Pengertian Jaminan TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN KREDIT

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN KREDIT

A. Pengertian Jaminan

Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan, tidak disebutkan secara tegas mengenai kewajiban atau keharusan tersedianya jaminan atas kredit yang dimohonkan oleh calon debitur atau debitur, seperti yang diatur dalam Undang – Undang Perbankan sebelumnya. Selengkapnya dibandingkan bunyi Pasal dalam Undang-Undang Perbankan yang mengatur mengenai masalah jaminan tersebut, yaitu : 1. Bunyi Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 : “Bank umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga”. 2. Bunyi Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 : “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967, secara tersirat jelas ditekankan keharusan adanya jaminan atas setiap pemberian kredit kepada siapapun. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, keharusan adanya jaminan terkandung secara tersirat dalam kalimat : “…keyakinan atas Universitas Sumatera Utara kemampuan dan kesanggupan debitur…” dan sekaligus mencerminkan apa yang disebut dengan jaminan yang harus disediakan oleh debitur. 46 1. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, baik berupa hak kebendaanmaupun hak perorangan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur. Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsure jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsure-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredityang bersangkutan. Apalagi apabila kita melihat ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang menentukan bahwa segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Yang dimaksud dengan jaminan itu sendiri adalah tanggungan yang diberikan oleh debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan. Dari pengertian tersebut lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa : 19 Hasanudin Rahman, 1998, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Indonesia, P.T. CITRA ADITYA BAKTI, Bandung, hlm. 161. Universitas Sumatera Utara 2. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, dapat diberikan oleh debitur sendiri maupun pihak ketiga yang disebut juga penjamin atau penanggung. 3. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut ialah untuk keamanan dan kepentingan kreditur yang harus diadakan dengan suatu perjanjian khusus, perikatan mana bersifat acesoir dari perjanjian kredit atau pengakuan utang yang diadakan antara kreditur dengan debitur. Mengenai pentingnya suatu jaminan oleh kreditur atas suatu pemberian kredit, tidak lain adalah salah satu upaya untuk mengantisipasi risiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit tersebut.

B. Prinsip-Prinsip Hukum Jaminan