3.1.7. Kiri Islam dan Realitas Dunia Islam
Pemikiran keagamaan kita selama ini, menurut Hassan Hanafi, hanya bertumpu pada model pengalihan yang hanya memindahkan bunyi teks kepada realitas, seakan-akan teks-
teks keagamaan adalah realitas yang dapat berbicara sendiri. Padahal metode teks seperti itu mempunyai banyak kelemahan.
38
Pertama, teks adalah teks, bukan realitas. Teks hanyalah deskripsi linguistik tentang realitas yang tidak dapat menggantikannya. Dan karena setiap argumentasi harus otentik,
maka penggunaan teks sebagai argumentasi harus merujuk kepada otentisitasnya di dalam realitas. Kedua, berbeda dari rasio atau eksperimentasi yang memungkinkan manusia
mengambil peran untuk turut menentukan, teks justru menuntut keimanan apriori terlebih dahulu. Sehingga argumentasi teks hanya dimungkinkan untuk orang yang percaya. Dan hal
itu bersifat elitis. Ketiga, teks bertumpu pada otoritas al-Kitab dan bukan otoritas akal. Padahal otoritas al-Kitab tidaklah argumentatif, karena terdapat banyak sekali kitab suci,
sementara realitas dan akal hanya satu. Keempat, teks adalah pembuktian asing, karena berasal dari luar dan bukan dari
dalam realitas. Padahal untuk pembuktian, keyakinan yang datang dari luar selalu lebih lemah daripada keyakinan yang datang dari dalam. Kelima, teks selalu terkait dengan acuan realitas
yang ditunjuknya. Tanpa acuan itu, teks menjadi tidak bermakna, dan bahkan akan menyelewengkan maksud-maksud teks yang sesungguhnya. Sehingga terjadilah salah paham
dan aplikasi teks yang tidak pada tempatnya. Keenam, teks bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks lainnya. Sehingga tidak mungkin untuk beriman hanya kepada satu
kitab dengan mengingkari yang lain. Hal itu hanya akan menjebak para penafsir ke dalam pola pikir parsialistik. Ketujuh, teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan yang tidak luput
38 Abad Badruzaman... Op.cit hal.100
Universitas Sumatera Utara
dari pertimbangan-pertimbangan untung-rugi. Seorang kapitalis tentu akan memilih teks-teks yang melegitimasi kepentinganya, sebagaimana seorang sosialis akan melakukan hal yang
lama terhadap teks lain. Di sini, yang menjadi penentu bukanlah teks, melainkan kepentingan penafsir. Teks hanya memberi legitimasi kepada apa yang sudah ada sebelumnya. Kedelapan,
posisi sosial seorang penafsir menjadi basis bagi pilihannya terhadap teks. Sehingga di dalam realitas, perbedaan dan pertikaian para penafsir akan menjadi sumber pertikaian masyarakat,
sebangun dengan pertikaian di antara kekuatan yang ada. Kesembilan, teks hanya berorientasi kepada keimanan dan emosi keagamaan, serta hanya sebagai pemanis dalam apologi para
pengikutnya. Tetapi teks tidak mengarah kepada akal dan realitas keseharian mereka. Oleh karena itu, pendekatan tekstual bukan metode ilmiah yang menganalisis realitas
kaum Muslimin, melainkan hanya sebuah model untuk memperjuangkan kepentingan suatu golongan atau sistem tertentu melawan yang lain. Padahal apologi jauh lebih rendah nilainya
daripada pembuktian. Sepuluh, metode teks lebih cocok untuk nasihat daripada untuk pembuktian, karena teks hanya memperjuangkan Islam sebagai suatu prinsip tetapi tidak
memperjuangkan kaum Muslim sebagai umat. Sebelas, kalaupun mengarah pada realitas, metode teks secara maksimal hanya akan memberikan status tetapi tidak menjelaskan
perhitungan kuantitatif. Metode Kiri Islam adalah metode kuantitatif dengan angka-angka dan statistik
sehingga realitas dapat berbicara mengenai dirinya sendiri. Teks selalu mengacu kepada konteksnya asbab al-nuzul, dan Kiri Islam langsung merujuk secara objektif pada konteks
tersebut dan mendefinisikannya secara kuantitatif.
39
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, kuantifikasi seperti itu selalu lebih detail dan akurat daripada sekadar identifikasi abstrak.
39 Ibid. 102
Universitas Sumatera Utara
Kalau para ulama terdahulu, semacam Ibn Taymiyah, menjadikan akal dan persaksian sebagai aksioma dalil yang mendasari penukilan suatu teks, maka kita menajamkannya
dengan eksperimentasi, realitas kuantitatif dan penggunaan bahasa angka-angka - terutama untuk hal-hal yang berkaitan dengan distribusi kekayaan kaum Muslimin kepada keseluruhan
umat. Sejak era Al-Afghani, terlebih selama masa perang Salib, sampai saat ini,
imperialisme tetap merupakan isu terpenting yang dihadapi oleh dunia Islam. Di bidang ekonomi, imperialisme saat ini muncul dalam bentuk korporasi multinasonal. Sementara di
sektor budaya, munculnya dalam bentuk pembaratan yang merupakan upaya pembunuhan terhadap semangat kreatifitas bangsa dan mencabut mereka dari akar-akar kesejarahan.
Secara militer, imperialisme mewujudkan diri dalam bentuk pangkalan militer asing yang hadir di seluruh dunia Arab. Tugas Kiri Islam adalah memberi peringatan secara terus-
menerus dan membongkar model-model imperialisme baru, rasisme Barat, dan salibisme historis yang terselubung.
Zionisme juga masih menjadi ancaman laten bagi Islam dan kaum Muslimin. Akar- akamya ada pada sukuisme Ibrani kuno sampai zionisme politik di abad kita ini. Ambisinya
bukan saja penaklukan bumi Palestina, tetapi telah merambah ke negeri-negeri sekitarnya: Suriah, Libanon, Mesir, dan bahkan lebih luas lagi sehingga hampir-hampir menguasai
seluruh bumi. Lebih dari itu, zionisme juga berupaya menyebarkan pemikiran-pemikirannya kepada intelektual Arab-Islam hingga terlena. Kaum zionis mempunyai kemampuan rasio
dan kesadaran, sedangkan pada kita hanya ada buruh yang mush berlimpah. Zionisme tidak hanya menguasai sumber-sumber kekayaan kita sebagaimana ulah imperialisme
konvensional, tetapi juga menguasai spiritualitas kita, hingga akhimya zionisasi dunia Arab sebagai jantung dan pusat dunia Islam. Zionisme kemudian menggantikan nasionalisme dan
Universitas Sumatera Utara
persatuan Arab, dengan kebudayaan Yahudi sebagai induk, dan kebudayaan Arab-Islam menjadi derivasinya. Zionisme menjadi kiblat kebudayaan Semit, baik klasik maupun
modern. Ancaman terhadap dunia Islam lainnya adalah kapitalisme yang dibangun di atas
landasan perilaku ekonomi bebas, dan diikuti dengan persaingan bebas. Bentuk kongkritnya adalah laba, rente dan riba. Kapitalisme, selain mendatangkan dampak penindasan, juga turut
andil dalam menumbuhkan nilai-nilai destruktif dan hedonisme utilitarian. Hal itu berujung pada penciptaan kelas-kelas sosial dan kesenjangan kesempatan, yang pada gilirannya
mengakibatkan pemusatan otoritas di tangan pemilik modal. Padahal Islam secara objektif menolak pemusatan modal di kalangan minoritas elit QS Al-Hasyr, 59: 7, hak milik
istimewa, kelas sosial, penindasan, riba. Namun Islam menyuarakan reformasi pemilikan, persamaan, kooperasi, tolong menolong dan solidaritas sosial untuk kepentingan
kesejahteraan umat.
40
Kiri Islam menuntut hak-hak kaum miskin di dalam harta orang-orang kaya, lalu melakukan pengembangan masyarakat berdasarkan nilai-nilai persamaan dan keadilan sosial.
Bagi Hassan Hanafi, sosialisme merupakan prinsip universal dan abadi, bukan sebagai sistem sosial yang mudah berubah oleh perubahan rezim.
Sementara itu, kenyataan yang ada adalah bahwa tidak semua bangsa-bangsa Islam merupakan bangsa-bangsa yang kaya di dunia, sehingga kemiskinan dan keterbelakangan
merupakan ancaman internal. Padahal dalam dakwah-dakwah dan khutbah-khutbah tentang Islam, kita selalu lantang mengutip ayat bahwa di dalam harta orang kaya terdapat hak yang
jelas untuk para peminta-minta dan kaum yang terlemahkan al-mahrum QS Al-Maarij, 70: 24-25. Pada prinsipnya Islam mendeklarasikan bahwa kita adalah umat yang satu,
40 Ibid. 104
Universitas Sumatera Utara
bersaudara, sederajat. Dan bahwa harta benda adalah milik Allah yang diamanatkan kepada kita yang hanya mempunyai hak memanfaatkan dan membelanjakan, tetapi tidak berhak
memonopoli dan menumpuknya. Kiri Islam memperjuangkan kebebasan dengan segala dimensinya, menegakkan
pemerintahan demokratis, dan mengajarkan bahwa semua manusia mempunyai hak untuk berperan dalam menentukan corak negerinya, tidak perlu ada tuduhan subversi, tidak ada
tuduhan pengkhianat. Semua adalah anak negeri yang mendambakan kebaikan. Kiri Islam mengupayakan amar maruf nahyi munkar demi menjadikan kita umat terbaik yang
dilahirkan untuk umat manusia. Dalam konteks ini, Kiri Islam menguak misi kesejarahan umat Islam den
mentransformasikan mayoritas rakyatnya dari belenggu kuantitas ke status kualitas. Oleh karma itu sangat disayangkan, bagaimana 3 juta Yahudi di Al-Quds Yerusalem, Palestine,
dapat mengalahkan 100 juta bangsa Arab dan menguasai 800 juta kaum Muslim. Adapun misi Kiri Islam pada awal-awal abad ke-15 Hijriyah ini adalah sebagai berikut:
1. Mewujudkan keadilan sosial di kalangan umat Islam, dan menciptakan masyarakat
tanpa kelas agar jurang yang menganga diantara kaum miskin dengan orang kaya dapat terhapus, sejalan dengan petunjuk A1-Quran.
2. Menegakkan masyarakat yang bebas dan demokratis, di mane setiap individu berhak
mengungkapkan pendapat, menyuarakan kritik dan melakukan amar maruf nahyi munkar.
3. Membebaskan tanah-tanah kaum Muslim dari kolonialisme di Palestina, menghapus
pakta-pakta militer di dunia Islam dan mengembalikan kekayaan kaum Muslimin setelah sekian lama sumber daya clam yang dimilikinya dihisap oleh imperialisme.
Universitas Sumatera Utara
4. Membangun kesatuan Islam yang menyeluruh, yang dimulai dari kesatuan umat di
Mesir, kemudian lembah Nil, Mesir dan Suriah, Mesir-Maroko, kemudian kesatuan dunia Arab dan akhirnya dunia Islam.
5. Merumuskan sistem politik nasional yang bebas dari pengaruh super power, yaitu
kebijakan “bukan Barat dan bukan Timur” La Syarqiyah wa la Gharbiyah, sealur dengan nash Al-Quran, serta mempererat jalinan persahabatan dengan bangsa-bangsa
Asia-Afrika yang merupakan bangsa-bangsa Islam dan Dunia Ketiga. 6.
Mendukung gerakan revolusioner kaum terjajah dan tertindas, karena sesungguhnya Islam hadir untuk mereka. Revolusi mereka adalah revolusi Islam. Bukan salah
mereka kalau mereka tak terjangkau oleh risalah Islam, tapi salah kita yang tidak berusaha untuk menyampaikan kepada mereka.
41
Kiri islam, layaknya suatu ideologi yang memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda,
mengedepankan pembelaan kepada kaum terlemahkan khususnya kaum muslimin, baik yang terlemahkan oleh faktor eksternal imperialisme, zionisme, dan kapitalisme, serta faktor
internal kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan. Pengentasan ancaman internal dan eksternal ini bisa dibentuk apabila ada kesepahaman bersama untuk bersatu dan tidak tunduk
patuh pada kehendak barat.
41 Ibid. hal.106
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Kiri dan Kanan menjelma sebagai jargon-jargon perjuangan yang saling berhadapan. Sebutan Kiri menitahkan gerakan perlawanan untuk menumbangkan yang mapan, yakni yang
kanan. Setting dialektika ideologis seperti itu juga digunakan Hassan Hanafi dalam
mengembangkan kajian teologi Islam, yang kemudian dikenal dengan Kiri Islam. Dengan mengambil sketsa sosial masyarakat arab sebagai latar argumentasi, Hanafi mengabstraksikan
pandangannya tentang kondisi umat Islam secara struktural. Menurutnya, sejak zaman Al- Afghani hingga kini, umat Islam secara struktural terbagi dua kelompok yang saling
berhadapan : yakni antara yang mapan vis a vis yang tereksploitasi; yang menguasai berhadapan dengan yang dikuasai, pemimpon vs rakyat, elit vs jelata. Kelompok pertama,
minoritas tapi dominan dan mengeksploitasi kelompok kedua. Dalam kondisi seperti ini, menurut Hanafi, visi ideologis Kiri Islam lahir dan
berkembang. Ritme gerakannya menyuarakan kepentingan dan hak-hak mayoritas; aspek teologisnyaterwujud pada perjuangan untuk membebaskan manusia mayoritas yang tertindas
dari belenggu eksploitasi kaum minoritas, hingga keduanya bisa hidup sederajat dan setara, laksana helai-helai sisir yang saling merekat dan berdampingan.
Kiri Islam bukanlah Islam yang berbaju Marxisme, karena itu menafikan makna revolusioner dari Islam sendiri. Ia juga tidak berarti bentuk ekletik antara Marxisme dan
Islam, karena hal demikian hanya menunjukkan bentuk pemikiran yang tercerabut dari akar,
Universitas Sumatera Utara