Namun adanya agama lain dalam lingkungan mereka bukanlah suatu ancaman bagi pelestarian agama Malim jika mereka masih tetap menjalankan
ajaran agama yang tetap disosialisasikan dalam lingkungan keluarga sebagai lingkungan pertama yang dikenal para generasinya.
4.2. Jabu Parsantian Rumah Ibadah
Keberadaan sebuah tempat ibadah yang disebut dengan parsantian pada tiap cabang dan Bale Pasogit Partonggoan BPP di Hutatinggi pusat penyebaran
agama Malim adalah sangat penting. Karena disamping fungsi sebagai tempat kegiatan kerohanian juga berperan sebagai tempat dilakuaknnya kegiatan sosial
lainnya. Dalam perjalanan liku kehidupan penganut agama Malim selalu akan berhubungan dengan tempat ibadahnya Parsantian, terlihat dari sejak kelahiran
seorang anak sampai masa tuanya. Pada masa kelahiran anak disebut dengan upacara Martutuaek, di mana seorang anak yang baru lahir dimandikan sekaligus
pengukuhan nama dilakuakn di Parsantian dengan tetap berpedoman terhadap ajaran agama Malim.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.2 : Rumah Salah Seorang Parmalim Yang Difungsikan Sebagai Parsantian di Medan
Menjelang dewasa dalam upacara pertunangan dan perkawinan yang disebut dengan upacara mamasumasu, parsantian juga merupakan tempat yang
harus didatangi oleh penganut agama Malim yang ingin membentuk sebuah keluarga baru. Pemanjatan doa serta ucapan rasa syukur kepada Debata Mulajadi
Nabolon dalam bentuk ritual keagamaan lainnya juga dilaksanakan di tempat parsantian. Di lingkungan parsantian tidak ada orang yang harus diperlakukan
secara khusus atau diistimewakan, baik dia sebagai pemimpin ulupunguan, sekretaris, bendahara maupun sebagai anggota maupun golongan sosial.
Ketika memasuki rumah ibadah parsantian penganut agama Malim diwajibkan memiliki pakaian sesuai dengan aturan keagamaan di mana saat
upacara berlangsung laki-laki yang sudah menikah mengenakan sorban di kepala berupa kain halus berwarna putih. Pada bagian bahu dikenakan ulos, juga sarung
Universitas Sumatera Utara
yang dilipat di pinggang. Sementara perempuan hanya memakai sarung dan mengonde rambutnya. Melalui cara berpakaian seperti itu mereka sudah dapat
mengikuti upacara keagamaan. Seiring dengan perkembangan zaman setiap penganut agama Malim harus
dapat menghadapi tantangan hidup di kota Medan sebagai kota yang majemuk. Untuk itu Parmalim membutuhkan sikap toleransi, kebersamaan dan kepedulian
terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Di kota Medan Parmalim selalu mengajarkan tentang ajaran agama, bahasa dan adat istiadat mereka terhadap anak-
anaknya. Sehingga dalam bermasyarakat mereka mampu mengerti dengan mengenali ajaran agama mereka sendiri tanpa terpengaruhi ajaran agama lain.
Seperti halnya di sekolah tidak ada pelajaran agama tentang agama Malim, sehingga di sekolah mereka mempelajari agama lain seperti agama Islam, Kristen
dan Budha yang telah diakui oleh negara sebagai agama. Kebijakan yang dilakukan Parmalim dengan mau mempelajari agama lain
adalah merupakan suatu bentuk strategi adaptasi yang dilakukan oleh penganut agama Malim di kota Medan, karena tidak memungkinkan bagi mereka untuk
mempelajari agama mereka di sekolah. Selain mendapat pelajaran agama di rumah, parsantian merupakan tempat paling efektif untuk belajar agama Malim.
Apa yang mereka peroleh di rumah aka lebih didalami lagi di tempat ibadah parsantian.
Setiap hari Sabtu setelah perayaan upacara mararisabtu sebagai hari peribadatan yang diadakan sekali dalam sepekan para muda-mudi Parmalim yang
disebut dengan “tunas naimbaru”, berdiskusi dan saling bertukar pikiran dalam membahas patik dan ajaran-ajaran dari Debata Mulajadi Nabulon yang tercantum
Universitas Sumatera Utara
dalam buku Pustaha Habonaron yang bertuliskan aksara Batak. Selain itu para muda-mudi Parmalim juga melakukan pembahasan tentang pengalaman hidup
yang berhubungan dengan ajaran agama Malim. Pada pertemuan tersebut muda- mudi dapat belajar bahasa Batak dengan baik, hal ini dilakukan dengan harapan
agar setiap penganut agama Malim tidak mendapat kesulitan dalam pembacaan dan pengucapan doa keagamaan yang penulisannya menggunakan aksara Batak.
Rumah ibadah Parmalim di Hutatinggi sebagai pusat penyebaran agama Malim disebut dengan Bale Pasogit Partonggoan sementara disetiap cabang
disebut Parsantian. Bangunan rumah ibadah Parmalim jika dilhat secara fisik, bentuk bangunan Bale Pasogit menyerupai gereja pada umumnya,. Bangunan
tersebut dilengkapi lapangan yang cukup luas yang digunakan umum Parmalim merayakan hari besar keagamaan mereka. Pada bagian atap bangunan terdapat
simbol keagamaan berup tiga ekor ayam. Simbol tiga ayam ini punya warna yang berbeda, yaitu warna hitam simbol kebenaran, putih simbol kesucian, dan merah
simbol kekuatan atau kekuasaan hagogoon. Ketiga simbol tersebut merupakan perwujudan dari “partondion”keimanan penganut agama Malim. Konon, menurut
ajaran agama Malim, ada tiga patondion yang pertama kali diturunkan Debata ke Tanah Batak, yaitu Batara Guru, Batara Sori dan Batara Bulan. Sementara ayam
merupakan salah satu bahan persembahan kurban kepada Debata Mulajadi Na Bolon.
Di kota Medan hingga saat ini, penganut agama Malim belum mempunyai rumah ibadah atau disebut dengan rumah Parsantian. Persembahyangan masih
dilakukan di rumah salah seorang penganut agama Malim. Hal demikian terkait pada tahun 2005 lalu, penganut agama Malim membangun rumah Parsaktian di
Universitas Sumatera Utara
Jalan Air Bersih, Ujung Medan. Pembangunan rumah yang telah selesai 70 persen itu gagal akibat adanya penolakan keras dari warga sekitar. Rumah tersebut
memiliki luas dua kali lapangan bulu tangkis dan tanah tempat dibangunnya rumah adalah milik salah seorang penganut agama Malim. Saat ini rumah tersebut
terbengkalai, tembok yang sempat dibangunan sebagian rubuh dan ditumbuhi alang-alang.
Gagalnya pembangunan rumah Parsantian, bagi penganut agama Malim di kota Medan bukanlah suatu penghalang atau penghambat dalam menjalankan
agama Malim. Mereka tetap yakin dan percaya terhadap kuasa dan kemurahan hati Debata Mulajadi Nabolon bahwa suatu saat pembangunan rumah Parsaktian akan
segera terwujud di kota Medan. Rumah salah seorang penganut agama Malim yang juga difungsikan
sebagai tempat ibadah dalam perayaan hari besar keagamaan seperti mangan na paet dan ibadah mararisabtu adalah rumah yang cukup besar. Dilihat dari fisik
bangunan dari luar yang membedakannya dengan rumah penduduk lainnya adalah terdapat gorga pada bagian depan rumah disertai dengan teras dan halaman rumah
yang cukup luas. Rumah tersbut dapat menampung secara keseluruhan penganut agama Malim yang merayakan upacara mangan na paet sebagai acara penghapusan
dosa tahunan, yang diikuti seluruh Parmalim sekota Medan. Adanya suatu kebijakan dengan menjadikan sebuah rumah penduduk
penganut agama Malim sebagai tempat ibadah layaknya sebuah rumah Parsantian, adalah merupakan strategi adaptasi yang dilakukan Parmalim untuk
tetap mempertahankan agama Malim di kota Medan. Kesulitan mendapat izin dari penduduk di sekitar Jalan Air Bersih, Ujung Medan yang juga adalah orang Batak
Universitas Sumatera Utara
Toba yang telah menganut agama moderen yaitu agama Kristen. Keadaan demikian bukanlah penghalang bagi mereka untuk tetap menjalankan aktivitas
keagamaannya. Dengan harapan suatu saat akan dibukakan jalan terhadap maksud dan niat baik penganut agama Malim untuk mendirikan tempat ibadat Parsantian
di kota Medan seperti di daerah lainnya.
4.3. Aktifitas Dalam Keagamaan