BAB. IV. STRATEGI ADAPTASI PENGANUT AGAMA MALIM DI KOTA MEDAN
4.1. Pola Kehidupan Penganut Agama Malim di Medan
Sejak perkembangan perkebunan tembakau di akhir abad 19, Medan menjadi salah satu kota yang multikultural. Sangat umumnya bekerja sebagai buruh
perkebunan dan pedagang dimasa itu. Demikian halnya dengan penganut agama Malim, melakukan gerak migrasi dari Hutatinggi, Kecamatan Laguboli tentu
karena faktor daya tarik yang dimiliki kota Medan. Daya tarik tersebut sangat menjamin perbaikan hidup yang dapat mereka peroleh. Penganut agama Malim
sebagai kelompok migran tentunya tidak melaporkan nilai-nilai budaya dan agama yang mereka miliki. Bagi Parmalim agama dan kebudayaan Batak Toba adalah dua
hal yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya dalam kehidupan dimana pun mereka berada.
Usman Pelly, 1998:15 menyatakan : “setidaknya terdapat dua macam kekuatan terus–menerus
mempengaruhi keutuhan kelompok etnik di daerah rantau. Pertama, orang-orang di kampung halaman mengharapkan para perantau
menjalankan budaya dan mempertahankan identitas etnik mereka. Kedua, perantau harus menyesuaikan diri dengan latar budaya tuan
rumah. Para perantau harus mengandalkan hubungan-hubungan dinamik antara kebertahanan dan perubahan yang mempengaruhi
bagaimana mereka beradaptasi”.
Kota Medan merupakan kota yang heterogen, baik dilihat dari keberadaan suku dan agama yang ada. Melayu sebagai etnis penduduk asli kota Medan tidaklah
merupakan penduduk yang mayoritas walaupun kekuatan politisnya nyaris diperoleh dari pemerintah kolonial. Berdasarkan latar belakang keberadaan etnik
Melayu, maka para perantau tentunya dianggap lebih rendah dan memiliki 77
Universitas Sumatera Utara
kekuatan yang lebih kecil dibanding dengan tuan rumah pada awal kedatangannya di Kota Medan. Sehingga para perantau akan selalu dihadapkan dengan budaya
Melayu yang secara umum beragama Muslim. Akan tetapi penganut agama Malim sejak awal kedatangan hingga sekarang
tidak pernah berasimilasi dalam budaya Melayu - Muslim melebur menjadi etnik Melayu, menjalankan tradisi agama dan budaya Melayu untuk dapat diterima di
Kota Medan. Penganut agama Malim merasa bahwa budaya mereka berupa adat, seni, sastra, tortor serta agama yang berbeda dengan tuan rumah harus tetap mereka
pertahankan sebagai ciri dan identitas diri yang mereka miliki. Apabila diperhatikan keseluruhan aspek ajaran agama Malim tampaknya
agama ini dipengaruhi agama lain. Ajaran agama Hindu-Jawa misalnya jelas mewarnai agama Malim baik dari segi kepercayaan maupun dari segi upacara
keagamanya. Dilihat dari segi kepercayaan agama malim mempercayai adanya Bataraguru sebagai utusan Dabata Mulajadi Na Bolon, sementara nama ini dalam
ajaran agama Hindu - Jawa adalah salah satu nama dewa yang mereka puja. Sedangkan dari segi upacara agama bisa dilihat pada waktu berdoa
dilangsungkan dimana semua peserta harus merapatkan kedua telapak tangannya persis seperti penganut agama Hindu ketika bersembayang. Selain itu kaum pria
mengenakan sorban di kepala berupa kain yang berwarna putih, juga kain sarung dan selendang Batak Toba ulos Batak. Sementara perempuan memakai sarung,
juga mengonde rambutnya. Mengenai pengaruh Agama Islam, dapat terlihat dari segi pelaksanaan
penghormatan kepada orang yang meninggal dunia, penganut agama Malim
Universitas Sumatera Utara
memandikan dan mengkafani jenasah persis seperti apa yang dilakukan dalam ajaran agama Islam. Padahal jika dilihat dalam kebudayaan etnik Batak tidak
pernah dijumpai sebelumnya. Barulah pada masa Raja Nasiak Bagi, hal seperti itu dijadikan sebagai amalan yang wajib jika ada yang meninggal bagi penganut
agama Malim. Sedangkan dengan agama Katolik, agama Malim mempunyai persamaan
dalam hal pangurason pemberian air suci dalam upacara keagamaan .
Namun bukan berarti dengan adanya pengaruh dari agama modern sebagai agama yang
telah diakui keberadaannya penganut agama Malim kemudian melebur menjadi agama lain.Walaupun pada awal kedatangannya penganut agama Malim yang
hidup menetap dan memiliki status belum menikah melakukan perkawinan campuran dengan etnis lain yang sudah menganut agama modren termasuk etnis
Batak Toba sebagai etnis yang sama dengan mereka. Perkawinan campur dengan etnik lain bukanlah untuk meleburkan nilai-
nilai keagamaan yang mereka miliki dengan etnik yang sudah menganut agama modren tersebut. Hal yang demikian dilakukan penganut agama Malim hanyalah
sebagai sebuah startegi adaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya yang mejemuk. Penganut agama Malim akan tetap mempertahankan agamanya secara
turun temurun. Sehingga dikemudian hari keturunan mereka akan tetap bertahan dan menjalankan hamalimon agamanya.
Penganut agama Malim yang tinggal di kota Medan, mulai mempelajari bahasa dan menyesuaikan diri dengan pola kehidupan masyarakat disekitar tempat
dia tinggal akan tetapi hal tersebut hanya dipermukaan. Karena sampai saat ini tata cara kehidupan mereka dapat dipertahankan, misalnya penggunaan bahasa daerah
Universitas Sumatera Utara
yaitu Bahasa Batak Toba. Walaupun sudah ada penyesuaian antara cara bergaul dari daerah asal desa Hutatinggi dengan daerah rantau kota Medan, bahasa Batak
Toba masih tetap digunakan, selain dari keharusan dalam pembacaan doa yang bertuliskan bahasa Batak, bahasa Batak juga menjadi bahasa pengantar dalam
khotbah upacara adat dan keagamaan Malim. Diawal kedatangannya sebagai proses untuk beradaptasi di kota Medan,
penganut agama Malim melakukan perkawinan campuran dengan etnis yang menganut agama modern tetapi tidak sedikit yang dapat mempertahankan agama
Malim. Kalaupun ada yang mengubah keyakinannya dengan memillih agama lain, mereka bukan lagi menjadi bagian dari penganut agama Malim walau berasal dari
daerah yang sama yaitu Hutatinggi. Sebab yang disebut dengan penganut agama Malim adalah mereka yang menganut agama Malim. Etnis lain dan yang menganut
agama lain dari masyarakat yang menganut agama Malim dapat disebut sebagai Parmalim. Apabila sudah menganut agama Malim dapat disahkan oleh pemimpin
agama Malim melalui upacara manganggir pensucian diri terhadap orang yang atas kerelaan hati menjadi penganut agama Malim yang sah.
Hingga sekarang ini perkawinan campuran masih tetap ada dilakukan oleh penganut agama Malim, akan tetapi para orangtua mereka tetap menganjurkan
kepada generasinya untuk tetap mempertahankan agama Malim. Sebenarnya perkawinan campuran dengan etnik-etnik yang menganut agama lain terlebih etnik
di luar suku Batak Toba kurang dianjurkan oleh mereka. Karena ada rasa ketakutan tersendiri perkawinan campur akan membuat penganut agama Malim berpaling dari
yang mereka anut. Dewasa ini mulai ada, walau jarang terjadi penagnut agama Malim yang berpindah keyakinan akibat perkawinan campur.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Wilhan Naipospos: “tuangka na kaluar sian Parmalim berarti na so mananda ma
ibana tu sude asi-asi sian Debata marhite tangiang ni natorasna asa hot di bona nang di ujung ni patik ni Ugamo Malim. Molo pendapathu
bah terserah nasida mai. Molo keluargaku sandiri i, dang adong be dalan pajumpang be tu ibana. Alai molo gabe nakaluar pe ibana
unang las gabe ibana na mambaen stigma buruk mengenai Parmalim tu halak na so Parmalim, gabe paroha si bolis do biasana na naung
kaluar i. Ganup jolma manjalo upana do sogot sian Debata”.
Artinya: “bagi yang keluar dari Parmalim berarti dia tidak mengenal
terhadap semua cinta kasi Tuhan Debata melalui doa orang tuanya biar tetap di awal dan di ahir perintah ajaran agama Malim.
Menurut pendapat saya itu terserah kepada orang tersebut. Seandainya itu adalah keluarga saya sendiri tidak ada lagi jalan
pertemuan dengan dia. Tetapi kalau memang dia mau keluar, dan dia membuat stigma buruk mengenai Parmalim terhadap orang yaqng
bukan Parmalim, menjadi berkelakuan seperti iblis setanlah biasanya orang yang keluar dari agama Malim tersebut. Setiap
manusia mendapat upah hukuman kelak dari Debata Tuhan”.
Bagi penganut agama Malim pindah keyakinan bukanlah hal yang tidak diijinkan, tetapi mereka selalu berharap kiranya naposa muda-mudi mereka untuk
tidak meninggalkan agama Malim. Dilihat dari aktivitas keagamaannya penganut agama Malim tidak mengubah apa yang telah mereka miliki dari daerah asalnya.
Mereka tetap masih berpakaian keagamaan seperti apa yang mereka lakukan di daerah asalnya dan tetap menjalankan nilai-nilai hamalimon sesuai dengan tuntutan
ajaran agama Malim. Kebertahanan penganut agama Malim terhadap agama Malim karena adanya kesadaran dan keyakinan mereka terhadap Debata Mulajadi Na
Bolon. Pada dasarnya sebuah tempat tinggal di kota Medan adalah sekumpulan
rumah dari pemukiman perantau. Seperti halnya kecamatan Medan Denai yang banyak dipilih penganut agama Malim sebagai tempat mereka untuk bermukim.
Universitas Sumatera Utara
Adapun latar belakang pemilihan tempat tinggal yang dilakukan penganut agama Malim diawal kedatanganya ke kota Medan adalah tidak lepas dari adanya daya
tarik kota Medan khususnya kelurahan Binjai kecamatan Medan Denai berupa tersedianya lapangan pekerjaan diberbagai sektor industri pada masa itu dan juga
disebabkan keterbukaan penduduk kelurahan Binjai yang didominasi suku bangsa Batak Toba. Sehingga memudahkan bagi penganut agama Malim untuk
bersosialisasi sebagai strategi adaptasi terhadap lingkungan masyarakat disekitarnya. Dalam kelompok pemukiman mereka yang majemuk dari budaya dan
agama masing-masing penduduknya, hubungan dan kegiatan sosial akan tetap dipertahankan. Upacara-upacara siklus kehidupan, pagelaran budaya dan kegiatan
keagamaan dilaksanakan dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing. Demikian pula dengan penganut agama Malim, berdasarkan informasi yang
diperoleh dari informan. Sejak awal kedatangannya di kota Medan mereka tidak pernah bertempat tinggal secara menumpuk melainkan tersebar. Di setiap tempat
tinggal, umumnya mereka hanya bebrapa kelompok keluarga bahkan di kecamatan Medan Denai sebagai daerah tempat parpunguan dan perayaan hari besar
keagamaan hampir tidak ada penganut agama Malim yang bertetangga sesama penganut agama Malim.
Berdasarkan daerah tempat tingalnya di kota Medan dalam keadaan tempat tinggal hidup bersama dengan kelompok etnik lain dan agama yang berbeda
Parmalim merupakan kelompok masyarakat minoritas. Keadaan demikian bukanlah penghalang bagi mereka untuk tetap mempertahankan keaslian ajaran
agama bahkan mereka masih tetap dapat mewujudkan keyakinannya dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dicontohkan dalam memakai pakaian saat
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan upacara keagamaan dimana laki-laki yang sudah menikah mengenakan sorban di kepala, juga sarung dan selendang Batak atau ulos. Sementara perempuan
memakai sarung, juga mengonde rambut mereka. Penggunaan pakaian seperti ini menurut mereka adalah merupakan perwujudan rasa hormat dalam menyampaikan
pujian dan persembahan yang dilakuakn dengan hati suci atau hamalimon terhadap Debata Mulajadi Nabolon.
Gambar 4.1 : Sedang Mengenakan Pakaian Keagamaan Malim
Ulos yang dikenakan adalah ulos Batak Toba yang asli tanpa harus memadukan pakaian tradisional dari suku yang ada di tempat tinggal mereka. Pada
saat upacara keagamaan kitab suci yang digunakan yaitu pustaha habonaran masih menggunakan tulisan aksara Batak.
Berdasarkan pengamatan penulis terhadap penganut agama Malim di kota Medan, dalam kehidupan bermasyarakat untuk diterima sebagai anggota
Universitas Sumatera Utara
masyarakat mereka tidak perlu melakukan perobahan terhadap agama yang mereka miliki. Walaupun penganut agama Malim jumlahnya sangat sedikit dan
keberadaannya tidak diakui sebagai agama oleh pemerintah, masyarakat di luar mereka dapat menerima Parmalim bersamaan dengan agama Malim yang mereka
anut.
4.1.1. Hubungan dengan Kampung Halaman
Keberadaan penganut agama Malim yang jauh dari daerah asal di kota Medan, bukan berarti akan melupakan daerah asal-usulnya. Mereka akan tetap
mengingat darimana asalnya. Demikian juga dengan nilai keagamaan yang mereka miliki akan tetap dilestarikan walaupun para penganutnya berada di daerah
perkotaan yang sangat kental dengan kemajemukan baik kemajemukan dalam nilai budaya maupun kemajemukan dalam agama. Penganut agama Malim yang tinggal
di daerah perkotaan tidak akanpernah lupa terhadap bona pasogitnya karena sudah menjadi tradisi turun-temurun bagi mereka untukmemperkenalkan dimana
kampung halaman mereka kepada anak-anaknya. Dengan memperkenalkan kampung halamanya, sudah tentu menimbulkan rasa ingin tahu bagi regenerasi
mereka untuk melihat langsung dimana daerah yang menjadi asal-usul mereka. Kehidupan yang lebih baik dikota Medan dari pada di daerah asal mereka
juga tidak menjadikan mereka lupa terhadap bona pasogitnya karena sangat banyak hal yang dapat mengikat mereka dengan daerah asal. Adalah satu pengikat antara
penganut agama Malim dengan daerah asalnya adalah adanya harta warisan yang mereka dapatkan dari orang tua mereka dan biasanya berupa peninggalan tanah,
meskipun tanah tersebut tidak terlalu luas. Dengan adanya harta warisan, maka mereka akan selalu berpikir bahwa sejauh manapun mereka pergi, akan tetap
Universitas Sumatera Utara
memikirkan harta warisan mereka yang ada di kampung. Bagi penganut agama Malim, adalah sangat pantang untuk menjual warisan dari orang tua. Karena
mereka menganggap bahwa warisan tersebut mengandung makna tersendiri bagi mereka. Dengan adanya warisan tersebut akan selalu mengingatkan mereka tentang
semasa hidup orang tuanya. Dan apabila warisan ini dijual biasanya akan dijual kepada kerabat dekatnya untuk tidak menghilangkan makna pemberian warisan
tersebut. Dalam pegelolahan tanah warisan yang berupa sawah maupun ladang maka
dipercayakan kepada kerabat dekat yang masih tinggal di kampung dengan sistem bagi hasil. Biasanya yang dipercayakan mengelola tanah warisan adalah kerabat
dekat seperti abang atau adik kandung yang masih tinggal di kampung. Dengan sistem bagi hasil tersebut secara tidak langsung akan menambah penghasilan
saudara mereka yang masih tinggal di kampung dan juga akan menjadikan hubungan mereka dengan saudara yang tinggal di kampung akan tetap terjaga.
Biasanya hasil dari sawah dan ladang itu akan diambil setahun sekali atau setengah tahun sekali, tergantung kesepakatan diantara mereka. Demikian juga
dengan akan yang diterima, apakah dalam bentuk uang atau hasil lainya. Dengan adanya hal tersebut maka Parmalim yang hidup di daerah rantau akan selalu ingat
akan kampung halamanya. Penganut agama Malim yang bermigrasi ke kota Medan dalam mengingat
kampung halaman bukan hanya berdasarkan adanya warisan yang mereka peroleh di kampug, karena diantara penganut agama Malim yang tinggal di daerah rantau
kota Medan banyak juga yang tidak mmeliki harta warisan berupa tanah di kampung. Hal ini disebabkan karena orang tua mereka dahulu tidak memiliki tanah
Universitas Sumatera Utara
semdiri tetapi sebagai pekerja di sawah maupun di ladang orang lain dan sebagai penyewa tanah. Keadaan ini tidak menjadikan mereka lupa akan kampung
halaman, betapapun pahitnya kehidupan di kampung dahulu. Meskipun tidak memiliki tanah warisan di kampung, mereka akan merasa sangat bersalah apabila
mereka tidak membawa anak-anaknya pulang kampung untuk mengenal kampung orang tuanya. Hampir setiap tahu penganut agama Malim yang tinggal di Medan
akan selalu pulang kampung hal ini disebabkan karena pada tiap perayaan tahun baru yang disebut dengan upacara Sipaha Sada yang wajib diikuti oleh semua
penganut agama Malim dimanapun mereka berada. Sipaha sada adalah salah satu aturan ibadat dalam agama Malim, upacara
ini secara khusus diadakan untuk memperingati ari hatutubu hari kelahiran Tuhan Simarimbulubosi yang jatuh pada ari suma hari kedua dan ari anggara hari
ketiga bulan sipaha sada bulan sada. Dalam klender Batak Toba merupakan bulan satu.karena menurut kepercayaan agama Malim Simarimbulubosi lahir pada
bulan satu sehingga hari kelahiranya dirayakan pada bulan satu sebagai awal tahun baru. Semua kegiatan perayaan sipaha sada dirayakan di Bale Pasogit Partonggoan
Hutatinggi dengan diiringi musik tradisional yaitu hasapi kecapi dan peralatan musik gondang lainya.
Selain upacara keagamaan sipaha sada ada juga perayaan upacara sipaha lima yang wawjib di hadiri peganut agama Malim di Bona Pasogti desa Hutatinggi
Kecamata Laguboti. Upacara sipaha lima merupakan ibadat aturan yang wajib diamalkan oleh warga Parmalim Pada stiap tahunya. Upacara ini dilaksanakan
selama tiga hari berturut-turut.
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya kewajiban bagi penganut agama Malim untuk mengikuti kedua upacara ini di daerah asal mereka bona pasogit akan secara tidak langsung
menjadi sebuah alasan bagi penganut agama Malim didaerah rantau untuk selalu mengingat dan mengunjungi kampung halamanya sebagai perwujutan keimananya
terhadap agama Malim yang dianut. Upacara besar keagamaan tersebut sekaligus juga menjadi media untuk
mempertemukan penganut agama Malim secara keseluruhan yang berasal dari berbagai penjuru. Pertemuan pada saat upacara besar keagamaan seperti ini sering
kali dimanfaatkan penganut agama Malim untuk saling tukar informasi mengenai keberadaan asgama yang mereka anut ditiap daerah mereka masing-masing.
Dengan adanya pertukanran informasi seperti ini akan mempermudah bagi mereka untuk mengetahui sejauh mana perkembangan keberadaan agama Malim tanpa
terkecuali di kota Medan sebagai kota yang sangat majemuk. Bagaimanapun senangnya kehidupan ditempat yang baru, pulang kampung
adalah suatu obsesi atau keinginan yang kuat bagi penganut agama Malim. Dengan adanya hal-hal tersebut yang mengharuskan penganut agama Malim untuk tetap
mengunjungi kampung halamanya tentu akan semakin mempertebal rasa identitas penganut agama Malim sebagai agama asli etnis Batak Toba. Tradisi pulang
kampung akan selalu mereka laksanakan.
4.1.2. Peranan Sosialisasi Keluarga Dalam Mempertahankan Agama Malim
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya sangat membutuhkan orang lain dalam menjalani hidupnya. Hidup bersamaan dengan orang lain, setiap individu
membutuhkan sosialisasi sebagai proses permulaan di mana manusia dapat
Universitas Sumatera Utara
mempelajari tata cara kehidupan dalam lingkungan bermasyarakat untuk mempelajari dan mengembangkan kapasitas yang berfungsi baik sebagai individu
maupun sebagai anggota kelompok. Sehubungan dengan adanya sosialisasi, maka kebudayaan sebagai alat
adaptasi manusia terhadap lingkungan, ditransmisikan dari generasi tua ke generasi muda dalam masyarakat pada kebudayaan tertentu. Demikian juga dengan agama
Malim yang meyakini bahwa adat bukanlah sekedar hasil budaya orang Batak terdahulu yang diturunkan secara turun-temurun kepada generasi sekarang, akan
tetapi lebih dari itu keberadaan adat ditengah-tengah masyarakat dipercayai berasal dari Tuhan Debata Mulajadi Naboon melalui seseorang yang dipilih-Nya. Orang
yang terpilih ini menerima konsep dasar itu disingahon diisbatkan atau dikemas menjadi butir-butir patik aturan yang kemudian menjadi uhum hukum bagi
penganut agama Malim.
Gambar 4.1.2 : Seorang Anak Diikut Sertakan Dalam Pelaksanan Upacara Mangan Napaet
Universitas Sumatera Utara
Melalui proses sosialisasi dalam keluarga, seorang anak akan terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan proses sosialisasi anak dan
remaja menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku ditengah-tengah masyarakat dan lingkungannya. Peranan sosialisasi terutama sosialisasi dalam
keluarga sebagai perilaku anak nantinya sangat didasari oleh penganut agama Malim yang tinggal di kota Medan. Untuk itulah sedapat mungkin mereka selalu
berusaha menanamkan ajaran agama Malim yang bersumber dari Debata Mulajadi Na Bolon dan sebagian lagi bersumber dari para Malim Debata. Semua ajaran ini
dibagi kepada empat jenis ajaran yaitu pesan tona, sabda poda, peraturan patik, dan hukum uhum.
Sebagian dari ajaran itu tercantum dalam pustaha habanaron yaitu semacam kitab suci atau kumpulan peraturan yang isinya mengatur hubungan
antara manusia dengan Debata dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ajaran agama ini selalu mereka berikan baik dalam poda petuah maupun dalam bentuk
tingkah laku yang akan dicontohkan kepada anak-anak mereka. Poda dalam istilah agama Malim dapat diartikan sebagai “nasihat” atau
sabda yang bersumber dari para Malim utusan Debata, misalnya poda dari Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja dan Raja Nasiakbagi. Semua pesan
ajaran agama yang keluar dari mulut mereka perkataan dianggap sebagai suara Debata yang tidak perlu diragukan kebenarannya. Ajaran agama ini wajib mereka
transmisikan secara turun menurun terhadap generasi muda mereka. Semua ajaran yang terkandung dalam pola itu menjadi pegangan hidup sekaligus sebagai salah
satu sumber hukum dalam pengamalan ajaran agama Malim.
Universitas Sumatera Utara
Para penganut agama Malim berpendapat bahwa pengamalan hidup yang pertama sekali dirasakan setiap orang adalah berasal dari keluarga. Semua ajaran
agama Malim mereka peroleh pertama sekali dalam keluarga walaupun nantinya akan lebih dikembangkan dalam aktivitas keagamaan lainnya yang dilaksanakan
bersamaan dengan sesama penganut agama Malim lainnya. Disaat seorang anak beranjak remaja dan saat dewasapun orang tua mereka tetap mengarahkan dan
membimbing anaknya untuk tetap menjalankan ajaran-ajaran agama Malim. Sosialisasi yang terus menerus dilakukan terhadap anak adalah merupakan usaha
orang tua untuk tetap mewariskan agama yang mereka miliki, mengingat kondisi kota Medan yang majemuk dalam hal keagamaan.
Dengan adanya sosialisasi agama yang didapat dari keluarga, penganut agama Malim akan senantiasa dapat mempertahankan keimanannya walaupun
mereka dapat nilai dan ajaran dalam proses sosialiasi di luar lingkungan keluarga. Pensosialisasian agama ini bukanlah tanpa alasan karena setiap penganut agama
Malim percaya bahwa agama Malim yang mereka jalankan adalah “jalan” yang dapat mempertemukan mereka dengan sang pencipta Debata Mulajadi Nabolon.
Meskipun dipercayai sebagai jalan pertemuan menuju Debata, namun bukanlah berarti agama Malim adalah satu-satunya agama yang dapat dijadikan
sebagai jalan untuk bertemu dengan supernatural atau Tuhan Yang Maha Esa. Hidup bersama kelompok masyarakat yang berbeda agama adalah merupakan suatu
hal yang tidak dapat dihindari oleh penganut agama Malim. Dalam kebersamaan tersebut mereka tetap mengakui adanya agama lain yang dapat mempengaruhi
agama yang mereka miliki Gultom, 2010:199
Universitas Sumatera Utara
Namun adanya agama lain dalam lingkungan mereka bukanlah suatu ancaman bagi pelestarian agama Malim jika mereka masih tetap menjalankan
ajaran agama yang tetap disosialisasikan dalam lingkungan keluarga sebagai lingkungan pertama yang dikenal para generasinya.
4.2. Jabu Parsantian Rumah Ibadah