Fakta Individual Fakta Kemanusiaan

SAZZ karya Maulana Syamsuri. Fakta kemanusiaan dalam novel SAZZ merupakan cerminan dari masyarakat khususnya masyarakat Mandailing. Keterlibatan pengarang dalam perkara kemanusiaan ini sesuai dengan pendapat pengarang. Untuk lebih mempermudah mengenal fakta kemanusiaan yang dikandung Novel SAZZ, maka akan dilakukan kajian berdasarkan fakta individu dan fakta sosial. Fakta individu merupakan fakta kemanusiaan yang ditimbulkan oleh pengaruh libidinal atau nafsu manusia, sedangkan fakta sosial merupakan fakta kemanusiaan yng ditimbulkan oleh setiap orang dalam pengaruh-mempengaruhi kondisi sosial tertentu. Kedua fakta tersebut akan ditelusuri dari unsur-unsur struktur dan ditopang oleh kondisi sosial yang dihadapi penyair.

5.1.1 Fakta Individual

Fakta kemanusiaan yang tergolong dalam kategori fakta individu memiliki kesejajaran dengan hasil strukturasi. Fakta individu dalam novel SAZZ dikemukakan pada cerita. Novel SAZZ merupakan novel yang bertema keluarga. Tema itu merupakan persoalan yang selalu dekat dengan sikap emosi atau libinal lain dalam usaha setiap individu menciptakan keseimbangan hidup. Fakta individu dalam SAZZ dimulai dari keinginan memiliki seorang anak di dalam keluarga. Bu Nauli sebagai istri yang soleha dan hamba yang takluk pada kemahakuasaan Tuhan berusaha untuk dapat memperoleh keturunan. Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini, “Namun Tuhan belum juga memberikan rahmat dan anugerah kepada pasangan itu. Perut Bu Nauli tetap biasa-biasa saja, belum juga ada tanda-tanda kehamilannya. Entah kapan perutnya akan berubah seperti karung beras. Paahal Bu Nauli sudah amat merindukan kehadiran seorang bayi dalam hidupnya. Dia sudah amat ingin menimang bayi. Dia sudah amat ingin memberikan asi kepada bayi yang lahir dari rahimnya sendiri. Padahal perkawinannya sudah berlangsung lebih delapan tahun. Berbagai usaha dan cara sudah ditempuh pasangan suami istri itu.” SAZZ, 2005:11 Universitas Sumatera Utara Pada kutipan ini sosok Bu Nauli sebagai individu yang berharap menginginkan seorang anak memberikan gambaran kenyataan seperti berasal dari alam bawah sadarnya. Dari sini tercitra gambaran individu yang sadar terhadap realitas sebagai seorang yang soleh di muka bumi ini. Kesolehan itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini, “Bu Nauli adalah seorang perempuan soleha yang sellau menjaga dan memelihara martabat diri dan kehormatan keluarga. Bu Nauli tidak pernah melalai-lalaikan solat bila sudah terdengar azan dari puncak menara masjid. Bu Nauli selalu ingat sabda nabi, bahwa wanita itu adalah tiangnegara. Baik wanita, baiklah negara. Bila rusak wanita maka hancurlah negara.” SAZZ, 2005:75 kesadaran Bu Nauli terhadap realitas semakin menampakkan wujud fakta individualnya. Individu, dalam novel yang bertema keluarga, ingin menjadi istri dan manusia sejati sehingga berusaha menyadarkan atau meyakinkan diri bahwa bukan istri yang tidak dapat memberi keturunan, melainkan suami yang tidak dapat memberi keturunan. Fakta tersebut dapat dilihat dari kutipan di bawah ini, “Bu Nauli selalu yakin, bahwa dirinya bukanlah perempuan mandul, karena dari garis keturunannya sekandung, semua mempunyai keturunan. Bahkan yang melahirkan anak kembar juga ada. Justru yang kewalahan mencegah kelahiran juga ada karena tiap tahun anak-anaknya lahir terus.” SAZZ, 2005:51-52 Usaha individualitas sosok Bu Nauli menjadi istri dan manusia sejati merupakan perwujudan dari rasa yakin pada dirinya dan Tuhan. Kesadaran individualitas Bu Nauli mengikuti jalan hidup orang saleh kembali pada Tuhan ternyata tidak bisa bebas sepenuhnya dari persoalan lain yaitu suami menikah lagi dengan perempuan lain hingga menimbulkan konflik batin pada diri Bu Nauli. Persoalan individualitas itu sendiri mempengaruhi usaha pembentukan manusia sejati. Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini, “Ya, Tuhan. Apakah aku akan kehilangan kasih sayang dari Bang Lindung?,” tangisnya berderai ketika Bu Nauli pulang ke rumah. “Tidak. Kau tidak akan kehilangan, Nauli.” Seperti terdengar bisikan gaib. Universitas Sumatera Utara “Tapi aku sudah melihat sendiri betapa mesranya Bang Lindung dengan perempuan lain.” “Suamimu sangat menghendaki adanya keturunan dan itulah yang tidak mampu kau berikan. Kau harus menerima kenyataan pahit ini, Nauli” “Apakah aku sangat menderita?. Apakah hidupku akan penuh dengan derai air mata. Apakah hari-hari ke depan akan penuh dengan duri tajam atau pisau terhunus?” “tidak harus begitu, Nauli. Suamimu tetap milikmu, tapi pada hari-hari tertentu dia tidak akan berada di sisimu.” “Bersama perempuan itu?” “Ya” “Oh, rasanya aku tidak mampu untuk menerima keadaan ini.” “Kau harus mampu, sebab begitulah kodrat seorang perempuan.” “Oh, hatiku teramat perih”, Bu Nauli mengusap dadanya sendiri yang terasa amat perih, untuk bernafas pun terasa amat sesak dan dadanya seperti sedang terhimpit seonggok batu gunung.” SAZZ, 2005:63 Realitas ini memberi kekuatan bahwa sikap individualitas itu merupakan luapan libidinal alam bahwa sadarnya.Sikap individualitas yang bersandar pada aspek kemanusiaan ini dimulai dari kesadaran realitas Bu Nauli terhadap potensi diri. Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini, “Kau akan mendapat kekuatan batin di sana, anakku. Tidak hanya itu. Kau harus menyadari, bahwa banyak tempat-tempat makbul untuk berdoa. Siapa tahu doamu di Jabal Rahmah atau di depan Multazam permohonanmu untuk mendapatkan anak akan dikabulkan Allah.” “Hatiku tergugah, Bu. Tiba-tiba saja hatiku tergerak untuk menemani ibu,” sahut Bu Nauli. “Kau belum terlambat untuk hamil dan punya anak, Nauli. Siapa tahu seteguk air zam- zam yang kau ambil sendiri dari sumbernya akan menjadi obat yang paling ampuh bagimu. Siapa tahu seteguk air zam-zam yang kau peroleh sendiri dan kau sapukan diperutmu, kau akan hamil nanti” Tiba-tiba saja Bu Nauli bangkit dan memeluk ibundanya. Ada derai air mata di pipinya. “Aku akan pergi ke sana bersama ibu. Aku akan menjual apa yang ada untuk dapat menjejakkan kaki di Masjidil Haram, juga untuk hadir di Arafah” cetus Bu Nauli dalam pelukan ibunya. “Syukurlah kalau hatimu memang tergugah” SAZZ, 2005:113-114 Kesadaran terhadap keindividualitas sosok Bu Nauli mencapai puncak ketika Bu Nauli merasa mengalami krisis jati diri pada konflik di rumah tangganya, sehingga memunculkan rasa untuk mengakhiri petualangan keindividualitasnya dengan menerima perempuan yang menjadi istri kedua suaminya. Universitas Sumatera Utara

5.1.2 Fakta Sosial