Fakta Sosial Fakta Kemanusiaan

5.1.2 Fakta Sosial

Fakta kemanusiaan yang dikategorikan sebagai fakta sosial terdapat dalam Novel SAZZ seluruhnya berasal dari puisi dan filsafat yang bertemakan kritik sosial dan kemanusiaan dalam kutipan yang beraneka ragam. Pengarang berusaha memunculkan beberapa kutipan yang mengandung fakta sosial. Fakta sosial merupakan perwujudan dari keterlibatan seseorang individu dalam kondisi sosialnya sehingga menghasilkan keseimbangan hidup dalam masyarakat. Fakta sosial dalam SAZZ memainkan peranan dalam kondisi sosial yang realistik. Pertama, peranan dalam berusaha mewujudkan perdamaian dunia. Kedua, peranan dalam usaha menghapus budaya kolusi dan korupsi di Indonesia. Ketiga, peranan dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Ketiga peranan itu telah mengakomodasikan setiap individu dalam kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Fakta kemanusiaan yang memiliki peranan dalam usaha mewujudkan perdamaian dunia, kesejahteraan bangsa Indonesia, dan nilai-nilai kemanusiaan. Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini, “Sejak masih kecil, setiap anak yang dilahirkan dan bermukim di Mandailing Godang sudah terbiasa dengan pola hidup yang dilandasi rasa malu yang disebut “parsulaha”, sehingga dalam berbuat harus hati-hati. Namun, setiap warga Mandailing pasti memiliki sifat berani dalam menegakkan kebenaran yang ditandai dengan falsafah “Laklak dipajar-pijor, singgalak marpora-pora. Muda jongjong di na tagor, batu mamak di indora”. “ SAZZ, 2005:5 Pada kutipan juga terlihat peranan terhadap keseimbangan hidup mendapat perioritas utama dalam SAZZ, kemudian peran terhadap kehidupan berbangsa di Indonesia dan perdamaian manusia di dunia. Akan tetapi, isi kutipan tersebut tidak akan mengurangi fakta kemanusiaan, sebab fakta tersebut secara keseluruhan akan mewujudkan citra manusia sejati. Keseimbangan hidup atas dasar nilai-nilai kemanusiaan dalam realitas SAZZ mendapat kendala dari mentalitas teknokrasi masyarakat. Mentalitas teknokrasi cenderung melihat dan Universitas Sumatera Utara menghargai manusia hanya dari fungsinya untuk berproduksi, menjalankan fungsinya, dan sifat-sifat lahiriah. Cara hidup seperti ini sangat tidak manusiawi sebab apabila manusia tidak menjalankan fungsi sosial itu, maka dia berhak disingkirkan, dicerca atau di bunuh. Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini, “Belasan warga segera datang. Mereka sangat marah menyaksikan tindakan anarkhis yang dilakukan oleh Bang Dapot. Tentu saja warga lebih simpatik kepada Haji Sulaiman yang selalu jadi imam masjid daripada terhadap Bang Pandapotan yang tidak pernah sekali pun menginjakkan kaki di rumah ibadah itu. Apa lagi kalau ada warga yang meninggal, pasti yang memimpin pelaksanaan Fardhu Kifayah adalah pemilik traktor itu. Juga dalam hal melaksanakan berbagai adat mulai dari menyambut kelahiran bayi, pernikahan, mengkhitankan anak dan kenduri lainnya, pasti Haji Sulaiman adalah pemegang peran utama.” SAZZ, 2005:82 Fakta sosial pada kutipan tersebut diwujudkan melalui gaya hidup yang berlebihan. Gaya hidup tersebut lebih mementingkan kesenangan duniawi seperti kemewahan, hawa nafsu, dan mementingkan diri sendiri. Gaya hidup yang berlebihan itu menjadi perwujudan orang-orang yang tidak mempunyai peraturan sehingga menimbulkan kemerosotan moral manusia yang telah mengaburkan dan menghilangkan batas-batas nilai kemanusiaan dalam hidup bermasyarakat. Fakta sosial ini telah masuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Fakta ini telah menimbulkan budaya kolusi yang mementingkan kepentingan pribadi atau golongan. Kehadiran budaya kolusi juga diiringi dengan budaya korupsi. Fakta sosial ini merupakan akibat melemahnya semangat nasionalisme. Semangat itu digambarkan pengarang dengan membandingkan masyarakat kota dengan masyarakat desa. Itu dapat dilihat dari kritikan pengarang terhadap pendidikan di Indonesia yang sudah dipengaruhi budaya korupsi, “Permainan patgulipat memang sudah amat sering terjadi dalam dunia kepegawaian apalagi dalam keguruan. Lulusan ef-ka-i-pe yang mau jadi guru harus memberikan uang pelicin yang jumlahnya lebih dari harga ekor lembuh bengala kepada oknum tertentu juga begitu. Mau jadi pegawai negeri di instansi lain juga demikian. Apa lagi mau jadi aparat, pasti harus tersedia uang yang tidak sedikit..” SAZZ, 2005:31 Universitas Sumatera Utara kutipan itu merupakan akibat kemerosotan moral dan kekaburan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga kolusi dan korupsi mengeksploitasi manusia sebagai objek dengan watak yang tidak menghargai diri dengan sungguh-sungguh di Indonesia. Budaya kolusi dan korupsi di Indonesia menambah kemerosotan moral manusia. Fakta sosial ini membuat usaha mewujudkan perdamaian sulit dilaksanakan dengan baik. Hal ini disesbabkan ada pihak-pihak tertentu yang melihat usaha perdamaian itu sebagai sesuatu yang diobjekkan. Cara tersebut bertolak belakang dengan nilai kemanusiaan dan termasuk dalam golongan orang-orang munafik.

5.2 Subjek Kolektif