Oksidentalisme Melawan Neo-Imperialism Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Kiri Islam

Afghani,Rasyid Ridho, Al-Kawakibi, dll menulis tentang toleransi dan saling bekerjasama, serta menyerukan persaudraaan dan cinta kasih. Sehingga fundamentalis Islam dalam perspektif umum yang kini di amini, lebih merupakan istilah yang diciptakan barat dalam mendeskriditkan gerakan-gerakan Islam yang notabennya berusaha menuntut haknya sendiri.

3.1.5. Oksidentalisme Melawan Neo-Imperialism

Sudah kita fahami bersama bahwa bentuk-bentuk imperialism telah berganti bentuk menjadi neo-imperialism. Soekarno, 50 tahun lalu, memberikan ungkapan atas hal ini dihadapan negara asia-afrika, bahwa: “colonialism has also its modern dress, in form of economic control and actual physical control by a small but alien community within a nation”. Imperialis hanya berganti baju, kalau dulu dengan meriam dan pistol kini baju barunya adalah sebuah paham atas pembangunan dan kemajuan. Dengan globalisasi sebagai topengnya untuk menyembunyikan taring-taring kapitalisme. Dalam terminologi ekonomi Doktrin Gramsci mengatakan bahwa negara-negara terhegemoni akan melahirkan budaya kaum-kaum subordinat. Sedangkan negara kuat selalu menguniversalisasikan nilai-nilai yang dibawanya baik melalui tradisi intelektual ataupun cara-cara kekerasan sekalipun. Kritik model ini tidak hanya gramsci, dalam teori dependensinya Andre Gunder Frank bahwa hubungan antara negara pinggiran dan negara pusat akan menghasilkan pembangunan keterbelakangan atau The Development of Underdevelopment. Dan tentu diikuti oleh keterbelakangan dimensi lainnya. Universitas Sumatera Utara Dalam terminologi sosial budaya hegemoni akan memunculkan rendah diri bagi bangsa client bahkan untuk sekadar menengadahkan muka. Selanjutnya kekerdilan itu akan menjangkit pada nalar dan logika yang merunduk-runduk dan berkiblat pada barat. Lupa dengan aksioma-aksioma agamanya, lupa dengan tradisi dan budaya bangsanya. Kekagumannya pada yang baru membuatnya terengah-engah untuk maju dan pada suatu titik dia lupa menengok kebelakang lalu lupa pula tujuan apa yang akan dicapai. Terkait dengan itu maka perlu dimunculkan sebuah semangat restorasi paradigma. Sebuah semangat yang mampu memetakan diri sebagai keutuhan manusia dan “orang lain” sebagai keutuhan yang lain pula. Semangat yang tidak mencampur adukan nilai-nilai, kultur, budaya, dan metode intelektualitas sampai pada batasan tidak mampu mengenali dirinya sendiri. Sehingga perlu memunculkan sebuah sikap dan bagi seorang muslim adalah sikap Islam terhadap tradisi barat dengan istilahnya Hassan Hanafi adalah Oksidentalisme. Oksidentalisme bagi Hassan Hanafi merupakan suatu upaya menandingi Orientalisme baik yang klasik ataupun moderat sebagai kaki tangan imperialis. Kemudian meruntuhkannya hingga ke akar-akarnya. Untuk mengembalikan citra Islam, ia Oksidentialis memberikan jalan dengan melakukan reformasi agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan. Selanjutnya dijelaskan bahwa Oksidentalisme adalah materi utama yang tidak tinggal pakai. Sebab ia merupakan hasil penggambaran egoterhadap the other. Bukan deskripsi the other atas dirinya yang kemudian ditranformasikan oleh ego. Ia dihasilkan oleh upaya kreasi ego. Bukan oleh keringat the other. Ia Oksidentalisme ingin menghapuskan Eurosentrisme kecenderungan menjadikan Eropa sebagai tolak ukur. Menjelaskan bagaimana kesadaran Eropa kembali kebatas alaminya yang selama ini menyebarkan melalui media ekonomi dan budaya. Universitas Sumatera Utara Oksidentalisme sebagai semangat perlu kita amani walaupun sebagi dasar berpikir tentu memerlukan telaah yang lebih jauh. Dalam menafsirkan reformasi Agama dan reformasi pemikiran untuk kemudian di formulasikan, tentu setiap gerakan Islam memiliki penafsiran dan metode sendiri-sendiri. Dan bukanlah Oksidentalisme-nya Hassan Hanafi yang dijadikan rujukan atas itu. Oksidentalisme sebagai sebuah semangat mendorong setiap muslim berani untuk duduk sama redah dan berdiri sama tinggi dengan barat. Tidak lagi perasaan minder muncul ketika berbicara dengan orang barat. Memunculkan keberanian, seberani Hatta ketika berpidato di konfrensi meja bundar, segagah soekarno ketika menghujat keburukan barat beserta varian-variannya. Dan sebaik Sayyid Quthb dalam mencerna pemikirannya. Sehingga Jauh dari keterjebakan reaksi atas suatu aksi dengan Mencemooh konklusi tetapi menerima premis-premisnya. Kejelian seperti ini diperlukan agar mampu memetakan Al Ana ego dan Al Akhar other dalam wilayah sosial, ekonomi politik dan kebudayyaan kemudian memunculkan semangat. Walaupun rasionalisme Eropa memperoleh kemenangan, ternyata juga menyimpan beberapa keretakan yang selanjutnya menimbulkan reaksi lahirnya anti-rasionalisme modern. Keretakan rasionalisme tersebut terdapat pada: Satu, nihilisme al-tajrid, di mana rasio telah terjebak untuk hanya mementingkan bentuk tanpa isi. Sehingga menimbulkan reaksi lahirnya empirisme Eropa yang mementingkan isi daripada bentuk. Di situ rasio dijatuhkan di bawah materi. Itulah yang disebut dengan kenihilan. Dua, rasionalisme hanya menjadi kritik radikal yang lalu berkembang menjadi penolakan terhadap prinsip dan berubah menjadi proses penghancuran secara berkesinambungan. Rasio tidak lagi menjadi dasar yang membangun, tetapi justru menghancurkan. Tiga, rasionalisme menjadi suatu unsur dalam proses perubahan agama dari tataran kerahasiaan dan keimanan ke tataran rasio dan pembuktian. Sehingga Universitas Sumatera Utara lahirlah konsep penengah sebagai ganti Almasih, Evangelisme sebagai tandingan gereja, kejahatan sebagai ganti dosa warisan, dan Yang Mutlak sebagai pengganti Allah. Dalam hal ini rasionalisme Eropa menjadi bagian dari neo-rasionalisme Kristen yang oleh para filosof lebih bisa diterima daripada Kristen Ortodoks. Dan Descartes, Kant serta Fichte pun dapat dianggap sebagai pembaharu Kristen yang memproklamirkan rasionalisme ideal- moralistik Kristen, sebagaimana dilakukan oleh Muktazilah dalam Islam. Empat, rasionalisme Eropa terikat pada sosok erosentrisme, sehingga merefleksikan suatu bentuk kemanusiaan sempit, humanisme Eropa yang menolak rasionalitas bangsa-bangsa lain karena dianggap belum mengenal prinsip-prinsip logika dan masih berada pada tahap mistis khurafat dan sihir. Lima, rasionalisme Eropa tidaklah berpengaruh terhadap kehidupan bangsa-bangsa Eropa, dan hanya pada peru¬bahan bentuk luar sistem politik. Itu pun tidak selaras dengan rasionalisme itu sendiri. Orang-orang Eropa pada hakikatnya tetaplah bangsa Romawi yang senantiasa mencari kesejahteraan, materi dan dunia sebagai reaksi dan penolakan terhadap model kerajaan langit yang ditawarkan oleh Kristen Kuno. Enam, rasio telah berubah menjadi aktivitas bebas sebagai unsur utama sistem liberal, yang merupakan tiang penyangga bagi kokohnya kapitalisme. Padahal kapitalisme merupakan sistem yang ditegakkan hanya dengan kompetisi dan laba yang berujung pada kemewahan dan monopoli. Di sini, rasio kehilangan nilai dan aktivitas ekonomi bebas - karena orientasi laba - telah mengorbankan aspek kea¬dilan sosial di Eropa. Hal itulah yang menjadi cikal bakal mele-tusnya revolusi-revolusi pada abad ke-18 dan 19. 33 Demikian pula halnya yang terjadi pada eksperimentalisme Eropa, yang tidak dapat bertahan walau banyak berpengaruh, yaitu satu, eksperimentalisme menjadi keying, karena 33 Abad Badruzaman... Op.cit. Universitas Sumatera Utara materi dianggap tanpa rasio, sehingga pengetahuan seakan-akan terdapat di dalam materi itu sendiri tanpa melalui proses kesadaran dan pemikiran. Paham itu muncul ketika banyak dogma masa lalu yang berlawanan dengan kenyataan-kenyataan eksperimental. Eksperimen menjadi sesuatu yang independen, dan realitas menjadi satu-satunya ujung. Sesutau yang kasat mata adalah kebenaran yang hakiki, sementara yang tidak kasat mata adalah khayalan. Di dalam rasio hanya terdapat sesuatu yang inderawi. Maka yang eksperimentasi berbeda dari rasio, keduanya menjadi musuh bebuyutan. Karena itu, kendatipun muncul kecenderungan holistik dan komprehensif. namun rasionalisme Eropa telah menjadi parsial. Dua, eksperimentalisme telah berubah, dari teori murni dalam ilmu pengetahuan menjadi teori dalam moralitas, dan materi menjadi sumber nilai, lalu hanya materilah yang menjadi standar segala nilai. Itulah yang kemudian disebut materialisme Eropa. Tiga, materialisme menyatakan diri sebagai disposisi natural bangsa-bangsa Eropa yang dapat dikembalikan kepada akar historisnya yakni Romawi Kuno, suku-suku Jerman dan Anglosakson. Karena itu, rasionalisme dan idealisme gagal mencip¬takan keseimbangan bersama-sama materialisme natural. Empat, peperangan demi peperangan berkobar antara bangsa-bangsa Eropa demi materi. Mereka lebih banyak bertikai ketimbang bersatu. Materialisme telah menjadi biang angkara murka dan ketamakan. Lima, cinta materi kemudian memanifestasikan dirinya menjadi gerak imperialisme dan kolonialisme melewati batas¬batas wilayah Eropa. Enam, berujungnya agenda nasionalisme Eropa pada suatu puncak produksi yang sekaligus merupakan puncak kemungkinan penghancuran, yakni ketika nafsu kemewahan yang memuncak terhalang oleh problem krisis energi. Dimulailah kemudian penguasaan sumber daya clam bangsa¬bangsa non-Eropa, dan berdirinya pasar- pasar industri kolonial, serta sekaligus munculnya krisis nilai dan kelompok-kelompok pembangkang di dalam masyarakat Eropa. Universitas Sumatera Utara

3.1.6. Hermeneutika : Pembacaan Terhadap Realitas