Subjek Individual Subjek Kolektif

Setelah meneliti penggunaan nama tokoh dalam kajian strukturalisme genetik ini diperoleh kenyataan, bahwa dalam SAZZ tidak semua merujuk kepada subjek individual. Hal ini dikemukakan dari sudut tema individualitas dan tema kolektivitas. Demikian juga dengan suasana yang ditimbulkan oleh penggunaan nama lebih merujuk pada kehadiran bersama atau lebih merupakan perwakilan dari kelompok sosial. Keberadaan subjek SAZZ merujuk pada kolektivitasan dapat dilihat dari pemanggilan nama tokoh yang satu dengan tokoh yang lain seperti Bu Nauli memanggil suaminya Bang Lindung. Konsepsi pengarang menunjukkan Syamsuri menjadikan novelnya sebagai perwujudan aktivitas masyarakat Mandailing. Dalam strukturalisme genetik, perwujudan inilah yang dikategorikan sebgaai subjek kolektif.

5.2.1 Subjek Individual

Subjek individual dalam SAZZ karya Maulana Syamsuri mengandung fakta individual. Subjek ini ditandai dengan adanya nama-nama tokoh seperti Bu Nauli, Bang Lindung, Tiurma, dan Bang Pandapotan. Dari tokoh-tokoh tersebut ditemukan persesuaian antara fakta individual dengan subjek individual. Kesesuaian itu ditentukan oleh aktivitas libinal subjek individual yang secara konsekuen menghasilkan fakta individual. Hal ini berarti novel SAZZ yang mengandung fakta individual merupakan cermin emosi dan nafsu tokoh-tokoh. Pencerminan ini menempatkan fakta individual dalam mempertinggi kualitas diri menghadapi masyarakatnya. Subjek individual dalam novel SAZZ pada hakikatnya menampilkan empat karakter manusia. Pertama, manusia religius yang melakukan transendensi atas dosa-dosanya di bumi. Kedua, manusia individualistik yang menjadikan diri sendiri sebagai pusat kehidupannya. Ketiga, pecinta sejati yang mensakralkan cinta terhadap kekasih sebagai amanah Tuhan. Keempat, pedamba anak yang menempatkan anak sebagai puncak kebahagiaan dalam rumah Universitas Sumatera Utara tangganya. Pertama, manusia religius. Manusia religius dapat dilihat dari sosok tokoh Bu Nauli yang senantiasa melakukan solat, puasa, dan membaca Al Qur’an. Manusia ini ditampilkan melalui watak yang takut kepada Tuhan. Rasa takut atau takwa ini merupakan hasil intropeksi subjek individual terhadap dosa-dosanya di bumi. Intropeksi ini dilakukan tanpa bantuan orang lain, sehingga aktivitas libidinal dapat dipusatkan untuk menemukan jatidirinya. Perjalanan subjek individual menemukan jatidiri religius menempatkannya dalam dunia tragik. Hal ini diperlihatkan dari kegagalan berasimilasi dalam sikap menghayati alim ulama dengan sungguh-sungguh pada saat sadar diberi amanat menjadi khalifah di bumi. Subjek individual terus-menerus melakukan transendensi dengan pasrah. Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini, “Sungguh beda dengan Bu Nauli yang sama sekali tidak mempercayainya. Jauh di dasar hatinya yang paling dalam, dia tidak dapat menerima ritual itu. Sama sekali Bu Nauli tidak percaya lelaki itu terbang ke Pusuk Buhit dalam sesaat. Juga tidak percaya sang dukun berdialog dengan roh-roh halus bukit itu. Sulit untuk diterima akal sehat Ompung Datu memetik tumbuhan ramuan di Pusuk Buhityang terletak di Pulau Samosir dan harus menyebrangi Danau Toba. Lebih tidak percaya lagi Ompung Datu mengatakan, bahwa dalam dirinya melekat begu jahat. Dalam hati, Bu Nauli hanya mengucap Istighfar berkali-kali, bahkan beribuan kali.” SAZZ, 2005:45 Kedua, manusia individualistik. Manusia ini ditampilkan terlalu mementingkan diri sendiri dan menjadikan diri sendiri sebagai pusat alasan hidupnya. Wujud manusia seperti ini ditandai dengan tidak mau menyalahkan orang lain dan berusaha menilik diri sendiri dalam menyelesaikan persoalan hidupnya. itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini, “Andainya suatu saat Bang Lindung harus menikah lagi, dia hanya berharap Bang Lindung tetap mencintainya. Biarlah dua malam bersama isterinya yang mampu memberinya keturunan dan satu malam lagi di sisinya. Bu Nauli akan lebih banyak mengalah nanti.” SAZZ, 2005:58 kutipan tersebut menampilkan subjek individual secara intropeksi dan membanggakan Universitas Sumatera Utara diri sendiri. Penampilan itu telah membentuk jati diri manusia yang toleran dan harmonis dalam hidupnya. Keberadaan subjek individual yang mengutamakan diri sendiri diperlihatkan dari sikap Bu Nauli yang pasrah dan berserah. Sikap tersebut merupakan cermin individualistik manusia menghadapi kondisi sosial dan individualnya. Sikap ini dapat dilihat dari keegoisan individu untuk tetap mengendalikan diri sesuai kemampuan diri sendiri. Ketiga, pecinta sejati. Subjek individual ii merupakan transformasi manusia religius. Hal ini disebabkan subjek individual ini mengarahkan rasa cinta kepada kekasih seperti rasa cinta kepada Tuhan. Hal yang membedakan adalah Tuhan bersifat mahaabstrak dan sakral sedangkan kekasih bersifat konkret dan tidak sakral. Keteguhan subjek individual mempertahankan cinta sejati kepada kekasihnya diperlihatkan pada kutipan “Namun Bu Nauli hanya mampu pasrah kepada Tuhan. Hanya mampu berdoa dan memohon agar Bang Lindung tetap setia dan tetap selalu berada di sisinya.” SAZZ, 2005:53. Pecinta sejati dalam kutipan diperlihatkan secara eksplisit melalui doa untuk setia sampai meninggal dunia. Ekspresi cinta ini menempatkan manusia sebagai kekasih dalam sikap religius. Keempat, pedambaan anak. Manusia pedamba anak memiliki keyakinan bahwa puncak kebahagiaan berumah tangga terletak pada kehadiran seorang anak. Pandangan seperti ini dalam novel SAZZ telah menghadirkan rasa sabar, sayang, dan rindu dalam duka dan meminta belas kasih. Itu diperlihatkan pada kutipan di baawah ini, “Padahal Bu Nauli sudah amat merindukan kehadiran seorang bayi. Dia sudah amat ingin memberikan asi kepada bayi yang lahir dari rahimnya sendiri. Padahal perkawinannya sudah berlangsung lebih delapan tahun. Berbagai usaha dan cara sudah ditempuh pasangan suami isteri itu.” SAZZ, 2005:11 Keberadaan anak dalam percintaan dan rumah tangga subjek individual telah membangkitkan suka dan dukanya. Keinginan itu ternyata tidak mampu menepis duka, Universitas Sumatera Utara sehingga hasrat libidinal subjek individual terus-menerus mengumandangkan kebahagiaan memiliki anak. Kehadiran anak diyakini akan menepiskan kedukaan. Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini, “Bu Nauli selalu termenung. Selalu terbayang di pelupuk matanya betapa indahnya menimang bayi, memberinya asi, menidurkannya diiringi dendang “bue-bue” atau meninabobokkan serta mengajaknya bermain-main setelah berusia dua atau tiga tahun.” SAZZ, 2005:15

5.2.2 Subjek Transindividual