Secara Teoritis Kerangka Teori

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam bidang hukum pengadaan barangjasa pemerintah yang dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN. Dimana pelaksanaannya dapat diselenggarakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.

2. Secara Praktis

Penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan bagi pembuat kebijakan, baik di tingkat nasional, maupun di tingkat lokal dalam hal ini Rumah Tahanan Negara Klas II B Labuhan Deli yang menjadi salah satu jajaran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara. Dengan diketahuinya berbagai kelemahan dalam mekanisme pengadaan barangjasa pemerintah yang berlaku saat ini, maka dapat disusun kerangka legal dalam pengadaan barang pemerintah yang lebih baik, dalam arti bebas dari praktek- praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Hasil penelitian ini merupakan bahan dasar yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan guna mendukung terciptanya good corporate governance. Bona Hotman Situngkir : Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Pengadaan Bahan Makanan Narapidana Tahanan Studi Rutan Klas II B Labuhan Deli, 2009

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian terdahulu mengenai Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan BarangJasa sudah pernah dilakukan, namun penelitian ini berbeda dalam topik, permasalahan dan objek penelitian. Oleh karena itu, penelitian tesis ini dapat dikatakan ”asli”, jauh dari unsur plagiat yang bertentangan dengan asas-asas keilmuan yakni, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka sehingga kebenaran penelitian juga dapat dipertanggungjwabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang bersifat membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Dalam ilmu hukum kontrak, dikenal berbagai teori, yang masing-masing menjelaskan berbagai segmen dari kontrak yang bersangkutan, antara lain : 1. Teori-teori berdasarkan prestasi kedua belah pihak 2. Teori-teori berdasarkan formasi kontrak 3. Teori-teori dasar yang klasik 4. Teori Holmes tentang tanggung jawab hukum yang berkenaan dengan kontrak 5. Teori liberal tentang kontrak Bona Hotman Situngkir : Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Pengadaan Bahan Makanan Narapidana Tahanan Studi Rutan Klas II B Labuhan Deli, 2009 Berkaitan dengan penulisan ini, maka landasan teori yang digunakan adalah salah satu teori yang terdapat dalam teori-teori dasar yang klasik, yang terbagi lagi atas : a. Teori hasrat b. Teori benda c. Teori pelaksanaan d. Teori prinsip umum Sehingga teori yang digunakan adalah teori pelaksanaan. Teori pelaksanaan mengajarkan bahwa yang terpenting dari suatu kontrak adalah pelaksanaan dari kontrak yang bersangkutan. 76 Sebab yang menjadi tujuan utama dari setiap pembuatan kontrak adalah bahwa untuk mendorong para pihak untuk membayar hutangnya, melaksanakan janjinya dan bertindak secara benar dalam hubungan dengan kontrak antara pihak tersebut, sehingga untuk itu perlu tindakan-tindakan yang bersifat menghalang-halangi wanprestasi. Sehingga pelaksanaan kontrak tersebut termasuk pemberian sanksi bagi si pelanggar kontrak dalam hukum kontrak sama pentingnya dengan perlindungan hak milik dalam hukum benda atau pemidanaan dalam hukum pidana. Dalam perjanjian pemborongan milik pemerintah maka isi perjanjian telah ditentukan terlebih dahulu oleh pemerintah, yang disebut dengan perjanjian baku standard contract. Hondius memberikan rumusan perjanjian baku, yaitu perjanjian baku adalah konsep janji-janji tertulis, disusun tanpa membicarakan isinya dan 76 P.S. Atiyah, Essay on Contract, England: Clarendon Press, 1986, hlm. 12. Bona Hotman Situngkir : Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Pengadaan Bahan Makanan Narapidana Tahanan Studi Rutan Klas II B Labuhan Deli, 2009 lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah tak terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu. 77 Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. 78 Formulir tersebut bermacam-macam bentuknya, ada yang terdiri dari beberapa lembar folio, ada yang lebih kecil dan hurufnya dicetak kecil. Adapun ciri-ciri perjanjian baku adalah 79 : 1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat dari debitur 2. Masyarakat debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu 3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu 4. Bentuknya tertulis 5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan kolektif Perjanjian baku ini mengandung kelemahan, karena syarat-syarat yang ditentukan secara sepihak dan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu karena posisinya lemah. 80 Pitlo mengemukakan perjanjian baku ini adalah suatu “dwangkontract” karena kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata sudah dilanggar. Pihak yang lemah debitur terpaksa menerima hal ini sebab mereka tidak mampu berbuat lain. Di samping itu Stein, mengemukakan bahwa dasar berlakunya perjanjian baku ini adalah de fictie van will of vertrouwen, jadi tidak kebebasan kehendak yang sungguh-sungguh ada pada pihak-pihak, khususnya debitur. 81 77 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku: Perkembangan di Indonesia, Pidato Pengukuhan, Medan: USU, 1998, hlm. 16. 78 Ibid, mengutip Hondius, Standaardvoorwarden, Leiden, 1978, hlm. 230. 79 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku Standard, Perkembangannya di Indonesia, Bandung: Alumni, 1980, hlm. 11. 80 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku Kredit, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 37. 81 Ibid. Bona Hotman Situngkir : Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Pengadaan Bahan Makanan Narapidana Tahanan Studi Rutan Klas II B Labuhan Deli, 2009 Pendapat-pendapat di atas menunjukkan bahwa perjanjian baku bertentangan dengan asas-asas hukum perjanjian Pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata. Akan tetapi di dalam praktek perjanjian ini tumbuh karena keadaan menghendakinya dan harus diterima sebagai kenyataan. 82 Hal senada juga diungkapkan oleh M. Yahya Harahap 83 : “Kita memang mengakui ada kelemahan yang terkandung dalam perjanjian standar. Adanya kekuasaan dan kedudukan salah satu pihak untuk menentukan lebih dulu secara sepihak isi dan syarat-syarat perjanjian. Kedudukan dan kekuasaan ini biasanya berada pada pihak yang lebih kuat kedudukannya sedang pada posisi lain pihak yang relatif lebih lemah kedudukannya tidak diikutsertakan dalam pembuatan dan perumusan isi perjanjian. Kepadanya hanya diminta untuk menyetujui atau tidak atau take it, or leave it. Jika setuju silahkan menandatangani perjanjian. Kalau tidak setuju jangan ditandatangani. Akan tetapi oleh karena pihak yang lemah sangat membutuhkan, mau tidak mau terpaksa menandatangai kontrak standar, meskipun hal itu dilakukan dalam keadaan terpaksa yang terselubung”. Dalam perjanjian pemborongan dimungkinkan hadirnya pihak ketiga yang tidak merupakan para pihak dalam perjanjian, akan tetapi mempunyai peranan yang cukup penting dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan. Keterlibatan pihak ketiga ini dimungkinkan berdasarkan Pasal 1317 jo Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang keterlibatan pihak ketiga dalam perjanjian yaitu diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat suatu janji yang seperti itu. Di samping itu ada pula 82 Ibid., hlm.38. 83 M. Yahya Harahap, Arbitrase, Jakarta: Sinar Grafika, 2001, hlm. 78. Bona Hotman Situngkir : Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Pengadaan Bahan Makanan Narapidana Tahanan Studi Rutan Klas II B Labuhan Deli, 2009 pihak-pihak lain yang dinamakan peserta dalam perjanjian, yaitu antara lain pihak perencana dan pengawas yang mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam perjanjian pemborongan. Dunham mengatakan, ”where a person has agreed to perform certain work for example, to erect a building and he in turn engages a third party to handle all or part of that which is included in the original contract, the agreement with such third person is called a subcontract”. 84 Dalam Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 dikenal ada 4 empat cara memborongkan proyek atau dengan kata lain ada 4 empat cara pengadaan barangjasa, yaitu : 1. Pelelangan Umum 2. Pelelangan Terbatas 3. Pemilihan Langsung 4. Penunjukan Langsung Dalam pelaksanaan pengadaan barangjasa tersebut, panitia pengadaan danatau pejabat yang berwenang harus memperhatikan prinsip-prinsip atau nilai-nilai dasar yang tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 yang mana masih terus dijadikan pedoman. Dalam Pasal 3 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan BarangJasa Pemerintah telah ditentukan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pengadaan 84 Dunham, et. al, Contract, Specifications, and Law for Engineers, New York: McGraw Hill, Company, 1996, hal. 24. Bona Hotman Situngkir : Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Pengadaan Bahan Makanan Narapidana Tahanan Studi Rutan Klas II B Labuhan Deli, 2009 barang. Ada enam prinsip pokok dalam pengadaan barang, yaitu efisien, efektif, terbuka dan bersaing, tansparan, adil dan tidak diskriminatif serta akuntabel. 85 1. Efisien berarti pengadaan barang harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggunjawabkan. 2. Efektif berarti pengadaan barang harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. 3. Terbuka dan bersaing berarti pengadaan barang harus terbuka bagi penyedia barang yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang yang setara dan memenuhi syaratkriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan. 4. Transparan berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang yang berminta serta bagi masyarakat luas pada umumnya. 5. Adiltidak diskriminatif berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu dengan cara dan atau alasan apapun. 6. Akuntabel berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan 85 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan.........,Op.Cit., hlm. 16. Bona Hotman Situngkir : Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Pengadaan Bahan Makanan Narapidana Tahanan Studi Rutan Klas II B Labuhan Deli, 2009 masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang. Prinsip good governance, sebagian menjadi cita-cita hukum dalam proses pengadaan barang. Hal ini terlihat dari prinsip-prinsip pengadaan barang, yakni prinsip efisiensi, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adiltidak diskriminatif dan bertanggung jawab. United Nations Development Programme UNDP merumuskan good governance dengan karakteristik sebagai berikut 86 : 1. Participation. Setiap warga Negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. 2. Rule of Law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia. 3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor. 4. Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap stakegolders. 5. Consensus orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur. 6. Equity. Semua warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka. 7. Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga sebaik mungkin menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber- sumber yang tersedia. 86 Lihat Tan Kamello, dkk, “Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Pelaksanaan Tender Pengadaan Barang Pemerintah di Lingkungan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara”, Makalah disampaikan pada Seminar Sosialisasi Naskah Akademis Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara tentang Tender Pengadaan Barang Instansi Pemerintah di Lingkungan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, Medan, 19 Mei 2003, hlm. 36. Bona Hotman Situngkir : Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Pengadaan Bahan Makanan Narapidana Tahanan Studi Rutan Klas II B Labuhan Deli, 2009 8. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sector swasta dan masyarakat civil society bertanggung jawab kepada public dan lembaga- lembaga stakeholder. 9. Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini. Kata good governance sering digunakan tumpang tindih dengan good government. Meskipun antar dua kata tersebut memang terdapat hubungan yang erat, tetapi harus disadari bahwa pengertian yang terkandung dalam kata governance jauh lebih luas dari yang terkandung dalam kata government. Padanan kata governance dalam bahasa Indonesia adalah penadbiran, yang berarti pemerintahan. 87 Dasar kata dari penafsiran adalah tadbir, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perihal mengurus atau mengatur memimpin, mengelola; pemerintahan; administrasi. Sedangkan penadbir berarti pengurus; pengelola. Adapun kata government, dalam bahasa Indonesia umumnya diterjemahkan sebagai pemerintah, dengan demikian sama maknanya dengan penadbir. UNDP mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic and administrative authority to manage a country’s affairs at allevels of society” pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah bangsa. Karena itu menurut UNDP, ada 3 tiga model good governance, yaitu 88 : 87 Billah, “Good Governance di Indonesia: Wahana Pengikisan Kemiskinan Struktural?”, Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Dimensi Kemiskinan Rakyat dalam Pembangunan Indonesia di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanudin, Makasar, 2001. 88 Tan Kamello, dkk, Op. Cit. Bona Hotman Situngkir : Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Pengadaan Bahan Makanan Narapidana Tahanan Studi Rutan Klas II B Labuhan Deli, 2009 a. Kepemerintahan Politik Political Governance yang mengacu pada proses-proses pembuatan berbagai keputusan untuk perumusan kebijakan policystrategy formulation b. Kepemerintahan Ekonomi Economic Governance yang mengacu pada proses pembuatan keputusan decision making processes yang memfasilitasi kegiatan ekonomi di dalam negeri dan interaksi di dalam penyelenggara ekonomi. Kepemerintahan ekonomi ini memiliki implikasi terhadap masalah pemerintahan, penurunan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup. c. Kepemerintahan Administratif Administrative Governance yang mengacu kepada sistem implementasi kebijakan. Suatu governance dikatakan baik good and sound apabila sumber daya dan masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan efisien di mana merupakan respons terhadap kebutuhan masyarakat. Perangkat kelembagaan itu mencakup adanya birokrasi yang bersih dan efisien, adanya sistem penegakan hukum yang dapat dipercaya, termasuk didalamnya aparat penegak hukum yang mempunyai integritas yang baik, serta adanya masyarakat sipil civil society yang kuat untuk memperjuangkan kepentingan warga serta mengontrol lembaga pemerintah. Selain itu adanya distribusi kekuasaan yang seimbang dan saling mengontrol secara konstruktif. Dalam rangka good governance di tingkat dasar, perlu diciptakan suasana penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada otonomi daerah. Salah satu cerminan terlaksananya atau tidak good governance adalah masalah tender pengadaan barang pemerintah. Secara konseptual, wujud dari adanya good governance sangat ditentukan oleh 3 tiga elemen yang berproses dalam sistem tender pengadaan barang, yakni pemerintah daerah, pelaku bisnis dan masyarakat. Perbuatan dari ketiga elemen tersebut harus memiliki legal justification yang jelas sehingga maksud dan tujuan diadakan tender pengadaan barang dapat Bona Hotman Situngkir : Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Pengadaan Bahan Makanan Narapidana Tahanan Studi Rutan Klas II B Labuhan Deli, 2009 dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban hukum harus dilihat dalam kerangka sistem hukum yang lebih luas secara vertical. Dimana deviasi hukum merupakan perbuatan dari orang-orang yang terlibat dalam proses tender pengadaan barang dengan menyimpang dari ketentuan hukum yang ada. Gejala deviasi hukum tersebut, akan dapat diminamilisasikan dengan keikutsertaan masyarakat dalam proses tender pengadaan barang. Temuan deviasi hukum ini dikatakan sebagai gejala “phatology of legal structure”. Gejala tersebut dapat mengakibatkan keruntuhan sendi-sendi “good governance” dan keterpurukan hukum.

2. Landasan Konsepsi