BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Dalam ranah ilmu politik, kajian mengenai pemikiran politik bukanlah sesuatu hal yang baru. Ini dapat dilihat dari sejarah pemikiran politik yang ada, baik era klasik,
pertengahan, maupun kontemporer. Tentu saja para pemikir juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh arus pemikiran pada zamannya.
Wacana pembebasan belakangan ini menjadi sangat popular dikalangan generasi muda. Gejala ini merupakan tampilan dari realitas serupa di negara-negara berkembang.
Wacana ini terbit setelah modernisme dinilai tak mampu lagi merespon seluruh dimensi kehidupan manusia. Modernisme sebagai narasi besar grand narrative dianggap tak cukup
tangguh lagi menjawab permasalahan yang muncul. Diskursus mengenai problematika masyarakat dan pembebasan banyak melahirkan
pemikir-pemikir Islam dengan latar belakang yang tak jauh berbeda. Mereka prihatin dengan kondisi kaum muslimin yang memiliki konsep ideologi aqidah sedemikian maju justru
tidak berkembang dalam ideologi tersebut. Hassan Hanafi adalah salah satu diantara sekian pemikir tersebut.
Hassan Hanafi merupakan guru besar filsafat di Universitas Kairo. Ketika masih muda, ia seorang demonstran anti-kolonialisme Barat, pengagum visi revolusioner Sayyid
Qutb, bahkan menemukan keasyikan berIslam bersama Ikhwanul Muslimin sembari menggeluti filsafat di Universitas Kairo. Selanjutnya meneruskan pendidikan di Sorbone
University, Perancis, sambil mengagumi visi Sosialisme Islam Nasserian. Bahkan ia menyatakan bahwa sejatinya Islam lebih berorientasi pada pembebasan nasional.
Universitas Sumatera Utara
Hassan Hanafi mengklaim dirinya sebagai penerus ide rekonstruksi Muhammad Iqbal, model reformasi Abduh dan konsep revolusi al-Afghani dan Ali Syariati, baginya
rekonstruksi adalah pembangunan kembali warisan Arab-Islam dengan melihat kepada spirit modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer. Ilmu yang paling fundamental dalam Islam
harus dibangun dengan perspektif dan standar modernitas. Pada fase kematangan berfikirnya, ia dikenal sebagai penerus cita-cita besar Afghani
dan Abduh, dengan mengajukan proyek besar peradaban yang dikemas dalam slogan Al- Yasar al-Islami Kiri Islam yang mesti terejawantah dalam tiga proyek besar: kritis terhadap
tradisi Islam, kritis terhadap tradisi Barat dan cerdas menyikapi persoalan kontemporer Islam. Proyek yang ia namakan tradisi dan pembaharuan al-turas wa al-tajdid.
Hassan Hanafi sebelumnya dikenal sebagai salah seorang pemikir hukum Islam dan juga menjabat guru besar di Fakultas Filsafat Universitas Kairo Mesir. Ia
mengkonsentrasikan kajiannya pada proyek kebangkitan Islam dan kesatuan umat, sebagai suatu reaksi atas apa yang ia sebut sebagai tiga ancaman bagi dunia Islam. Tiga ancaman
tersebut mencakup tiga dari luar imperialisme kolonialisme, kapitalisme, zionisme dan tiga dari dalam ketertindasan, kemiskinan, keterbelakangan.
Ia menawarkan Kiri Islam sebagai metode alternatif bagi pembaharuan pemikiran Islam dengan produk sebuah proyek besar, yakni merekonstruksi dan memperbaharui tradisi
al-turas wa al-tajdid. Hassan Hanafi meluncurkan jurnal Kiri Islam Al-Yasar al-Islami pada 1981 di Kairo
-hanya berumur satu terbitan- Hassan Hanafi memancangkan tiga pilar Kiri Islam. Tiga pilar yang dimaksud adalah, 1 rasionalisme untuk merevitalisasi khazanah Islam klasik; 2
Universitas Sumatera Utara
oksidentalisme untuk menentang Barat; dan 3 sebagai upaya analisis atas realitas dunia Islam, kritik atas metode tradisional yang terlalu bertumpu pada tekstual.
Di masa revolusi Prancis, Kaum Yakobin yang merupakan kelompok radikal mengambil tempat duduk di sebelah kiri Konvensi Nasional. Sejak itulah istilah “kiri” dan
“kanan” digunakan dalam politik. Dalam terminologi politik, kata “kiri” seringkali diidentikkan sebagai perlawanan dengan label radikal, sosialis, anarkis, reformis, komunis,
bahkan liberalis. Berlawanan dengan “kanan” yang cenderung mapan dalam sebutan yang lebih lembut, “kiri” mendobrak sakralisasi gagasan, sistem dan nilai. Dalam konotasi
akademis maka istilah kiri sebenarnya adalah identifikasi sosial, sebagaimana dimunculkan oleh pendukung gagasan-gagasan Karl Marx untuk mengidentifikasi diri sebagai kelompok
yang berlawanan dengan kemapanan sistem masyarakat Eropa yang kapitalistik. Istilah Kiri Islam bukanlah ciptaan Hassan Hanafi, istilah ini sudah digunakan oleh
Ahmad Gabbas Salih dalam sebuah tulisannya Al-Yamin wa al-Yasar fi al-Islam tahun 1972 : Dalam Islam, kiri memperjuangkan pemusnahan penindasan bagi
orang-orang miskin dan tertindas, ia juga memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban di antara seluruh masyarakat. Singkat kata, kiri adalah
kecenderungan sosialistik dalam Islam.
1
Hassan Hanafi, seorang cendikiawan Mesir alumni Universitas Sorbonne, Prancis dan Profesor Filsafat di Universitas Kairo, yang mengelola gagasan Kiri Islam al-Yasar al-
Islam dalam konotasi akademis sebagai sebuah konsepsi ‘perlawanan terhadap pemapanan’ Islam. Dalam hal ini Hassan Hanafi tidak membicarakan Islam yang digariskan Tuhan tidak
terpisah-pisah dalam “kiri” dan “kanan”, melainkan sebuah wacana tentang kaum muslimin
1
Kazuo Shimogaki. Kiri Islam : Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta : LKiS, 1993. hal.5
Universitas Sumatera Utara
dalam realitas sejarah dan sistem sosial tertentu. Sepanjang kita terlibat dalam sejarah, maka kita akan selalu dalam pertentangan kekuatan dan kepentingan. Maka “kiri” dan “kanan” bagi
Hassan Hanafi berada pada tingkat sosial dan historis ini.
Dengan mengacu pada gagasan kritisisme, Hassan Hanafi kemudian menyusun peta pemikiran sebagai berikut: Dalam teologi Islam, Mu’tazilah adalah kiri, sedangkan
Asy’ariyah adalah kanan. Tafsir dengan aql adalah “kiri”, sedangkan dengan naql adalah “kanan”. Dan dalam politik, Ali dan Husein adalah “kiri”, sedangkan keluarga Mu’awiyah
dan Yazid adalah “kanan”. Termasuk juga membagi realitas masyarakat muslim “kiri” sebagai masyarakat yang dikuasai, tertindas, miskin dan tersingkir, di antara masyarakat
muslim “kanan” yang berkelebihan, cenderung tidak peduli dengan masyarakat muslim lainnya dan bahkan terseret dalam kehidupan kapitalisme Barat hingga tercerabut dari
identitas keIslamannya.
Hassan Hanafi berusaha mengembalikan Islam yang dipahami sebagai ideologi, agama dan gerak revolusi kaum muslimin. Semua dimulai Hassan Hanafi dengan
melakukan kritik internal komunitas muslim. Maka bagi salah satu kelompok, Argumen Kiri Islam Hassan Hanafi terasa mengganggu, bahkan mungkin mengancam, terutama berkaitan
dengan kenyamanan terhadap tata cara beragama yang dikritisinya. Masyarakat muslim yang merasakan terusik mulai mengembangkan propaganda yang memandang Kiri sebagai
pengingkaran terhadap agama, atheis dan pemecah belah.
Menurut Hassan Hanafi, Kiri Islam juga merupakan tahap lain dalam perkembangan reformasi keagamaan dimana ia bertugas bukan sekadar melakukan konfrontasi terhadap
bahaya-bahaya abad ini, melainkan juga melakukan rekonstruksi terhadap kenyataan kemusliman yang fatalistik, menunggu bantuan dan inspirasi dari langit dengan mengabaikan
Universitas Sumatera Utara
kemampuan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri. Akal dianggap perlu untuk memperoleh bantuan dari langit untuk menghasilkan kemampuan praktis.
Hassan Hanafi mempunyai pandangan bersahabat dengan pemikiran Barat, kendati menurut sementara kalangan sikap kritisnya terhadap Barat kurang terakomodasi dengan
tuntas, Hassan Hanafi memang selalu mengingatkan tentang kekeliruan Barat dalam memahami Islam, terutama dalam kelompok orientalis. Ia menapilkan sosok yang menyerap
sepenuhnya nilai dan lmu-ilmu Barat. Namun dari sana pula ia berpijak mengkaji Barat dalam suatu pemahaman dan wawasan yang berbeda dari pemikir sebelumnya terutama
kelompok modernis yang mungkin agak emosional baik mereka yang menerima atau menolak Barat. Inilah beberapa sisi pemikiran Hassan Hanafi tentang Islam.
Hassan Hanafi berpendapat kiri Islam merupakan resultan dari gerakan-gerakan kaum muslimin di Afghanistan, Melayu, Filipina, Pakistan, dan Revolusi Aljazair untuk
memunculkan Islam sebagai khazanah nasional. Umat Islam di negeri tersebut ingin memelihara otentisitas dan kreativitas dalam memperjuangkan kepentingan mereka, serta
menggerakkan umat Islam di tempat lain. Esensi kiri Islam, adalah pencurahan segala potensi untuk menghadapi puncak problematika zaman ini, berupa: imperialisme, zionisme, dan
kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal, serta kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan sebagai ancaman internal.
Lebih lanjut, Kiri Islam Hassan Hanafi merupakan sintesa dari sistem ideologi Kapitalisme yang gagal mengangkat martabat manusia. Latar belakang kemunculan Kiri
Islam Hassan Hanafi juga tidak lepas dari adanya persaingan kedua ideologi —kapitalisme dan sosialisme. Hassan Hanafi relatif mampu melakukan modifikasi konsep sosialisme yang
materialistik dan determinisme historik. Hassan Hanafi berusaha melakukan pembebasan
Universitas Sumatera Utara
yang diberi ruh pendasaran-religius-spiritualistik dalam hal ini adalah Islam dengan menghilangkan materialistiknya.
Ini dilakukan supaya Islam yang awalnya merupakan sistem kehidupan yang membebaskan kaum tertindas tetap dipertahankan dan menjadi suatu sistem ideologi yang
populistik —ideologi kaum tertindas— yang selama ini selalu diklaim sosialisme. Hal inilah yang menjadi kesimpulan dan pilihan Hassan Hanafi yang menamakan gerakannya dengan
Kiri Islam yang selalu mengedepankan progresifitas religius dan pranata-pranata lainnya yang bersifat spiritualitas dan historis.
Kiri Islam menurut Hassan Hanafi bersumber pada semangat revolusi tauhid sebagai basis Islam. Untuk membangun kembali peradaban Islam, maka mau tak mau diperlukan
upaya membangun kembali semangat revolusi tauhid sebagai misi para nabi dan rasul. Nabi Muhammad saw. sebagai rasul terakhir mengembangkan misinya dari rumusan tauhid —la
ilaha illa-Allah— yang kemudian dimanifestasikan dalam syahadat dan merupakan transformasi tauhid ilahiyah pada tataran tauhid al-ummah.
Revolusi tauhid ilahiyah merupakan konsekuensi logis yang membebaskan manusia dari penghambaan, pengultusan dan penyakralan terhadap mitos-mitos politik, ekonomi,
sosial dalam struktur sosial kemasyarakatan. Sedangkan revolusi tauhid al-ummah menekankan pada aspek transformasi pembebasan kehidupan manusia dalam sistem
kemasyarakatan tanpa dibatasi kelas, egalitarianisme dan tidak eksploratif dalam segala dimensi pada kehidupan kemasyarakatan.
Oleh karena itu ada dua penyebab utama mengapa peneliti tertarik untuk menelitinya. Pertama, Hassan Hanafi, pemikir muslim modernis dari Mesir, adalah salah satu tokoh yang
akrab dengan simbol-simbol pembaruan dan revolusioner, seperti Kiri Islam, oksidentalisme, dan lain sebagainya. Tema-tema tersebut ia kemas dalam rangkaian proyek besar; pembaruan
Universitas Sumatera Utara
pemikiran Islam, dan upaya membangkitkan umat dari ketertinggalan dan kolonialisme modern. Rekonstruksi dilakukan hanya dengan meletakkan warisan dan tradisi klasik dalam
standar modernisme. Jika sudah tidak cocok, tradisi tersebut harus diubah. Atau, katanya, harus ada penafsiran ulang terhadap sumber-sumber pokok ajaran Islam di mana tradisi
tersebut terbentuk. Dengan upaya ini, Hassan Hanafi yakin umat Islam akan mampu menghadapi tantangan berat, yakni bagaimana umat Islam memecahkan masalah kesenjangan
sosial, ketidakadilan, kebodohan, kebebasan berekspresi, dan ketertindasan rakyat.
Kedua, teologi tradisional Islam lahir dalam konteks sejarah ketika sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan
budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Sementara itu konteks sosio-politik sekarang sudah berubah.
Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi
2
. Karena itu, lanjut Hassan Hanafi, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus diubah menjadi kerangka konseptual
baru, yang berasal dari kebudayaan modern.
Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi
legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hassan Hanafi menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran obyektif atau
arti yang berdiri sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi. Kebenaran teologi, dengan demikian, adalah kebenaran korelasional atau, dalam bahasa Hassan Hanafi, persesuaian
antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif berupa nilai-nilai
2
Kazuo Shimogaki. Kiri Islam : Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta : LKiS, 1993.
Universitas Sumatera Utara
manusiawi yang universal. Sehingga suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif yang sama pada setiap ruang dan waktu.
Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hassan Hanafi, adalah protes, oposisi dan revolusi. Baginya, Islam memiliki
makna ganda. Pertama, Islam sebagai ketundukan; yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas. Kedua, Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak
berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik
melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai reformasi.
1.2. Perumusan Masalah