Tipe dan Pendekatan Penelitian Penentuan Informan informan kunci informan biasa Tabel: Data Umum Kecamatan Medan Denai 2. Tabel: Pelayanan Umum Kecamatan Medan Denai Tabel:Potensi Sumber Daya Manusia 6. Tabel: Mata Pencaharian Pokok Tabel: Penduduk Berd

2. Tipe dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk memaparkan gejala sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dengan mengkaji strategi adaptasi yang diterapkan oleh suku bangsa Batak Toba yang menganut Ugamo Malim atau Parmalim di kota Medan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian, berupa data primer dan data sekunder. Data apapun yang hendak dikumpulkan dalam suatu penelitian, akan diperoleh melalui metode-metode tertentu, pada sumber-sumber tertentu dan dengan menggunakan alat atau instrumen tertentu, yang dipilih berdasarkan pada berbagai faktor tertentu jenis data dan ciri informasi yang didapat maka metode yang digunakan tidak selalu sama untuk setiap informa, Faisal 1989:51 jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua yaitu data primer dan data sekunder. Untuk mendapat data tersebut peneliti menggunakan teknik pengumpul data melalui:

a. Field research penelitia lapangan untuk data primer

Yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan di lapangan dalam hal ini pengumpulan data yang ada di kota Medan yang berpusat di Kelurahan Binjai- Kecamata Medan Denai. Adapun teknik pengumpulan datanya dengan cara: • Observasi langsung Universitas Sumatera Utara Yaitu peneliti turun langsung kelapangan melakukan pengamatan terhadap bagaimana strategi adaptasi penganut Ugama Malim untuk mempertahankan eksistensi agamanya, bagaimana menjalankan ibadah keagamanya, bagaimana kehidupan sosial-budaya dan ekonomi Parmalim di kota Medan. • Wawancara mendalam Bertujuan untuk mengumpulkan keterangan dari proses tanya-jawab langsung. Untuk melengkapi wawancara ini maka digunakan daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya disebut dengan pedoman wawancara intervieu guide

b. Library research telaah kepustakaan untuk data sekunder

Yaitu cara memperoleh data yang di peroleh melalui studi keputakaan. Dalam penelitian ini kajian pustaka dilakukan untuk mendapatkan data yang bersifat teoritis, asas-asas, konsepsi, jurnal, tulisan dan catatan lainya yang berhubungan dengan topik penelitian.

4. Penentuan Informan

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah masyarakat Batak Toba yang menganut Ugamo Malim atau Parmalim dan masyarakat yang dapat memberikan informasi terkait dengan masalah yang diketahui. Peneliti membagi dua tipe informan yaitu informan kunci dan informan biasa.

1. informan kunci

Orang yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman luas tentang keberadaan Parmalim yang telah diakui oleh penganut Ugamo Malim di Medan dan masih aktif dalam kepengurusan Ugamo Malim yaitu ulupunguan, bendahara dan sekretraris agama Malim di Medan. Universitas Sumatera Utara

2. informan biasa

Merupakan orang-orang yang dapat memberikan informasi yang terkait dengan masalah yang diteliti untuk melengkapi data yang sudah ada. Informan biasa dimaksud adalah orang-orang yang terlibat dan mengetahui tentang kegiatan Ugamo Malim.

5. Teknis Analisis Data

Setelah penelitian lapangan selesai dikerjakan, keseluruhan data yang di pilih dikumpulkan terlebih dahulu untuk diperiksa kembali, untuk mengetahui apakah semua data yang diperlukan sudah memadai dan telah lengkap dan jelas. Setiap informasi yang didapat, direkam dalam bentuk catatan lapangan, baik itu data utama berupa hasil wawancara maupun dari data penunjang lainya. Setelah seluruh data terkumpul, maka dilakukan analisa data dan interpretasi data dengan mengacu pada data tinjauan pustaka. Sedangkan hasil observasi diuraikan dan dinarasikan untuk memperkaya hasil wawancara sekaligus melengkapi data. Berdasarkan data yang diperoleh diinterpretasikan untuk menggambarkan dengan jelas keadaan yang ada melalui kalimat. Selanjutnya dikategorikan secara sistematis sehingga pada hasil akhir dari keseluruhan penelitian mempunyai arti yang tertuang dalam bentuk karya tulis ilmiah. Universitas Sumatera Utara

BAB II. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 2.1. Gambaran Umum Kota Medan

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera Utara, Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah. Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang asa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2007 diperkirakan telah mencapai 2.083.156 jiwa. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional asional.

2.2. Kota Medan Secara Geografis

Secara umum ada 3 tiga faktor utama yang mempengaruhi kinerja pembangunan kota, 1 faktor geografis, 2 faktor demografis dan 3 faktor sosial ekonomi. Ketiga faktor tersebut biasanya terkait satu dengan lainnya, yang secara simultan mempengaruhi daya guna dan hasil guna pembangunan kota termasuk pilihan-pilihan disesuaikan dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah 20 Universitas Sumatera Utara administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66IIIPSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 1402271PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Kelurahan. Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.222772.K1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefisitan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan administrative ini, kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan secara sosial - ekonomis akibat penanaman modal investasi. Secara administratif, wilayah kota medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan Timur. Sepanjang wilayah Utara nya berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Universitas Sumatera Utara Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam SDA, Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya. Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Maka kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang pintu masuk kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun kuar negeri ekspor - impor. Posisi geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat kota Medan saat ini. 2.3. Kota Medan Secara Demografis Penduduk Kota Medan memiliki ciri majemuk yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman plural adapt istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Secara Demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fikir masyarakat dan Universitas Sumatera Utara perubahan social ekonominya. Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian. Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak factor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun. Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai dinamika social yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. Menurunnya tingkat kelahiran fertilitas dan tingkat kematian mortalitas, meningkatnya arus perpindahan antar daerah migrasi dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik commuters, mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Universitas Sumatera Utara

2.4. Kota Medan Secara Kultural

Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan telah memiliki keragaman suku etnis, dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai–nilai budaya tersebut tentunya sangat menguntungkan, sebab diyakini tidak satupun kebudayaan yang berciri menghambat kemajuan modernisasi, dan sangat diyakini pula, hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragaman suku, tarian daerah, alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di Kota Medan. Adanya prularisme ini juga merupakan peredam untuk munculnya isu-isu primordialisme yang dapat mengganggu sendi-sendi kehidupan sosial. Oleh karenanya, tujuannya, sasarannya, strategi pembangunan Kota Medan dirumuskan dalam bingkai visi, dan misi kebudayaan yang harus dipelihara secara harmonis.

2.5. Kota Medan Secara Sosial

Kondisi sosial yang terbagi atas pendidikan, kesehatan, kemiskinan, keamanan dan ketertiban, agama dan lainnya, merupakan faktor penunjang dan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi Kota Medan. Keberadaan sarana pendidikan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya, merupakan sarana vital bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan hak dasarnya yaitu hak memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya . Demikian juga halnya dengan kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan salah satu masalah utama pengembangan kota yang sifatnya kompleks dan multi Universitas Sumatera Utara dimensional yang penomenanya di pengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain : tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, lokasi, gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan bukan lagi dipahami hanya sebatas ketidak mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat .

2.6. Kecamatan Medan Denai

Kecamatan Medan Denai terletak di wilayah Tenggara Kota Medan dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medan Kota dan Kecamatan Medan Area. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Amplas. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Tembung. Dengan luas wilayah kecamatan Medan Denai 11,19 KM² Kecamatan Medan Denai adalah wilayah Timur Kota Medan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Deli Serdang., dengan penduduknya berjumlah 137.690 jiwa tahun 2006. Daerah ini pada dahulunya adalah bekas perkebunan Tembakau Deli yang amat terkenal itu. Karena merupakan daerah pengembangan maka di Kecamatan Medan Denai ini banyak terdapat usaha Agrobisnis seperti Pengolahan Kopi. Potensi dan Produk Unggulan dari Kecamatan ini berupa Produksi Sepatu dan Sandal, Produksi Moulding dan Bahan Bangunan, Produksi Sulaman Bordir. Universitas Sumatera Utara 2.7. Potensi Wilayah 2.7.2. Data Umum Kecamatan Medan Denai sebagai sebuah kecamatan bagian dari kota Medan dengan luas wilayah 9.827 km 2 . Dengan luas wilayah yang demikian kecamatan Medan Denai dihuni 144.768 jiwa penduduk pada tahun 2008. Jumlah penduduk yang demikian terbagi dalam enam kelurahan dan 82 lingkungan. Salah satunya adalah kelurahan Binjai dengan luas wilayah 414 Ha terbagi dalam 13 lingkungan dengan total jumlah penduduk 47.344 jiwa. Masing-masing lingkungan dalam kecamatan Medan Denai dihubungkan dengan jalan aspal sepanjang 93.95 Km. Data umum kecamatan Medan Denai dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.7.1 : Data Umum Kecamatan Medan Denai No Data Umum Keterangan 1 Luas 9.827 km² 2 Jumlah Kelurahan 6 kelurahan 3 Jumlah Penduduk 144.768 jiwa 4 Panjang Jalan Aspal 93,95 km 5 Jumlah Lingkungan 82 Lingkungan Sumber Data: Kantor Camat Medan Denai

2.7.2. Pelayanan Umum

Dalam memenuhi kebutuhan penduduk Kecamatan Medan Denai pemerintah Kotamadya Medan menyediakan pelayanan umum yang dapat dinikmati semua lapisan masyarakatnya. Kebutuhan berupa pelayanan umum Universitas Sumatera Utara tersebut merupakan suatu keharusan bagi masyarakat. Di mana semakin banyaknya pelayanan umum yang diberikan pemerintah kepada warganya menunjukkan bahwa daerah tersebut adalah daerah yang maju dan tergolong makmur penduduknya. Adapun berbagai pelayanan yang diberikan adalah berupa air bersih. Jika dilihat dari persentasenya adalah sebesar 66,19 yang dapat digunakan penduduk untuk keperluan minum, cuci, mandi dan sebagainya. Untuk keperluan listrik pemerintah memberikan pelayanan sebesar 91,50. Pelayanan listrik yang demikian maksimal sangat membantu penduduk dalam melakukan berbagai aktivitas yang berhubungan dengan penggunaan barang- barang elektronik. Untuk mempermudah masyarakat dalam melakukan hubungan jarak jauh pemerintah menyediakan telepon umum dengan penyediaan keperluan sebesar 33,50. Pemerintah juga menyediakan 10 porsil lapangan olahraga. Pelayanan ini dapat dinikmati oleh semua warganya yang dapat digunakan sebagai sarana pengembangan bakat dalam bidang olahraga. Selain itu penyediaan lapangan 10 porsil ini akan merangsang minat warganya untuk tetap berolahraga khususnya generasi muda. Dalam menjalankan ibadahnya pemerintah mendirikan 133 unit rumah ibadah. Dengan penyediaan rumah ibadah sebanyak ini dapat menunjukkan masyarakat kecamatan Medan Denai yang majemuk dan religius. Pemerintah juga menyediakan sarana pelayanan umum di bidang kesehatan berupa 1 unit rumah sakit dan 4 unit Puskesmas yang dapat dinikmati setiap warganya. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.7.2 : Pelayanan Umum Kecamatan Medan Denai No Jenis Pelayanan Keterangan 1 Air Bersih 66,29 2 Listrik 91,50 3 Telepon 33,50 4 Gas 24,60 5 Lapangan Olahraga 10 persil 6 Rumah Ibadah 133 unit 7 Rumah Sakit 1 unit 8 Puskesmas 4 unit Sumber Data: Kantor Camat Medan Denai

2.7.4. Pendidikan

Pelayanan dibidang pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat diperlukan setiap individu untuk mencapai sumber daya manusia yang potensial dan mampu bersaing sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Untuk keperluan pendidikan warganya pemerintah menyediakan SDsederajat 44 unit, SLTPsederajat 15 unit, SMUsederajat 16 unit. Dan terdapat juga jenis pendidikan tingkat akademik sebanyak 3 unit. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.7.3 : Sarana Pendidikan Kecamatan Medan Denai No Jenis Pendidikan Keterangan 1 SD Sederajat 44 unit 2 SLTP Sederajat 15 unit 3 SMU Sederajat 16 unit 4 Akademi 3 unit 5 Universitas - Sumber Data: Kantor Camat Medan Denai 2.8. Kelurahan Binjai 2.8.1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Pada tabel berikut ini dapat terlihat secara terperinci pemanfaatan wilayah dengan penggunaan luas wilayah yang sangat efesien dalam pengunaan lahan dalam tata ruang daerah perkotaan. Dimana luas daerah pemukiman lebih luas dari luas wilayah lainya yakni 300 ha. Dengan luas wilayah pemukiman yang demikian dibarengi dengan luas wilayah persawahan seluas 0,20 ha, sebagai lahan persawahan yang dapat dimanfaatkan sebagian kecil masyarakatnya. Adapun jenis daerah persawahan yang dikelola oleh masyarakat di Kelurahan Binjai adalah merupakan daerah persawahan yang pasang surut dimana musim tanam yang dilakukan para petani adalah dua kali tanam dalam setahun. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.8.1 : Luas Wilayah Menurut Penggunaan No Penggunaan Luas 1 Luas Pemukiman 300 Ha 2 Luas Persawahan 0,20 Ha 3 Luas Kuburan 0,07 Ha 4 Luas Pekarangan 0,60 Ha 5 Luas Taman 0,05 Ha 6 Luas Daerah perkantoran 0,30 Ha 7 Luas Prasarana umum lainnya 0,02 Ha Total luas wilayah 414 Ha Sumber Data: Buku Profil Kelurahan Binjai Tahun 2008 Menurut informasi yang diperoleh penulis penggunaan lahan pertanian di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai semakin lama semakin berkurang, hal tersebut dimungkinkan terjadi seiring dengan berkembangnya pengelolaan tata ruang kota Medan menuju kota metropolitan. Sehingga tidak sedikit jumlah penduduk yang mengalihkan daerah persawahan menjadi daerah pemukiman. Ada juga sebagian peduduk yang memilih lahan pertanianya dijual untuk keperluan lain, seperti untuk keperluan pendidikan anak dan kebutuhan lainya. Universitas Sumatera Utara

2.8.5. Potensi Sumber Daya Manusia

Pada tabel berikut ini dapat diketahui bahwa keluraham Binjai Kecamatan Medan Denai merupakan penduduk yang sangat sadar akan pentingnya pendidikan dengan terdapatnya jumlah tamatan SMA sederajat sebanyak 3984 orang laki-laki dan 4244 orang perempuan. Selain penduduk tamatan SMA tedapat juga penduduk yang sudah menempug perguruan tinggi dengan jumlah penduduk yangsudah memperoleh gelas S-1 sederajat sebnyak 866 orang laki-laki dan 622 orang perempuan. Terdapat juga penduduk yang sudah memperoleh gelar S-2 sederajat, jumlah laki-laki sebanyak 145 orang dan 131 orang perempuan dan tamatan S-3 sederajat, laki-laki sebanyak 22 orang dan 13 orang perempuan. Berdasarkan data yang diperoleh tersebut umlah penduduk tamatan SMA sederajat berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki , dengan selisih perbandingan sebanyak 260 orang perempuan. Sementara hal tersebut berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Berdasarkan data yang terlihat di atas jumlah penduduk laki-laki yang melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi lebih banyak dari jumlah perempuan. Tabel 2.8.2 : Potensi Sumber Daya Manusia No Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan 1 Usia 3-6 tahun yang belum masuk TK 879 Orang 906 Orang 2 Usia 3-6 tahun yang sedang TKPlay Group 669 Orang 750 Orang 3 Usia 7-17 tahun yang tidak pernah sekolah 405 Orang 424 Orang 4 Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah 2681 Orang 2777 Orang Universitas Sumatera Utara 5 Usia 18-56 tahun yang tidak pernah sekolah 430 Orang 702 Orang 6 Usia 18-56 tahun pernah SD tetapi tidak tamat 907 Orang 710 Orang 7 Tamat SD sederajat 2030 Orang 2064 Orang 8 Jumlah usia 12-56 tahun tidak tamat SLTA 1747 Orang 1809 Orang 9 Jumlah usia 18-56 tahun tidak tamat SLTA 1073 Orang 1356 Orang 10 Tamat SMP sederajat 1747 Orang 1809 Orang 11 Tamat SMA sederajat 3984 Orang 4244 Orang 12 Tamat D-I sederajat 318 Orang 192 Orang 13 Tamat D-II sederajat 105 Orang 101 Orang 14 Tamat D-III sederajat 181 Orang 202 Orang 15 Tamat S-1 sederajat 866 Orang 662 Orang 16 Tamat S-2 sederajat 145 Orang 131 Orang 17 Tamat S-3 sederajat 22 Orang 13 Orang 18 Tamat SLB A 3 Orang 4 Orang 19 Tamat SLB B 1 Orang 1 Orang 20 Tamat SLB C 1 Orang 1 Orang J u m l a h 17686 Orang 18461 Orang J u m l a h T o t a l 36147 Orang Sumber Data: Buku Profil Kelurahan Binjai Tahun 2008 Universitas Sumatera Utara

2.8.6. Mata Pencaharian Pokok

Berdasarkan data pada tabel dibawah ini jenis pekerjaan yang paling banyak dilakukan masyarakat adalah karyawan perusahaan swasta dengan rincian laki-laki sebanyak 1353 orang dan perempuan sebanyak 756 orang, diikuti dengan jumlah penduduk yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil 625 orang laki-laki dan perempuan 442 orang dan jumlah penduduk yang berprofesi sebagai pengusaha kecil dan menengah sebanyak 598 orang laki-laki dan 292 orang perempuan. Dengan melihat uraian data penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian pokok dapat diperoleh gambaran bahwa penduduk kelurahan Binjai kecamatan Medan Denai adalah penduduk yang sudah tersepeialisasi berdasarkan keahlian masing- masing yang diperoleh dalam memperoleh jenis pekerjaan yang diminati Tabel 2.8.3 : Mata Pencaharian Pokok No Mata Pencaharian Laki-laki Perempuan 1 Petani 43 Orang 45 Orang 2 Buruh migrant 82 Orang 66 Orang 3 Pegawai Negeri Sipil 625 Orang 442 Orang 4 Pengrajin Industri Rumah Tangga 134 Orang 89 Orang 5 Pedagang Keliling 265 Orang 87 Orang 6 Peternak 24 Orang - 7 Montir 60 Orang 6 Orang 8 Dokter Swasta 20 Orang 9 Orang 9 Bidan Swasta - 36 Orang 10 Perawat Swasta 2 Orang 27 Orang 11 Pembantu Rumah Tangga 39 Orang 328 Orang 12 TNI 34 Orang 3 Orang 13 POLRI 313 Orang 19 Orang 14 Pensiunan PNSTNIPOLRI 342 Orang 142 Orang 15 Pengusaha kecil dan menengah 598 Orang 292 Orang Universitas Sumatera Utara 16 Pengacara 3 Orang - 17 Notaris 1 Orang 1 Orang 18 Dukun Kampung Terlatih 2 Orang 3 Orang 19 Jasa Pengobatan Alternatif 7 Orang 6 Orang 20 Dosen Swasta 34 Orang 23 Orang 21 Arsitektur 3 Orang - 22 SenimaArtis 3 Orang - 23 Karyawan Perusahaan Swasta 1353 Orang 756 Orang 24 Karyawan Perusahaan Pemerintah 214 Orang 86 Orang 25 Pendeta 4 Orang - Orang 26 Buruh Kasar 46 Orang 14 Orang 27 Wiraswasta 302 Orang 1471 Orang 28 Jasa dan lain-lain 728 Orang 618 Orang J u m l a h T o t a l P e n d u d u k 8 5 1 0 O r a n g Sumber Data: Buku Profil Kelurahan Binjai Tahun 2008

2.8.7. Berdasarkan Etnis

Bedasarkan pada tabel pengelompokan penduduk menurut etnis dapat dilihat data yang menunjukkan jumlah penduduk terbanyak adalah etnis Batak, yang berjumlah laki-laki sebanyak 9657 orang dan perempuan sebanyak 10616 orang. Dan etnis terbanyak peringkat kedua adalah etnis jawa sebanyak 5028 orang laki-laki dan permpuan 5282 orang. Dari data dapat pula dilihat hampir setiap jumlah perbandingan penduduk berdasarkan jenis kelamin, dimana jumlah penduduk perempuan cenderung lebih banyak dari jumlah perempuan. Data jumlah penduduk menurut etnis tersebut juga menunjukkan bahwa terdapat berbagai macam etnis yang berbeda heterogen dengan latar belakang budaya yang berbeda pula. Dengan kondisi kemajemukan etnis yang demikian Universitas Sumatera Utara maka sangatlah tepat mengkaji strategi adaptasi penganut agama Malim dalam mempertahankan eksistensi agama yang mereka miliki yaitu agama Malim khususnya di kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai dan di kota Medan secara umum. Tabel 2.8.4 : Penduduk Berdasarkan Etnis No Etnis Laki-laki Perempuan 1 Aceh 405 Orang 472 Orang 2 Batak 9657 Orang 10616 Orang 3 Nias 509 Orang 502 Orang 4 Melayu 1487 Orang 1636 Orang 5 Minang 4778 Orang 5601 Orang 6 Betawi 58 Orang 67 Orang 7 Sunda 175 Orang 243 Orang 8 Jawa 5028 Orang 5284 Orang 9 Madura 31 Orang 42 Orang 10 Bali 3 Orang 3 Orang 11 Banjar 329 Orang 337 Orang 12 Bugis 11 Orang 17 Orang 13 Makasar 14 Orang 21 Orang 14 Ambon 2 Orang 2 Orang 15 Flores 4 Orang 7 Orang 16 Cina 2 Orang 3 Orang J u m l a h 22493 Orang 24851 Orang Universitas Sumatera Utara Sumber Data: Buku Profil Kelurahan Binjai Tahun 2008

2.8.5. Berdasarkan Agama

Sebagai negara yang besar Indonesia merupakan negara yang memiliki masyarakat yang majemuk. Kemajemukan tersebut dapat dilihat dengan adanya perbedaan-perbedaan yang jelas dan dapat membedakan diantara mereka masyarakat Indonesia salah satu dari kemajemukan yang dimiliki Bangsa Indonesia adalah kemajemukan dibidang agama. Di Indonesia ada lima agama yang diakui oleh negara yaitu: agama Islam sebagai agama yang terbanyak penganutnya, agama Kristen, agama Katolik, agama Hindu, dan agama Budha, serta ditambah dengan agama Konghuchu yang belakangan ini diakui dan diahkan keberadaanya di Indonesia sebagai agama. Keenam agama tesebut adalah agama “pendatang” di bumi nusantara Indonesia selain dari agama pendatang trersebut, Bangsa Indonesia sudah sejak dulu kala telah mempunyai agama tradisional yang lahir dari ibu pertiwi bangsa Indonesia salah satrunya adalah agama Malim yang dimiliki oleh suku bangsa Batak Toba yang berpusat di kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasamosir. Agama Malim tersebut masih tetap dipertahankan oleh pengikutnya yang disebut Parmalim secara turun-temurun hingga saat ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun di Indonesia dijumpai kemajemukan dalam beragama, bukan berarti hubungan antar agama yang satu dengan agama yang lainya menjadi tidak harmonis. Realita ini dapat dilihat pada acara hari besar keagamaan tertentu yang tidak hanya di hadiri oleh penduduk agama yang bersangkutan, akan tetapi juga dihadiri oleh pemeluk agama yang lain. Universitas Sumatera Utara Demiklian juga dengan agama Malim sebagai agama yang minoritas tetap bisa berdampingan dengan agama mayoritas dan telah diakui keberadaanya oleh negara. Kondisi diatas juga terlihat di kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai, dimana perbedaan dalam hal beragama bukanlah sebagai alat untuk membeda- bedakan warganya melainkan dijadikan sebagai sarana untuk memperkaya budaya bangsa. Tabel 2.8.5 : Penduduk Berdasarkan Agama No Agama Laki-laki Perempuan 1 Islam 14031 Orang 14621 Orang 2 Kristen 6452 Orang 7825 Orang 3 Katolik 856 Orang 954 Orang 4 Hindu 26 Orang 37 Orang 5 Budha - - 6 Konghuchu - - 7 Kepercayaan Kepada Tuhan YME 4 Orang 4 Orang 8 Ajaran Kepercayaan lainnya 3 Orang 4 Orang J u m l a h 21372 Orang 23445 Orang Sumber Data: Buku Profil Kelurahan Binjai Tahun 2008 Seperti yang terlihat pada tabel di atas bahwa agama yang paling banyak penganutnya di kelurahan Binjai yaitu agama Islam denngan jumlah penganut terbanyak yaitu 14.031 orang laki-laki dan 14.621 orang perempuan. Kemudian diikuti dengan agama Kristen, Katolik dan Hindu. Sementara agama Budha dan Universitas Sumatera Utara agama Konghuchu tidak mempunyai penganut walaupun agama ini merupakan agama resmi yang keberadaanya telah diakui oleh negara. Akan tetapi selain dari adanya ke enam agama tersebut di kelurahan Binjai terdapat juga Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan jumlah penganut laki-laki 4 orang dan perempuan 4 orang dengan total penganut 8 orang. Dan terdapat juga Aliran Kepercayaan Lainya dengan jumlah penganut laki-laki 3 orang dan perempuan 4 orang dengan total jumlah penganut 7 orang. Ahmad Efendi seorang staff kelurahan menyatakan bahwa: jumlah penduduk yang terdaftar sebagai pemeluk Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Aliran Kepercayaan yang berjumlah 15 orang adalah penganut agama Malim. Lebih lanjut Ahmad Efendi menjelaskan perbedaan pilihan yang dilakukan oleh penganut agama Malim terhadap dua jenis kepercayaan tersebut adalah atas keinginan mereka untuk dicantumkan status keagamaan yang dianut pada kolom agama KTP. Berdasarkan informasi yang di peroleh peneliti dai pihak kelurahan bahwa agama tradisional yang ada di kelurahan Binjai kecamatan Medan Denai hanyalah agama Malim. Adapun alasan pemilihan penganut agama Malim untuk memilih mencantumkan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esapada kolom agama KTP, menurut Supano seorang staff kelurahan Binjai yang menangani kepengurusan KTP menyatakan: “adanya pemilihan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk dicantumkan pada kolom agama KTP adalah berdasarkan keinginan Parmalim itu sendiri. Hal ini mereka lakukan sejak diberlakukanya UU No. 23 tahun 2006 tentang Undang- Undang Administrasi kependudukan. Dengan adanya Undang- Undang tersebut Parmalim Memperoleh kesempatan dicatatkan sebagai warga negara Republik Indonesia melalui kantor catatan sipil, namun mereka tidak diberikan pengakuan sebagai agama”. Universitas Sumatera Utara Lebih lanjut Supano menjelaskan: “sebelum diberlakukanya UU NO. 23 tahun 2006 yang mengatur tentang administrasi kependudukan, penganut agama Malim lebih memilih untuk dicantumkan tanda “-“ pada kolom KTP yang mereka miliki. Jumlah penduduk yang menggunakan tanda “-“ pada kolom agama KTP berdasarkan data kelurahan disebut dengan Aliran Kepercayaan Lainya, namun yang sebenarnya mereka adalah Parmalim. Namun walaupun telah diberlakukan UU No. 26 yang telah memberikan kesempatan kepada Parmalim untuk memilih Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa agar dicantumkan pada kolom agama KTP yang mereka miliki, hingga saat ini masih terdapat penganut agama Malim yang memilih mengunakan mencantumkan tanda “-“ pada kolom agama KTP yang dimilikinya”. Universitas Sumatera Utara BAB. III. KEBERADAAN PENGANUT AGAMA MALIM DI KOTA MEDAN Keberadaan penganut agama Malim, tentu tidak dapat dipisahkan dari ajaran dan sumber hukum yang dijalankan di kota Medan. Menurut ulupunguan Parmalim sekota Medan amang Simanjuntak jumlah Parmalim saat ini kurang lebih 40 kk jika diasumsikan 1 kk terdiri dari 4 orang maka jumlah Parmalim sekota Medan sebanyak 160 jiwa. Menurut penganut agama Malim ajaran agama Malim tersebut berasal dari Debata Mulajadi Nabolon dan sebagian lagi berasal dari para Malim Debata. Semua ajaran agama yang diperoleh dibagi menjadi empat jenis yaitu: tona pesan, poda sabda, patik peraturan dan uhum hukum. Sebagian ajaran itu tercantum dalam pustaha habanaron yaitu semacam kitab suci atau kumpulan peraturan-peraturan yang isinya mengatur hubungan antara manusia dengan Debata dan hubungan manusia dengan sesamanya. Sejak zaman dahulu istilah ugamo atau agama telah dikenal dalam bahasa Batak. Istilah tersebut bukanlah yang baru muncul di kalangan orang Batak. Menurut istilah agama Malim, ugamo atau agama adalah jalan perjumpaan antara manusia dengan Debata melalui sesaji yang bersih dan suci dalam perdomuan ni hajolmaon tu Debata marhite pelean na ias orang yang masuk dalam agama Malim disebut parugamo Malim pengikut ugamo Malim yang sering disingkat dengan parmalim penganut agama Malim. Dengan demikian Parmalim berarti orang-orang yang menuruti ajaran Malim atau kehidupan Malim yang diwujudkan dengan pengumpulan ramuan benda-benda pelean sesaji berdasarkan pada ajaran Debata Mulajadi Nabolon. 40 Universitas Sumatera Utara

3.1. Peresmian Agama Malim

Beberapa ratus tahun sebelum agama Islam dan Kristen datang ke Tanah Batak dan sebelum agama Malim resmi ada, kepercayaan dan ajaran keagamaan Malim, dibawa oleh suruhan atau utusan Debata Mulajadi Nabolon. Suruhan Debata yang membawa ajaran keagaman itu dinamakan malim Debata. Ada empat orang yang tercatat sebagai malim yang diutus Debata khusus kepada suku bangsa Batak, yaitu Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja, da Raja Nasiakbagi. Empat orang Malim. Debata ini diyakini sebagai manusia terpilih dari tengah-tengah suku bangsa Batak. Mereka diutus untuk membawa berita keagamaan kepada suku bangsa Batak secara bertahap selama kurun waktu lebih kurang 400 tahun Gultom, 2010:92. Akan tetapi pada masa Raja Uti, Simarimbulubosi dan Sisingamangaraja, ajaran keagamaan itu belum dibungkus dalam sebutan nama agama. Atau lain perkataan bahwa ajaran itu belum resmi menjadi sebuah agama. Ia hanya sebuah bentuk kepercayaan yang di dalamnya ada amalan-amalan ritual sebagai sarana tali penghubung antara manusia dengan Debata dan supranatural lainnya. Semua mereka yang tercatat sebagai Malim Debata itu disebut sebagai orang yang memiliki harajaon malim kerajaan malim di Banua Tonga bumi ini. Kerajaan malim yang mereka pegang itu diyakini dalam agama Malim berasal dari Debata Mulajadi Nabolon. Raja Uti sebagai malim Debata yang petama adalah seorang pemimpin umat yang kharismatis dan disegani di zamannya. Dia tampil di tengah-tengah suku Batak ketika masyarakatnya pada satu masa itu dalam keadaan chaos yang ditandai dengan terjadinya pertelingkahan dan kekacauan sosial sesama suku bangsa Batak. Universitas Sumatera Utara Di samping itu suku Batak ketika itu mengalami guncangan kepercayaan kepada Debata Mulajadi Nabolon dengan mengubah kepercayaannya kepada sipalebegu menyembah ruh-ruh atau boleh juga disebut berpaham animisme. Di kala itulah dia muncul sebagai Malim Debata dengan tujuan menyelamatkan manusia dari kesesatan dan mengembalkan kepercayaan untuk menyembah kepada Debata Mulajadi Nabolon. Dialah yang pertema membentuk ajran “marsuhi ni ampang na opat” ampang yang bersegi empat atau SUSANO yang terdiri dari tona, poda, patik, dan uhum yang diyakini ajaran itu telah ada di Banua Ginjang sebelum diturunkan ke bumi ini. Pendek kata, kehadiran dari Raja Uti di tengah-tengah masyarakat Batak membawa misi untuk mengembalikan suku bangsa Batak supaya berketuhanan sekaligus memberikan pedoman hidp kepada masyarakat Batak. Beberapa lama setelah itu, Debata mengutus Tuhan Simarimbulubosi sebagai malim yang kedua untuk melanjutkan ajaran yang dibawa oleh Raja Uti. Kedatangannya adalah untuk memantapkan keimanan suku bangsa Batak agar tetap berketuhanan kepada Debata Mulajadi Nabolon. Bagi agama Malim, kehadiran Simarimbulobosi pada masa itu diyakini adalah berkat kasih Debata kepada suku bangsa Batak. Akan tetapi, setelah Simarimbuobosi meninggalkan umatnya pergi menghadap na torasna bapaknya di Banua Ginjang, kekacauan sosial muncul kembali yang sama dahsyatnya dengan kekacauan yang terjadi sebelum Raja Uti didaulat sebagai Malim Debata. Inti penyebabnya adalah karena mereka semakin jauh dari Debata dan berbuat jahat semaunya sehingga masa itu kemudian dikenang sebagai masa lumlam jahiliah. Meskipun demikian Debata masih tetap memberikan kasihnya kepada suku bangsa Batak. Debata mendaulat seorang lagi putra terbaik dari suku Batak sebagai malim-Nya yang ketiga yaitu Universitas Sumatera Utara Sisingamangaraja untuk membina suku bangsa Batak melalui kuasa yang dimilikinya dengan maksud agar umatnya tetap berketuhanan kepada Debata Mulajadi Nabalon. Kehadiran Sisingamangaraja beberapa puluh tahun setelah Simarimbulubosi, tugasnya adalah mengisbatkan adat, patik, dan uhum hukum bagi bangsa Batak sebagai panduan hidup dalam bermasyarakat. Perlu dicatat bahw secara fisik yang bernama Sisingamangaraja berjumlah dua belas orang sehingga untuk penyebutannya dinamakan Sisingamangaraja I hingga XII. Akan tetapi menurut kepercayaan agama Malim bahwa ruh Sisingamangaraja itu hanya satu, karena ruh ada pada diri mereka adalah titisan atau pancaran ruh dari Debata Mulajadi Nabolon. Pada masa Sisingamangaraja XII, penjajah Belanda mulai datang di Tanah Batak. Peperangan berlangsung selama 30 tahun yang disebut dengan perang Batak. Dalam suatu penyerbuan ke tempat persembunyiannya. Sisingamangaraja XII ditembak mati oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Christoffel. Pihak Belanda mengumumkan bahwa Sisingamangaraja XII telah gugur pada 21 Juni 1907. Akan tetapi, menurut kepercayaan agama Malim Sisingamangaraja XII itu bukanlah mati, karena beberapa lama setelah peristiwa penembakan itu, tiba-tiba muncul yang bernama Raja Nasiakbagi yang tersebar di seluruh tanah Batak. Belakangan dipercayai bahwa yang bernama Raja Nasiakbagi itulah sebenarnya Sisingamangaraja yang diyakini sudah berubah nama. Tampilnya sosok misterius Raja Nasiakbagi tentu membawa kesan yang menggembirakan bagi masyarakat Batak pada umumnya dan semakin mempertebal keyakinan bahwa raja mereka Sisingamangaraja tidak benar mati. Namun Universitas Sumatera Utara kehadiran sosok yang bernama Raja Nasiakbagi tidak begitu banyak orang yang mengenalnya, kecuali hanya murid-muridnya. Dia tidak lagi memegang pucuk kekuasaaan kerajaan, melainkan hanya memfokuskan diri kepada pembinaan rohani umatnya yaitu mengajarkan hamalimon keagamaan. Pada suatu ketika, Raja Nasiakbagi memberikan arahan kepada murid-muridnya. Dalam pertemuan itu dia berkata: “malim ma hamu” malimlah kalian. Maksudnya, “Sucilah kamu atau senantiasalah suci dalam keagamaan”. Dengan adanya pengarahan ini, maka sejak itu pulalah ajaran yang dibawanya resmi dan populer disebut agama Malim. Momen pendeklarasian agama ini sesungguhnya bukan saja bermaksud untuk memantapkan keimanan para pengikutnya, tetapi sekaligus menunjukkan kepada dunia luar terutama kepada agama pendatang bahwa kepercayaan dan ajaran yang diwariskan nenek moyang mereka masih tetap eksis. Seperti dimaklumi pada masa itu, kegiatan kristenisasi sudah semakin gencar dan meluas di tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa itu ada kekhawatiran bagi pengikut agama Malim bahwa kehadiran agama Kristen di tanah Batak suatu ketika akan mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup agama Malim pada masa yang akan datang. Setelah Nasiakbagi pergi meninggalkan umatnya, agama Malim diwariskan kepada salah seorang murid setianya yaitu Raja Mulia Naipospos. Dia diserahi tugas mempertahankan dan melanjutkan penyiaran agama Malim untuk masa selanjutnya. Penyerahan mandat itu merujuk kepada pidatonya yang terakhir sekali yang diengar oleh semua murid-muridnya. Di dalam pidato itu Raja Nasiakbagi berkata bahwa “siapa-siapa yang patuh dan taat kepada Raja Mulia, maka samalah artinya kepatuhannya itu kepada saya”. Sejak itu Raja Mulia yang bertindak Universitas Sumatera Utara sebagai penyambung lidah Raja Nasiakbagi dalam mengembangkan agama Malim. Sebelum Raja Mulia Naipospos wafat beliau telah mewariskan tugasnya kepada putranya dan demikian seterusnya berlangsung kepada keturunanya sampai sekarang. Saat ini pimpinan Parmalim adalah Raja Marnangkok Naipospos yang di patuhi dan dihormati oleh seluruh penganut agama Malim Gultom, 2010:95.

3.2. Kondisi Kota Medan Sebelum Kedatangan Penganut Agama Malim

Sejarah perkembangan kota Medan tidak dapat dipisahkan dari perkebunan- perkebunan di sumatera timur pada abad ke -19. pada masa itu, Said Abdullah Bilsagih, yang menjadi ipar dari Sultan Mahmud Perkasa Alamsyah mengajak beberapa pedagang tembakau di Jawa untuk menanam tembakau di tanah Deli, sehingga beberapa pedagang tembakau dari tanah Jawa seperti: Jacobus Nienhuys, Van Der Falk dan Elliot datang kekuala Deli pada tanggal 7 Juli 1863 untuk melakukan ekspedisi dengan menggunakan kapal JOSEPHINE dari Firma Van Leeuwen en Mainz dan Coperation. Pembiayaan ekpedisi ini ditanggung oleh suatu asosiasi di Roterdam yang dipimpin oleh P. Van Den Arend yang tujuan utamanya pada waktu itu adalah untuk menyelidiki adanya kemungkinan serta prospek lain mengenai penanaman tembakau di Deli, sebagai tindak lanjut atas informasi dari Abdullah Bilsagih Sinar, 1991:42 Pada bulan Maret 1864 contoh hasil tembakau Deli dikirim ke Roterdam, ternyata mendapat sambutan hangat karena tembakau Deli tersebut mempunyai kualitas yang sangat baik., maka pembukaan perkebunan di mulai. Untuk mendukung pembukaan perkebunan, pada tahun 1863 Sultan Deli Mahmud Perkasa Alamsyah memberi konsesi tanah 20 tahhun kepada Jacobus Nienhuys Universitas Sumatera Utara lalu pada tahun 1867 konsesi tanah menjadi 99 tahhun. Maka dimulailah babakan baru sejarah moderen kota Medan seiring dengan kemajua perkebunan tembakau Pelzer, 1985:85 Sebelumnya Medan hanyalah sebuah hutan yang ditemukan oleh Guru Patimpus yang dalam bukti sejarah tercatat pada tanggal 1 Juli 1590. dimana yang disebut dengan Medan adalah wilayah yang dialiri oleh dua sungai, yaitu Sungai Deli dan Sungai Babura Meuraxa, 1975:45 Sejak pemberian konsesi tanah secara luas oleh sultan Deli Mahmud Perkasa Alamsyah kepada Jacobus Nienhuys mempercepat pertumbuhan kota Medan di Sumatera bagian timur yang kemudian disebut dengan Parijs Van Sumatera, sebab tiap sudut kota dapat merasakan suasana kota paris dengan arsitektur bangunan dan tata ruang kotanya. Hal ini mendorong mengalirnya pendatang-pendatang dari berbagai bagian daerah di Indonesia Pemko Medan, 1999:2 Cepatnya pertumbuhan penduduk berakibat dari dibukanya pekebunan- perkebunan, kemudian Medan diluaskan wilayah batas kotanya dengan memasukkan tanah perkebunan atas ijin sultan Deli. Pada tahun 1886, Medan secara resmi diberikan status kota Praja negara rijraad oleh pemerintah pusat Berbagai perusahaan perkebunan telah mendirikan kantor di kota, dan usaha-usaha mulai berkembang, misalnya perdagangan, transportasi juga mulai berkembang, Pelly, 1998:77 Belanda mendirikan kantor pusat pemerintahan untuk Sumatera Timur dari bengkalis Riau sumatera Tengah ke Medan dan menjanjikanya ibukota keresidenan Sumatera Timur termasuk Riau pada 3 Maret 1887. karena kota Universitas Sumatera Utara Medan berkembang dengan sangat cepat Belanda memberikan status pemerintahan otonom untuk kota Medan pada april 1909. walikota pertama ditunju7k sembilan tahun kemudian pada 1 April 1918 Meuraxa, 1975:90 sejak saat itu perkembangan kota Medan berrada di tamgan pemerintah kota Praja yang membangun jalan-jalan baru, bangunan gedung, jembatan rumah sakit, pipa air minum, klinik dan listrik. Untuk menampung perluasan kota, Sultan Makmun Al Rasyid memindahkan sebagian tanahnya yang luas menjadi tanah kota pada tahun 1918. semua perkembangan ini dilakukan un+tuk membuat Medan menjadi ibukota yang setimpal bagi sumatera Timur yang bakal menjadi ibukota Sumatera Utara langenberg, 1977:45. Oleh sebab itu sejak akhir abad ke -19 sampai abad 20 kota medan sangat banyak didatangi oleh kelompok pendatang termasuk Penganut agama Malim yang mencoba mengadu nasip di kota Medan. Dengan melihat perkembangan kota Medan yang sangat pesat dan sangat menjanjikan perubahan hidup masyarakat desa menjadi daya tarik tersendiri untuk kelompok pendatang.

3.3. Sejarah Migrasi Penganut Agama Malim ke Kota Medan

Parmalim adalah kelompok masyarakat yang terbentuk berdasarkan identitas keagamaan yang dianut, yaitu agama Malim sebuah kepercayaan asli suku bangsa Batak Toba yang berasal dari Hutatinggi kecamatan Laguboti sebagai pusat ajaran agama Malim, hingga kini masih tetap bertahan secara turun-temurun. Selama berabad-abad Parmalim telah tinggal di tanah Batak. Ketika itu masih tertutup dan terasing dengan dunia luar, sementara kawasan lain di Indonesia seperti Pulau Jawa telah mengalami banyak perubahan dengan membuka diri Universitas Sumatera Utara terhadap penerimaan kebudayaan Hindu. Hal itu mungkin disebabkan karena daerah Batak Toba sebagai tempat tinggal pertama agama Malim letaknya agak sulit di masuki masa itu. Akibatnya Parmalim mengalami ketertinggalan dibanding dengan daerah lain yang sudah mengalami pengaruh kebudayaan Hindu. Hingga saat ini agama Malim masih tetap diyakini oleh para penganutnya yang disebut dengan Parmalim, dan telah mengalami penyebaran hingga ke berbagai kota besar di Nusantara termasuk kota Medan. Kedatangan Parmalim di kota Medan diperkirakan datang bersamaan dengan migrasi yang dilakukan oleh suku bangsa Batak Toba mengingat parmalim adalah agama asli suku Bangsa Batak Toba. Gerak migrasi yang dilakukan Parmalim ke kota Medan diperkirakan sejak akhir abad ke-19. ketika itu dimasa pemerintahan Belanda yang membuat suatu kebijakan untuk tetap membatasi pergerakan penduduk asli, setelah kemerdekaan Bangsa Indonesia proses migrasi Parmalim semakin meluas. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan informan, tidak ada seorangpun diantara para informan yang mengetahui siapa penganut agama malim yang pertama sekali melakukan migrasi ke kota Medan. Tetapi menurut keterangan para informan sejak masa kemerdekaan Bangsa Indonesia sudah ada penganut agama Malim yang merantau ke kota Medan, terutama untuk bekerja di daerah perkebunan yang sudah mulai dibuka pada masa pemerintahan Belanda saat itu. Penganut agama Malim paling banyak melakukan migrasi ke kota Medan khususnya di kecamatan Medan Denai terjadi pada sekitar tahun 1950-an. Pada saat itu perkebunan-perkebunan baik perkebunan swasta maupun perkebunan negara Universitas Sumatera Utara banyak dibuka di kota Medan. Melihat peluang kerja menjadi buruh pada perkebbunan tersebut, penganut agama Malim banyak melakukan migrasi ke kota Medan Kedatangan penganut agama Malim berikutnya datang bersamaan dengan penganut agama Malim yang pada waktu-waktu tertentu pulang kampung misalnya pada saat perayaan acara Sipaha Sada dan perayaan Sipaha Lima yang berpusat di desa Hutatinggi Kecamatan Laguboti. Perayaan tersebut wajib diikuti oleh seluruh penganut agama Malim dimanapun dia berada sebagai bentuk penghormatanya terhadap Debata Mula Jadi Nabolon. Pulang kampung bukan hanya didasarkan oleh perayaan tersebut tapi juga sudah merupakan tradisi bagi penganut agama Malim untuk selalu mengunjungi Bona Pasogitnya sebagai perwujutan kecintaanya terhadap tanah kelahiran. Dengan adaya acara keagamaan yang sekaligus merupakan perwujutan dari nilai budaya pada mayarakat penganut agama Malim yang menyebabkan semakin bertambahnya pengannut agama Malim di daerah perantauan kota Medan. Bertambahnya penganut agama Malim di daerah perantawan tersebut disebabkan karena sangat sering sekali penganut agama Malim ketika balik ke Medan membawa serta sanak saudaranya dari kampung daerah Bona Pasogit untuk mencoba peruntungan nasib hidup di daerah perkotaan. Proses demikian berlangsung secara terus menerus hingga saat ini. Dengan demikian arus migrasi penganut agama Malim saat ini bukan lagi sebagai buruh melainkan atas latar belakang daya tari kota Medan yang dapat menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka dibanding dengan daerah asal. Secara umum migrasi penganut agama Malim yang ada di kota Medan adalah penganut agama Malim yang berasal dari daerah Hutatinggi Kecamatan Laguboti. Universitas Sumatera Utara Dengan pola migrasi yang tidak serentak yang dilakukan penganut agama Malim ke kota Medan menyebabkan pola pemukiman mereka yang berpencar dan tidak dapat membuat pemukiman tersendiri yang dapat didominasi oleh mereka. Tetapi walaupun demikian bukanlah penghalang bagi penganut agama Malim untuk tetap melestarikan nilai-nilai ajaran agama Malim hingga saat ini.

3.3.1. Motifasi Meninggalkan Kampung Halaman

Pola migarasi yang dilakukan suatu mayarakat sering kali dilatarbelakangi olae alasan ekonomi, atau dengan kata lain alasan ekonomi merupakan alasan utama bagi manusia dalam melakukan migrasi mereka ingin mencari penghidupan yang lebih baik daridaerah asal dan meningkatkan taraf hidup di daerah rantau. Keadaan demikian juga terjadi pada penganut agama Malim yang melakukan migrasi ke kota medan. Alasan ekonomi merupakan alasan utama bagi mereka untuk melakukan migrasi. Kehidupan yang sulit di daerah asal membuat mereka mencari daerah lain untuk untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya. Kota medan mempunyai daya tarik tersendiri bagi mereka sebagai suatu daerah tujuan migrasi. Karena sebagai kota yang cukup besar banyak terdapat berbagai perkebunan dan daerah perindustrian dengan keadaan yang demikian sangat dibutuhkan tenaga kerja yang banyak sebagai buruh maupun sebagai kariawan. Tenaga kerja tersebut tidak dapat dipenuhi masyarakat setempat secara keseluruhan. Dengan demikian peluang kerja para migran yang datang ke kota Medan sangat besar. Peluang kerja inilah yang terlihat penganut agama Malim dari daerah asalnya. Mereka beranggapan bahwa tidak terlalu sulit memperoleh pekerjaan di Universitas Sumatera Utara kota Medan. Semmentara kehidupan mereka di daerah asal semakin sulit. Tanah yang mereka kerjakan semakin lama semakin sempit. Karena lahan tersebut merupakan tanah warisan yang harus mereka bagi dengan saudara-saudaranya. Dengan demikian alasan kedatangan Parmalim ke medan secara umum didorong oleh tekanan ekonomi di daerah asal. Sementara pengolahan persawahan merupakan sumber kehidupan utama di daerah Toba. Orang hanya bisa mengolah sawah di lembah atau di muara sungai, di mana ada pengairan. Di sini memang tanah di pakai secara optimal. Tetapi karena jumlah penduduk semakin bertambah orang Toba suka dengan keluarga besar maka terpaksa para petani merantau untuk mencari sumber mata pencaharian baru. Perbaikan ekonomi rumah tangga nampak jelas di kota Medan jika dibandingkan dengan daerah asal mereka Hutatinggi Kecamatan Laguboti dengan hidup mereka yang lebih baik. Tentu hal ini ada hubungannya dengan jenis pekerjaan mereka yang mendatangkan penghasilan yang lebih baik hingga saat ini kadang-kadang mereka mengirim uang kepada keluarga di kampung; pulang ke kampung pada kesempatan tertentu atas biaya sendiri, membayar banyak biaya pesta keluarga di kampung dan saat mereka kembali ke Medan, mengajak anggota keluarga yang lain untuk datang ke tempat mereka dan kalau memungkinkan tinggal bersama mereka di tempat yang sama. Sebagai orang baru di perantauan mereka tetap didekali hingga nantinya dapat hidup mandiri di daerah rantau. Di Kotamadya Medan Parmalim dianggap sebagai pendatang yang tidak diundang dan malah sering dituduh sebagai penyerbu mengingat Parmalim adalah suku asli Batak Toba. Parmalim sebagai suku bangsa Batak Toba memiliki apa Universitas Sumatera Utara yang disebut dengan misi budaya cultur mission yang merupakan bagian integral dari tradisi perantauanmigrasi Pelly, 1991:5 Misi tersebut berupa pandangan dunia kosmologi dari masyarakat tersebut, dimana anggota rantau sebagai perluasan dari alam kampung halaman. Misi perantauan yang dimaksud adalah memperluas kampung halaman untuk mendirikan kerajaan-kerajaan pribadi sahala harajaon. Oleh karena itu motto dari tradisi ini umumnya adalah mendapatkan anak dan tanah. Anak dan tanah merupakan lambang martabat, kekuasaan dan kekayaan hagabeon, hamoraon dan hasangapon seseorang. Demikian halnya dengan para perantau Parmalim yang tinggal di Kota Medan, telah melakukan migrasi untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak dari daerah asalnya. Selain atas adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan dorongan sosial budaya penganut agama Malim dalam melakukan migrasi ke kota Medan sebagai sebuah kota yang menjanjikan untuk hidup yang lebih baik, juga dipengaruhi oleh adanya faktor dari fihak lain di masa penjajahan Belanda. Pada masa itu fihak Belanda sebagai pemegang kekuasaan memaksa penduduk penduduk pribumu termasuk Parmalim untuk tujuan mereka sendiri misalnya untuk ditempatkan sebagai tenaga buruh pada daerah-daerah perkebunan Belanda. Proses migrasi yang dilakukan tidak terjhadi secara serempak tetapi mereka meninggalkan kampung halaman secara bertahap hingga saat ini. Universitas Sumatera Utara 3.4. Ajaran dan Sumber Hukum Agama Malim 3.4.1 Tujuan Agana Malim Agama Malim disebut sebagai “jalan pertemuan” dalan pardomuan dengan Debata. Maksudnya, melalui agama itulah para penganutnya dapat menjalin hubungan dengan Debata. Meski dipercayai sebagai jalan untuk bertemu dengan supernatural atau Tuhan Yang Maha Esa TYME. Penganut agama Malim mengakui adanya agama lain yang jumlahnya cukup banyak di atas permukaan bumi ini. Dan agama itu semua dipercayai berasal dari Debata yang diturunkan kepada manusia yang berlainan suku dan bangsa. Semua agama itu dijadikan masing-masing pemeluknya sebagai “jalan pertemuan” dengan Debata. Agama Malim mempercayai bahwa tanpa agama manusia tidak akan dapat mengenal dan bertemu dengan Tuhan Debata apalagi memperoleh keberkahan dari-Nya baik di dunia maupun kelak di hari kemudian. Secara garis besar ada dua hal yang dituju dalam agama Malim. Pertama, untuk penghapusan dosa manopoti dosa dan memohon keberkatan dari Debata. Manusia menyadari bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah yang senantiasa tidak luput dari kesalahan, kekhilafan, dan perbuata buruk lainnya yang kesemuanya dapat menimbulkan dosa. Oleh karena itu, melalui agama ini manusia dapat berhubungan dengan Debata sambil memohon keampunan dosa dan perlindungan daripada-Nya agar terhindar dari perbuatan yang bertentangan dengan peraturan patik serta diberikan kekuatan lahir dan batin selama menjalani hidup dan kehidupan. Di samping itu, agama dijadikan sebagai media perantara untuk memohon keberkatan dalam setiap menjalankan aktivitas selama hidup di dunia ini. Universitas Sumatera Utara Kedua, adalah untuk mencari “kehidupan ruh” hangoluon ni tondi di sisi Debata mulai dari sejak manusia mati hingga sampai kepada kehidupan di kemudian hari masa akhirat. Dalam agama Malim diyakini bahwa setiap manusia akan mati dan setiap orang yang mati ruhnya akan kembali kepada Debata yang berkedudukan di Banua Ginjang. Agama Malim juga mempercayai bahwa setelah kehidupan di dunia ini, masih ada lagi kehidupan yang lain yaitu suatu kehidupan yang mesti dilalui setiap ruh manusia. Kehidpan yang dimaksud adalah kehidupan pada masa akhirat penghabisan di mana semua ruh manusia akan dikumpulan dan diadili sebelum dimasukkan ke dalam huta hamatean neraka dan huta hangoluan surga. Di samping itu, agama Malim juga mempercayai bahwa segala bentuk rahmat yang dinikmati manusiabaik di dunia maupun kelak di hari kemudian adalah berkat pemberian Debata. Rahmat yang diberikan di dunia, manusia wajib mensyukurinya, sedangkan rahmat yang berupa kebahagiaan di “hari kemudian” manusia pasti mendambakannya marpanghirimon. Namun meski demikian tidak semua manusia berhasil medapatkannya. Hanya orang yang beriman dan bertakwalah yang dapat meraihnya.

3.4.2. Konsep Kesucian Diri Menurut Agama Malim

Agama Malim sebagai jalan pertemuan dimaksudkan bahwa melalui agama inilah para penganutnya dapat melakukan hubungan dengan Debata baik pada waktu melakukan upacara keagamaan ibadat maupun di luar ibadat. Melalui upacara keagamaan, penganutnya dapat memuji, bersyukur dan memohon melalui doa kepada Debata. Kedua, dengan agama ini manusia dapat mengenal dirinya Universitas Sumatera Utara sebagai makhluk ciptaan Debata yang sifatnya penuh dengan segala kelemahan. Dengan pengenalan dirinya yang lemah itu, agama ini menjadi jalan bagi penganutnya untuk menghambakan dan menyandarkan dirinya kepada Debata seraya memohon perlindungan daripada-Nya. Selain itu, para penganutnya juga dapat mengatur kehidupan dalam hubungannya dengan sesama manusia. Di dalam agama Malim ada sejumlah ajaran dan ibadat yang wajib diamalkan oleh setiap warga Parmalim. Apabila ajaran dan ibadat itu diamalkan dengan baik dan sempurna, maka orang yang mengamalkan itu disebut telah memiliki apa yang disebut kesucian jiwa tondi hamalimon. Artinya, pada dirinya telah tertanam ruh atau cahaya kesucian dari Debata sebagai akibat dari pengamalan ajaran yang sempurna itu. Inilah konsep kesucian diri yang paling tinggi. Untuk sampai ke peringkat itu seseorang harus melewati fase pengamalan agama yang di bawahnya yaitu memiliki pikiran dan perasaan yang suci roha hamalimon dan berkehidupan suci ngolu hamalimon. Apabila dua fase pengamalan agama ini telah diamalkan dengan baik maka seseorang akan berpeluang masuk ke taraf “kesucian diri”tondi hamalimon. Taraf pengamalan agama yang demikian inilah yang disebut dengan takwa – suatu sebutan peringkat tertinggi dalam kedirian manusia parmalim. Jika seseorang telah mencapai tingkat yang demikian, maka orang tersebut telah terpelihara dari perbuatan dosa karena dirinya tidak pernah lepas dari pengawasan roha hamalimon itu sendiri. Dalam setiap beraktivitas, dirinya selalu terhindar dari dosa dan perbuatan yang dapat merugikan dirinya dan orang lain. Universitas Sumatera Utara Orang yang sudah mampu mengontrol dirinya dari hal-hal yang dapat mendatangkan dosa adalah orang yang sudah mampu membatasi atau mejaga diri marsolam diri setiap saat di mana saja pun ia berada. Jika ingin menjadi manusia yang takwa, maka ia harus mampu “marsolam diri”,”marsolam ngolu” dan “marsolam tondi”. Marsolam diri artinya membatasi diri dari pikiran yang sesat, kotor dan rencana pikiran yang dapat merusak diri sendiri dan orang lain. Apabila seseorang sudah mampu berpikiran seperti itu, maka orang yang demikian tersebut telah berpikiran dan berperasaan suci marroha hamalimon. Dan inilah awal tindak pengawalan diri yang pertama menuju keselamatan. Kedua, adalah “marsolam ngolu” yang artinya membatasi atau mengawal diri dari segala perbuatan yang dapat menimbulkan dosa. Misalnya tidak mau meninggalkan perintah ajaran agama dan tidak mau mengerjakan perbuatan yang dilarang oleh agama dan tidak mau mengerjakan perbuatan yang dilatang oleh agama patik. Apabila seseorang sudah marsolam ngolu, maka ia dinamakan telah marngolu hamalimon berkehidupan suci. Dan yang terakhir adalah marsolam tondi yang artinya membatasi diri dari segala rayuan kenikmatan dunia dan menghindari diri dari segala yang dapat merusak kekhusukan dalam beribadat. Ciri-ciri lain dari marsolam tondi ini ialah tidak merasa terpaksa dalam setiap melakukan ibadat dan berbuat kebajikan kepada sesama manusia. Orang yang sudah mampu mengawal pikiran diri sendiri marsolam diri, mengawal diri agar terhindar dari perbuatan dosa marsolam ngolu dan mampu menahan diri agar terhindar dari rayuan keindahan dunia termasuk mampu berbuat ikhlas marsolam tendi, ia akan masuk dalam peringkat manusia yang paripurna Universitas Sumatera Utara yang disebut dengan martondi hamalimon berjiwa kesucian atau boleh juga disebut takwa sejati. Ciri-ciri orang yang “berjiwa suci” atau takwa ditandai dengan adanya perasaan haus untuk berbuat kebajikan baik sesama manusia maupun dalam hal beribadat. Dalam setiap melakukan ibadat, ia penuh dengan kekhusukan dan keikhlasan. Bersikap zuhud yang refleksinya ditandai dengan tidak begitu tergoda dengan rayuan keindahan dan kenikmatan duni. Orientasi kehidupannya lebih terfokus pada harapan kenikmatan dan kebahagiaan pada kehidupan kelak yaitu masa setelah manusia mati hari kemudia. Orang yang memiliki tondi hamalimon dipercayai bahwa dirinya telah dibungkus dengan tondi Debata yang disebut dengan tondi parbadia roh yang suci. Dirinya terdinding dari segala pengaruh yang dapat merusak dirinya dan segala macam godaan iblis tidak akan pernah merajai dirinya. Jika hal ini tetap terpelihara hingga akhir hayatnya, maka jadilah dia termasuk golongan yang dicintai Debata. Sebaliknya, orang yang tingkat kesucian dirinya rendah apalagi tidak mau membatasi diri marsolami, maka orang yang seperti inilah yang mudah dikuasi iblis sehingga pikirannya dan perbuatannya kerap bertentangan dengan ajaran agama yang menyebabkan dirinya menjadi kotor ranum.

3.4.3. Konsep Dosa Menurut Agama Malim

Dosa dalam agama Malim dilukiskan sebagai perbuatan yang menjijikkan Debata pangalaho hagigion ni Debata. Kriteria perbuatan yang menjijikkan bisa dikenali apabila perbuatan itu tidak sesuai dengan hukum Debata sebagaimana tertuang dalam peraturan baik yang berbentuk suruhan perintah maupun larangan. Universitas Sumatera Utara Suruhan perintah berarti mengamalkan segala perintah Debata yang berkaitan dengan ibadat seperti memuji Debata melalui ritual ibadat dan segala perbuatan yang dapat merugikan manusia, seperti perbuatan mencuri, membunuh, berzina dan lain-lain sebagainya. Apabila suruhan dan larangan itu tidak dipatuhi, maka orang tersebut akan berdosa Gultom, 2010: 203. Timbulnya dosa pada diri seseorang pada hakikatnya berawal dari adanya sifat dan perbuatan jahat haangaton yang dilatarbelakangi oleh sifat yang terlalu cinta terhadap dunia atas dorongan nafsu serakah yang tak terkontrol. Sifat seperti ini menyebabkan manusia lupa terhadap tuhan Debata. Keadaan lupa seperti ini menyebabkan dirinya dikuasai oleh iblis sehingga perbuatannya cenderung kepada perbuatan yang mendatangkan dosa. Dalam ajaran Malim ada dua macam dosa yaitu dosa kecil na metmet dan dosa besar na balga. Dosa yang kecil adalah perbuatan yang dapat digolongkan kepada perbuatan dosa yang ringan, seperti mencuri, menghina dan lain-lain, sedangkan dosa yang tergolong besar adalah perbuatan yang dikategorikan di luar batas kemanusiaan seperti membunuh orang. Untuk memperoleh keampunan dosa manopoti dosa dengan cara memohon keampunan dosa pada saat upacara keagamaan sambil bernjanji untuk bertobat. Dan bagi orang yang melakukan dosa besar seperti membunuh, tidak cukup dengan upacara biasa, melainkan dengan cara menebus dosa melalui upacara keagamaan khusus yang disebut dengan mardebata. Universitas Sumatera Utara

3.4.4. Pustaha Habonaran

Agama Malim memiliki kitab suci yang disebut dengan pustaha habonoron. Jika ditinjau dari segi isinya kitab ini dapat dikelompokkan kepada tiga bagian. Pertama, peraturan patik yang mengatur hubungan antara manusia dengan Debata dan hubungan manusia dengan sesamanya. Kedua, peraturan yang berkaitan dengan kerajaan, terutama pemberian hukuman bagi anggota masyarakat yang bersalah termasuk bagi seorang pemimpin baik pemimpin formal maupun pemimpin non formal. Ketiga, adalah peraturan yang berkaitan dengan pengaturan lingkungan alam sekitar dan pertanian. Keseluruhan peraturan yang terkandung dalam pustaha habonoron dapat disebut pedoman dalam bercara hidup dengan maksud agar tercipta hubungan antara manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan sang pencipta alam yaitu Debata Mulajadi Nabolon. Selain itu, ajaran yang tertuang dalam pustaha habonoron pada hakikatnya bertujuan agar manusia memiliki rasa takut, maka diharapkan manusia dapat mengawasi dirinya dari segala perbuatan yang dapat dikategorikan “melanggar hukum”. Dampak ketaatan kepada hukum akan membawa kepada keharmonisan dan kedamaian dalam masyarakat. Meski dalam kehidupan Batak pada zaman dahulu tepatnya sebelum lahirnya agama Malim ada mengenal kitab yang lain seperti pustaha hadatuon kitab tabib dan pustaha tembaga holing, namun kedua pustaha ini tidaklah dipakai sebagai pedoman dalam pengamalan agama Malim. Pustaha yang pertama hanyalah merupakan kitab yang berisi tentang sejumlah peraturan yang berkaitan dengan hadatuon ketabiban yang memuat cara-cara pengobatan penyakit bagi Universitas Sumatera Utara orang yang sakit. Kitab ini ditulis langsung oleh para datu datu dengan huruf Batak di atas lempengan kulit kayu yang disebut dengan laklak. Sedangkan pustaha yang kedua berisi tentangs ejumlah peraturan hukum yang disebut dengan patik. Kitab yang kedua ini konon kabarnya ditulis langsung oleh Siraja Batak yang juga di atas lempengan kulit kayu. Akan tetapi kitab ini hingga sekarang tidak seorang pun yang mengetahui di mana rimbanya. Sebagian orang mengatakan bahwa kitab itu telah dibawa oleh pihak Belanda ke negerinya setelah mereka mengadakan penyerbuan dan pembakaran ke istana Sisingamangaraja XII yang berkedudukan di Bakkara. Mengenai pustaha habonoron yang ada sekarang adalah sebuah kitab yang ditulis langsung oleh Sisingamangaraja XII dengan aksara Batak. Kitab ini disebut pustaha na imbaru kitab yang baru yang jumlahnya hanya satu dan hingga kini masih tetap tersimpan di Bale Pasogit Partonggoan agama Malim yang berpusat di Hutatinggi. Gambar 3.4.4 : Pembacaan Buku Pustaha Batak Pada Acara Mangan Napaet Universitas Sumatera Utara

3.4.5. Tona, Poda, Patik adn Uhum

Sumber hukum yang lain yang juga dijadikan sebagai pedoman dalam pengamalam agama Malim ada empat yaitu tona, poda, patik dan uhum. Tona dalam bahasa Batak bermakna “pesan”, namun dalam istilah agama Malim, kata tona bermakna ajaran yang diterima manusia dari Debata Mulajadi Nabolon. Tona ini pertama sekali diterima langsung oleh Raja IhatManisia dan Siboru Ihat Manisia. Sebagaimana yang diyakini penganut agama Malim, bahwa ketika Debata menjumpai Deakparujar di Banua Tonga sekaligus memberkati perkawinan Raja Ihat Manisia dengan Siboru Ihat Manisia, ketika itu pula Debata memberikan pesan tona kepada mereka berdua untuk selanjutnya disampaikan kepada keturunannya. Ada tiga hal yang dipesankan Debata kepada mereka berdua yaitu, pertama, perkara suruhanperintah dan larangan yang tertuang dalam satu bunyi ayat yaitu: “yang boleh dan yang tak boleh dikerjakan” na jadi dohot na so jadi. Kedua, memesankan tentang cara hubungan yang baik antara manusia dengan Debata termasuk si pemilik kerajaan malim lainnya. Pesan tersebut dituangkan dalam sebuah ayat yang berbunyi: “agar terjadi hubungan tali yang akrab antara kalian yang berada di Banua Tonga dengan kami yang berada banua Ginjang hendaklah dilakukan dengan melalui pemberian sesaji palean dalam setiap bersembahyang. Dan yang mempersembahkan sesaji itu itu pun harus bersih lagi “malim” suci. Sedangkan yang ketiga adalah memesankan secara tegas kepada mereka berdua bahwa tidak boleh memakan daging babi, anjing, bangkai, dan darah. Khusus mengenai darah sembelihan diperuntukkan bagi dewa Nagapadohaniaji setiap kali terjadi penyembelihan hewan. Universitas Sumatera Utara Poda dalam istilah agama Malim dapat diartikan sebagai “nasihat” atau “sabda”. Ditinjau dari segi sumbernya, poda itu pada mulanya berasal dari para malim utusan Debata, misalnya poda dari Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja dan Raja Nasiakbagi. Semua pesan ajaran agama yang keluar dari mulut mereka perkataan dianggap sebagai suara Debata yang tidak perlu diragukan kebenarannya. Jika tidak berlebihan, ajaran yang mereka sampaikan itu bisa disamakan istilah “sabda”. Dan semua ajaran yang terkandung dalam poda itu menjadi pegangan hidup sekaligus sebagai salah satu sumber hukum dalam pengamalan ajaran agama Malim. Salah satu poda yang selalu disebut-sebut dalam setiap upacara keagamaan terutama pada upacara mararisabtu ialah poda “yang lima” yang lazim disebut dengan poda hamalimon ajaran keagamaan Malim. Poda yang lima ini sifatnya bernada suruhan yang wajib diamalkan oleh setiap warga Parmalim dalam kehidupan sehari-hari. Kelima poda tersebut adalah sebagai berikut: pertama yang berbunyi ingkon malim parhundulon harus suci dalam setiap duduk. Ayat ini bermakna luas karena duduk yang dimaksudkan di sini bukan hanya sekedar “cara duduk yang baik” seperti biasa, namun lebih dari itu dapat juga bermakna “kedudukan” atau “kekuasaan”. Inti yang terdapat dalam pesan ayat pertama ini adalam memelihara diri agar manusia terhindar dari koridor etiket yang tidak baik dan jangan bersikap sombong dan berbuat kesalahan yang dapat mengundang orang lain untuk membencinya. Kedua, ialah ingkon malim parmanganon harus suci dalam setiap makan. Sama dengan ayat pertama yang juga bermakna luas karena pesan yang terkandung dalam ayat ini bukan hanya kaharusan tertib dan sopan saja dalam setiap waktu Universitas Sumatera Utara makan, akan tetapi lebih dalam lagi adalah menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela seperti mencuri, berbuat korupsi dan perbuatan lain yang sifatnya dapat mengorbankan orang lain. Ketiga, ingkon malim pamerengon harus suci dalam setiap melihat, maknanya adalah membatasi diri dalam setiap melihat sesuatu objek dengan maksud agar jangan menimbulkan masalah baik terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain. Batasan dalam melihat itu dapat diukur dengan indikator larangan seperti melihat dengan rada marah, mata membelalak dan beberapa cara memandang lainnya yang masuk dalam kategori yang kurang indah dan kurang sopan. Apabila larangan ini tidak dapat diamalkan, maka besar kemungkinan akan membawa malapetaka kepada manusia yang bersangkutan. Agama Malim mempercayai bahwa melaui “mata memandang” parmerengon inilah yang dapat menimbulkan banyak dosa. Keempat, ialah “ngkon malim panghataion” harus suci dalam setiap berkata. Maksudnya adalah memelihara diri dari perkataan yang kurang baik seperti cakap kotor, menghina, berdusta, membodohi dan sejumlah perkataan lainnya yang tergolong perkataan yang buruk dan kurang patut. Sedangkan yang kelima berbunyi, ingkon malim pardalanon harus suci tiap berjalan. Maksudnya ialah memelihara diri dari segala bentuk penampilan yang kurang sopan dan kurang terpuji baik dalam cara berjalan maupun cara berpakaian. Berbuat baik di sini juga punya makna yang lain, yaitu tingkah laku hidupdi mana saja pun berada. Apabila seseorang misalnya berada di suatu tempat, orang tersebut harus selalu memelihara dirinya dari perbuatan yang dapat mengganggu ketentraman, merugikan apalagi mendzalimi orang lain. Orang tersebut semestinya bersikap dan berbuat ramah, Universitas Sumatera Utara melindungi, membantu dan menciptakan keharmonisan warga masyarakat setempat. Demikian dilakukan terhadap sesama tanpa memandang status dan kedudukan seseoarang dalam lingkungan masyarakat. Patik dalam arti harfiah bermakna “peraturan” atau “kaidah”. Patik terdiri dari pasal-pasal yang mengandung peraturan yang tujuannya untuk mengatur hubungan manusia dengan Debata dan patik yang berkaitan yang hukum dan ketentuan dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Patik di luar upacara keagamaan terdiri dari lima bagian yaitu: “suruhan” marsuru, “larangan” maminsang, “mengingatkan” painggothon, “pengenalan” panandaion dan “puji-pujian”. Keseluruhan ajaran patik ini pada mulanya disusun oleh Raja Mulia yang kemudia bagi setiap anggota parmalim diwajibkan untuk menguasainya atau menghafalnya. Patik itu berjumlah 23 ayat yang kesemuanya selalu dibacakan secara bersama-sama setelah upacara keagamaan “mararisabtu” selesai dilaksanakan. Bunyi ayat-ayat patik itu adalah sebagai berikut : Bagian Marsuru SuruhanPerintah Ayat 1 : pujion ompunta Debata sian nasa roha. Artinya : Tuhan Debata wajib dipuji dengan hati yang sungguh-sungguh Ayat 2 : Pasangapon raja, haholongan dongan jolma. Artinya : Raja wajib dihormati, sesama manusia harus sayang-menyayangi. Ayat 3 : padot iba mangula dihasiangan on, asa adong pargogo ni badan mamuji ompunta Debata mangaloi aturan ni raja di Banua Tonga on. Universitas Sumatera Utara Artinya : Kerja keras dalam mencari nafkah di dunia ini agar dapat digunakan sebagai bekal hidup di dalam memuji dan menyembah Debata serta menuruti peraturan raja di Banua Tonga ini. Bagian Maminsang Melarang Ayat 4 : Manangko na so jadi. Artinya : Mencuri tidak boleh. Ayat 5 : Mangalangkup na so jadi. Artinya : Mengganggu dengan cara mengadakan “hubungan selingkuh” atau lebih dari itu yakni berbuat zina atau perbuatan setaraf di bawahnya kepada orang lain, dilarang keras. Ayat 6 : Mamunu jolma na so jadi. Artinya : Tidak boleh membunuh orang. Ayat 7 : Uhum na jongjong ndang jadi tabaon. Uhum na tingkos ndang jadi pailingon. Artinya : Hukum yang sudah tegak tidak boleh ditebas dirusak dan hukum yang benar tidak boleh diketepikan atau dihiraukan. Ayat 8 : Ndang jadi lea roha di na tua-tua, nang so maranak, nang so marboru. Artinya : Tidak boleh memandang hina terhadap orangtua, lebih-lebih lagi jika orangtua itu sudah jompo dan tidak mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Ayat 9 : Ndang jadi lea roha dina mabalu, nang dina sopot so marina, nang dina sopot so marama. Artinya : Tidak boleh memandang hina kepada janda-janda, demikian juga kepada anak yatim, anak piatu dan anak yatim piatu. Universitas Sumatera Utara Ayat 10 : Ndang jadi liluhononton na mapitung sian bagasan dalan. Artinya : Tidak boleh berbuat “menyesatkan” terhadap orang yang buta ketika sedang berjalan di tengah jalan. Ayat 11 : Ndang jadi pis mata mida na marniang. Artinya : Tidak boleh memandang hina kepada orang yang kurus. Ayat 12 : Ndang jadi lea roha di na pogos. Artinya : Tidak boleh memandang hina kepada orang miskin. Ayat 13 : Ndang jadi pauru-uruon parsiantabolon. Artinya : Tidak boleh memandang hina orang yang pakaiannya compang- camping. Ayat 14 : Ndang jadi paoto-otohan na hurang roha. Artinya : Tidak boleh membodoh-bodohi orang yang “kurang ingatan” atau orang gila. Bagian Paingothon Mengingatkan Ayat 15 : Pajongjongan ugasan torop hangoluon ni na balga, hangoluon ni na metmet, di na so tuk balanjo. Artinya : Harus mendirikan ugason torop badan harta milik bersama baik untuk keperluan hidup bagi orang yang besar pemimpin maupun untuk keperluan hidup orang yang kecil yang miskin lebih-lebih lagi jika logistik makanan sudah habis. Ayat 16 : Eme na so jadi ganda di bagasan sopo, di balian do na jadi gabe pasu- pasuon ni ompunta Debata. Universitas Sumatera Utara Artinya : Tidak boleh padi eme berlipat ganda beranak di dalam lumbung padi sopo, hanya di sawah yang boleh berlipat ganda, itupun jika Debata berkehendak memberkatinya. Ayat 17 : Ringgit na so jadi marhua, mangomo do ina jadi bahenon ni partiga- tiga. Artinya : Ringgit tidak boleh berlipat ganda dengan cara riba, hanya boleh digunakan untuk model perniagaan. Ayat 18 : Ndang holan di hasangapon mamuji ompunta Debata, ingkon dohot do di haleaon pujion tuhanta i. Artinya : Bukanlah di kala memiliki kedudukan dan kehormatan saja harus teringat memuji Debata, akan tetapi di kala keadaan kurang terhormat atau “hiudp terhina” pun harus tetap memuji Debata. Ayat 19 : Ndang holan di hamoraon mamuji ompunta Debata, ingkon dohot do di haleon pujion Tuhanta i. Artinya : Bukanlah pada masa hidup kaya saja ingat memuji Debata, tetapi juga dikala hidup miskin pun harus memuji Tuhan Debata. Ayat 20 : Ndang holan dipangomoan pujian ompunta Debata, ingkon dohot do diharugikan pujian Tuhanta i. Artinya : Bukan pada masa “keberuntungan: saja mesti mau memuji Debata, akan tetapi dalam keadaan masa “kerugian” pun harus juga memuji Debata. Ayat 21 : Ndang holan dihoras ni daging mamuji ompunta Debata, ingkon dohot do diparsahitan pujion tuhanta i. Artinya : Bukan hanya dalam keadaan sehat mau memuji Debata, tapi dalam keadaan sakit pun harus ingat memuji tuhan Debata. Universitas Sumatera Utara Bagian Panandaion Pengenalan Diri kepada Debata Ayat 22 : I ma paboa ompunta Debata Mulajadi Nabolon, na manjadihon langit, na manjadihon tano on, na manjadihon saluhut na sa adong portibi on. Artinya : Itulah yang diberitakan Debata Mulajadi Nabolon, yang menjadikan langit, yang menjadikan bumi dan yang menjadikan segala sesuatu yang ada di permukaan bumi ini. Bagian Puji-pujian Ayat 23 : Asa mauliate ma tadok tu ompunta Debata saleleng ni lelengna; Et Nabonar, Et Nabonar, Et Nabonar, ale junjunghu. Artinya : Marilah kita senantiasa mengucapkan syukur kepada Debata selama- lamanya, tuhan yang mahabenar, yang mahabenar, yang mahabenar, wahai junjunganku” Semua bunyi ayat yang berupa tona, poda dan patik dirangkum dalam sebutan nama “uhum”. Istilah uhum secara harfiah sama artinya dengan “hukum”. Yang dimaksud dengan hukum di sini adalah segala bentuk pengaturan yang berasal dari Debata maupun yang bersumber dari para malim utusan Debata termasuk adat istiadat suku bangsa Batak itu sendiri. Semua peraturan yang berupa tona, poda, dan patik termasuk adat adalah uhum. Disamping itu, kata uhum dapat juga diterjemahkan menjadi “hukuman” atau sanksi kepada rakyat umat termasuk kepada raja-raja. Hukuman itu terjadi apabila ada pelanggaran kepada hukum itu sendiri. Uhum itu berlaku kepada setiap manusia tanpa pandang bulu karen amanusia adalah sama. Universitas Sumatera Utara

3.5 Pelembagaan Agama Malim

Jika ditilik perjalanan sejarah agama Malim semenjak kelahirannya pada masa dahulu, agama ini tampaknya memiliki “riwayat” yang sangat menarik. Sebab, di samping kelahirannya bersamaan dengan kedatangan kaum penjajah ke Indonesia dan kedatangan agama luar di negeri Batak, agama ini juga mengalami hambatan dari pihak pemerintah Belanda dalam hal mengamalkan ajaran yang dikandunginya. Perlakuan seperti itu berlangsung sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Meskipun demikian, agama masih tetap eksis di tengah-tengah masyarakat Batak yang ditandai dengan masih banyaknya penganut agama ini di berbagai cabang mengamalkan ibadat ritual. Selanjutnya, pada tahun 1980 tepatnya setelah agama Malim mendapat pengakuan resmi sebagai sebuah aliran kepercayaan, pihak pemerintah memberikan keleluasaan kepada mereka untuk mempertahankan agama ini tetap hidup. Segala peraturan dan ketentuan yang dianggap diskriminatif seperti keharusan untuk “minta izin” dan “melapor” dalam setiap melakukan upacara agama, telah dicabut atau ditiadakan. Akan tetapi sejak agama Malim diakui sebagai sebuah aliran kepercayaan dan penganutnya disebut sebagai kelompok penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa TYME, bersamaan dengan itu ada juga kebijaksanaan baru yang harus dipenuhi oleh warga parmalim yaitu keharusan untuk membentuk struktur organisasinya lengkapdengan susunan pengurusannya mulai dari peringkat pusat hingga ke peringkat cabang punguan. Dengan adanya ketentuan yang demikian, penganut agama Malim tentu menyambutnya dengan senang hati. Mereka menganggap bahwa ketentuan itu merupakan wujud kepedulian pemerintah terhadap keberadaan dan kelangsungan Universitas Sumatera Utara agama Malim mendapat perhatian serius dari pemerintah. Akan tetapi pengakuan pemerintah tersebut disadari belumlah memuaskan hati para penganutnya sebab agama ini bukan justru diakui sebagai sebuah organisasi keagamaan yang sama derajatnya dengan organisasi aliran kepercayaan dan orgaisasi kelompok penghayat spiritual lainnya. Meskipun demikian, mereka tetap memenuhi kehendak pemerintah untuk membentuk susunan pengurus mulai dari tingkat pusat hingga ke cabang-cabang. Namun, walaupun agama ini hanya diakui sebagai sebuah aliran kepercayaan dan belum mendapat pengakuan sebagai agama yang resmi, hingga kini mereka tetap mengklaim bahwa Malim adalah sebuah agama. Dalam struktur manajemennya pun mereka tetap menggunakan pola lama yakni kepemimpinan yang disebut dengan seorang ihutan.

3.5.1. Struktur Organisasi Struktur organisasi agama Malim boleh dikatakan sangat sederhana.

Struktur kepemimpinannya hanya terdiri dari pimpinan pusat dan pimpinan cabang. Pimpinan pusat adalah pimpinan tertinggi yang diketuai oleh seorang ihutan yang dalam bahasa Batak bermakna “yang diikuti” atau “ikutan”. Selain dari ihutan ada juga pengurus lain yang terlibat di dalamnya seperti sekretaris dan bendahara keduanya bertugas sebagai pembantu dalam menjalankan administrasi organisasi agama Malim. Di samping itu ada juga beberapa nama lainnya yang ikut dalam kepengurusan yang bertugas dalam bidang tertentu. Ihutan sebagai pimpinan pusat mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pembinaan anggota secara keseluruhan. Ia juga sebagai “ulama” atau yang banyak mengetahui seluk beluk agama Malim sejak dahulu hingga sekarang. Dalam upacara agama yang sifatnya Universitas Sumatera Utara tahunan seperti mangan na paet, sipaha sada, sipaha lima, dan mardebata, ia juga bertindak sebagai pemimpin upacara. Pusat administrasi agama Malim berkedudukan di Hutatinggi, Laguboti Kabupaten Toba Samosir dahulu Tapanuli Utara. Di sanalah semua surat- menyyurat dijalankan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Selain itu, segala dokumen yang berkaitan dengan agama Malim sejak dahulu masih tersimpan rapi di sana. Bukan hanya itu, di sana pulalah pusat peribadatan agama Malim yang disebut dengan Bale Pasogit Partonggoan BPP suatu tempat peribadatan yang sifatnya tahunan di samping tempat upacara ibadat lainnya. Selain dari pimpinan pusat, ada juga yang dikenal dengan pimpinan cabang yang berkedudukan di tiap-tiap cabang yang keberadaannya tersebar di seluruh Indonesia terutama Sumatera dan Jawa. Pimpinan cabang diketuai oleh seorang ketua yang disebut dengan ulupunguan. Sama dengan pimpinan pusat, ulupunguan juga dibantu oleh beberapa orang pengurus lainnya. Tugas masing-masing ulupunguan adalah memberikan pembinaan terhadap anggota di peringkat cabang sekaligus sebagai pemimpin upacara dalam setiap upacara agama di parsantian tempat peribadatan tingkat cabang, misalnya memimpin upacara mararisabtu, mangan na paet, manganggir. Bahkan dalam memimpin upacara yang lain adakalanya diwakilkan kepada ulupunguan jika ihutan kebetulan berhalangan. Dari segi administrasi, ulupunguan mempunyai tugas, pertama: melaporkan secara resmi seluruh anggota di cabangnya secara berkla kepada pemimpin pusat orang yang baru masuk karena lahir atau berpindah agama. Kedua, melaporkan jumlah iuran keuangan yang bersumber dari anggota, misalnya ugasan torop, adat marama, somba hamauliateon dan lain-lainnya. Ketiga, melaorkan keadaan Universitas Sumatera Utara perkembangan cabang terutama dalam hal pengalaman agama dan hambatan- hambatan lainnya.

3.5.2. Pengankatan Pimpinan Pusat dan Cabang

Dalam hal pengangkatans eorang pimpinan pusat ihutan maupun pimpinan cabang ulupunguan dalam agama Malim tidaklah seperti yang didapati pada organisasi keagamaan lainnya. Organisasi agama Malim lebih menerapkan kepemimpinan konvensional atau informal di mana dalam pengangkatan pemimpinnya tidak melalui musyawarah besar seperti muktamar, kongres dan sebagainya. Ihutan selaku pimpinan pusat adalah seorang pemimpin umat sekaligus ulama religious specialist. Pada awal adanya istilah jabatan ihutan ini dalam struktur kepemimpinan agama Malim bukanlah melalui pemilihan sebagaimana berlaku pada organisasi keagamaan lainnya tetapi diangkat melalui pengakuan moral dari seluruh anggota parmalim. Tradisi seperti ini telah dimulai sejak Raja Mulia Naipospos sebagai pimpinan agama Malim pertama menggantikan Raja Nasiakbagi. Di kala itu Raja Mulia Naipospos digelar dengan sebutan ihutan. Dari sinilah awal sejarahnya dikenal istilah ihutan dalam kepemimpinan agama Malim. Kemudian kepemimpinannya diwariskan turun temurun kepada anak dan cucunya. Generasi kedua jabatan ihutan itu dipegang oleh anaknya yang bernama Raja Ungkap Naipospos dan pada tahun 1981 hingga sekarang dipegang oleh Raja Marnangkok Naipospos. Universitas Sumatera Utara Gambar 3.5.2 : Amang Simanjuntak Ulupunguan Medan Sedang Melakukan Pangurason Tiga sosok pemimpin tersebut lebih dikenal sebagai pemimpin informal khusunya dikalangan warga Parmalin. Meski mereka bertiga dalam bidang pendidikan mungkin tidak begitu membanggakan, namun penghormatan warga parmalim terhadap mereka sangat tinggi. Penghormatan warga Parmalim terhadap kepemimpinan mereka terpancar dari wajah dan penampilan mereka yang sangat mengagumkan. Dari wajah dan penampilan mereka mempercayai bahwa pada diri mereka terdapat kharisma keagamaan religious charisma yang dalam istilah Malim disebut “sahala”. Kehadiran “sahala” itu pada diri mereka bukan karena dipelajari, demikian juga kemampuan “memimpin” dan “mengajari” warganya, tetapi dipercayai karena berkat pemberian dari Debata Mulajadi Nabolon. Mereka tampil sebagai pemimpin di tiap-tiap zamannya bukanlah karena sekolah yang tinggi atau karena menjalani pelatihan dan kursus, melainkan karena sahala Debata bersarang pada diri mereka. Inilah asas pengakuan warga parmalim terhadap ihutan Universitas Sumatera Utara sebagai pemimpin mereka. Jadi, bukan karena ada ijazah dan lain-lain yang sejenis dengannya sebagaimana terdapat pada pemimpin formal. Berbeda dengan pengakatan pemimpin cabang yang disebut dengan ulupunguan. Pemimpin cabang ini langsung ditunjuk oleh ihutan selaku pemimpin tertinggi dalam agama Malim dengan mempertimbangkan segala masukan dari warga parmalim setempat. Meski ditunjuk, namun sosok pribadi orang tersebut tetap menjadi perhatian ihutan sebelum diangkat menjadi ulupunguan, misalnya syarat keluasan pengetahuannya dan ketaatannya dalam bidang agama Malim di samping kemampuannya dan kejujurannya dalam memimpin umat di peringkat cabang. Tidak asa syarat-syarat formal dalam setiap menduduki sebuah jabatan ulupunguan, karena motivasi untuk memegang jabatan bukanlah hendak mencari uang melainkan untuk sebuah pengorbanan demi agam yang sudah barang tentu memerlukan keikhlasan. Tidak ada syarat pendidikan formal maupun nonformal yang harus dilalui khususnya di bidang pengkarderan pemimpian agama sebelum diangkat menjadi ulupunguan. Universitas Sumatera Utara Hampir sama dengan agama-agama lainnya di mana setiap ada orang yang hendak masuk menjadi penganut agama Malim dapat dilalui dengan dua cara yaitu karena kelahiran dan karena berpindah agama. Yang pertama adalah disebabkan seseorang terlahir dari keluarga Parmalim bukanlah berarti si anak tadi otomatis sebagai warga warga Parmalim. Pihak orangtuanya harus terlebih dahulu mengadakan upacara martutuaek menyambut kelahiran. Tanpa mengadakan Bagan 3.5.2 : Struktur Organisasi Agama Malim

3.5.3. Keanggotaan Penganut Agama Malim Pimpinan Pusat

Ihutan Sekretaris Bendahara Pimpinan Cabang Ulupunguan Sekretaris Bendahara Anggota Anggota Anggota Pimpinan Cabang Ulupunguan Sekretaris Bendahara Pimpinan Cabang Ulupunguan Sekretaris Bendahara Universitas Sumatera Utara upacara martutuaek, si anak dianggap belum resmi masuk sebagai anggota pemeluk agama Malim. Menurut Tony Sirait: “bisana molo halak na masuk gabe Parmalim, syaratna naung siap do badan dohot tondina mangihuthon ajar ni malimi, nahombar di patik dohot uhum ni malimi. Biasana masuk tu Parmalim melalui pernikahan tu anak manang boru ni Parmalim. Ingkon patupahonna do parbue santi, abit nabontar dohot lain naasing, jala maranggir ma nasida”. Artinya: “biasanya orang lain yang masuk jadi Parmalim, syaratnya harus siap jasmani dan rohaninya mengikuti ajaran agamaq Malim, menyangkut perintah dan hukum agama malim. Biasanya masuk menjadi Parmalim melalui pernikahan terhadap anak laki-laki maupun anak gadis Parmalim. Harus disediakan parbusanti makanan sesajen, kain putih dan yang lainya, dan kemudian mensuikan dirilah beliau”. Kedua adalah karena terjadi proses perpindahan dari suatu agama tertentu, misalnya perpindahan dari agama Kristen dan agama lainnya ke dalam agama Malim. Apabila ada orang yang berpindah agama seperti ini, maka para penganut agama Malim setempat harus menyambutnya dengan cara mengadakan upacara khusus baginya yang disebut dengan upacara manganggir pensucian. Upacara manganggir ini juga merupakan majelis pertemuan bagi seluruh warga Parmalim setempat bahwa orang tersebut telah resmi menjadi penganut agama Malim. Orang yang berpindah agama biasanya adalah orang yang sudah dewasa yang ketika masuk ke dalam agama Malim benar-benar karena kesadarannya sendiri dan tidak karena ada paksaan dari pihak mana pun. Universitas Sumatera Utara BAB. IV. STRATEGI ADAPTASI PENGANUT AGAMA MALIM DI KOTA MEDAN

4.1. Pola Kehidupan Penganut Agama Malim di Medan

Sejak perkembangan perkebunan tembakau di akhir abad 19, Medan menjadi salah satu kota yang multikultural. Sangat umumnya bekerja sebagai buruh perkebunan dan pedagang dimasa itu. Demikian halnya dengan penganut agama Malim, melakukan gerak migrasi dari Hutatinggi, Kecamatan Laguboli tentu karena faktor daya tarik yang dimiliki kota Medan. Daya tarik tersebut sangat menjamin perbaikan hidup yang dapat mereka peroleh. Penganut agama Malim sebagai kelompok migran tentunya tidak melaporkan nilai-nilai budaya dan agama yang mereka miliki. Bagi Parmalim agama dan kebudayaan Batak Toba adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya dalam kehidupan dimana pun mereka berada. Usman Pelly, 1998:15 menyatakan : “setidaknya terdapat dua macam kekuatan terus–menerus mempengaruhi keutuhan kelompok etnik di daerah rantau. Pertama, orang-orang di kampung halaman mengharapkan para perantau menjalankan budaya dan mempertahankan identitas etnik mereka. Kedua, perantau harus menyesuaikan diri dengan latar budaya tuan rumah. Para perantau harus mengandalkan hubungan-hubungan dinamik antara kebertahanan dan perubahan yang mempengaruhi bagaimana mereka beradaptasi”. Kota Medan merupakan kota yang heterogen, baik dilihat dari keberadaan suku dan agama yang ada. Melayu sebagai etnis penduduk asli kota Medan tidaklah merupakan penduduk yang mayoritas walaupun kekuatan politisnya nyaris diperoleh dari pemerintah kolonial. Berdasarkan latar belakang keberadaan etnik Melayu, maka para perantau tentunya dianggap lebih rendah dan memiliki 77 Universitas Sumatera Utara kekuatan yang lebih kecil dibanding dengan tuan rumah pada awal kedatangannya di Kota Medan. Sehingga para perantau akan selalu dihadapkan dengan budaya Melayu yang secara umum beragama Muslim. Akan tetapi penganut agama Malim sejak awal kedatangan hingga sekarang tidak pernah berasimilasi dalam budaya Melayu - Muslim melebur menjadi etnik Melayu, menjalankan tradisi agama dan budaya Melayu untuk dapat diterima di Kota Medan. Penganut agama Malim merasa bahwa budaya mereka berupa adat, seni, sastra, tortor serta agama yang berbeda dengan tuan rumah harus tetap mereka pertahankan sebagai ciri dan identitas diri yang mereka miliki. Apabila diperhatikan keseluruhan aspek ajaran agama Malim tampaknya agama ini dipengaruhi agama lain. Ajaran agama Hindu-Jawa misalnya jelas mewarnai agama Malim baik dari segi kepercayaan maupun dari segi upacara keagamanya. Dilihat dari segi kepercayaan agama malim mempercayai adanya Bataraguru sebagai utusan Dabata Mulajadi Na Bolon, sementara nama ini dalam ajaran agama Hindu - Jawa adalah salah satu nama dewa yang mereka puja. Sedangkan dari segi upacara agama bisa dilihat pada waktu berdoa dilangsungkan dimana semua peserta harus merapatkan kedua telapak tangannya persis seperti penganut agama Hindu ketika bersembayang. Selain itu kaum pria mengenakan sorban di kepala berupa kain yang berwarna putih, juga kain sarung dan selendang Batak Toba ulos Batak. Sementara perempuan memakai sarung, juga mengonde rambutnya. Mengenai pengaruh Agama Islam, dapat terlihat dari segi pelaksanaan penghormatan kepada orang yang meninggal dunia, penganut agama Malim Universitas Sumatera Utara memandikan dan mengkafani jenasah persis seperti apa yang dilakukan dalam ajaran agama Islam. Padahal jika dilihat dalam kebudayaan etnik Batak tidak pernah dijumpai sebelumnya. Barulah pada masa Raja Nasiak Bagi, hal seperti itu dijadikan sebagai amalan yang wajib jika ada yang meninggal bagi penganut agama Malim. Sedangkan dengan agama Katolik, agama Malim mempunyai persamaan dalam hal pangurason pemberian air suci dalam upacara keagamaan . Namun bukan berarti dengan adanya pengaruh dari agama modern sebagai agama yang telah diakui keberadaannya penganut agama Malim kemudian melebur menjadi agama lain.Walaupun pada awal kedatangannya penganut agama Malim yang hidup menetap dan memiliki status belum menikah melakukan perkawinan campuran dengan etnis lain yang sudah menganut agama modren termasuk etnis Batak Toba sebagai etnis yang sama dengan mereka. Perkawinan campur dengan etnik lain bukanlah untuk meleburkan nilai- nilai keagamaan yang mereka miliki dengan etnik yang sudah menganut agama modren tersebut. Hal yang demikian dilakukan penganut agama Malim hanyalah sebagai sebuah startegi adaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya yang mejemuk. Penganut agama Malim akan tetap mempertahankan agamanya secara turun temurun. Sehingga dikemudian hari keturunan mereka akan tetap bertahan dan menjalankan hamalimon agamanya. Penganut agama Malim yang tinggal di kota Medan, mulai mempelajari bahasa dan menyesuaikan diri dengan pola kehidupan masyarakat disekitar tempat dia tinggal akan tetapi hal tersebut hanya dipermukaan. Karena sampai saat ini tata cara kehidupan mereka dapat dipertahankan, misalnya penggunaan bahasa daerah Universitas Sumatera Utara yaitu Bahasa Batak Toba. Walaupun sudah ada penyesuaian antara cara bergaul dari daerah asal desa Hutatinggi dengan daerah rantau kota Medan, bahasa Batak Toba masih tetap digunakan, selain dari keharusan dalam pembacaan doa yang bertuliskan bahasa Batak, bahasa Batak juga menjadi bahasa pengantar dalam khotbah upacara adat dan keagamaan Malim. Diawal kedatangannya sebagai proses untuk beradaptasi di kota Medan, penganut agama Malim melakukan perkawinan campuran dengan etnis yang menganut agama modern tetapi tidak sedikit yang dapat mempertahankan agama Malim. Kalaupun ada yang mengubah keyakinannya dengan memillih agama lain, mereka bukan lagi menjadi bagian dari penganut agama Malim walau berasal dari daerah yang sama yaitu Hutatinggi. Sebab yang disebut dengan penganut agama Malim adalah mereka yang menganut agama Malim. Etnis lain dan yang menganut agama lain dari masyarakat yang menganut agama Malim dapat disebut sebagai Parmalim. Apabila sudah menganut agama Malim dapat disahkan oleh pemimpin agama Malim melalui upacara manganggir pensucian diri terhadap orang yang atas kerelaan hati menjadi penganut agama Malim yang sah. Hingga sekarang ini perkawinan campuran masih tetap ada dilakukan oleh penganut agama Malim, akan tetapi para orangtua mereka tetap menganjurkan kepada generasinya untuk tetap mempertahankan agama Malim. Sebenarnya perkawinan campuran dengan etnik-etnik yang menganut agama lain terlebih etnik di luar suku Batak Toba kurang dianjurkan oleh mereka. Karena ada rasa ketakutan tersendiri perkawinan campur akan membuat penganut agama Malim berpaling dari yang mereka anut. Dewasa ini mulai ada, walau jarang terjadi penagnut agama Malim yang berpindah keyakinan akibat perkawinan campur. Universitas Sumatera Utara Menurut Wilhan Naipospos: “tuangka na kaluar sian Parmalim berarti na so mananda ma ibana tu sude asi-asi sian Debata marhite tangiang ni natorasna asa hot di bona nang di ujung ni patik ni Ugamo Malim. Molo pendapathu bah terserah nasida mai. Molo keluargaku sandiri i, dang adong be dalan pajumpang be tu ibana. Alai molo gabe nakaluar pe ibana unang las gabe ibana na mambaen stigma buruk mengenai Parmalim tu halak na so Parmalim, gabe paroha si bolis do biasana na naung kaluar i. Ganup jolma manjalo upana do sogot sian Debata”. Artinya: “bagi yang keluar dari Parmalim berarti dia tidak mengenal terhadap semua cinta kasi Tuhan Debata melalui doa orang tuanya biar tetap di awal dan di ahir perintah ajaran agama Malim. Menurut pendapat saya itu terserah kepada orang tersebut. Seandainya itu adalah keluarga saya sendiri tidak ada lagi jalan pertemuan dengan dia. Tetapi kalau memang dia mau keluar, dan dia membuat stigma buruk mengenai Parmalim terhadap orang yaqng bukan Parmalim, menjadi berkelakuan seperti iblis setanlah biasanya orang yang keluar dari agama Malim tersebut. Setiap manusia mendapat upah hukuman kelak dari Debata Tuhan”. Bagi penganut agama Malim pindah keyakinan bukanlah hal yang tidak diijinkan, tetapi mereka selalu berharap kiranya naposa muda-mudi mereka untuk tidak meninggalkan agama Malim. Dilihat dari aktivitas keagamaannya penganut agama Malim tidak mengubah apa yang telah mereka miliki dari daerah asalnya. Mereka tetap masih berpakaian keagamaan seperti apa yang mereka lakukan di daerah asalnya dan tetap menjalankan nilai-nilai hamalimon sesuai dengan tuntutan ajaran agama Malim. Kebertahanan penganut agama Malim terhadap agama Malim karena adanya kesadaran dan keyakinan mereka terhadap Debata Mulajadi Na Bolon. Pada dasarnya sebuah tempat tinggal di kota Medan adalah sekumpulan rumah dari pemukiman perantau. Seperti halnya kecamatan Medan Denai yang banyak dipilih penganut agama Malim sebagai tempat mereka untuk bermukim. Universitas Sumatera Utara Adapun latar belakang pemilihan tempat tinggal yang dilakukan penganut agama Malim diawal kedatanganya ke kota Medan adalah tidak lepas dari adanya daya tarik kota Medan khususnya kelurahan Binjai kecamatan Medan Denai berupa tersedianya lapangan pekerjaan diberbagai sektor industri pada masa itu dan juga disebabkan keterbukaan penduduk kelurahan Binjai yang didominasi suku bangsa Batak Toba. Sehingga memudahkan bagi penganut agama Malim untuk bersosialisasi sebagai strategi adaptasi terhadap lingkungan masyarakat disekitarnya. Dalam kelompok pemukiman mereka yang majemuk dari budaya dan agama masing-masing penduduknya, hubungan dan kegiatan sosial akan tetap dipertahankan. Upacara-upacara siklus kehidupan, pagelaran budaya dan kegiatan keagamaan dilaksanakan dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing. Demikian pula dengan penganut agama Malim, berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan. Sejak awal kedatangannya di kota Medan mereka tidak pernah bertempat tinggal secara menumpuk melainkan tersebar. Di setiap tempat tinggal, umumnya mereka hanya bebrapa kelompok keluarga bahkan di kecamatan Medan Denai sebagai daerah tempat parpunguan dan perayaan hari besar keagamaan hampir tidak ada penganut agama Malim yang bertetangga sesama penganut agama Malim. Berdasarkan daerah tempat tingalnya di kota Medan dalam keadaan tempat tinggal hidup bersama dengan kelompok etnik lain dan agama yang berbeda Parmalim merupakan kelompok masyarakat minoritas. Keadaan demikian bukanlah penghalang bagi mereka untuk tetap mempertahankan keaslian ajaran agama bahkan mereka masih tetap dapat mewujudkan keyakinannya dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dicontohkan dalam memakai pakaian saat Universitas Sumatera Utara pelaksanaan upacara keagamaan dimana laki-laki yang sudah menikah mengenakan sorban di kepala, juga sarung dan selendang Batak atau ulos. Sementara perempuan memakai sarung, juga mengonde rambut mereka. Penggunaan pakaian seperti ini menurut mereka adalah merupakan perwujudan rasa hormat dalam menyampaikan pujian dan persembahan yang dilakuakn dengan hati suci atau hamalimon terhadap Debata Mulajadi Nabolon. Gambar 4.1 : Sedang Mengenakan Pakaian Keagamaan Malim Ulos yang dikenakan adalah ulos Batak Toba yang asli tanpa harus memadukan pakaian tradisional dari suku yang ada di tempat tinggal mereka. Pada saat upacara keagamaan kitab suci yang digunakan yaitu pustaha habonaran masih menggunakan tulisan aksara Batak. Berdasarkan pengamatan penulis terhadap penganut agama Malim di kota Medan, dalam kehidupan bermasyarakat untuk diterima sebagai anggota Universitas Sumatera Utara masyarakat mereka tidak perlu melakukan perobahan terhadap agama yang mereka miliki. Walaupun penganut agama Malim jumlahnya sangat sedikit dan keberadaannya tidak diakui sebagai agama oleh pemerintah, masyarakat di luar mereka dapat menerima Parmalim bersamaan dengan agama Malim yang mereka anut.

4.1.1. Hubungan dengan Kampung Halaman

Keberadaan penganut agama Malim yang jauh dari daerah asal di kota Medan, bukan berarti akan melupakan daerah asal-usulnya. Mereka akan tetap mengingat darimana asalnya. Demikian juga dengan nilai keagamaan yang mereka miliki akan tetap dilestarikan walaupun para penganutnya berada di daerah perkotaan yang sangat kental dengan kemajemukan baik kemajemukan dalam nilai budaya maupun kemajemukan dalam agama. Penganut agama Malim yang tinggal di daerah perkotaan tidak akanpernah lupa terhadap bona pasogitnya karena sudah menjadi tradisi turun-temurun bagi mereka untukmemperkenalkan dimana kampung halaman mereka kepada anak-anaknya. Dengan memperkenalkan kampung halamanya, sudah tentu menimbulkan rasa ingin tahu bagi regenerasi mereka untuk melihat langsung dimana daerah yang menjadi asal-usul mereka. Kehidupan yang lebih baik dikota Medan dari pada di daerah asal mereka juga tidak menjadikan mereka lupa terhadap bona pasogitnya karena sangat banyak hal yang dapat mengikat mereka dengan daerah asal. Adalah satu pengikat antara penganut agama Malim dengan daerah asalnya adalah adanya harta warisan yang mereka dapatkan dari orang tua mereka dan biasanya berupa peninggalan tanah, meskipun tanah tersebut tidak terlalu luas. Dengan adanya harta warisan, maka mereka akan selalu berpikir bahwa sejauh manapun mereka pergi, akan tetap Universitas Sumatera Utara memikirkan harta warisan mereka yang ada di kampung. Bagi penganut agama Malim, adalah sangat pantang untuk menjual warisan dari orang tua. Karena mereka menganggap bahwa warisan tersebut mengandung makna tersendiri bagi mereka. Dengan adanya warisan tersebut akan selalu mengingatkan mereka tentang semasa hidup orang tuanya. Dan apabila warisan ini dijual biasanya akan dijual kepada kerabat dekatnya untuk tidak menghilangkan makna pemberian warisan tersebut. Dalam pegelolahan tanah warisan yang berupa sawah maupun ladang maka dipercayakan kepada kerabat dekat yang masih tinggal di kampung dengan sistem bagi hasil. Biasanya yang dipercayakan mengelola tanah warisan adalah kerabat dekat seperti abang atau adik kandung yang masih tinggal di kampung. Dengan sistem bagi hasil tersebut secara tidak langsung akan menambah penghasilan saudara mereka yang masih tinggal di kampung dan juga akan menjadikan hubungan mereka dengan saudara yang tinggal di kampung akan tetap terjaga. Biasanya hasil dari sawah dan ladang itu akan diambil setahun sekali atau setengah tahun sekali, tergantung kesepakatan diantara mereka. Demikian juga dengan akan yang diterima, apakah dalam bentuk uang atau hasil lainya. Dengan adanya hal tersebut maka Parmalim yang hidup di daerah rantau akan selalu ingat akan kampung halamanya. Penganut agama Malim yang bermigrasi ke kota Medan dalam mengingat kampung halaman bukan hanya berdasarkan adanya warisan yang mereka peroleh di kampug, karena diantara penganut agama Malim yang tinggal di daerah rantau kota Medan banyak juga yang tidak mmeliki harta warisan berupa tanah di kampung. Hal ini disebabkan karena orang tua mereka dahulu tidak memiliki tanah Universitas Sumatera Utara semdiri tetapi sebagai pekerja di sawah maupun di ladang orang lain dan sebagai penyewa tanah. Keadaan ini tidak menjadikan mereka lupa akan kampung halaman, betapapun pahitnya kehidupan di kampung dahulu. Meskipun tidak memiliki tanah warisan di kampung, mereka akan merasa sangat bersalah apabila mereka tidak membawa anak-anaknya pulang kampung untuk mengenal kampung orang tuanya. Hampir setiap tahu penganut agama Malim yang tinggal di Medan akan selalu pulang kampung hal ini disebabkan karena pada tiap perayaan tahun baru yang disebut dengan upacara Sipaha Sada yang wajib diikuti oleh semua penganut agama Malim dimanapun mereka berada. Sipaha sada adalah salah satu aturan ibadat dalam agama Malim, upacara ini secara khusus diadakan untuk memperingati ari hatutubu hari kelahiran Tuhan Simarimbulubosi yang jatuh pada ari suma hari kedua dan ari anggara hari ketiga bulan sipaha sada bulan sada. Dalam klender Batak Toba merupakan bulan satu.karena menurut kepercayaan agama Malim Simarimbulubosi lahir pada bulan satu sehingga hari kelahiranya dirayakan pada bulan satu sebagai awal tahun baru. Semua kegiatan perayaan sipaha sada dirayakan di Bale Pasogit Partonggoan Hutatinggi dengan diiringi musik tradisional yaitu hasapi kecapi dan peralatan musik gondang lainya. Selain upacara keagamaan sipaha sada ada juga perayaan upacara sipaha lima yang wawjib di hadiri peganut agama Malim di Bona Pasogti desa Hutatinggi Kecamata Laguboti. Upacara sipaha lima merupakan ibadat aturan yang wajib diamalkan oleh warga Parmalim Pada stiap tahunya. Upacara ini dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut. Universitas Sumatera Utara Dengan adanya kewajiban bagi penganut agama Malim untuk mengikuti kedua upacara ini di daerah asal mereka bona pasogit akan secara tidak langsung menjadi sebuah alasan bagi penganut agama Malim didaerah rantau untuk selalu mengingat dan mengunjungi kampung halamanya sebagai perwujutan keimananya terhadap agama Malim yang dianut. Upacara besar keagamaan tersebut sekaligus juga menjadi media untuk mempertemukan penganut agama Malim secara keseluruhan yang berasal dari berbagai penjuru. Pertemuan pada saat upacara besar keagamaan seperti ini sering kali dimanfaatkan penganut agama Malim untuk saling tukar informasi mengenai keberadaan asgama yang mereka anut ditiap daerah mereka masing-masing. Dengan adanya pertukanran informasi seperti ini akan mempermudah bagi mereka untuk mengetahui sejauh mana perkembangan keberadaan agama Malim tanpa terkecuali di kota Medan sebagai kota yang sangat majemuk. Bagaimanapun senangnya kehidupan ditempat yang baru, pulang kampung adalah suatu obsesi atau keinginan yang kuat bagi penganut agama Malim. Dengan adanya hal-hal tersebut yang mengharuskan penganut agama Malim untuk tetap mengunjungi kampung halamanya tentu akan semakin mempertebal rasa identitas penganut agama Malim sebagai agama asli etnis Batak Toba. Tradisi pulang kampung akan selalu mereka laksanakan.

4.1.2. Peranan Sosialisasi Keluarga Dalam Mempertahankan Agama Malim

Manusia sebagai makhluk sosial tentunya sangat membutuhkan orang lain dalam menjalani hidupnya. Hidup bersamaan dengan orang lain, setiap individu membutuhkan sosialisasi sebagai proses permulaan di mana manusia dapat Universitas Sumatera Utara mempelajari tata cara kehidupan dalam lingkungan bermasyarakat untuk mempelajari dan mengembangkan kapasitas yang berfungsi baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok. Sehubungan dengan adanya sosialisasi, maka kebudayaan sebagai alat adaptasi manusia terhadap lingkungan, ditransmisikan dari generasi tua ke generasi muda dalam masyarakat pada kebudayaan tertentu. Demikian juga dengan agama Malim yang meyakini bahwa adat bukanlah sekedar hasil budaya orang Batak terdahulu yang diturunkan secara turun-temurun kepada generasi sekarang, akan tetapi lebih dari itu keberadaan adat ditengah-tengah masyarakat dipercayai berasal dari Tuhan Debata Mulajadi Naboon melalui seseorang yang dipilih-Nya. Orang yang terpilih ini menerima konsep dasar itu disingahon diisbatkan atau dikemas menjadi butir-butir patik aturan yang kemudian menjadi uhum hukum bagi penganut agama Malim. Gambar 4.1.2 : Seorang Anak Diikut Sertakan Dalam Pelaksanan Upacara Mangan Napaet Universitas Sumatera Utara Melalui proses sosialisasi dalam keluarga, seorang anak akan terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan proses sosialisasi anak dan remaja menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku ditengah-tengah masyarakat dan lingkungannya. Peranan sosialisasi terutama sosialisasi dalam keluarga sebagai perilaku anak nantinya sangat didasari oleh penganut agama Malim yang tinggal di kota Medan. Untuk itulah sedapat mungkin mereka selalu berusaha menanamkan ajaran agama Malim yang bersumber dari Debata Mulajadi Na Bolon dan sebagian lagi bersumber dari para Malim Debata. Semua ajaran ini dibagi kepada empat jenis ajaran yaitu pesan tona, sabda poda, peraturan patik, dan hukum uhum. Sebagian dari ajaran itu tercantum dalam pustaha habanaron yaitu semacam kitab suci atau kumpulan peraturan yang isinya mengatur hubungan antara manusia dengan Debata dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ajaran agama ini selalu mereka berikan baik dalam poda petuah maupun dalam bentuk tingkah laku yang akan dicontohkan kepada anak-anak mereka. Poda dalam istilah agama Malim dapat diartikan sebagai “nasihat” atau sabda yang bersumber dari para Malim utusan Debata, misalnya poda dari Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja dan Raja Nasiakbagi. Semua pesan ajaran agama yang keluar dari mulut mereka perkataan dianggap sebagai suara Debata yang tidak perlu diragukan kebenarannya. Ajaran agama ini wajib mereka transmisikan secara turun menurun terhadap generasi muda mereka. Semua ajaran yang terkandung dalam pola itu menjadi pegangan hidup sekaligus sebagai salah satu sumber hukum dalam pengamalan ajaran agama Malim. Universitas Sumatera Utara Para penganut agama Malim berpendapat bahwa pengamalan hidup yang pertama sekali dirasakan setiap orang adalah berasal dari keluarga. Semua ajaran agama Malim mereka peroleh pertama sekali dalam keluarga walaupun nantinya akan lebih dikembangkan dalam aktivitas keagamaan lainnya yang dilaksanakan bersamaan dengan sesama penganut agama Malim lainnya. Disaat seorang anak beranjak remaja dan saat dewasapun orang tua mereka tetap mengarahkan dan membimbing anaknya untuk tetap menjalankan ajaran-ajaran agama Malim. Sosialisasi yang terus menerus dilakukan terhadap anak adalah merupakan usaha orang tua untuk tetap mewariskan agama yang mereka miliki, mengingat kondisi kota Medan yang majemuk dalam hal keagamaan. Dengan adanya sosialisasi agama yang didapat dari keluarga, penganut agama Malim akan senantiasa dapat mempertahankan keimanannya walaupun mereka dapat nilai dan ajaran dalam proses sosialiasi di luar lingkungan keluarga. Pensosialisasian agama ini bukanlah tanpa alasan karena setiap penganut agama Malim percaya bahwa agama Malim yang mereka jalankan adalah “jalan” yang dapat mempertemukan mereka dengan sang pencipta Debata Mulajadi Nabolon. Meskipun dipercayai sebagai jalan pertemuan menuju Debata, namun bukanlah berarti agama Malim adalah satu-satunya agama yang dapat dijadikan sebagai jalan untuk bertemu dengan supernatural atau Tuhan Yang Maha Esa. Hidup bersama kelompok masyarakat yang berbeda agama adalah merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari oleh penganut agama Malim. Dalam kebersamaan tersebut mereka tetap mengakui adanya agama lain yang dapat mempengaruhi agama yang mereka miliki Gultom, 2010:199 Universitas Sumatera Utara Namun adanya agama lain dalam lingkungan mereka bukanlah suatu ancaman bagi pelestarian agama Malim jika mereka masih tetap menjalankan ajaran agama yang tetap disosialisasikan dalam lingkungan keluarga sebagai lingkungan pertama yang dikenal para generasinya.

4.2. Jabu Parsantian Rumah Ibadah

Keberadaan sebuah tempat ibadah yang disebut dengan parsantian pada tiap cabang dan Bale Pasogit Partonggoan BPP di Hutatinggi pusat penyebaran agama Malim adalah sangat penting. Karena disamping fungsi sebagai tempat kegiatan kerohanian juga berperan sebagai tempat dilakuaknnya kegiatan sosial lainnya. Dalam perjalanan liku kehidupan penganut agama Malim selalu akan berhubungan dengan tempat ibadahnya Parsantian, terlihat dari sejak kelahiran seorang anak sampai masa tuanya. Pada masa kelahiran anak disebut dengan upacara Martutuaek, di mana seorang anak yang baru lahir dimandikan sekaligus pengukuhan nama dilakuakn di Parsantian dengan tetap berpedoman terhadap ajaran agama Malim. Universitas Sumatera Utara Gambar 4.2 : Rumah Salah Seorang Parmalim Yang Difungsikan Sebagai Parsantian di Medan Menjelang dewasa dalam upacara pertunangan dan perkawinan yang disebut dengan upacara mamasumasu, parsantian juga merupakan tempat yang harus didatangi oleh penganut agama Malim yang ingin membentuk sebuah keluarga baru. Pemanjatan doa serta ucapan rasa syukur kepada Debata Mulajadi Nabolon dalam bentuk ritual keagamaan lainnya juga dilaksanakan di tempat parsantian. Di lingkungan parsantian tidak ada orang yang harus diperlakukan secara khusus atau diistimewakan, baik dia sebagai pemimpin ulupunguan, sekretaris, bendahara maupun sebagai anggota maupun golongan sosial. Ketika memasuki rumah ibadah parsantian penganut agama Malim diwajibkan memiliki pakaian sesuai dengan aturan keagamaan di mana saat upacara berlangsung laki-laki yang sudah menikah mengenakan sorban di kepala berupa kain halus berwarna putih. Pada bagian bahu dikenakan ulos, juga sarung Universitas Sumatera Utara yang dilipat di pinggang. Sementara perempuan hanya memakai sarung dan mengonde rambutnya. Melalui cara berpakaian seperti itu mereka sudah dapat mengikuti upacara keagamaan. Seiring dengan perkembangan zaman setiap penganut agama Malim harus dapat menghadapi tantangan hidup di kota Medan sebagai kota yang majemuk. Untuk itu Parmalim membutuhkan sikap toleransi, kebersamaan dan kepedulian terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Di kota Medan Parmalim selalu mengajarkan tentang ajaran agama, bahasa dan adat istiadat mereka terhadap anak- anaknya. Sehingga dalam bermasyarakat mereka mampu mengerti dengan mengenali ajaran agama mereka sendiri tanpa terpengaruhi ajaran agama lain. Seperti halnya di sekolah tidak ada pelajaran agama tentang agama Malim, sehingga di sekolah mereka mempelajari agama lain seperti agama Islam, Kristen dan Budha yang telah diakui oleh negara sebagai agama. Kebijakan yang dilakukan Parmalim dengan mau mempelajari agama lain adalah merupakan suatu bentuk strategi adaptasi yang dilakukan oleh penganut agama Malim di kota Medan, karena tidak memungkinkan bagi mereka untuk mempelajari agama mereka di sekolah. Selain mendapat pelajaran agama di rumah, parsantian merupakan tempat paling efektif untuk belajar agama Malim. Apa yang mereka peroleh di rumah aka lebih didalami lagi di tempat ibadah parsantian. Setiap hari Sabtu setelah perayaan upacara mararisabtu sebagai hari peribadatan yang diadakan sekali dalam sepekan para muda-mudi Parmalim yang disebut dengan “tunas naimbaru”, berdiskusi dan saling bertukar pikiran dalam membahas patik dan ajaran-ajaran dari Debata Mulajadi Nabulon yang tercantum Universitas Sumatera Utara dalam buku Pustaha Habonaron yang bertuliskan aksara Batak. Selain itu para muda-mudi Parmalim juga melakukan pembahasan tentang pengalaman hidup yang berhubungan dengan ajaran agama Malim. Pada pertemuan tersebut muda- mudi dapat belajar bahasa Batak dengan baik, hal ini dilakukan dengan harapan agar setiap penganut agama Malim tidak mendapat kesulitan dalam pembacaan dan pengucapan doa keagamaan yang penulisannya menggunakan aksara Batak. Rumah ibadah Parmalim di Hutatinggi sebagai pusat penyebaran agama Malim disebut dengan Bale Pasogit Partonggoan sementara disetiap cabang disebut Parsantian. Bangunan rumah ibadah Parmalim jika dilhat secara fisik, bentuk bangunan Bale Pasogit menyerupai gereja pada umumnya,. Bangunan tersebut dilengkapi lapangan yang cukup luas yang digunakan umum Parmalim merayakan hari besar keagamaan mereka. Pada bagian atap bangunan terdapat simbol keagamaan berup tiga ekor ayam. Simbol tiga ayam ini punya warna yang berbeda, yaitu warna hitam simbol kebenaran, putih simbol kesucian, dan merah simbol kekuatan atau kekuasaan hagogoon. Ketiga simbol tersebut merupakan perwujudan dari “partondion”keimanan penganut agama Malim. Konon, menurut ajaran agama Malim, ada tiga patondion yang pertama kali diturunkan Debata ke Tanah Batak, yaitu Batara Guru, Batara Sori dan Batara Bulan. Sementara ayam merupakan salah satu bahan persembahan kurban kepada Debata Mulajadi Na Bolon. Di kota Medan hingga saat ini, penganut agama Malim belum mempunyai rumah ibadah atau disebut dengan rumah Parsantian. Persembahyangan masih dilakukan di rumah salah seorang penganut agama Malim. Hal demikian terkait pada tahun 2005 lalu, penganut agama Malim membangun rumah Parsaktian di Universitas Sumatera Utara Jalan Air Bersih, Ujung Medan. Pembangunan rumah yang telah selesai 70 persen itu gagal akibat adanya penolakan keras dari warga sekitar. Rumah tersebut memiliki luas dua kali lapangan bulu tangkis dan tanah tempat dibangunnya rumah adalah milik salah seorang penganut agama Malim. Saat ini rumah tersebut terbengkalai, tembok yang sempat dibangunan sebagian rubuh dan ditumbuhi alang-alang. Gagalnya pembangunan rumah Parsantian, bagi penganut agama Malim di kota Medan bukanlah suatu penghalang atau penghambat dalam menjalankan agama Malim. Mereka tetap yakin dan percaya terhadap kuasa dan kemurahan hati Debata Mulajadi Nabolon bahwa suatu saat pembangunan rumah Parsaktian akan segera terwujud di kota Medan. Rumah salah seorang penganut agama Malim yang juga difungsikan sebagai tempat ibadah dalam perayaan hari besar keagamaan seperti mangan na paet dan ibadah mararisabtu adalah rumah yang cukup besar. Dilihat dari fisik bangunan dari luar yang membedakannya dengan rumah penduduk lainnya adalah terdapat gorga pada bagian depan rumah disertai dengan teras dan halaman rumah yang cukup luas. Rumah tersbut dapat menampung secara keseluruhan penganut agama Malim yang merayakan upacara mangan na paet sebagai acara penghapusan dosa tahunan, yang diikuti seluruh Parmalim sekota Medan. Adanya suatu kebijakan dengan menjadikan sebuah rumah penduduk penganut agama Malim sebagai tempat ibadah layaknya sebuah rumah Parsantian, adalah merupakan strategi adaptasi yang dilakukan Parmalim untuk tetap mempertahankan agama Malim di kota Medan. Kesulitan mendapat izin dari penduduk di sekitar Jalan Air Bersih, Ujung Medan yang juga adalah orang Batak Universitas Sumatera Utara Toba yang telah menganut agama moderen yaitu agama Kristen. Keadaan demikian bukanlah penghalang bagi mereka untuk tetap menjalankan aktivitas keagamaannya. Dengan harapan suatu saat akan dibukakan jalan terhadap maksud dan niat baik penganut agama Malim untuk mendirikan tempat ibadat Parsantian di kota Medan seperti di daerah lainnya.

4.3. Aktifitas Dalam Keagamaan

Agama Malim adalah sebuah agama yang memiliki beberapa macam upacara agama ritual yang dijadikan sebagai jalan untuk “bertemu” dengan Debata Mulajadi Nabolon. Jika ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya, upacara agama itu dapat digolongkan kepada dua bagian besar, upacara yang terjadwal dan yang tidak terjadwal. Golongan yang pertama adalah upacara yang terdiri dari upacara mingguan seperti upacara mararisabtu yang dilaksanakan pada setiap hari Sabtu dan upacara yang dilaksanakan pada setiap tahun annual cycle yang rujukannya berdasarkan pada kalender Batak, misalnya upacara agama mangan na paet memakan yang pahit, sipaha sada hari kelahiran Simarimbulubosi dan sipaha lima persembahan sesaji besar atau sacrificial ritual. Golongan yang kedua adalah upacara yang bukan musiman tidak terjadwal melainkan upacara yang berdasarkan pada fase yang dilalui sepanjang hidup manusia yang dianggap sebagai masa yang genting atau krisis life crisis. Upacara seperti ini ada karena datangnya suatu masa atau peristiwa tertentu bagi seseorang manusia dalam kehidupannya. upacara yang dimaksud ialah, upacara kelahiran martutuaek, perkawinan mamasumasu dan upacara kematian pasahat tondi. Di samping itu, ada juga upacara khusus yang sifat dan latar belakangnya berbeda dengan upacara lainnya, yaitu upacara pensucian manganggir dan Universitas Sumatera Utara mardebata menyembah Debata. Upacara manganggir terjadi disebabkan adanya perpindahan agama, sedangkan mardebata terjadi karena adanya nazar seseorang atau karena ada kasus berat sehingga perlu mendapatkan keampunan dosa dari Debata. Bagi agama Malim, persembahan pelean sesaji dan pelafalan doa-doa tonggo-tonggo adalah hal yang wajib dalam setiap upacara agama. Selain itu, ada juga upacara agama yang mengharuskan adanya persembahan tari-tarian tortor yang diiringi dengan gendang gondang tradisional Batak. semua ini merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam upacara agama Malim Gultom, 2010:222.

4.3.1. Upacara Mararisabtu Ibadat Mingguan pada Hari Sabtu

Mararisabtu adalah salah satu upacara agama ibadat yang terpenting dalam agama Malim. Ibadat ini wajib dilaksanakan sekali dalam sepekan yaitu pada hari Sabtu. Penetapan hari Sabtu sebagai hari peribadatan berasal dari sejarah di mana tepat pada hari ketujuh Sabtu, Siboru Daekparujar menggunakan hari itu sebagai hari beristirahat atau sebuah hari tanpa aktivitas. Pengamalannya yang demikian itu terus menerus diamalkan oleh keturunannya sejak dari Raja Ihat Manisia dan Siboru Ihat Manisia manusia pertama sampai kepada Raja Sisingamangaraja. Kemudian pengamalan yang demikian ditetapkan menjadi sebuah ketentuan patik yang wajib diamalkan dalam agama Malim pada masa Raja Nasiakbagi. Di dalam peraturan tersebut ditetapkan bahwa pada hari ketujuh Sabtu adalah hari beristirahat paradianan sekaligus sebagai hari beribadat bagi seluruh penganut agama Malim. Universitas Sumatera Utara Penganut agama Malim harus berkumpul pada setiap hari Sabtu di tempat peribadatan yang sudah ditentukan oleh masing-masing cabang punguan. penentuan tempat peribadatan ini bergantung kepada tempat tinggal masing-masing anggota. Bagi orang yang bertempat tinggal di daerah Medan, mereka biasanya langsung mararisabtu di salah satu rumah penduduk yang juga difungsikan ebagai Parsantian. Pada hari Sabtu Parmalim tidak boleh mengerjakan pekerjaan sehari-harian siapari. Artinya, kalau seseorang Parmalim yang pekerjaannya sebagai petani, maka ia tidak boleh bekerja di sawah atau di ladang. Melainkan penganut agama Malim diwajibkan beribadat mararisabtu bukan hanya sebatas berdiam diri di rumah. Dengan mendatangi Parsantian dan mengikuti ibadah mararisabtu Parmalim telah mensucikan hari Sabtu seperti yang dilakukan penganut agama Kristen yang mensucikan hari Minggu sebagai hari peristirahatan dari berbagai aktifitas yang di jadikan Tuhan buat mereka. Dalam ibadat mararisabtu bukan hanya sekedar kumpul-kumpul saja dan lantas berdoa, tetapi lebih dari itu harus mempersembahkan sesaji yang terdiri dari daupa dupa sebagai media perantaranya. Tujuan ibadat mararisabtu adalah untuk menghapus dosa yang dilakukan pada hari-hari yang lalu terutama seminggu yang baru saja berlalu. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa mararisabtu adalah wadah penghapusan dosa apalagi dosa-dosa kecil, karena disadari bahwa manusia tidak luput dari perbuatan dosa apalagi dosa-dosa kecil. Sebelum agama Malim resmi ada, hari ketujuh Sabtu itu hanyalah merupakan hari paradianan rehat, tetapi oleh Raja Nasiakbagi kemudian ditetapkan sebagai hari pemujaan kepada Debata dan sekaligus menjadi aturan ibadat wajib. Universitas Sumatera Utara Adanya baik perbuatan yang sudah terlanjur dilakukan maupun masih dalam taraf niat dan kehendak yang dapat dikategorikan sudah melanggar peraturan sehingga menjadi dosa, hukumnya wajib ditebus melalui ibadat mararisabtu di mana dalam pemujaan itu harus pula dengan pelafalan doa-doa. Upacara agama inilah sebagai wadah dalam memohon keampunan dosa dan menyesali dosa atas niat-niat kotor dan perbuatan jahat yang sudah terlanjur dilakukan. Dalam setiap melaksanakan ibadat mararisabtu harus betul-betul dengan hati yang tulus, khusuk dan berjanji untuk bertaubat dan tidak akan mengulangi perbuatan yang dapat melanggar peraturan Debata.

4.3.2. Upacara Martutuaek Kelahiran Anak

Martutuaek merupakan salah satu aturan atau ibadat yang wajib dilaksanakan dalam agama Malim. Sebelum agama Malim resmi ada yakni pada jaman Sisingamangaraja I bahkan sejak dari Siraja Batak, martutuaek sudah menjadi bagian dari adat istiadat masyarakat Batak. Pada masa itu martutuaek merupakan upacara khusus untuk memandikan anak yang baru lahir sekaligus penabalan namanya. Di samping itu sudah merupakan adat kebiasaan bagi orang Batak untuk membuat jamuan makan dengan mengundang sanak keluarga dan tetangga, apabila suatu keluarga mendapatkan anugerah dari Debata yaitu kelahiran anak. Jamuan makan seperti ini merupakan wujud rasa syukur sekaligus menunjukkan kegembiraan hati semua keluarga. Acara ini lazim disebut “mangharoanan” menyambut kelahiran. Namun setelah agama Malim resmi ada, acara martutuaek bukan lagi sekadar adat kebiasaan, tetapi sudah berubah status hukumnya menjadi suatu aturan atau ibadat yang wajib diamalkan. Beliau menetapkan bahwa kedudukan Universitas Sumatera Utara martutuaek dalam ajaran agama Malim adalah “menyambut kehadiran tondi” lebih dari sekadar menyambut kehadiran anak yang nilainya hanya untuk sebuah kegembiraan dan kebahagiaan dalam arti dunia. Beliau mengajarkan bahwa ruh tondi yang ada pada manusia berasal dari Debata dan pada suatu masa nanti ruh itu akan kembali kepada-Nya. Berdasarkan ajaran itu, agama Malim menganut paham bahwa dalam setiap penyambutan seorang anak yang baru lahir sepatutnya berangkat dari segi tondi- nya dan bukan semata-mata jasmaniahnya. Itu bermakna bahwa tondi itu harus dipelihara agar menjadi tondi yang siap kembali dengan selamat kepada si pemiliknya. Untuk menjadi tondi yang selamat kelak di kemudian hari, pihak keluarga harus bertanggung jawab tentang pendidikan ruhaninya dengan cara menanamkan ajaran hamalimon keagamaan kepadanya. Dengan adanya tanggung jawab orang tua untuk tetap memberikan ajaran hamalimon sesuai dengan ajaran ajaran agama Malim sejak kelahiran seorang anak dalam keluarga akan senantiasa dapat menjaga kelestarian ajaran dan eksistensi agama Malim secara turun-temurun. Pelaksanaan upacara kelahiran anak di kota Medan, tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan upacara kelahiran yang diadakan di Hutatinggi kecamatan Laguboti. Hingga saat ini pelaksanaanya merupakan suatu kewajiban bagi setiap orang tua terhadap kelahiran seorang anak yang belum genap berumur 30 hari. Selanjutnya sebelum upacara martutuaek dilaksanakan, pihak orang tua harus terlebih dahulu melaporkan kelahiran anak kepada pimpinan agama ihutan atau wakilnya sekaligus merundingkan dan menetapkan “hari baik” untuk pelaksanaan upacara martutuaek. Upacara ini penting karena selain merupakan pesta syukuran, pada waktu itu pulalah nama anak itu ditabalkan sekaligus Universitas Sumatera Utara didaftarkan sebagai anggota baru Agama Malim. Stiap anak yang baru lahir tidak boleh memberi nama begitu saja tanpa melalui upacara martutuaek. Jika upacara ini belum terlaksana, si anak tadi belum sah sebagai penganut agama Malim. Pemberian nama tanpa melalui upacara martutuaek dianggap tidak menuruti ajaran agama. Pelaksanan upacara martutu aek yang telah mengukuhkan seorang anak menjadi penganut agama Malim yang sah, diwujudkan melalui suatu upacara rasa syukur dengan mengundang kerabat lainya secara tidak langsung telah menjadi sebuah proses publikasi terhadap lingkungan masyarakat tempat diadakan upacara martutu aek tersebut. Menurut kepercayaan penganut agama Malim bayi yang baru lahir baik anak laki-laki maupun perempuan tidak boleh dibawa ke suatu tempat yang dinamakan mual mata air sebelum upacara martutuaek dilaksanakan. Kehadiran bayi yang kali pertama di suatu mata air harus diusahakan pada masa upacara martutuaek dilangsungkan karena pada masa itulah si anak dimandikan untuk tujuan pensuciannya dan sekaligus sebagai pemberitahuan dan penghormatan kepada Saniangnaga selaku penguasa air. Menurut Kasman Sirait, menyatakan bahwa: ”suatu hal yang selalu diingat dan dilaksanakan oleh setiap penganut agama Malim tidak ada alasan bagi setiap Parmalim untuk tidak melaksanakan upacara martutuaek. Maksudnya, seandainya keluarga yang mendapatkan “rahmat anak” itu kebetulan tergolong keluarga miskin, bukanlah berarti lepas kewajibannya untuk melaksanakan upacara. Sekiranya memang benar keluarga itu miskin, boleh saja mereka melaksanakan upacara martutuaek dengan sederhana tapi khidmat. Mereka tidak perlu mengundang banyak orang untuk hadir di acara itu, tetapi cukup dengan hanya dihadiri oleh pimpinan ritual ihutan atau ulupunguan yang sekaligus bertindak sebagai pimpinan acara martutuaek”. Universitas Sumatera Utara Pelasanaan upacara kelahiran bukan dilihat berdasarkan kemeriahan dan kemegahanya dengan menjamu banyak orang dan pesta besar namun, meski upacara sangat sederhana, namun ibadat itu sudah dapat dilaksanakan dengan penuh khusuk dan ikhlas. Dalam hal ini tidak perlu memaksakan jika benar-benar tidak mampu dari segi ekonomi.

4.3.3. Upacara Pasahat Tondi Kematian

Pasahat tondi berasal dari dua kata, yaitu “pasahat” yang bermakna “menyampaikan”, “menyerahkan”, sedangkan makna “tondi” adalah “ruh”. Dengan demikian pasahat tondi berarti menyampaikan atau menyerahkan ruh. Dalam agama Malim, istilah pasahat tondi adalah upacara agama yang bermaksud menyampaikan atau menyerahkan ruh seseorang manusia yang sudah meninggal dunia kepada Debata Mulajadi Nabolon sekaligus memohon kepada-Nya agar orang yang bersangkutan dapat diampuni dosanya dan ditempatkan di sisi-Nya serta memohon keampunan dosa keluarga yang ditinggalkannya. Dilihat dari perspektif antropologi, pasahat tondi merupakan sebuah upacara yang masuk dalam kategori upacara peralihan rites of passage yang dalam agama Malim upacara disejajarkan dengan “aturan”. Seperti halnya dengan ajaran agama lain yang sudah diakui oleh negara, penganut agama Malim juga percaya bahwa apa yang sudah diciptakan Tuhan Debata akan kembali kepada-Nya demikian pula dengan tondi ruh manusia. Orang yang bertanggung jawab melaksanakan upacara pasahat tondi ialah keluarga terdekat si mayat. Apabila si mayat kebetulan tidak memiliki keluarga yang dekat, maka yang berkewajiban melakukan upacara pasahat tondi ialah anggota cabang punguan di mana si mayat dulunya terdaftar sebagai anggota parmalim. Apabila Universitas Sumatera Utara anggota punguan cabang juga tidak melaksanakannya, maka keseluruhannya akan dikenai dosa fardhu kifayah. Disebutkan bahwa selama ruh yang mati belum diserahkan, selama itu pulalah ruhnya akan menangis terus-menerus sambil menunggu hingga upacara pasahat tondi ditunaikan Gultom:2010:240. Sebagai sebuah agama tradisional penganut agama Malim mengakui adanya surga dan neraka sebagai ahir dari sebuah kehidupan manusia di muka bumi ini. Dengan melaksanakan upacara pasahat tondi diharapkan dosa orang yang meninggal dunia tersebut telah terampuni. Namun walaupun demikian, bukanlah berarti bahwa melalui pasahat tondi itulah satu-satunya jalan seseorang dapat terhindar dari ancaman masuk neraka dan sekaligus sebagai jaminan untuk masuk ke dalam surga. Segalanya tetap bergantung kepada amal perbuatannya selama ia hidup di dunia.

4.3.4. Upacara Mardebata Sembah Debata

Sebagai perwujudan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Debata Mulajadi Na Bolon penganut agama Malim melaksanakan upacara mardebata sepeti yang dilakukan oleh Parmalim didaerah asal penyebaranya Hutatinggi kecamatan Laguboti. Mardebata adalah salah satu ritual dalam agama Malim. Secara harfiah kata mardebata bermakna “menyembah Debata”. Sedangkan menurut istilah agama, arti mardebata ialah; “upacara penyembahan kepada Debata dengan perantaraan sesaji pelean yang bersih yang diantarkan melalui bunyi-bunyian gendang selengkapnya gondang sabangunan atau gendang kecapi gondang hasapi sebagaimana telah diisbatkan dalam agama Malim. Pada hakikatnya hukum mardebata tidaklah wajib, melainkan hanya semacam tambahan ibadat berdasarkan niat yang muncul dari seseorang parmalim. Universitas Sumatera Utara Namun boleh saja hukum mardebata ini meningkat menjadi wajib apabila seseornag melakukan kasus yang dapat dikategorikan melanggar patik dan hukum yang berat. Meski ibadat mardebata merupakan hajatan keluarga, namun diharuskan juga dihadiri oleh anggota Parmalim cabang yang lain. Dengan kata lain, amalan ibadat ini bisa menjadi peribadatan bersama yang nilai ibadatnya bukan untuk suhut tuan rumah saja, tetapi kepada semua peserta yang terlibat dalam upacara itu.

4.3.5. Upacara Mangan Na Paet Memakan yang Pahit

Arti mangan na paet dalam bahasa Batak adalah “memakan yang pahit”, sedangkan menurut istilah agama Malim, “mangan na paet” adalah suatu aturan ibadat yang wajib diamalkan oleh setiap warga Parmalim pada akhir tahun. Menurut amang Simanjuntak ulupunguan Medan pelaksanaan mangan na paet adalah: “mangan na paet yang dilakukan Parmalim merupakan wujud pengakuan bahwa setiap manusia tidak luput dari segala perbuatan dosa sejak awal tahun hingga akhir tahun. Untuk menghapus “dosa tahunan” diwajibkan bagi parmalim untuk melaksanakan ibadat mangan na paet sebagai wadah penyampaian keampunan dosa kepada Debata. Ada dua hal penting yang dilaksanakan dalam ibadat mangan na paet. Pertama, memang betul-betul memakan makanan yang pahit. Kedua, menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum berpuasa selama 24 jam. Kedua bentuk ibadat itu dijadikan sebagai bukti kesungguhan hati untuk menyesali dosa dan sekaligus berjanji untuk tidak melakukan perbuatan dosa tobat. Melalui ibadat mangan na paet diharapkan segala dosa yang diperbuat pada masa silam kiranya sudah terhapus dan sudah menjadi orang yang suci ketika hendak memasuki tahun yang baru”. Pelaksanaan mangan na paet adalah merupakan acara terbesar yang dilaksanakan pada setiap cabang, pelaksanaanya di Medan dilaksanakan di rumah salah seorang penganut agama Malim yang dijadikan sebagai rumah parsantian. Universitas Sumatera Utara Perayaan upacara ini tentunya dapat menarik perhatian penduduk disekitar daerah tersebut yang melihat dan mengetahui dilaksanakanya upcara mangan na paet. Dengan demikian adanya wujud keyakinan terhadap Debata Mulajadi Nabolon melalui aktifitas keagamaan yang terlihat dilaksanakan dan dihadiri oleh seluruh penganut agama Malim sekota Medan, dapat meningkatkan eksistensi agama Malim ditengah masyarakat kota Medan yang sangat kental dengan kemajemukan etnisnya. Gambar 4.3.5 : Posisi Duduk Parhundulon Perempuan Dipisah Dari Laki-Laki Pada Setiap Acara Keagamaan Meski dalam upacara ibadat mangan na paet memang betul-betul memakan yang pahit seperti biji anggir-anggir, daun pepaya, dan lain-lain, tetapi bukanlah bahan makanan yang pahit itu yang menjadi ukuran makna ibadat mangan na paet, melainkan lebih karena ajaran yang terkandung di dalamnya. Jika dipandang dari sudut amalan “memakan yang pahit” mungkin bagi orang Batak tidaklah begitu Universitas Sumatera Utara masalah, bahkan boleh dikata bahan yang pahit seperti itu sudah merupakan makanan yang biasa bagi orang Batak. Akan tetapi karena hal demikian adalah suatu ajaran, maka ia menjadi lebih bermakna. Jadi, menurut ajaran agama Malim, ibadat mangan na paet bertujuan, pertama: sebagai simbol “kepahitan” hapaeton yang dialami para Malim Debata demi memperjuangkan umatnya. Kedua, sebagai wadah penebusan dosa setiap tahun mulai dari awal hingga akhir tahun.

4.3.6. Upacara Mamasumasu Memberkati Pernikahan

Salah satu upacara agama yang tidak boleh diabaikan oleh penganut agama Malim ialah mamasumasu. Istilah mamasumasu dalam agama Malim dapat diartikan “pemberkatan perkawinan”. Dalam istilah antropologi, mamasumasu adalah upacara yang termasuk dalam kelompok upacara krisis rites crisi, karena seseorang hendak melalui suatu tahapan perjalanan hidupnya yaitu memasuki gerbang perkawinan. Upacara mamasumasu ini biasanya dipimpin oleh ihutan atau boleh juga diwakilkan kepada ulupunguan ketua cabang setempat. Selain pekawinan dengan sesama penganut agama Malim, perkawinan terhadap penganuut agama lain juga sangat dimungkinkan melalui ketentuan yang berlaku sesuai dengan ajaran agama Malim. Apabila orang yang hendak dikawinkan itu pengantin laki-laki dan perempuan sama-sama penganut agama Malim, maka pihak orangtua pengantin perempuan harus meletakkan uang sebanyak dua belas rupiah, sedangkan pihak pengantin laki-laki harus meletakkan uang sebanyak enam rupiah di atas parbuesanti pada waktu akad nikah ijak-kabul dilangsungkan. Pemberian uang yang demikian adalah sebagai syarat adat paradaton atau penghormatan kepada tuan guru atau pimpinan agama Malim Universitas Sumatera Utara yang bertindak sebagai wali hakim dalam pernikahan itu. Kemudian, sebagian dari uang itu akan dimasukkan ke dalam kas ugasan torop harta milik bersama. Bahwa kalau hanya calon pengantin perempuan yang beragama Malim, sedangkan calon pengantik laki-laki berasal dari agama lain, maka ada satu persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki sebelum dinikahkan, yaitu harus lebih dulu diresmikan menjadi penganut agama Malim dan di dalam peresmian itu sebagai paradaton persyaratan masuk. Kedua persyaratan itu diletakkan atau boleh juga sekaligus pada saat upacara perkawinan dilangsungkan. Jika persyaratan itu belum dipenuhi, maka upacara pernikahan tidak boleh dilaksanakan. Proses perkawinan ang terbuka untuk agama lain adalah mrupakan salah satu strategi adaptasi yang dilakukan penganut agama Malim yang dapat memungkinkan seseorang yang berasal dari penganut agama lain dapat diterima sebagai Parmalim yang sah dengan syarat mampu mengikuti ketentuan agama yang berlaku terlebih dahulu sebelum dilakukan upacara pernikahan. Jika hanya calon pengantin perempuan yang berasal dari agama lain sedangkan pengantin laki- laki berasal dari agama Malim, maka tidak perlu ada uang dua rupiah dan kain putih tujuh hasta. Cukup dengan hanya pengakuan lisan di hadapan calon suami serta disaksikan oleh orang banyak bahwa si calon pengantin perempuan telah rela menjadi penganut agama Malim. Pengakuan seperti itu boleh dinyatakan pada waktu pernikahan dilaksanakan. Universitas Sumatera Utara

4.3.7. Upacara Manganggir Pensucian Diri

Manganggir adalah upacara yang dapat disamakan dengan salah satu sacrament babtis dalam agama lain meski mungkin konteks penggunaannya berbeda dibandingkan dengan agama Malim. Istilah manganggir berasal dari kata anggir jeruk purut, akan tetapi karena jeruk purut ini selalu digunakan sebagai bahan pensucian pangurason, akhirnya upacara ini lazim disebut dengan manganggir. Dalam istilah agama, manganggir adalah suatu upacara pensucian diri seseorang agar suci dari segala jenis dosa, kekotoran akibat makan yang haram ramun dan kekotoran jasmani. Kendati upacara ini tidak termasuk dalam kategori ibadat utama, namun upacara ini tetap sebagai upacara yang harus dilakukan apabila seseorang terkena dengan peraturan atau hukum yang ada. Ada dua hal yang melatarbelakangi perlunya seseorang disucikan melalui upacara manganggir. Pertama, karena dengan kesadaran sendiri berpindah agama dari suatu agama lain kepada agama Malim. Kedua, karena disebabkan murtad meninggalkan agama Malim tetapi kemudian kembali memeluk agama itu. Upacara manganggir merupakan sebuah proses yang harus ditempuh seseoang untuk menjadi penganut agama Malim yang sah dimana secara jasmani dan rohani harus dibersihkan disucikan. Ketentuan demikian berlaku terhadap seseorang yang berasal dari luar agama Malim sedangkan bagi penganut agama Malim yang meninggalkan agama Malim dan kemudian ingin kembali menjadi penganut agama Malim yang sah. Tetap juga harus mengikuti upacara manganggir sama seperti seseorang yang belum pernah masuk menjadi penganut agama Malim sebelumnya. Universitas Sumatera Utara

4.3.8. Pelean dalam Upacara Agama

Secara harfiah, arti pelean dalam bahasa Batak ialah sesaji, sedangkan dalam istilah agama Malim, pelean adalah suatu persembahan yang ditujukan kepada sang supranatural yang dalam hal ini adalah “si pemilik kerajaan malim di Banua Ginjang” dan “si pemilik kerajaan malim di Banua Tonga” dengan mempersembahkan beberapa macam benda yang masuk dalam kategori sesaji pelean dan beberapa macam jenis makanan yang kesemuanya diantarkan melalui doa-doa. Karena itu, pelean merupakan bagian yang integral dalam upacara agama. Makanya, tidak ada satupun upacara agama yang tidak menyertakan persembahan sesaji. Jika ada upacara agama tanpa mempersembahkan sesaji, maka upacara agama itu dianggap tidak sah atau tidak bermakna apa-apa. Kedudukan sesaji dalam setiap upacara agama hampir sama derajatnya dengan doa-doa. Tidak ada sesaji yang tidak diantarkan dengan doa-doa. Demikian juga sebaliknya, tidak ada doa-doa yang tidak menyertakan persembahan sesaji. Maknanya, dalam agama Malim tidak ada persembahan sesaji di luar upacara agama yang ditujukan kepada begu hantu dan dilaksanakan di pinggir-pinggir jalan, gua-gua dan tempat-tempat lainnya Gultom: 2010;309. Ada dua macam benda yang masuk dalam kategori sesaji yang digunakan dalam setiap upacara agama. Yang pertama adalah sesaji yang berupa peralatan upacara yang terdiri dari pangurason dan pardaupaan. Kedua macam peralatan ini dianggap sebagai sesaji yang utama meski yang paling sederhana dan tidak boleh tidak ada dalam setiap upacara agama. Yang kedua adalah sesaji yang berupa makanan yang terdiri dari nasi, ayam, daging kambing, kerbau, ikan, sayur- sayuran, buah-buahan dan beberapa macam makanan lainnya. Kelompok sesaji Universitas Sumatera Utara yang pertama biasanya disajikan pada saat upacara agama mararisabtu, martutuaek, mangan na paet khusus di parsantian, mamasumasu dan manganggir, sedangkan kelompok sesaji yang kedua dipersembahklan pada waktu upacara pasahat tondi, mardebata, sipaha sada, dan sipaha lima. Khusus untuk upacara agama mardebata dan sipaha lima ada yang bernama pelean langgatan dan pelean mombang.

4.3.9. Tortor dalam Upacara Agama

Arti tortor dalam bahasa Batak adalah “tarian”, tetapi bentuk tarian yang dimaksudkan disini adalah tarian khas orang Batak. Ulupunguna Medan amang Simanjuntak megatakan bahwa: “tortor dalam upacara agama Malim termasuk bagian yang penting dalam upacara agama terutama yang menggunakan persembahan gendang. Tidak ada tortor kalau tidak ada gendang, demikian juga sebaliknya bahwa tidak ada gendang kalau tidak ada tortor. Tortor itu sendiri dalam upacara agama sama dengan gendang yang berfungsi sebagai perantara untuk menyampaikan niat dan suara hati masing-masing peserta kepada Debata Mulajadi Nabolon. Dari gerak tortor itu akan tergambar bagaimana suasana hati seseorang dalam mengabdikan diri kepada-Nya. Jika keadaan jiwanya penuh dengan arsak kesusahan hati, jelas akan tampak dalam lakon tortor itu kurang bergairah. Itu berarti bahwa kekuatan batin dan ketulusan hatinya dalam mengikuti upacara kurang mantap dan kurang ikhlas. Berbeda dengan orang yang tampak gerak tortor-nya sangat bergairah dan menunjukkan sikap kegembiraan, itu bermakna bahwa orang bersangkutan telah mempersiapkan diri secara fisik dan mental termasuk kesiapan rohani seperti kesabaran dan keikhlasan”. Universitas Sumatera Utara Gambar 4.3.9 : Muda-Mudi Manortor Menari Dalam setiap manortor menari tentu harus berdiri dan tidak ada manortor yang pelaksanaannya duduk apalagi tidur. Meskipun ada orang yang menggerakkan badannya pada saat seseorang manortor, gerakan itu bukan disebut manortor melaqinkan manatea yaitu suatu gerakan yang hanya menggerak-gerakkan sepuluh jarinya. Maksudnya adalah untuk memberikan perhatian kepada orang yang sedang menari dan supaya terlihat lebih sempurna.

4.4. Dalam Bidang Sosial

Penduduk kota Medan terdiri atas berbagai suku bangsa dengan pola budaya yang berbeda. Salah satu dari suku bangsa tersebut adalah suku bangsa Batak Toba yang menganut agama Malim. Berdasarkan tempat tinggalnya di kota Medan, tidak ada tempat tinggal yang di dalamnya terdapat mayoritas penganut agama Malim. Kecamatan Denai, tepatnya di Kelurahan Binjai yang merupakan tempat berkumpul parpunguan awal Parmalim di Medan, tidak semua penganut Universitas Sumatera Utara agama Malim bermukim di sisni melainkan secara menyebar hampir di 21 kecamatan di kota Meda. Sehingga tidak satupun permukiman yang diidentikkan dengan penganut agama Malim. Jumlah parmalim yang tidak banyak bukanlah penghalang bagi mereka untuk menyebar dalam menentukan tempat bermukimnya. Di tempat pemukiman tertentu yang hanya terdapat satu dan dua keluarga Parmalim, tetap dapat melakukan aktifitas sosialnya dengan baik terhadap penduduk disekitar tempat tinggalnya. Keadaan penduduk di Kecamatan Medan Denai sangatlah majemuk, terdapat berbagai suku bangsa seperti: Batak, Jawa, Minang, Melayu dan suku bangsa lainnya, yang saling berinteraksi dalam kehidupan sosial. Keadaan Parmalim dalam lingkungan yang demikian mengakibatkan mereka tidak hanya berinteraksi dengan sesama Parmalim saja, juga harus berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Berdasarkan pengamatan penulis, secara umum penganut agama Malim telah memiliki tingkat interaksi yang cukup baik dengan masyarakat lainnya. Berdasarkan pengamatan penulis, secara umum penganut agama Malim telah memiliki tingkat interaksi yang cukup baik dengan masyarakat sekitarnya. Interaksi yang terjadi dapat terlihat adanya perkawinan campuran antara penganut agama Malim dengan suku bangsa lain yang telah menganut agama modern. Perkawinan dengan suku bangsa lain yang tentunya berbeda agama dengan Parmalim, bukanlah suatu larangan. Akan tetapi mereka selalu berharap apabila seorang parmalim tetap mempertahankan agama Malim. Namun hal demikian bukanlah suatu paksaan melainkan hanya berupa himbauan terhadap Naposo bulung muda-mudi parmalim. Dan sebaliknya apabila seorang Parmalim menikah Universitas Sumatera Utara dengan yang bukan penganut agama Malim serta mengikuti agama lain tersebut, tetap diharapkan untuk menjalankan ajaran hamalimon dalam diri keluarganya. Selain perkawinan sebagai strategi adaptasi yang dilakukan mereka juga menyesuaikan diri dengan penggunaan bahasa Indonesia yang sangat dikuasai dalam segala usia. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari adanya hubungan saling ketergantungan antra mereka dalam lingkungan sosial masyarakat kota Medan. Dari pengakuan informan akibat dari adanya pergaulan dengan suku bangsa lain seperti Jawa, Minang, Karo dan lain-lain. Mereka dapat mengetahui bahasa daerah dari suku tersebut sehingga sangat memudahkan dalam melakuakn interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai kelompok sosial yang terbentuk berdasarkan keagamaan Parmalim juga berusaha untuk tetap mempererat hubungan sosial diantara sesama mereka. Hubungan sosial akan dapat terwujud apabila sesama penganut agama Malim saling mengenal dan melakukan interaksi. Dalam perayaan upacara keagamaan adalah merupakan suatu hal yang bersifat tradisi bagi mereka untuk bersalaman dan menyebut marga masing-masing yang dilanjutkan kemudian dengan martarombo menarik garis keturunan terhadap orang yang belum dikenal dalam punguan agama Malim. Proses saling mengenali bagi mereka melalui martarombo menjadikan hubungan yang lebih dekat berdasarkan “partuturon” hubungan kekeluargaan. Dengan mengetahui hubungan kekeluargaan maka akan dimengerti pula bagaimana cara pemanggilan yang sopan dan perlakuan sesuai dengan kedudukan seseorang dalam hubungan pertuturan. Hubungan sosial diantara sesama penganut agama Universitas Sumatera Utara Malim juga dapat terlihat apabila ada suatu acara keagamaan Parmalim khususnya naposobulung muda-mudi akan secara bersama-sama marhobas bergotong royong baik dalam persiapan acara hingga acara tersebut selesai. Penganut agama Malim akan saling melayani tanpa memandang status sosial diantara sesama mereka dalam sebuah punguan pertemuan. Dalam hal kelengkapan administrasi di kota Medan penganut agama Malim masih tetap mengalami suatu bentuk diskriminasi seperti dalam pengurusan dokumen kependudukan KTP. Berbeda halnya dengan parmalim yang berada di Hutatinggi Laguboti sebagian dari mereka masih dapat mencantumkan agama Malim pada kolom agama di KTP. Sementara di Medan sewaktu peraturan lama pada kolom agama di KTP penganut kepercayaan seperti parmalim, cukup dikosongkan atau ditandai dengan “-”. Dan hingga saat ini tanda tersebut seringkali dimaknai secara ekstrim bahwa penganut kepercayaan tersebut adalah orang yang tidak beragama dan tidak ber-Tuhan. Dengan kemunculan KTP spontan memang terlihat mengalami perubahan. Kolom agama yang sebelumnya harus dikosongkan atau ditandai dengan “-” kini diganti dengan kolom yang berisi kalimat “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Penganut agama Malim di kota Medan kecamatan Medan Denai dengan jumlah kurang lebih 40 kk yang jika diasumsikan 1 kk terdiri dari 4 orang, maka jumlah mereka sekitar 160 jiwa terdapat hanya 7 laki-laki dan 8 perempuan saja yang memilih kepercayan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jumlah tersebut berdasarkan data jumlah penduduk menurut agama yang dianut pada kecamatan Medan Denai. Selain 15 orang, penganut agama Malim lainnya memilih untuk dikosongkan dengan memberi tanda “-” pada kolom agama pada KTP. Sebagian Universitas Sumatera Utara lagi diantara mereka memilih mencantumkan agama lain yaitu agama Kristen pada kolom agama di KTP yang mereka miliki.

4.5. Dalam Bidang Ekonomi

Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri jika dibandingkan dengan suku bangsa lainnya adalah bahwa Parmalim sebagai suku bangsa Batak Toba memiliki etos kerja yang sangat tinggi. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya doktrin falsafah yang tidak membolehkan orang Batak menjadi babu hatoban tetapi tetap menjadi seseorang raja dalam arti yang luas. Dengan semakin berkembangnya tuntutan zaman, penganut agama Malim menghadapinya dengan strategi pengembangan keagamaan melalui menerima perkembangan ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan dan teknologi demi peningkatan kualitas sumber daya mansuia disebut dengan parbinotoan naimbaru. Hal inilah yang menjadikan penganut agama Malim untuk tetap mengikuti pendidikan terlihat dari semakin banyaknya muda-mudi yang sarjana dan bahkan telah banyak menamatkan kesarjanaannya. Pengakuan ilmu atas pendidikan yang mereka peroleh adalah menjadi sebuah modal bagi pemenuhan kebutuhan hidup dalam bidang ekonomi. Dengan demikian sudah banyak penganut agama Malim yang bekerja pada instansi pemerintahan yang berprofesi sebagai PNS maupun sebagai guru dan lembaga swasta. Adapun strategi adaptasi yang dilakukan Parmalim dalam bidang pemenuhan kebutuhan hidupnya dari segi ekonomi adalah dengan mencantumkan salah satu agama lain yang diakui oleh negara pada kolom agama dalam KTP. Mereka beralasan bahwa dengan demikianlah mereka akan lebih mudah diterima dalam pekerjaan tertentu. Pemilihan salah satu agama pada kolom agama KTP Universitas Sumatera Utara hanyalah merupakan sebatas simbol dalam pencarian pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal demikian tidaklah berpengaruh bagi penganut agama Malim untuk tetap menjalankan ajaran agama hamalimon ajaran agama Malim dalam keseharian hidupnya. Sementara bagi penganut agama Malim yang berprofesi sebagai wiraswasta agama yang mereka anut tidak berpengaruh terhadap usaha pekerjaan yang dijalani. Parmalim sama seperti penganut agama lainya dan tidak mendapat diskriminasi apapun dari masyarakat tempat mereka tinggal. Misalnya seperti pengalaman amang Sirait yang berprofesi sebagai tukang jahit pakaian, keberadaanya sebagai seorang penganut agama Malim cukup dikenal dalam lingkungan tempat dia tinggal. Hal demikian tidak berpengaruh terhadap pelanggan yang datang untuk menjahitkan pakaianya. Dalam aktifitas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga penganut agama Malim sama seperti penganut agama lainya yang ada di kelurahan Binjai dimana mereka kebanyakan memenuhi kebutuhan keseharian rumah tangganya berupa kebutuhan lauk-pauk dari pajak yang berada di Simpang Limun karena jaraknya yang cukup dekat dengan jarak kurang lebih 100 meter dari kelurahan Binjai. Adapun yang membedakan penganut agama Malim dengan masyarakat disekitarnya adalah sesui dengan ajaran agama Malim mereka tetap mempunyai pantangan naramun dalam mengkonsumsi makanan tertentu seperti daging babi, makan darah dan makan yang berbau busuk. Sementara makanan yang diharamkan tersebut tersedia di pajak Simpang Limun sebagai pasar tradisional. Untuk itu penganut agama Malim selalu selektif dalam memilih makanan yang akan dibeli Universitas Sumatera Utara untuk dibawa kerumah sebagai makanan yang akan di konsumsi bersama angggota keluarga lainya.

4.6. Dalam Bidang Budaya Adat

Sebagaimana halnya suku-suku bangsa lainnya yang memiliki adat istiadat sebagai hasil budi luhur pendahulunya, mka demikian juga dengan penganut agama Malim memiliki adat kebiasaan yang dijadikan sebagai rujukan berprilaku dalam kehidupan masyarakatnya. Adat ini pada awalnya merupakan suatu kebiasaan yang dihayati dan diamalkan pada generasi yang terdahulu dan kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya hingga pada masa sekarang. Sejak jaman dahulu hingga pada generasi sekarang, adat adalah bagian dari kehidupan. Hampir tidak ada perilaku sosial yang tidak berhubungan dengan adat, terutama dalam hal yang berkaitan dengan pergaulan, perkawinan, memasuki rumah dan lain sebagainya. Adat adalah suatu sikap, tingkah laku, kebiasaan dan kelaziman yang sesuai dengan hukum adat. Keberadaan hukum adat dapat dipahami sebagai hukum bangsa yang berlaku yang mengatur pertalian-pertalian hukum di bidang kenegaraan dan kemasyarakatan yang mempunyai akibat-akibat hukum tetapi dimuat dalam Kitab Undang-Undang Schreiner, 1996:22. Pemahaman masyarakat secara umum terhadap adat hanyalah semata-mata hasil karya budi luhur generasi terdahulu yang akan secara turun-temurun dipelajari dan diwariskan terhadap generasi berikutnya. Berbeda dengan pemahaman penganut agama Malim yang meyakini bahwa adat bukanlah sekadar budaya leluhur mereka yang diturunalihkan secara turun menurun, melainkan keberadaan nilai adat Batak toba dipercayai beasal dari Tuhan Debata Mulajadi Nabolon Universitas Sumatera Utara melalui seorang yang dipilih-Nya. Orang yang terpilih ini menerima konsep dasar adat dari Debata, lalu kemudian konsep dasar adat itu disingahon diisbatkan atau dikemas menjadi butir-butir adat dan patik peraturan yang kemudian dinamakan menjadi hukum Gultom, 2010:71. Penganut agama Malim berpandangan bahwa “adat do habonaron, habonaron do adat” yang mengandung makna, adat adalah sumber hukum dan sumber hukum itulah adat. Bagi penganut agama Malim adat tidak dapat dilepaskan dengan haporseaon kepercayaan kepada Debata Mulajadi Nabolon. Menyatunya adat dengan agama Malim akan semakin menjunjung tinggi nilai adat. Dalam upacara perkawinan misalnya, adat tetap dijalankan bersamaan dengan unsur-unsur keagamaan dalam persembahan terhadap Debata Mulajadi Nabolon. Dalam kehidupan bermasyarakat penganut agama Malim di kota Medan, mereka tetap memiliki toleransi yang tinggi terhadap penganut agama lain. Hal demikian dapat terlihat ketika seorang Parmalim mengadakan pesta adat misalnya acara pernikahan. Mereka tetap mengundang masyarakat disekitar tempat tinggal mereka tanpa membedakan suku dan agamanya. Sebaliknya apabila penganut agama Malim mendapat undangan dari suku dan agama di luar Parmalim, mereka tetap sedapat mungkin mengikutinya. Terhadap penganut agama Kristen dan Katolik sebagai sebuah agama yang paling banyak dianut masyarakat Batak, Parmalim diperlakuakn secara khusus sebagai undangan dengan tidak memberikan makanan yang diharamkan naramun yaitu berupa daging babi dan daging yang dimasak bersamaan dengan darahnya. Adanya larangan untuk memakan makanan tersebut dapat dimengerti setiap masyarakat yang melakukan pesta. Universitas Sumatera Utara KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Penganut agama Malim Parmalim yang ada di Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai berasal dari Laguboti, Kabupaten Toba Samosir yang bermigrasi ke kota Medan. Migrasi yang mereka lakukan bertujuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari daerah asalnya. Parmalim melakukan migrasi ke kota Medan bersamaan dengan adat-istiadat, agama dan prinsip hidup dari daerah asal sebagai ciri khas keberadaannya. Dalam mempertahankan eksistensi agama Malim, Parmalim melakukan berbagai strategi adaptasi untuk mengamankan diri sebagai cara untuk tetap mempertahankan eksistesi agama Malim di Medan sebagai daerah tujuan migrasi. Strategi adaptasi penganut agama Malim dapat dilihat dari keberadaan penganut agama Malim di kota Medan yang masih tetap menjalankanmelaksanakan ritual agama Malim tanpa mengubah tata cara pelaksanaannya seperti apa yang mereka peroleh dari daerah asal. Parmalim sebagai kelompok masyarakat penganut agama Malim yang belum mendapat status sebagai agama resmi menjadi kelompok minoritas dalam lingkungan masyarakat luas di kota Medan. Hidup dalam kelompok minoritas tentu sesuatu yang memiliki kehidupan yang penuh tantangan. Menghadapi hidup yang penuh tantangan ppenganut agama Malim mempunyai strategi adaptasi, dalam memperoleh hak pencatatan sipil misalnyapengurusan Akte Perkawinan dan KTP Kartu Tanda Penduduk penganur agama Malim lebih memilih untuk dikosongkan dengan tanda “-” pada kolom 119 Universitas Sumatera Utara agama KTP. Dalam mencari dan untuk memperoleh pekerjaan pada instansi pemerintahan bahkan pengurusan izin resmi penganut agama Malim masih mendapat bias sosial yang negatif dari masyarakat di sekitarnya. Untuk itu penganut agama Malim cenderung memilih dan mencantumkan agama lain sebagai formalitas, strategi untuk menghadapi tantangan tersebut. Pelaksanaan mararisabtu dan upacara keagamaan lainnya dilaksanakan di salah satu rumah penganut agama Malim yang difungsikan sebagai parsantian akibat tidak mendapat izin dari masyarakat di jalan Air Bersih, kota Medan. Hidup dengan ketidakberdayaan dalam memperoleh pengakuan sebagai pemeluk agama Malim, Parmalim memilih untuk hidup dalam kepasrahan terhadap status keagamaannya. Penganut agama Malim tidak memiliki misi untuk menyebarluaskan ajaran agamanya, hanya tetap berusaha bertahan dan memegang teguh nilai-nilai adat Batak Toba. Menurut mereka bahwa nilai-nilai adat Batak Toba sangatlah perlu diwariskan sebagai bagian dari ajaran agama Malim yang tidak terpisahkan. Parmalim memiliki pengharapan dan tujuan hidup dalam kesucian hamalimon dengan alasan ajaran agama Malim mampu memberikan keselamatan dan kehidupan “kekal”, sehingga agama Malim tetap eksis di tengah maraknya penyebaran ajaran-ajaran agama besar yang telah diresmikan oleh negara Republik Indonesia khususya di kota Medan. Universitas Sumatera Utara SARAN • Sebagai sebuah warisan budaya spiritual masa lalu negeri ini, agama Malim seharusnya dipandang sama dengan aliran-alirab kepercayaan yang ada. Pememerintah seharusnya memberikan ruang lebih terbuka kepada penganut agama Malim sehingga dapat menunjukkan eksistensinya di tengah pergaulan antar pemeluk agama. Semestinya toleransi beragama diberikan kepada semua keyakinan, agar tidak muncul prasangka dan toleransi beragama tidak digunakan untuk kepentingan sempit agama tertentu saja. • Komunitas penganut agama Malim yang minoritas hendaknya mampu berkomunikasi dan bersikap terbuka dengan keberadaaneksistensi mereka dalam kehidupan masyarakat luas yang majemuk. Sehingga para penganut agama Malim dapat menghapus persepsi negatif atau kontradiksi opini publik yang mereka terima dalam bermasyarakat. • Strategi adaptasi yang dilakuakan penganut agama Malim tidak hanya dalam strategi adaptasi dalam memenuhi kebutuhan hidup mempertahankan hidup, berupa strategi adaptasi sosial, ekonomi, dan sosial budaya. Tetapi, penganut agama Malim melakukan strategi adaptasi untuk mempertahankan eksistensi keberadaan agama Malim di tengah kehidupan masyarakat kota yang majemuk di kota Medan. Universitas Sumatera Utara Daftar Pustaka Bangun, Payung, 1978. Hubungan Antar Suku Bangsa di Kota Medan, Berita Antropologi No 34 maret thn X, FS-UI, Jakarta Bruner, Edward M, 1980. Kerabat dan Bukan Kerabat dan Pokok-Pokok Antropologi Budaya, T.O. ihroni, Gramedia jakarta Cohen, Abner, 1985. Pengantar Kepermasalahan Etnisitas dalam Usman Pelly ed “Konflik dan Persesuaian Antar Etnis” Jakarta Ebner dan Ebner, 1987. Konsep Budaya: dalam T.O. Ihroni “Pokok-Pokok Antropologi Budaya” Gramedia, Jakarta Faisal, Sanapiah, 1989. Formay-Format Penelitian Sosial, dasar-dasar dan Aplikasi. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada Simatupang, Irfan, 1984. Kepercayaan Orang Barus Terhadap Jenis Keatian Yang Dijaga. Skripsi, Medan, Universitas Sumatera Utara, fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Antropologi Gultom, Ibrahim, 2010. Agama Malim di Tanah Batak. Jakarta, Bumi Aksara Irawati, Tety, 2009. Konstruksi Upacara Sipaha Lima. skripsi, Medan, Universitas Sumatera Utara, fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Antropologi Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori-Teori Antropologi, Jakarta: UI. Press Koentjaraningrat, 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta, PT. Dran Rakyat Lukman Sinar, Tengku, 1991. Sejarah Kota Medan Tempo Doeloe, Medan Naim, Mochtar, 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta. UGM Press Pelly, Usman, 19861987. Hasil Penelitian Organisasi Kepercayaa Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Direktorat Pembinaan Penghayatan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, DEPDIKBUD Pelly, Usman, 1993. Hubungan Antar Kelompok Etnis, Makalah Dalam Seminar Loka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kanwil Sumatera, Medan Pelly, Usman, 1998. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, Jakarta: LP3S Pelly, Usman, 1983. Migrasi dan Adaptasi Indonesia. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Pemko Medan, 1996. Kota Medan Pintu Gerbang Indonesia Bagian Barat. Medan Karl, Palzer, 1985. Toen Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Meuraxa, Dada, 1950. Sejarah Hari Jadinya Kota Medan, Medan: Sastrawan Michael, Lagenberg, 1977. North Sumatra Under The Dutch Colonial Rule: Aspect of Struktural Change. Revieu of Indonesia and Malasia Affairs Suharsono, 1977. Migrasi dan Urbanisasi: Dalam Bunga Rampai Masalah Kependudukan, Suhardi ed, Jakarta, Mutiara Suparlan, Parsudi, 1983. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan Persepsi Antropologi Budaya, Manusia dalam Keserasian Lingkungan, Muhammad Soerjani ed Jakarta, Fakultas Ekonomi UI Suparlan, Parsudi, 1982. Ilmu Sosial Dasar II, UI. Press, Jakarta Situmorang, Sitor, 1983. Asosiasi Klen Batak Toba dalam Prisma XII, No-9. LP3S, Jakarta Situmorang, Sitor, 1993. Guru Somalaing dan Modang Liani “Utusan Raja Rom” Jakarta, Grafindo Mukti Situmorang, Sitor, 2004. Toba Nasae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII- XX, Jakarta: Yayasan Komunitas Bambu Soekanto, Soejono, 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Soemardjan, Selo, 1988. Migrasi Kelompok Perubahan Sosial, Jakarta, Pustaka Grafika Kita Soemardjan, Selo, 1980. Streotipe Etnik Asimilasi, Integrasi Sosial, Jakarta, Grafika Kita Sumber Internet • http:www.parmalim.com • http:wongalus.wordpress.com20090626parmalim-yang tersingkir • http:www.wihara.comforumtopik-umum1661-agama- konghuchu-diakui-kembali-ebagai-agama-resmi- Indonesia.htm Universitas Sumatera Utara Daftar Tabel

1. Tabel: Data Umum Kecamatan Medan Denai 2. Tabel: Pelayanan Umum Kecamatan Medan Denai

3. Tabel: Sarana Pendidikan Kecamatan Medan Denai 4. Tabel: Luas Wilayah Kelurahan Binjai Menurut Penggunaan

5. Tabel:Potensi Sumber Daya Manusia 6. Tabel: Mata Pencaharian Pokok

7. Tabel: Penduduk Berdasarkan Etnis 8. Tabel: Penduduk Berdasarkan Agama

9. Tabel: Bagan, Struktur Organisasi Agama Malim 10. Tabel: Struktur Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai tahun 2010 Universitas Sumatera Utara Daftar Gambar

1. Gambar 3.4.4 : Pembacaan Buku Pustaha Batak Pada Acara Mangan