wibowo, 2011 : 127) mengatakan bahwa komunikator dalam komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu organisasi. Pesan tersebut seringkali diproses, distandarisasi dan selalu diperbanyak. Pesan mempunyai nilai tukar dan acuan simbolik yang mengandung nilai kegunaan.


(38)

Menurut McQuail bahwa komunikator dari komunikasi massa dalam hal ini media massa bersifat organisasional yang artinya ada tujuan dari pesan-pesan yang disampaikan dimana pesan-pesan komunikasi massa punya kecenderungan mempunyai nilai-nilai tertentu yang berhubungan dengan kepentingan media.

Itulah sebabnya seperti dikatakan McQuail, dalam media sendiri terjadi standarisasi pesan dan pemrosesannya disinilah proses konstruksi pesan media terjadi. Sobur berpendapat bahwa isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksi berbagai realitas yang dipilihnya. Penelitian ini pada dasarnya ingin memberikan gambaran tentang realitas simbolik dalam proses konstruksi yang dilakukan oleh pembuat Ilustrasi di Harian Kompas.

2.2.2 Manusia Sebagai Pembuat Simbol

Pada awalnya yang membedakan antara manusia dengan hewan menurut para filsuf adalah kemampuan dalam menggunakan logika. Hewan berinteraksi menggunakan naluri atau instingnya. Namun ada unsur pembeda lain, yakni kemampuan manusia berkomunikasi dengan simbol-simbol. Kenneth Boulding (dalam Rivers, 2003: 28) mengingatkan hewan tidak punya gagasan kesadaran dan lingkungan simbolik (bahasa, seni, dan mitos) seperti halnya manusia; manusia memiliki keunikan karena kemampuan menggunakan nalar (logika) serta dunia simboliknya. Hewan ketika diberikan makanan akan bereaksi dengan memakan makanan yang telah diberikan, sedangkan manusia akan menanggapinya dengan berbagai cara tergantung pada penafsirannya atas simbol-simbol yang ada.

Manusia menanggapi sesuatu tidak hanya secara naluriah. Manusia akan mengolah berbagai gagasan dulu, baik yang bersifat artistik, mistis ataupun religius, sebelum religius. Seperti yang dikatakan Epictetus, (dalam Rivers,2003: 28) “Apa yang menyentak manusia bukanlah benda-benda, melainkan pendapat dan bayangannya sendiri tentang benda-benda tersebut.”

Realitas atau kenyataan mengandung hal-hal yang dapat diindera manusia; namun ada kerangka dan struktur tertentu dalam memahami hal-hal itu yang keberadaanya terkadang tidak dapat dilihat secara langsung oleh manusia. Untuk mengetahui hal tersebut itulah manusia menggunakan simbol-simbol. Manusia mengolahnya dengan pikiran, membuat citra-citra, konsep atau bayangan penafsiran tertentu sebagai simbol, dan setiap simbol memiliki makna tersendiri. Itulah sebabnya bagi manusia, sang pencipta simbol, dunia adalah sesuatu yang semu, suatu jaringan atau rangkaian simbol ciptaannya itu.


(39)

2.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu

Walter Lippmann pernah menyatakan, “The world outside and the pictures in our head,” (dunia diluar dengan gambarannya dipemikiran kita). Lippman (dalam Rivers, 2003: 29) dalam bukunya Public Opinion menjelaskan tentang lingkungan semu ( pseudo-environment). Dunia objektif yang dihadapi manusia itu “tak terjangkau, tak terlihat, dan tak terbayangkan.” Karenanya manusia menciptakan sendiri dunia di pikirannya dalam upayanya sedikit memahami dunia objektif tersebut. “Biasanya kita tidak melihat dulu sesuatu untuk mendefinisikannya; biasanya kita mendefinisikan dulu, baru melihat. Ketika diliputi ketidaktahuan tentang dunia luar, kita begitu saja membayangkannya berdasarkan apa yang sudah kita ketahui. Enak tidaknya makanan, indah atau tidaknya tempat yang dikunjungi akan selalu didasarkan pada apa yang di tempat asal, dan pada apa yang sudah dibayangkan sebelumnya,” Walter Lippmann.

Proses penggambaran kenyataan di benak kita tentu saja juga dipengaruhi dari pernak-pernik pengalaman kita. Tetapi tetap saja dalam menafsirkan sesuatu kita bersandar pada pandangan awal, prasangka, motivasi dan kepentingan kita sendiri. Penafsiran dan pengembangan bayangan ini pula yang memunculkan stereotype, dan melandasi cara pandang kita selanjutnya terhadap dunia luar. Lippman berpendapat bahwa prosesnya bisa berulang-ulang tanpa akhir.

Media massa sebagai sumber pengetahuan memiliki kemampuan menyajikan informasi dunia luar kepada orang-orang, yang kemudian menggunakannya untuk membentuk atau menyesuaikan gambaran mentalnya tentang dunia. Media massa juga bisa dianggap menciptakan lingkungan semu tersendiri di antara manusia dan dunia ‘nyata’. Sebagai institusi kontrol sosial yang dominan, media bisa dinilai memperkuat nilai-nilai dan pandangan lama disuatu masyarakat.

2. 2. 4. Semiotika

Paham mengenai semiotika atau “ilmu tentang tanda” ini telah menjadi salah satu konsep yang paling bermanfaat di dalam kerja kaum strukturalis sejak beberapa dasawarsa yang lalu. Basisnya adalah pengertian tanda, yakni segala sesuatu yang secara konvensional dapat menggantikan atau mewakili sesuatu yang lain. Strukturalisme itu sendiri, menurut David A. Apter, merupakan pendekatan yang paling antardisiplin di antara pendekatan-pendekatan lain. Strukturalisme sendiri berasal dari linguistik, antropologi, filsafat, dan


(40)

sosiologi (Apter, 1996:371). Strukturalisme sendiri berusaha menemukan agenda-agenda yang tersembunyi, aturan-aturan permainan yang menentukan aksi. Ia menyusun aktivitas manusia (Goffman, dalam Apter, 1996: 371).

Strukturalisme awalnya merupakan sebuah pergerakan di dalam ilmu bahasa, sekaligus upasya untuk membuktikan pentingnya konsep dan metode linguistik bagi beragam isu yang luas di dalam ilmu-ilmu humaniora dan ilmu sosial (Giddens dan Turner, 2008: 335). Pemilihaan Sussure antara langue dan parole bisa dianggap sebagai ide kunci di dalam strukturalisme linguistik, sekaligus mencerabut studi ‘bahasa’ dari ruang kontingensi dan kontekstualnya. Parole adalah apa yang disebut Saussure sebagai “sisi eksekutif bahasa”, sementara langue adalah “sistem tanda-tanda yang di dalamnya cuma hal-hal esensial yang menjadi pemersatu makna dan citra-citra akustik” (Saussure, 1974).

Strukturalisme merupakan sebuah paham filsafat yang memandang dunia sebagai realitas berstruktur. Peran linguistik Saussurean dalam hal ini sangat besar (dalam membangun filsafat para strukturalis), karena linguistik Saussurean memperkenalkan apa yang dinamakan sistem. Selanjutnya, kaidah-kaidah linguistik ini mereka coba untuk terapkan di lapangan penelitian masing-masing, yakni dengan menjadikannya semacam model yang paralel dengan realitas yang menjadi objek-objek kajian mereka (Kurniawan, 2001: 40).

Umar Junus berpendapat semiotika merupakan sebuah perkembangan selanjutnya dari strukturalisme. Pendapat dari Dennis McQuail (1991: 191), “semiotika adalah ‘ilmu tentang tanda dan mencakup strukturalisme dan hal-hal lain yang sejenis, yang karenanya semua hal yang berkaitan dengan siginifikasi (signification), betapapun sangat tidak terstruktur, beraneka ragam dan terpisah-terpisah”. Konsep ‘sistem-tanda’ dan ‘signifikasi’ telah biasa dalam ilmu bahasa; strukturalisme dan semiotika terutama berasal dari de Saussure. Dimana tanda adalah setiap ‘kesan bunyi’ yang berfungsi sebagai ‘signifikasi’ sesuai yang ‘berarti’ – suatu objek atau konsep dalam dunia pengalaman yang kita ingin komunikasikan. Aliran strukturalisme modern pun menekan bahwa kehidupan kita ditopang oleh struktur-struktur, jauh dibawah kesadaran roh; struktur-struktur itu merupakan pola-pola, jaringan-jaringan yang memberikan arti dan makna kepada gambar material (van Peursen, 1991: 240). Strukturalisme yang memiliki kedekatan dengan lingustik (bahasa) dikembangkan oleh Saussure. Teorinya mengatakan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda.


(41)

Semiologi atau pada saat ini dikenal dengan Semiotika merupakan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari sebuah tanda. Menurut Ferdinand de Saussure (dalam Sobur, 2004: vii) ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Makna implisit yang dapat kita ambil dari pernyataan tersebut adalah terciptanya sebuah hubungan atau relasi, jika tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, dapat dikatakan bahwa tanda merupakan unsur-unsur dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Pada hipotesa dari Saussure ini berkaitan dengan suatu hal yang bernama konvensi sosial (social convention), yaitu yang mengatur penggunaan tanda secara sosial, yaitu pemilihan, pengombinasian, dan penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu, sehingga ia mempunyai makna dan nilai sosial.

Semiotika adalah teori dan analisis dari berbagai tanda (signs) dan pemaknaan (signification, dimana semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotika (tanda, pemaknaa, denotatum, intepretan, dasar, dan masih banyak lagi yang akan kita kenal pada kesempatan lain) dapat diterapkan pada semua bidangan kehidupan asalkan prasyaratnya dipenuhi, yaitu ada arti yang diberikan, ada pemaknaan, ada intepretasi (van Zoest, 1993: 54).

De Saussure dan juga Barthes melihat tanda sebagai suatu konsep diadik (dua bagian yang berbeda tetapi berkaitan) dan sebagai sebuah struktur (susunan dua komponen yang berkaitan satu sama lain dalam suatu bangun) (Christomy, 2004: 54). Konsep diadik tersebut yang menghasilkan sebuah makna.

Charles Sanders Pierce (dalam Sobur, 2004: 13) mengatakan semiotika merupakan sebuah konsep tentang tanda; tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun - sejauh terkait dengan dengan pikiran manusia – seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungan dengan realitas.

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2001: 5). Jika kita runut jauh kembali ke masa lalu, semiotika atau ilmu tentang sistem tanda sudah ada ketika masa Greek Stoics. Semula berawal dari tanda yang diperdebatkan oleh penganut mazhab Stoik dan kaum Epikurean di Athena, Yunani pada abad 300 SM. Inti perdebatan mereka berkaitan dengan perbedaan antara tanda natural (yang terjadi secara alami) dan tanda konvensional (yang khusus dibuat untuk komunikasi)


(42)

Terdapat dua bentuk semiotika, yaitu Semiotika Signifikasi oleh Ferdinand de Saussure dan Semiotika Komunikasi oleh Charles Sanders Pierce. Semiotika Signifikasi mempunyai pengertian semiotika yang mempelajari relasi elemen-elemen tandadi dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu (dalam Sobur, 2004: viii). Relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilah yang disebut sebagai signifikasi (signification). Umberto Eco mempunyai pengertian sendiri dalam Semiotika Komunikasi. Semiotika Komunikasi mempunyai penekanan dalam aspek produksi tanda(sign production), dibandingkan dengan Semiotika Signifikasi yang lebih menekankan sistem tanda(sign system). Menurut Eco (Sobur, 2004: xii) sebagai sebuah mesin produksi makna, semiotika komunikasi sangat bertumpu pada pekerja tanda (labor), yang memilih tanda dari bahan baku tanda-tanda yang ada, dan mengombinasikannya, dalam rangka memproduksi sebuah ekspresi bahasa bermakna.

Menurut Eco (dalam Sobur, 2004: xiv), ketika seseorang menuturkan kata (atau imaji), maka ia terlibat di dalam sebuah proses produksi tanda, yang sebagaimana pada umumnya konsep ekonomi yang melibatkan pekerja, pekerja tanda. Ia mempekerjakan tanda-tanda (memilih, menyeleksi, menata dan mengombinasikan dengan cara dan aturan main tertentu.). Semiotika Komunikasi menurut Eco lebih menekankan pada teori produksi tentang tanda, yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi, dan acuan.

Manusia merupakan mahluk pembuat simbol. Ketika dia berbicara, ketika menampilkan dirinya dengan segala perniknya menyimpulkan sebuah simbolisasi. Wanita yang menggunakan baju warna kuning dari atas hingga bawah ingin menampilkan sebuah makna, tanda, dan simbol keceriaan. Seperti kata Cassirer (Sobur, 2004: 14) “fungsi dan kebutuhan simbolisasi manusia dijabarkan sebagai ciri khas manusia dan sekaligus ciri keagungannya.

Charles Sanders Peirce beranggapan bahwa sebuah tanda (representamen) merupakan sebuah bagian yang tidak bisa terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda (intepretant). Tanda menurut pandangan Peirce itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2001: 5).

Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda,


(43)

mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya : cara berfungsinya, hubungannya dengan kata yang lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya (Bungin, 2007: 164).

Fiske (dalam Bungin, 2007: 167) mengatakan bahwa Semiotika mempunya tiga bidang studi utama yaitu :

a). Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

b). Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

c.). Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Dilain pihak, menurut LittleJohn (2009: 55-56) semiotika dapat dibagi ke dalam tiga dimensi kajian, yaitu semantik, sintaktik, dan pragmatik. Adapun penjelasan secara rincinya adalah sebagai berikut :

1. Semantik, berkenaan dengan makna dan konsep. Dalam hal ini membahas bagaimanatanda memiliki hubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantara atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morrisan, 2009: 29).

2. Sintaktik, berkenaan dengan kepaduan dan keseragaman, studi ini mempelajari mengenai hubungan antara para tanda. Tanda dilihat sebagai bagian dari sistem tanda yang lebih besaratau kelompok yang diorganisir melalui cara-cara tertentu. Sistem tanda seperti ini biasa disebut kode. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu dipahami dalam hubungan dengan tanda lainnya (Morrisan, 2009:30).

3. Pragmatik, berkenaan dengan teknis dan praktis. Aspek ini mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia dengan kata lain adalah studi mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Berkaitan pula


(44)

dengan mempelajari bagaimana pemahaman atau kesalahpahaman terjadi dalam berkomunikasi (Morrisan, 2009: 30).

Preminger mengatakan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. (Bungin, 2007:165).

Konvensi atau kesetujuan mengenai pemaknaan suatu makna di suatu kebudayaan merupakan hal penting. Hal tersebut dikarenakan intepretan memainkan peran subjektif yang sangat strategis dalam proses pemaknaan tanda itu sendiri. (Bungin, 2007: 169). Maksud disini adalah latar belakang, pengalaman, field of reference & field of experience, dan kebudayaan menjadi faktor penting seseorang untuk memaknai sebuah tanda.

Proses semiosis (semiotika atau semiologi) yang memberikan makna terhadap unsur kebudayaan yang dipandang akan menghasilkan sebuah tanda. Menurut Danesi dan Perron (1999:68 – 70) tujuan utama semiotika adalah memahami kemampuan otak untuk memproduksi dan memahami tanda serta kegiatan membangun pengetahuan tentang sesuatu dalam kehidupan manusia. Kemampuan itu adalah kemampuan semiosis (semiotika atau semiologi), sedangkan kegiatan manusia yang berkaitan dengan tanda adalah representasi (kegiatan mengaitkan suatu representamen dengan objeknya). (Hoed, 2011: 23).

Ferdinand de Saussure merupakan orang yang berjasa dalam mengembangkan ilmu semiotika. Teori yang paling terkenal adalah penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut Saussure, bahasa merupakan suatu sistem tanda (sign), dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut Saussure (dalam Sobur, 2004: 46) tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain penanda adalah “bunyian yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.

Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler, 1976, dalam Ahimsa-Putra, 2001: 35). Setiap tanda kebahasaan , menurut Saussure, pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra (sound image). Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya adalah petanda (signified). Bagi Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer (bebas, semaunya), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Menurut Saussure, ini tidak berarti “bahwa


(45)

pemilihan penanda sama sekali meninggalkan pembicara” namun lebih dari itu adalah “tak bermotif” yaitu arbitrer dalam pengertian penanda tidak ada mempunyai hubungan alamiah dengan petanda (Saussure, 1996, dalam Berger 2000b: 11).

Semiotika memecah – mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotika menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan dimana ia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual isi: ia mengulas cara-cara beragam unsur bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna. Analisis semiotik biasanya diterapkan pada citra atau teks visual (Berger, 1987: 1998a). Metode ini melibatkan pernyataan dalam kata-kata tentang bagaimana citra bekerja, dengan mengaitkan mereka pada struktur ideologis yang mengorganisasikan makna (Stokes, 2006 : 78).

2.2.4.1 Semiotika Komunikasi Visual

Sebelum lebih jauh, Semiotika Komunikasi Visual merupakan pisau pembedah tanda-tanda dalam desain komunikasi visual. Menurut Widagdo (dalam Tinarbuko, 2009: 23), desain komunikasi visual adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas, dilandasi pengetahuan, bersifat rasional dan pragmatis. Tinarbuko (Tinarbuko, 2009: 23) mengatakan desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi, dan layout. Dalam pandangan Sanyoto, desain komunikasi visual memiliki pengertian secara menyeluruh, yaitu rancangan sarana komunikasi yang bersifat kasat mata. T. Susanto menyatakan bahwa desain komunikasi visual (DKV) senantiasa berhubungan dengan penampilan rupa yang dapat dicerap orang banyak dengan pikiran maupun perasaaan. Pesan atau informasi yang terdapat hasil karya desain komunikasi visual, yang menjadi objek kajian semiotika komunikasi visual. Pesan yang disampaikan kepada khalayak sasaran dalam bentuk tanda.

Semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan, dan objektivitas macam itu, melainkan dibangun oleh ‘pengetahuan’ yang lebih terbuka bagi aneka intepretasi. Logika semiotika adalah logika di mana intepretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat kelogisannya; intepretasi yang satu lebih masuk akal daripada yang lain.


(46)

Semiotika Komunikasi Visual adalah sebuah upaya memberikan sebuah intepretasi terhadap keilmuan semiotika itu sendiri, yaitu semiotika sebagai sebuah metode pembacaan karya komunikasi visual. (Tinarbuko, 2009: x). Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah sebuah ‘sistem semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan tanda (vocabulary) dan sintaks (syntagm). Di dalam semiotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’, yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah pengirim pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan aturan atau kode-kode tertentu.

Semiotika dalam hal ini menjadi disiplin ilmu penopang desain komunikasi visual. Sebab, desain komunikasi visual mengandung tanda-tanda komunikatif. Lewat bentuk-bentuk komunikasi visual seperti itulah pesan tersebut menjadi bermakna.

Fungsi utamanya adalah komunikasi, tetapi bentuk-bentuk komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikasi (signification), yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi, atau makna. Fungsi signifikasi adalah fungsi dimana penanda (signifier) yang bersifat konkret dimuati dengan konsep-konsep abstrak, atau makna yang secara umum disebut petanda (signified).

Pada dasarnya, desain komunikasi visual merupakan representasi sosial budaya masyarakat dan salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Sebagai produk kebudayaan, ia terkait dengan sistem ekonomi dan sosial. Di samping itu, desain bersahabat dengan sistem nilai yang sifatnya abstrak dan spiritual. (Tinarbuko, 2009: 6).

Karya desain komunikasi visual merupakan saksi sejarah atas perkembangandinamika sosial politik bangsa Indonesia (Tinarbuko, 2009 : 8). Sebab, sebagaimana kita ketahui bersama, tren karya desain komunikasi visual tidak bisa lepas dari kondisi sosial politik yang ada di masyarakat. Ketika zama Orde Lama, desain yang muncul tentu akan berbeda dengan masa kejayaan Orde Baru ataupun zaman Reformasi. Desain merepresentasikan keadaan realitas.

Semiotika Komunikasi Visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul,subjudul, dan teks) dan tanda visual (ilustrasi, logo, tipografi, dan tata visual) desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Pisau analisis diharapkan mampu memperoleh makna yang terkandung di balik tanda verbal dan visual. Tanda verbal terdapat pada aspek ragam


(47)

bahasa, tema, dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis, dan bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya (Tinarbuko, 2009: 9). Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan, dan dicari hubungan antara satu dengan yang lainnya.

Di dalam bidang desain pada khususnya, semiotika digunakan sebagai sebuah “paradigma”—baik dalam “pembacaan”—maupun “penciptaaan “ (creating)—disebabkan ada kecenderungan akhir-akhir ini dalam wacana desain untuk melihat objek-objek desain sebagai sebuah fenomena bahasa, yang di dalamnya terdapat tanda (sign), pesan yang ingin disampaikan (message), aturan atau kode yang mengatur (code) serta orang-orang yang terlibat di dalamnya sebagai subjek bahasa (audience, reader, user) (Christomy, 2004: 88).

Berdasarkan perkembangan paradigma baru tersebut, penggunaan semiotika sebagai sebuah “metode” dalam penelitian desaian harus berangkat dari sebuah prinsip, bahwa desain sebagai sebuah objek penelitian tidak saja mengandung berbagai aspek fungsi utilitas, teknis produksi dan ekonomis, tetapi juga aspek komunikasi dan informasi yang di dalamnya desain berfungsi sebagai medium komunikasi.

Ada berbagai macam metode pembacaan semiotika untuk diaplikasikan dalam penelitian semiotika desain, salah satunya dari metode seorang ahli bernama CS Morris. CS Morris menjelaskan tiga dimensi dalam analisis semiotika, yaitu dimensi sintaktik, semantik, dan pragmatik, yang ketiganya saling berkaitan satu sama lainnya. Sintaktis (syntactic) berkaitan dengan studi mengenai tanda itu sendiri secara individual maupun kombinasinya, khususnya analisis yang bersifat deskriptif mengenai tanda dan kombinasinya. Semantika (semantics) adalah studi mengenai relasi antara tanda dan signfikasi atau maknanya. Dalam konteks semiotika struktural, semantik dianggap merupakan bagian dari semiotika. Pragmatik (pragmatics) adalah studi mengenai relasi antara tanda dan penggunanya (interpreter), khususnya yang berkaitan dengan penggunaan tanda secara konkret dalam berbagai peristiwa (discourse) serta efek atau dampaknya terhadap penguna. Ia berkaitan dengan nilai (value), maksud, dan tujuan dari sebuah tanda, yang menjawab pertanyaan: ‘untuk apa’ dan ‘kenapa’, serta pertanyaa mengenai pertukaran (exchange) dan nilai utilitas (kegunaan) tanda bagi pengguna.

Klasifikasi Morris ini sangat penting dalam penelitian desain karena dapat menjelaskan tingkat sebuah penelitian, apakah pada tingkat sintaksis (struktur dan kombinasi


(1)

262

Universitas Sumatera Utara


(2)

(3)

264

Universitas Sumatera Utara


(4)

(5)

266

Universitas Sumatera Utara


(6)

Dokumen yang terkait

Konstruksi realitas Islam di media massa : analisis framing; konflik Palestina Israel di harian Kompas dan Republika

1 12 119

Konstruksi realitas di media massa ( analisis framing terhadap pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika )

1 10 116

Semiotik Ilustrasi Ratu Atut Dalam Kasus Korupsi Pada Headline Koran Harian Tempo Tahun 2013

0 10 123

PERAN GAMBAR ILUSTRASI DALAM CERITA PENDEK Studi Kasus: Cerpen Harian Kompas Minggu

0 12 14

TELEVISI INDONESIA DI MATA SUKRIBO Analisis Komik Sukribo di Harian Kompas TELEVISI INDONESIA DI MATA SUKRIBO Analisis Komik Sukribo di Harian Kompas dengan Pendekatan Semiotika Peirce.

0 4 13

ANALISIS MAKNA REFERENSIAL PADA KARIKATUR DALAM RUBRIK OPINI DI HARIAN SURAT KABAR KOMPAS Analisis Makna Referensial Pada Karikatur Dalam Rubrik Opini Di Harian Surat Kabar Kompas Edisi Agustus-Oktober 2014.

0 3 11

ANALISIS MAKNA REFERENSIAL PADA KARIKATUR DALAM RUBRIK OPINI DI HARIAN SURAT KABAR KOMPAS Analisis Makna Referensial Pada Karikatur Dalam Rubrik Opini Di Harian Surat Kabar Kompas Edisi Agustus-Oktober 2014.

0 5 16

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif Paradigma Penelitian - Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

0 0 53

Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

0 0 17

Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet Koestana Di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan) SKRIPSI

0 0 11