Toba yang telah menganut agama moderen yaitu agama Kristen. Keadaan demikian bukanlah penghalang bagi mereka untuk tetap menjalankan aktivitas
keagamaannya. Dengan harapan suatu saat akan dibukakan jalan terhadap maksud dan niat baik penganut agama Malim untuk mendirikan tempat ibadat Parsantian
di kota Medan seperti di daerah lainnya.
4.3. Aktifitas Dalam Keagamaan
Agama Malim adalah sebuah agama yang memiliki beberapa macam upacara agama ritual yang dijadikan sebagai jalan untuk “bertemu” dengan
Debata Mulajadi Nabolon. Jika ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya, upacara agama itu dapat digolongkan kepada dua bagian besar, upacara yang terjadwal dan
yang tidak terjadwal. Golongan yang pertama adalah upacara yang terdiri dari upacara mingguan seperti upacara mararisabtu yang dilaksanakan pada setiap hari
Sabtu dan upacara yang dilaksanakan pada setiap tahun annual cycle yang rujukannya berdasarkan pada kalender Batak, misalnya upacara agama mangan na
paet memakan yang pahit, sipaha sada hari kelahiran Simarimbulubosi dan sipaha lima persembahan sesaji besar atau sacrificial ritual.
Golongan yang kedua adalah upacara yang bukan musiman tidak terjadwal melainkan upacara yang berdasarkan pada fase yang dilalui sepanjang
hidup manusia yang dianggap sebagai masa yang genting atau krisis life crisis. Upacara seperti ini ada karena datangnya suatu masa atau peristiwa tertentu bagi
seseorang manusia dalam kehidupannya. upacara yang dimaksud ialah, upacara kelahiran martutuaek, perkawinan mamasumasu dan upacara kematian pasahat
tondi. Di samping itu, ada juga upacara khusus yang sifat dan latar belakangnya berbeda dengan upacara lainnya, yaitu upacara pensucian manganggir dan
Universitas Sumatera Utara
mardebata menyembah Debata. Upacara manganggir terjadi disebabkan adanya perpindahan agama, sedangkan mardebata terjadi karena adanya nazar seseorang
atau karena ada kasus berat sehingga perlu mendapatkan keampunan dosa dari Debata.
Bagi agama Malim, persembahan pelean sesaji dan pelafalan doa-doa tonggo-tonggo adalah hal yang wajib dalam setiap upacara agama. Selain itu, ada
juga upacara agama yang mengharuskan adanya persembahan tari-tarian tortor yang diiringi dengan gendang gondang tradisional Batak. semua ini merupakan
bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam upacara agama Malim Gultom, 2010:222.
4.3.1. Upacara Mararisabtu Ibadat Mingguan pada Hari Sabtu
Mararisabtu adalah salah satu upacara agama ibadat yang terpenting dalam agama Malim. Ibadat ini wajib dilaksanakan sekali dalam sepekan yaitu pada
hari Sabtu. Penetapan hari Sabtu sebagai hari peribadatan berasal dari sejarah di mana tepat pada hari ketujuh Sabtu, Siboru Daekparujar menggunakan hari itu
sebagai hari beristirahat atau sebuah hari tanpa aktivitas. Pengamalannya yang demikian itu terus menerus diamalkan oleh keturunannya sejak dari Raja Ihat
Manisia dan Siboru Ihat Manisia manusia pertama sampai kepada Raja Sisingamangaraja. Kemudian pengamalan yang demikian ditetapkan menjadi
sebuah ketentuan patik yang wajib diamalkan dalam agama Malim pada masa Raja Nasiakbagi. Di dalam peraturan tersebut ditetapkan bahwa pada hari ketujuh
Sabtu adalah hari beristirahat paradianan sekaligus sebagai hari beribadat bagi seluruh penganut agama Malim.
Universitas Sumatera Utara
Penganut agama Malim harus berkumpul pada setiap hari Sabtu di tempat peribadatan yang sudah ditentukan oleh masing-masing cabang punguan.
penentuan tempat peribadatan ini bergantung kepada tempat tinggal masing-masing anggota. Bagi orang yang bertempat tinggal di daerah Medan, mereka biasanya
langsung mararisabtu di salah satu rumah penduduk yang juga difungsikan ebagai Parsantian.
Pada hari Sabtu Parmalim tidak boleh mengerjakan pekerjaan sehari-harian siapari. Artinya, kalau seseorang Parmalim yang pekerjaannya sebagai petani,
maka ia tidak boleh bekerja di sawah atau di ladang. Melainkan penganut agama Malim diwajibkan beribadat mararisabtu bukan hanya sebatas berdiam diri di
rumah. Dengan mendatangi Parsantian dan mengikuti ibadah mararisabtu Parmalim telah mensucikan hari Sabtu seperti yang dilakukan penganut agama
Kristen yang mensucikan hari Minggu sebagai hari peristirahatan dari berbagai aktifitas yang di jadikan Tuhan buat mereka. Dalam ibadat mararisabtu bukan
hanya sekedar kumpul-kumpul saja dan lantas berdoa, tetapi lebih dari itu harus mempersembahkan sesaji yang terdiri dari daupa dupa sebagai media
perantaranya. Tujuan ibadat mararisabtu adalah untuk menghapus dosa yang dilakukan pada hari-hari yang lalu terutama seminggu yang baru saja berlalu.
Dengan demikian boleh dikatakan bahwa mararisabtu adalah wadah penghapusan dosa apalagi dosa-dosa kecil, karena disadari bahwa manusia tidak luput dari
perbuatan dosa apalagi dosa-dosa kecil. Sebelum agama Malim resmi ada, hari ketujuh Sabtu itu hanyalah merupakan hari paradianan rehat, tetapi oleh Raja
Nasiakbagi kemudian ditetapkan sebagai hari pemujaan kepada Debata dan sekaligus menjadi aturan ibadat wajib.
Universitas Sumatera Utara
Adanya baik perbuatan yang sudah terlanjur dilakukan maupun masih dalam taraf niat dan kehendak yang dapat dikategorikan sudah melanggar peraturan
sehingga menjadi dosa, hukumnya wajib ditebus melalui ibadat mararisabtu di mana dalam pemujaan itu harus pula dengan pelafalan doa-doa. Upacara agama
inilah sebagai wadah dalam memohon keampunan dosa dan menyesali dosa atas niat-niat kotor dan perbuatan jahat yang sudah terlanjur dilakukan. Dalam setiap
melaksanakan ibadat mararisabtu harus betul-betul dengan hati yang tulus, khusuk dan berjanji untuk bertaubat dan tidak akan mengulangi perbuatan yang dapat
melanggar peraturan Debata.
4.3.2. Upacara Martutuaek Kelahiran Anak
Martutuaek merupakan salah satu aturan atau ibadat yang wajib dilaksanakan dalam agama Malim. Sebelum agama Malim resmi ada yakni pada
jaman Sisingamangaraja I bahkan sejak dari Siraja Batak, martutuaek sudah menjadi bagian dari adat istiadat masyarakat Batak. Pada masa itu martutuaek
merupakan upacara khusus untuk memandikan anak yang baru lahir sekaligus penabalan namanya. Di samping itu sudah merupakan adat kebiasaan bagi orang
Batak untuk membuat jamuan makan dengan mengundang sanak keluarga dan tetangga, apabila suatu keluarga mendapatkan anugerah dari Debata yaitu kelahiran
anak. Jamuan makan seperti ini merupakan wujud rasa syukur sekaligus menunjukkan kegembiraan hati semua keluarga. Acara ini lazim disebut
“mangharoanan” menyambut kelahiran. Namun setelah agama Malim resmi ada, acara martutuaek bukan lagi
sekadar adat kebiasaan, tetapi sudah berubah status hukumnya menjadi suatu aturan atau ibadat yang wajib diamalkan. Beliau menetapkan bahwa kedudukan
Universitas Sumatera Utara
martutuaek dalam ajaran agama Malim adalah “menyambut kehadiran tondi” lebih dari sekadar menyambut kehadiran anak yang nilainya hanya untuk sebuah
kegembiraan dan kebahagiaan dalam arti dunia. Beliau mengajarkan bahwa ruh tondi yang ada pada manusia berasal dari Debata dan pada suatu masa nanti ruh
itu akan kembali kepada-Nya. Berdasarkan ajaran itu, agama Malim menganut paham bahwa dalam setiap
penyambutan seorang anak yang baru lahir sepatutnya berangkat dari segi tondi- nya dan bukan semata-mata jasmaniahnya. Itu bermakna bahwa tondi itu harus
dipelihara agar menjadi tondi yang siap kembali dengan selamat kepada si pemiliknya. Untuk menjadi tondi yang selamat kelak di kemudian hari, pihak
keluarga harus bertanggung jawab tentang pendidikan ruhaninya dengan cara menanamkan ajaran hamalimon keagamaan kepadanya.
Dengan adanya tanggung jawab orang tua untuk tetap memberikan ajaran hamalimon sesuai dengan ajaran ajaran agama Malim sejak kelahiran seorang anak
dalam keluarga akan senantiasa dapat menjaga kelestarian ajaran dan eksistensi agama Malim secara turun-temurun. Pelaksanaan upacara kelahiran anak di kota
Medan, tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan upacara kelahiran yang diadakan di Hutatinggi kecamatan Laguboti. Hingga saat ini pelaksanaanya merupakan suatu
kewajiban bagi setiap orang tua terhadap kelahiran seorang anak yang belum genap berumur 30 hari. Selanjutnya sebelum upacara martutuaek dilaksanakan, pihak
orang tua harus terlebih dahulu melaporkan kelahiran anak kepada pimpinan agama ihutan atau wakilnya sekaligus merundingkan dan menetapkan “hari baik” untuk
pelaksanaan upacara martutuaek. Upacara ini penting karena selain merupakan pesta syukuran, pada waktu itu pulalah nama anak itu ditabalkan sekaligus
Universitas Sumatera Utara
didaftarkan sebagai anggota baru Agama Malim. Stiap anak yang baru lahir tidak boleh memberi nama begitu saja tanpa melalui upacara martutuaek. Jika upacara
ini belum terlaksana, si anak tadi belum sah sebagai penganut agama Malim. Pemberian nama tanpa melalui upacara martutuaek dianggap tidak menuruti ajaran
agama. Pelaksanan upacara martutu aek yang telah mengukuhkan seorang anak
menjadi penganut agama Malim yang sah, diwujudkan melalui suatu upacara rasa syukur dengan mengundang kerabat lainya secara tidak langsung telah menjadi
sebuah proses publikasi terhadap lingkungan masyarakat tempat diadakan upacara martutu aek tersebut. Menurut kepercayaan penganut agama Malim bayi yang baru
lahir baik anak laki-laki maupun perempuan tidak boleh dibawa ke suatu tempat yang dinamakan mual mata air sebelum upacara martutuaek dilaksanakan.
Kehadiran bayi yang kali pertama di suatu mata air harus diusahakan pada masa upacara martutuaek dilangsungkan karena pada masa itulah si anak dimandikan
untuk tujuan pensuciannya dan sekaligus sebagai pemberitahuan dan penghormatan kepada Saniangnaga selaku penguasa air. Menurut Kasman Sirait, menyatakan
bahwa: ”suatu hal yang selalu diingat dan dilaksanakan oleh setiap
penganut agama Malim tidak ada alasan bagi setiap Parmalim untuk tidak melaksanakan upacara martutuaek. Maksudnya,
seandainya keluarga yang mendapatkan “rahmat anak” itu kebetulan tergolong keluarga miskin, bukanlah berarti lepas
kewajibannya untuk melaksanakan upacara. Sekiranya memang benar keluarga itu miskin, boleh saja mereka melaksanakan
upacara martutuaek dengan sederhana tapi khidmat. Mereka tidak perlu mengundang banyak orang untuk hadir di acara itu, tetapi
cukup dengan hanya dihadiri oleh pimpinan ritual ihutan atau ulupunguan yang sekaligus bertindak sebagai pimpinan acara
martutuaek”.
Universitas Sumatera Utara
Pelasanaan upacara kelahiran bukan dilihat berdasarkan kemeriahan dan kemegahanya dengan menjamu banyak orang dan pesta besar namun, meski
upacara sangat sederhana, namun ibadat itu sudah dapat dilaksanakan dengan penuh khusuk dan ikhlas. Dalam hal ini tidak perlu memaksakan jika benar-benar
tidak mampu dari segi ekonomi.
4.3.3. Upacara Pasahat Tondi Kematian
Pasahat tondi berasal dari dua kata, yaitu “pasahat” yang bermakna “menyampaikan”, “menyerahkan”, sedangkan makna “tondi” adalah “ruh”. Dengan
demikian pasahat tondi berarti menyampaikan atau menyerahkan ruh. Dalam agama Malim, istilah pasahat tondi adalah upacara agama yang bermaksud
menyampaikan atau menyerahkan ruh seseorang manusia yang sudah meninggal dunia kepada Debata Mulajadi Nabolon sekaligus memohon kepada-Nya agar
orang yang bersangkutan dapat diampuni dosanya dan ditempatkan di sisi-Nya serta memohon keampunan dosa keluarga yang ditinggalkannya.
Dilihat dari perspektif antropologi, pasahat tondi merupakan sebuah upacara yang masuk dalam kategori upacara peralihan rites of passage yang
dalam agama Malim upacara disejajarkan dengan “aturan”. Seperti halnya dengan ajaran agama lain yang sudah diakui oleh negara,
penganut agama Malim juga percaya bahwa apa yang sudah diciptakan Tuhan Debata akan kembali kepada-Nya demikian pula dengan tondi ruh manusia.
Orang yang bertanggung jawab melaksanakan upacara pasahat tondi ialah keluarga terdekat si mayat. Apabila si mayat kebetulan tidak memiliki keluarga yang dekat,
maka yang berkewajiban melakukan upacara pasahat tondi ialah anggota cabang punguan di mana si mayat dulunya terdaftar sebagai anggota parmalim. Apabila
Universitas Sumatera Utara
anggota punguan cabang juga tidak melaksanakannya, maka keseluruhannya akan dikenai dosa fardhu kifayah. Disebutkan bahwa selama ruh yang mati belum
diserahkan, selama itu pulalah ruhnya akan menangis terus-menerus sambil menunggu hingga upacara pasahat tondi ditunaikan Gultom:2010:240.
Sebagai sebuah agama tradisional penganut agama Malim mengakui adanya surga dan neraka sebagai ahir dari sebuah kehidupan manusia di muka bumi ini.
Dengan melaksanakan upacara pasahat tondi diharapkan dosa orang yang meninggal dunia tersebut telah terampuni. Namun walaupun demikian, bukanlah
berarti bahwa melalui pasahat tondi itulah satu-satunya jalan seseorang dapat terhindar dari ancaman masuk neraka dan sekaligus sebagai jaminan untuk masuk
ke dalam surga. Segalanya tetap bergantung kepada amal perbuatannya selama ia hidup di dunia.
4.3.4. Upacara Mardebata Sembah Debata
Sebagai perwujudan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Debata Mulajadi Na Bolon penganut agama Malim melaksanakan upacara
mardebata sepeti yang dilakukan oleh Parmalim didaerah asal penyebaranya Hutatinggi kecamatan Laguboti. Mardebata adalah salah satu ritual dalam agama
Malim. Secara harfiah kata mardebata bermakna “menyembah Debata”. Sedangkan menurut istilah agama, arti mardebata ialah; “upacara penyembahan
kepada Debata dengan perantaraan sesaji pelean yang bersih yang diantarkan melalui bunyi-bunyian gendang selengkapnya gondang sabangunan atau gendang
kecapi gondang hasapi sebagaimana telah diisbatkan dalam agama Malim. Pada hakikatnya hukum mardebata tidaklah wajib, melainkan hanya
semacam tambahan ibadat berdasarkan niat yang muncul dari seseorang parmalim.
Universitas Sumatera Utara
Namun boleh saja hukum mardebata ini meningkat menjadi wajib apabila seseornag melakukan kasus yang dapat dikategorikan melanggar patik dan hukum
yang berat. Meski ibadat mardebata merupakan hajatan keluarga, namun diharuskan juga dihadiri oleh anggota Parmalim cabang yang lain. Dengan kata
lain, amalan ibadat ini bisa menjadi peribadatan bersama yang nilai ibadatnya bukan untuk suhut tuan rumah saja, tetapi kepada semua peserta yang terlibat
dalam upacara itu.
4.3.5. Upacara Mangan Na Paet Memakan yang Pahit
Arti mangan na paet dalam bahasa Batak adalah “memakan yang pahit”, sedangkan menurut istilah agama Malim, “mangan na paet” adalah suatu aturan
ibadat yang wajib diamalkan oleh setiap warga Parmalim pada akhir tahun. Menurut amang Simanjuntak ulupunguan Medan pelaksanaan mangan na paet
adalah: “mangan na paet yang dilakukan Parmalim merupakan wujud
pengakuan bahwa setiap manusia tidak luput dari segala perbuatan dosa sejak awal tahun hingga akhir tahun. Untuk menghapus “dosa
tahunan” diwajibkan bagi parmalim untuk melaksanakan ibadat mangan na paet sebagai wadah penyampaian keampunan dosa
kepada Debata. Ada dua hal penting yang dilaksanakan dalam ibadat mangan na paet. Pertama, memang betul-betul memakan
makanan yang pahit. Kedua, menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum berpuasa selama 24 jam. Kedua bentuk ibadat itu
dijadikan sebagai bukti kesungguhan hati untuk menyesali dosa dan sekaligus berjanji untuk tidak melakukan perbuatan dosa tobat.
Melalui ibadat mangan na paet diharapkan segala dosa yang diperbuat pada masa silam kiranya sudah terhapus dan sudah
menjadi orang yang suci ketika hendak memasuki tahun yang baru”.
Pelaksanaan mangan na paet adalah merupakan acara terbesar yang dilaksanakan pada setiap cabang, pelaksanaanya di Medan dilaksanakan di rumah
salah seorang penganut agama Malim yang dijadikan sebagai rumah parsantian.
Universitas Sumatera Utara
Perayaan upacara ini tentunya dapat menarik perhatian penduduk disekitar daerah tersebut yang melihat dan mengetahui dilaksanakanya upcara mangan na paet.
Dengan demikian adanya wujud keyakinan terhadap Debata Mulajadi Nabolon melalui aktifitas keagamaan yang terlihat dilaksanakan dan dihadiri oleh seluruh
penganut agama Malim sekota Medan, dapat meningkatkan eksistensi agama Malim ditengah masyarakat kota Medan yang sangat kental dengan kemajemukan
etnisnya.
Gambar 4.3.5 : Posisi Duduk Parhundulon Perempuan Dipisah Dari Laki-Laki Pada Setiap Acara Keagamaan
Meski dalam upacara ibadat mangan na paet memang betul-betul memakan yang pahit seperti biji anggir-anggir, daun pepaya, dan lain-lain, tetapi bukanlah
bahan makanan yang pahit itu yang menjadi ukuran makna ibadat mangan na paet, melainkan lebih karena ajaran yang terkandung di dalamnya. Jika dipandang dari
sudut amalan “memakan yang pahit” mungkin bagi orang Batak tidaklah begitu
Universitas Sumatera Utara
masalah, bahkan boleh dikata bahan yang pahit seperti itu sudah merupakan makanan yang biasa bagi orang Batak. Akan tetapi karena hal demikian adalah
suatu ajaran, maka ia menjadi lebih bermakna. Jadi, menurut ajaran agama Malim, ibadat mangan na paet bertujuan, pertama: sebagai simbol “kepahitan” hapaeton
yang dialami para Malim Debata demi memperjuangkan umatnya. Kedua, sebagai wadah penebusan dosa setiap tahun mulai dari awal hingga akhir tahun.
4.3.6. Upacara Mamasumasu Memberkati Pernikahan
Salah satu upacara agama yang tidak boleh diabaikan oleh penganut agama Malim ialah mamasumasu. Istilah mamasumasu dalam agama Malim dapat
diartikan “pemberkatan perkawinan”. Dalam istilah antropologi, mamasumasu adalah upacara yang termasuk dalam kelompok upacara krisis rites crisi, karena
seseorang hendak melalui suatu tahapan perjalanan hidupnya yaitu memasuki gerbang perkawinan. Upacara mamasumasu ini biasanya dipimpin oleh ihutan atau
boleh juga diwakilkan kepada ulupunguan ketua cabang setempat. Selain pekawinan dengan sesama penganut agama Malim, perkawinan
terhadap penganuut agama lain juga sangat dimungkinkan melalui ketentuan yang berlaku sesuai dengan ajaran agama Malim. Apabila orang yang hendak
dikawinkan itu pengantin laki-laki dan perempuan sama-sama penganut agama Malim, maka pihak orangtua pengantin perempuan harus meletakkan uang
sebanyak dua belas rupiah, sedangkan pihak pengantin laki-laki harus meletakkan uang sebanyak enam rupiah di atas parbuesanti pada waktu akad nikah ijak-kabul
dilangsungkan. Pemberian uang yang demikian adalah sebagai syarat adat paradaton atau penghormatan kepada tuan guru atau pimpinan agama Malim
Universitas Sumatera Utara
yang bertindak sebagai wali hakim dalam pernikahan itu. Kemudian, sebagian dari uang itu akan dimasukkan ke dalam kas ugasan torop harta milik bersama.
Bahwa kalau hanya calon pengantin perempuan yang beragama Malim, sedangkan calon pengantik laki-laki berasal dari agama lain, maka ada satu
persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki sebelum dinikahkan, yaitu harus lebih dulu diresmikan menjadi penganut agama Malim dan di dalam
peresmian itu sebagai paradaton persyaratan masuk. Kedua persyaratan itu diletakkan atau boleh juga sekaligus pada saat upacara perkawinan dilangsungkan.
Jika persyaratan itu belum dipenuhi, maka upacara pernikahan tidak boleh dilaksanakan.
Proses perkawinan ang terbuka untuk agama lain adalah mrupakan salah satu strategi adaptasi yang dilakukan penganut agama Malim yang dapat
memungkinkan seseorang yang berasal dari penganut agama lain dapat diterima sebagai Parmalim yang sah dengan syarat mampu mengikuti ketentuan agama
yang berlaku terlebih dahulu sebelum dilakukan upacara pernikahan. Jika hanya calon pengantin perempuan yang berasal dari agama lain sedangkan pengantin laki-
laki berasal dari agama Malim, maka tidak perlu ada uang dua rupiah dan kain putih tujuh hasta. Cukup dengan hanya pengakuan lisan di hadapan calon suami
serta disaksikan oleh orang banyak bahwa si calon pengantin perempuan telah rela menjadi penganut agama Malim. Pengakuan seperti itu boleh dinyatakan pada
waktu pernikahan dilaksanakan.
Universitas Sumatera Utara
4.3.7. Upacara Manganggir Pensucian Diri
Manganggir adalah upacara yang dapat disamakan dengan salah satu sacrament babtis dalam agama lain meski mungkin konteks penggunaannya
berbeda dibandingkan dengan agama Malim. Istilah manganggir berasal dari kata anggir jeruk purut, akan tetapi karena jeruk purut ini selalu digunakan sebagai
bahan pensucian pangurason, akhirnya upacara ini lazim disebut dengan manganggir. Dalam istilah agama, manganggir adalah suatu upacara pensucian diri
seseorang agar suci dari segala jenis dosa, kekotoran akibat makan yang haram ramun dan kekotoran jasmani. Kendati upacara ini tidak termasuk dalam kategori
ibadat utama, namun upacara ini tetap sebagai upacara yang harus dilakukan apabila seseorang terkena dengan peraturan atau hukum yang ada. Ada dua hal
yang melatarbelakangi perlunya seseorang disucikan melalui upacara manganggir. Pertama, karena dengan kesadaran sendiri berpindah agama dari suatu agama lain
kepada agama Malim. Kedua, karena disebabkan murtad meninggalkan agama Malim tetapi kemudian kembali memeluk agama itu.
Upacara manganggir merupakan sebuah proses yang harus ditempuh seseoang untuk menjadi penganut agama Malim yang sah dimana secara jasmani
dan rohani harus dibersihkan disucikan. Ketentuan demikian berlaku terhadap seseorang yang berasal dari luar agama Malim sedangkan bagi penganut agama
Malim yang meninggalkan agama Malim dan kemudian ingin kembali menjadi penganut agama Malim yang sah. Tetap juga harus mengikuti upacara manganggir
sama seperti seseorang yang belum pernah masuk menjadi penganut agama Malim sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
4.3.8. Pelean dalam Upacara Agama
Secara harfiah, arti pelean dalam bahasa Batak ialah sesaji, sedangkan dalam istilah agama Malim, pelean adalah suatu persembahan yang ditujukan
kepada sang supranatural yang dalam hal ini adalah “si pemilik kerajaan malim di Banua Ginjang” dan “si pemilik kerajaan malim di Banua Tonga” dengan
mempersembahkan beberapa macam benda yang masuk dalam kategori sesaji pelean dan beberapa macam jenis makanan yang kesemuanya diantarkan melalui
doa-doa. Karena itu, pelean merupakan bagian yang integral dalam upacara agama. Makanya, tidak ada satupun upacara agama yang tidak menyertakan persembahan
sesaji. Jika ada upacara agama tanpa mempersembahkan sesaji, maka upacara agama itu dianggap tidak sah atau tidak bermakna apa-apa.
Kedudukan sesaji dalam setiap upacara agama hampir sama derajatnya dengan doa-doa. Tidak ada sesaji yang tidak diantarkan dengan doa-doa. Demikian
juga sebaliknya, tidak ada doa-doa yang tidak menyertakan persembahan sesaji. Maknanya, dalam agama Malim tidak ada persembahan sesaji di luar upacara
agama yang ditujukan kepada begu hantu dan dilaksanakan di pinggir-pinggir jalan, gua-gua dan tempat-tempat lainnya Gultom: 2010;309.
Ada dua macam benda yang masuk dalam kategori sesaji yang digunakan dalam setiap upacara agama. Yang pertama adalah sesaji yang berupa peralatan
upacara yang terdiri dari pangurason dan pardaupaan. Kedua macam peralatan ini dianggap sebagai sesaji yang utama meski yang paling sederhana dan tidak boleh
tidak ada dalam setiap upacara agama. Yang kedua adalah sesaji yang berupa makanan yang terdiri dari nasi, ayam, daging kambing, kerbau, ikan, sayur-
sayuran, buah-buahan dan beberapa macam makanan lainnya. Kelompok sesaji
Universitas Sumatera Utara
yang pertama biasanya disajikan pada saat upacara agama mararisabtu, martutuaek, mangan na paet khusus di parsantian, mamasumasu dan
manganggir, sedangkan kelompok sesaji yang kedua dipersembahklan pada waktu upacara pasahat tondi, mardebata, sipaha sada, dan sipaha lima. Khusus untuk
upacara agama mardebata dan sipaha lima ada yang bernama pelean langgatan dan pelean mombang.
4.3.9. Tortor dalam Upacara Agama
Arti tortor dalam bahasa Batak adalah “tarian”, tetapi bentuk tarian yang dimaksudkan disini adalah tarian khas orang Batak. Ulupunguna Medan amang
Simanjuntak megatakan bahwa: “tortor dalam upacara agama Malim termasuk bagian yang
penting dalam upacara agama terutama yang menggunakan persembahan gendang. Tidak ada tortor kalau tidak ada gendang,
demikian juga sebaliknya bahwa tidak ada gendang kalau tidak ada tortor. Tortor itu sendiri dalam upacara agama sama dengan
gendang yang berfungsi sebagai perantara untuk menyampaikan niat dan suara hati masing-masing peserta kepada Debata Mulajadi
Nabolon. Dari gerak tortor itu akan tergambar bagaimana suasana hati seseorang dalam mengabdikan diri kepada-Nya. Jika keadaan
jiwanya penuh dengan arsak kesusahan hati, jelas akan tampak dalam lakon tortor itu kurang bergairah. Itu berarti bahwa kekuatan
batin dan ketulusan hatinya dalam mengikuti upacara kurang mantap dan kurang ikhlas. Berbeda dengan orang yang tampak
gerak tortor-nya sangat bergairah dan menunjukkan sikap kegembiraan, itu bermakna bahwa orang bersangkutan telah
mempersiapkan diri secara fisik dan mental termasuk kesiapan rohani seperti kesabaran dan keikhlasan”.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.3.9 : Muda-Mudi Manortor Menari
Dalam setiap manortor menari tentu harus berdiri dan tidak ada manortor yang pelaksanaannya duduk apalagi tidur. Meskipun ada orang yang menggerakkan
badannya pada saat seseorang manortor, gerakan itu bukan disebut manortor melaqinkan manatea yaitu suatu gerakan yang hanya menggerak-gerakkan sepuluh
jarinya. Maksudnya adalah untuk memberikan perhatian kepada orang yang sedang menari dan supaya terlihat lebih sempurna.
4.4. Dalam Bidang Sosial