3.5 Pelembagaan Agama Malim
Jika ditilik perjalanan sejarah agama Malim semenjak kelahirannya pada masa dahulu, agama ini tampaknya memiliki “riwayat” yang sangat menarik.
Sebab, di samping kelahirannya bersamaan dengan kedatangan kaum penjajah ke Indonesia dan kedatangan agama luar di negeri Batak, agama ini juga mengalami
hambatan dari pihak pemerintah Belanda dalam hal mengamalkan ajaran yang dikandunginya. Perlakuan seperti itu berlangsung sebelum Indonesia merdeka pada
tahun 1945. Meskipun demikian, agama masih tetap eksis di tengah-tengah masyarakat Batak yang ditandai dengan masih banyaknya penganut agama ini di
berbagai cabang mengamalkan ibadat ritual. Selanjutnya, pada tahun 1980 tepatnya setelah agama Malim mendapat
pengakuan resmi sebagai sebuah aliran kepercayaan, pihak pemerintah memberikan keleluasaan kepada mereka untuk mempertahankan agama ini tetap
hidup. Segala peraturan dan ketentuan yang dianggap diskriminatif seperti keharusan untuk “minta izin” dan “melapor” dalam setiap melakukan upacara
agama, telah dicabut atau ditiadakan. Akan tetapi sejak agama Malim diakui sebagai sebuah aliran kepercayaan dan penganutnya disebut sebagai kelompok
penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa TYME, bersamaan dengan itu ada juga kebijaksanaan baru yang harus dipenuhi oleh warga parmalim yaitu
keharusan untuk membentuk struktur organisasinya lengkapdengan susunan pengurusannya mulai dari peringkat pusat hingga ke peringkat cabang punguan.
Dengan adanya ketentuan yang demikian, penganut agama Malim tentu menyambutnya dengan senang hati. Mereka menganggap bahwa ketentuan itu
merupakan wujud kepedulian pemerintah terhadap keberadaan dan kelangsungan
Universitas Sumatera Utara
agama Malim mendapat perhatian serius dari pemerintah. Akan tetapi pengakuan pemerintah tersebut disadari belumlah memuaskan hati para penganutnya sebab
agama ini bukan justru diakui sebagai sebuah organisasi keagamaan yang sama derajatnya dengan organisasi aliran kepercayaan dan orgaisasi kelompok penghayat
spiritual lainnya. Meskipun demikian, mereka tetap memenuhi kehendak pemerintah untuk membentuk susunan pengurus mulai dari tingkat pusat hingga ke
cabang-cabang. Namun, walaupun agama ini hanya diakui sebagai sebuah aliran kepercayaan dan belum mendapat pengakuan sebagai agama yang resmi, hingga
kini mereka tetap mengklaim bahwa Malim adalah sebuah agama. Dalam struktur manajemennya pun mereka tetap menggunakan pola lama yakni kepemimpinan
yang disebut dengan seorang ihutan.
3.5.1. Struktur Organisasi Struktur organisasi agama Malim boleh dikatakan sangat sederhana.
Struktur kepemimpinannya hanya terdiri dari pimpinan pusat dan pimpinan cabang. Pimpinan pusat adalah pimpinan tertinggi yang diketuai oleh seorang ihutan yang
dalam bahasa Batak bermakna “yang diikuti” atau “ikutan”. Selain dari ihutan ada juga pengurus lain yang terlibat di dalamnya seperti sekretaris dan bendahara
keduanya bertugas sebagai pembantu dalam menjalankan administrasi organisasi agama Malim. Di samping itu ada juga beberapa nama lainnya yang ikut dalam
kepengurusan yang bertugas dalam bidang tertentu. Ihutan sebagai pimpinan pusat mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pembinaan anggota secara
keseluruhan. Ia juga sebagai “ulama” atau yang banyak mengetahui seluk beluk agama Malim sejak dahulu hingga sekarang. Dalam upacara agama yang sifatnya
Universitas Sumatera Utara
tahunan seperti mangan na paet, sipaha sada, sipaha lima, dan mardebata, ia juga bertindak sebagai pemimpin upacara.
Pusat administrasi agama Malim berkedudukan di Hutatinggi, Laguboti Kabupaten Toba Samosir dahulu Tapanuli Utara. Di sanalah semua surat-
menyyurat dijalankan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Selain itu, segala dokumen yang berkaitan dengan agama Malim sejak dahulu masih
tersimpan rapi di sana. Bukan hanya itu, di sana pulalah pusat peribadatan agama Malim yang disebut dengan Bale Pasogit Partonggoan BPP suatu tempat
peribadatan yang sifatnya tahunan di samping tempat upacara ibadat lainnya. Selain dari pimpinan pusat, ada juga yang dikenal dengan pimpinan cabang
yang berkedudukan di tiap-tiap cabang yang keberadaannya tersebar di seluruh Indonesia terutama Sumatera dan Jawa. Pimpinan cabang diketuai oleh seorang
ketua yang disebut dengan ulupunguan. Sama dengan pimpinan pusat, ulupunguan juga dibantu oleh beberapa orang pengurus lainnya. Tugas masing-masing
ulupunguan adalah memberikan pembinaan terhadap anggota di peringkat cabang sekaligus sebagai pemimpin upacara dalam setiap upacara agama di parsantian
tempat peribadatan tingkat cabang, misalnya memimpin upacara mararisabtu, mangan na paet, manganggir. Bahkan dalam memimpin upacara yang lain
adakalanya diwakilkan kepada ulupunguan jika ihutan kebetulan berhalangan. Dari segi administrasi, ulupunguan mempunyai tugas, pertama: melaporkan
secara resmi seluruh anggota di cabangnya secara berkla kepada pemimpin pusat orang yang baru masuk karena lahir atau berpindah agama. Kedua, melaporkan
jumlah iuran keuangan yang bersumber dari anggota, misalnya ugasan torop, adat marama, somba hamauliateon dan lain-lainnya. Ketiga, melaorkan keadaan
Universitas Sumatera Utara
perkembangan cabang terutama dalam hal pengalaman agama dan hambatan- hambatan lainnya.
3.5.2. Pengankatan Pimpinan Pusat dan Cabang
Dalam hal pengangkatans eorang pimpinan pusat ihutan maupun pimpinan cabang ulupunguan dalam agama Malim tidaklah seperti yang didapati
pada organisasi keagamaan lainnya. Organisasi agama Malim lebih menerapkan kepemimpinan konvensional atau informal di mana dalam pengangkatan
pemimpinnya tidak melalui musyawarah besar seperti muktamar, kongres dan sebagainya. Ihutan selaku pimpinan pusat adalah seorang pemimpin umat sekaligus
ulama religious specialist. Pada awal adanya istilah jabatan ihutan ini dalam struktur kepemimpinan agama Malim bukanlah melalui pemilihan sebagaimana
berlaku pada organisasi keagamaan lainnya tetapi diangkat melalui pengakuan moral dari seluruh anggota parmalim. Tradisi seperti ini telah dimulai sejak Raja
Mulia Naipospos sebagai pimpinan agama Malim pertama menggantikan Raja Nasiakbagi. Di kala itu Raja Mulia Naipospos digelar dengan sebutan ihutan. Dari
sinilah awal sejarahnya dikenal istilah ihutan dalam kepemimpinan agama Malim. Kemudian kepemimpinannya diwariskan turun temurun kepada anak dan cucunya.
Generasi kedua jabatan ihutan itu dipegang oleh anaknya yang bernama Raja Ungkap Naipospos dan pada tahun 1981 hingga sekarang dipegang oleh Raja
Marnangkok Naipospos.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3.5.2 : Amang Simanjuntak Ulupunguan Medan Sedang Melakukan Pangurason
Tiga sosok pemimpin tersebut lebih dikenal sebagai pemimpin informal khusunya dikalangan warga Parmalin. Meski mereka bertiga dalam bidang
pendidikan mungkin tidak begitu membanggakan, namun penghormatan warga parmalim terhadap mereka sangat tinggi. Penghormatan warga Parmalim terhadap
kepemimpinan mereka terpancar dari wajah dan penampilan mereka yang sangat mengagumkan. Dari wajah dan penampilan mereka mempercayai bahwa pada diri
mereka terdapat kharisma keagamaan religious charisma yang dalam istilah Malim disebut “sahala”. Kehadiran “sahala” itu pada diri mereka bukan karena
dipelajari, demikian juga kemampuan “memimpin” dan “mengajari” warganya, tetapi dipercayai karena berkat pemberian dari Debata Mulajadi Nabolon. Mereka
tampil sebagai pemimpin di tiap-tiap zamannya bukanlah karena sekolah yang tinggi atau karena menjalani pelatihan dan kursus, melainkan karena sahala Debata
bersarang pada diri mereka. Inilah asas pengakuan warga parmalim terhadap ihutan
Universitas Sumatera Utara
sebagai pemimpin mereka. Jadi, bukan karena ada ijazah dan lain-lain yang sejenis dengannya sebagaimana terdapat pada pemimpin formal.
Berbeda dengan pengakatan pemimpin cabang yang disebut dengan ulupunguan. Pemimpin cabang ini langsung ditunjuk oleh ihutan selaku pemimpin
tertinggi dalam agama Malim dengan mempertimbangkan segala masukan dari warga parmalim setempat. Meski ditunjuk, namun sosok pribadi orang tersebut
tetap menjadi perhatian ihutan sebelum diangkat menjadi ulupunguan, misalnya syarat keluasan pengetahuannya dan ketaatannya dalam bidang agama Malim di
samping kemampuannya dan kejujurannya dalam memimpin umat di peringkat cabang. Tidak asa syarat-syarat formal dalam setiap menduduki sebuah jabatan
ulupunguan, karena motivasi untuk memegang jabatan bukanlah hendak mencari uang melainkan untuk sebuah pengorbanan demi agam yang sudah barang tentu
memerlukan keikhlasan. Tidak ada syarat pendidikan formal maupun nonformal yang harus dilalui khususnya di bidang pengkarderan pemimpian agama sebelum
diangkat menjadi ulupunguan.
Universitas Sumatera Utara
Hampir sama dengan agama-agama lainnya di mana setiap ada orang yang hendak masuk menjadi penganut agama Malim dapat dilalui dengan dua cara yaitu
karena kelahiran dan karena berpindah agama. Yang pertama adalah disebabkan seseorang terlahir dari keluarga Parmalim bukanlah berarti si anak tadi otomatis
sebagai warga warga Parmalim. Pihak orangtuanya harus terlebih dahulu mengadakan upacara martutuaek menyambut kelahiran. Tanpa mengadakan
Bagan 3.5.2 : Struktur Organisasi Agama Malim
3.5.3. Keanggotaan Penganut Agama Malim Pimpinan Pusat
Ihutan Sekretaris
Bendahara
Pimpinan Cabang
Ulupunguan Sekretaris
Bendahara
Anggota Anggota
Anggota
Pimpinan Cabang
Ulupunguan Sekretaris
Bendahara
Pimpinan Cabang
Ulupunguan Sekretaris
Bendahara
Universitas Sumatera Utara
upacara martutuaek, si anak dianggap belum resmi masuk sebagai anggota pemeluk agama Malim.
Menurut Tony Sirait: “bisana molo halak na masuk gabe Parmalim, syaratna
naung siap do badan dohot tondina mangihuthon ajar ni malimi, nahombar di patik dohot uhum ni malimi. Biasana masuk tu
Parmalim melalui pernikahan tu anak manang boru ni Parmalim. Ingkon patupahonna do parbue santi, abit nabontar dohot lain
naasing, jala maranggir ma nasida”.
Artinya: “biasanya orang lain yang masuk jadi Parmalim, syaratnya
harus siap jasmani dan rohaninya mengikuti ajaran agamaq Malim, menyangkut perintah dan hukum agama malim. Biasanya masuk
menjadi Parmalim melalui pernikahan terhadap anak laki-laki maupun anak gadis Parmalim. Harus disediakan parbusanti
makanan sesajen, kain putih dan yang lainya, dan kemudian mensuikan dirilah beliau”.
Kedua adalah karena terjadi proses perpindahan dari suatu agama tertentu, misalnya perpindahan dari agama Kristen dan agama lainnya ke dalam agama
Malim. Apabila ada orang yang berpindah agama seperti ini, maka para penganut agama Malim setempat harus menyambutnya dengan cara mengadakan upacara
khusus baginya yang disebut dengan upacara manganggir pensucian. Upacara manganggir ini juga merupakan majelis pertemuan bagi seluruh warga Parmalim
setempat bahwa orang tersebut telah resmi menjadi penganut agama Malim. Orang yang berpindah agama biasanya adalah orang yang sudah dewasa yang ketika
masuk ke dalam agama Malim benar-benar karena kesadarannya sendiri dan tidak karena ada paksaan dari pihak mana pun.
Universitas Sumatera Utara
BAB. IV. STRATEGI ADAPTASI PENGANUT AGAMA MALIM DI KOTA MEDAN
4.1. Pola Kehidupan Penganut Agama Malim di Medan